Petualangan Pete

Ni Luh Dian Purwati

Mon, 4 February 2002

PERTENGAHAN November lalu, sepulang ikut pelatihan jurnalisme di Yogyakarta, Wiwin Irna Idawati tak langsung pulang ke Mataram. Mahasiswa Universitas Mataram ini memutuskan singgah di sekretariat Ideas

PERTENGAHAN November lalu, sepulang ikut pelatihan jurnalisme di Yogyakarta, Wiwin Irna Idawati tak langsung pulang ke Mataram. Mahasiswa Universitas Mataram ini memutuskan singgah di sekretariat Ideas, lembaga pers mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Jember. Ini memang tradisi. Wartawan mahasiswa memiliki jaringan kuat, hingga bila salah satu anggotanya pergi ke sebuah kota, rasanya tak lengkap bila tak singgah di media setempat. Wiwin pun mengeluarkan beberapa dokumen yang ia dapatkan dari pelatihan itu, salah satunya tabloid Getar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Ali Majedi dari Ideas tertarik pada terbitan itu. Pandangannya terhenti pada sebuah sketsa wajah. Seorang laki-laki berkacamata dan memakai topi. Ali kenal wajah itu. Tertulis di sana bahwa itu adalah Nathan Sudarsono alias Pete, seorang anggota Ideas. Ali terkejut. Ia memang kenal Pete. Dua kali Pete pernah datang ke Jember bahkan tinggal di sekretariat Ideas. Tapi Pete bukan anggota Ideas. Pete malah mengatakan ia dari majalah mahasiswa Balairung dari UGM. Pada laporan itu disebutkan Pete dicari-cari wartawan mahasiswa se-Yogyakarta karena berulang kali melakukan penipuan dan pencurian. Tabloid yang dibawa Wiwin itu adalah bagian dari pencarian Pete.

Maka pencarian pun diperluas. Dan awal Desember seorang anggota Eksplant milik Politeknik Jember mengabarkan Pete ada di sekretariat mereka. Anggota Ideas membuat strategi menggiring Pete. Keesokan harinya Pete tak sadar bahwa dia sedang dijebak. Pete datang ke sekretariat Ideas. Maka pemuda 18 tahun ini pun diinterogasi ramai-ramai selama tujuh jam. Buntutnya, Pete digebuki petugas keamanan kampus, yang juga merasa ditipu, dan diserahkan ke polisi Jember. Namun bukti-bukti tak kuat. Polisi tak bisa menahan Pete lebih dari 24 jam. Keesokan harinya ia bebas.

Kisah Pete, kalau mau diurut-urut, sebenarnya bukan hanya sebuah kasus penipuan, karena bagaimana pun nilai barang yang dicurinya tak seberapa Tapi Pete adalah sebuah tragedi anak manusia. Tragedi ini mulai dengan lahirnya Sudarsono di daerah perkebunan tebu dan pabrik gula Jatiroto, sekitar 60 kilometer dari Jember, 23 Maret 1983.

Ibunya bernama Darmi, seorang pembantu rumah tangga yang kerja di Surabaya. Ayahnya minggat semasih Sudarsono alias Pete masih dalam kandungan. Sudarsono kemudian diasuh keluarga Suratman, kakak Darmi, sejak umur satu tahun hingga lulus sekolah lanjutan pertama.

Sudarsono kecil tinggal di belakang pabrik gula. Ia anak yang cerdas dan mudah bergaul. Tapi Sudarsono, mungkin karena nasibnya yang malang, sering marah bila dilecehkan. Ia tak tanggung-tanggung untuk berkelahi. Pernah ia mencekik mati seekor burung milik teman yang sering menghinanya. Pamannya tak bisa mengatasi Sudarsono. “Kalo nggak berusaha sabar, saya bisa stres,” ujar Suratman.

Pada 1998, ketika krisis ekonomi mencekik Indonesia dan perubahan politik besar-besaran melanda negeri ini, Sudarsono tamat sekolah menengah Jatiroto. Kok kebetulan pamannya satu saat marah besar dan mengancam mengusir Sudarsono. Ini bikin dia minggat.

Sejak itu Sudarsono bertualang sendiri. Ia ke Surabaya bertemu ibunya. Ada niat mencari ayahnya. Tapi rasa iba datangnya dari arah yang tak terduga. Ia disekolahkan seorang pendeta. Ketika pendeta itu pindah ke Bandung, si pendeta mengajak Pete ikut. Tapi Pete tak betah di Bandung, Pete pun kembali ke Surabaya.

Di Surabaya ia mencuri printer milik sekolahnya. Pete terpaksa dikeluarkan dari sekolah. Dia pun pergi ke Kota Gede, Yogyakarta, belajar kerajinan perak. Ia tak punya keluarga di sana dan tinggal di salah satu masjid. Pagi-pagi ia menyapu dan membersihkan halaman masjid. Hingga timbul simpati orang di sana yang kemudian menyekolahkannya. Sekolah Muhammadiyah itu pun tak diselesaikannya. Namun sebelum keluar, ia sempat mengikuti pelatihan jurnalistik tingkat sekolah menengah yang diadakan Balairung dari UGM. Pete jatuh cinta pada jurnalisme.

Petualangan Pete berawal pada pertengahan 2001, ketika dua wartawan tabloid mahasiswa Jumpa dari Universitas Pasundan Bandung naik kereta dari stasiun Kertosono, dekat Surabaya, menuju Jember. Mereka khawatir tersesat. Abraham Laban pun bertanya pada seorang pemuda yang duduk dua bangku di belakang mereka. Gelagatnya mirip mahasiswa, pikir Laban. Pemuda itu memperkenalkan diri sebagai Nathan, dengan nama panggilan Pete, “mahasiswa teknik UGM.”

Pete menjelaskan secara rinci rute perjalanan menuju kampus Universitas Negeri Jember. Giliran berikutnya, Pete yang bertanya tentang tujuan mereka. Mereka pun menjelaskan bahwa mereka akan ikut pertemuan pers mahasiswa se-Indonesia. Dari sana, banyak pertanyaan bermunculan.

Jawaban-jawaban ini dimanfaatkan Pete. Mula-mula ia datang sendiri ke acara yang diadakan penerbitan Tegalboto dari Jember itu. Walau datang hanya untuk melihat-lihat, tapi ia cukup cerdas untuk memahami atmosfer pergerakan pers mahasiswa.

Seorang anggota pers mahasiswa bisa singgah dan diterima dengan baik di perguruan tinggi lain. Semuanya berdasarkan semangat kekeluargaan dan tanpa birokrasi apapun. Kita tinggal datang, menyebut nama, nama lembaga, maksud kedatangan, lama tinggal, dan kita pun bisa diterima dengan baik. Hampir tak pernah lembaga yang disinggahi melakukan verifikasi.

Pete betul-betul melakukan aksi sejak Oktober 2001. Ia memulai perjalanannya dari Surabaya. Di sana ia mengunjungi beberapa lembaga pers yang ada di Universitas Airlangga dan Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel. Berikutnya ke Malang di Universitas Brawijaya, Universitas Merdeka, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri dan Universitas Islam Malang. Lalu di Jember. Setelah Jawa Timur, giliran Bali yang disasarnya. Di Denpasar ia mengunjungi Universitas Udayana. Di seluruh tempat di Jawa Timur dan Bali ia selalu mengaku mahasiswa UGM. Namun ketika ia bertualang di UGM, saat itulah dia mengaku-aku dari Ideas.

Macam-macam tingkah Pete. Di Bali misalnya, ia mengaku merupakan utusan Balairung untuk melakukan konsolidasi pers mahasiswa wilayah timur. Kedatangannya disambut baik. Namun hingga akhir kunjungannya, ia tak juga melakukan “konsolidasi” tersebut. Belum selesai urusan Bali, ia bilang ingin mengunjungi Media dari Universitas Mataram dan melanjutkan perjalanan hingga Makassar. Tapi niatnya dibatalkan lalu kembali ke Jember.

Di beberapa tempat ia mengambil buku-buku. Di Malang ia bilang ingin membeli telepon genggam milik seorang mahasiswa. Tapi tiba saatnya membayar, Pete tiba-tiba hilang dengan telepon itu. Belakangan ia menjual kemungkinan telepon tersebut di Jember. Di Yogyakarta ia melarikan satu sepeda ontel.

Dari tangan Pete, ketika digeledah di sekretariat Ideas Jember, disita beberapa barang di antaranya, pembungkus telepon genggam, dua buah tas kresek berisi baju, tas pakaian, buku hasil curian, beberapa perlengkapan toiletress.

Baru-baru ini, dua bulan sejak interogasi Ideas, Pete ditemukan sedang membantu istri seorang mantan gurunya, berjualan di warung kecil. Ia tinggal bersama Margono, guru geografi itu. “Aku digembleng di sini sekarang,”ujarnya. Pamannya tak mau menerimanya lagi. Pete mengatakan dia ingin jadi wartawan. Sayangnya, Oktober itu ia keburu berprasangka negatif. Ia minder dan terlibat penipuan.

“Aku akan berusaha jadi lebih baik. Yang jelas aku masih punya cita-cita yaitu bikin rumah untuk aku dan ibuku”, ujarnya dengan mata menerawang.*

kembali keatas

by:Ni Luh Dian Purwati