KETIKA C. Snouck Hurgronje menyelinap diam-diam ke Mekkah pada 1884-1885, seperti dilaporkan majalah Tempo, dua tahun sebelumnya seorang pemuda Jerman bernama Charley sudah menulis petualangannya waktu menyelinap ke tempat yang sama. Charley ingin menyaksikan ritual ibadah haji. Kalau Hurgronje —yang menyamar dengan nama Abdul Jaffar—terungkap penyamarannya setahun kemudian karena artikel di harian Prancis yang terbaca penguasa Mekkah, maka penyelinapan Charley alias Kara (dalam lafal Arab) atau lengkapnya Kara Ben Nemsi terbongkar karena musuh mengenalinya. Charley hanya sempat beberapa jam saja di Mekkah. Toh dia merasa berhak untuk disebut haji atau hadschi dalam ejaan Jerman abad ke-19. Ketika narasi Charley diselesaikan pada 1888, pada tahun yang sama, Hurgronje juga menerbitkan bukunya Mekka.

Petualangan di Mekkah, sebelumnya dimulai nun jauh di barat, di negeri Magribi, yaitu Tunisia dan Aljazair, melintasi shott alias rawa-rawa padang garam yang kalau salah injak bisa membawa kita jumpa nenek moyang; kemudian melintas Libia dan Sahara, ke Mesir untuk membebaskan anak gadis yang diculik dan disembunyikan di Harem; menyeberang Laut Merah tepat di lokasi tempat Nabi Musa menyeberang; berduel melawan si Bapak Pedang Abu Sayyaf (bukan teroris dari Filipina Selatan, tapi nama bajak laut Laut Merah yang harus setor upeti ke Sherif di Mekkah). Sherif yang dimaksud bukan sebagaimana dalam kisah koboi Texas, melainkan lafal Sharif versi Charley.

Selepas Mekkah, seusai membenahi nasib sekelompok suku Arab yang terusir di sekitar Mekkah, dia menyeberang Gurun Neschd ke timur, ke Maskat di Oman; di sana dia jumpa petualang Inggris Sir David Lindsay, anggota Traveller Club. Mereka berdua menuju utara, ke Irak naik kapal sewaan via Teluk Persia dan memasuki muara Sungai Tigris. Charley terjebak di antara kaum Syiah, para pengikut fanatik Hassan-Hussein, yang terkenal dengan pengangkutan mayat-mayat untuk dikuburkan di Karbala, Kafilah Maut. Udara busuk berbaur aroma mayat dalam kafilah itu menyebabkan Charley terkena sampar dan harus beristirahat di sekitar reruntuk Menara Babilon.

Petualangan masih berlanjut dengan bermacam-macam episode lagi, termasuk ke perbatasan Iran dan Irak, Suriah, Lebanon, perkelahian dengan tokoh bandit di kolong bawah tanah reruntuk kuil matahari Baalbeck, hingga perkelahian di atas Menara Gallata di Istambul, berdiskusi politik dengan seorang renegade di Bulgaria tentang kolonialisme, berkelahi berkapak melawan dua bandit kembar di jurang-jurang Balkan atau pun hutan-hutan yang belum pernah terambah petualang Eropa mana pun, di negeri para Skipetar, Macedonia, dan berakhir di Albania. Charley pulang ke negerinya melalui laut dari pelabuhan Antipari setelah terlebih dahulu melalui Jerusalem.

Segenap petualangan Charley dalam kurun waktu enam tahun (1882-1888) itu, dalam bentuk cerita bersambung, diterbitkan di media cetak dan dibukukan empat tahun kemudian sebanyak enam buku. Demikianlah saga panjang yang ditulis lebih dari 100 tahun yang lalu itu kemudian dijuluki sebagai Siklus Timur (Orient Zyklus) alias seri Kara Ben Nemsi—artinya: Kara Anak Jerman. Dan yang paling seru, Karl May—penulis petualangan narator Charley tadi—sama sekali tak pernah menginjak negeri-negeri eksotis yang diceritakannya. Semua tadi hanya khayalan, hanya fiksi, hanya imajinasi, yang dayanya benar-benar tak terbatasi. Pemenang Nobel sastra Herman Hesse mengatakan, “Dia adalah contoh paling brilian dari jenis fiksi asli yang sejati, yaitu fiksi sebagai ‘harapan yang jadi kenyataan, wish fulfillment.’”

Ada pemeo di Jerman berbunyi: “Saya tahu Goethe, tapi saya baca Karl May.”

KARL Friedrich May (1842-1912) kelahiran Ernsthall, Saksen, Jerman, selama 36 tahun menulis terus-menerus “suatu genre baru”—demikian dia menyebutnya—yaitu reiseerzählungen, cerita perjalanan, mungkin lebih tepat diterjemahkan sebagai cerita petualangan. Nyatanya May adalah pengarang yang bukunya paling banyak terjual di Jerman sepanjang masa. Bukunya diterbitkan 125 juta eksemplar dalam bahasa Jerman hingga hari ini, yang 100 juta diterbitkan satu penerbit saja. Diperkirakan 85 juta terjemahannya ada dalam pelbagai bahasa. Uniknya, kalau ditanya berapa buah buku May, tak pernah ada jawaban yang benar, karena karya aslinya (kecuali beberapa) dahulunya ditulis di majalah atau media lain secara bersambung. Penerbitnyalah yang merangkai dalam bentuk buku, dan sangat bergantung dengan selera editornya. Karena demikian banyak penerbit, banyak pula versi yang beredar.

Umumnya disebutkan, buku May sekitar 80 judul. Sedemikian populer buku-buku itu hingga diterjemahkan ke sekitar 35 bahasa dunia, baik dengan izin maupun tidak, termasuk Indonesia. Di Asia, ada terjemahan dalam Jepang, Vietnam, dan Thai. Anehnya, May justru tidak dikenal di negara-negara berbahasa Inggris.

Pertanyaannya: sebagai seorang Jerman yang tinggal di pedalaman, bagaimana mungkin dia bisa mengisahkan cerita-cerita ala 1001 malam yang berlokasi di negeri-negeri eksotis itu? Mulai dari Amerika Utara dan Selatan termasuk Meksiko; Afrika Utara dan Selatan; Timur Tengah dan Balkan; Asia Selatan, Tenggara, Timur; termasuk Kepulauan Samoa, bahkan Siberia; semua tadi diceritakannya dengan gamblang, lengkap geografisnya, botaninya, dan segala macam adat istiadatnya?

Alamat Traveller Club dalam salah satu episodenya, yakni di Near Street 47, London, bukanlah alamat fiktif. Ini berbeda dibandingkan alamat Sherlock Holmes di Bakerstreet 221B yang fiktif. Alamat dan klub ini benar-benar ada di London pada abad ke-19.

Jawabnya, tentu saja: imajinasi dan semata imajinasi. Tapi ketika tiba pada detail, tak pelak, ada sepasukan data yang harus dikerahkan, yang membantu May sehingga bisa menyampaikan dengan penuh akurasi.

Perpustakaannya lengkap. Pendeknya, data mutakhir yang tersedia di Eropa Barat waktu itu selalu dipunyainya. Di salah satu buku tentang petualangan di Kepulauan Sunda, yaitu episode Jembatan Macan yang berlokasi di Samudra Hindia, Teluk Sibolga, dan Padang, dia dengan jelas menyebutkan nama koran Bintang Timoer terbitan Surabaya. Padahal tulisan itu dibuat 1893.

Pertanyaan selanjutnya: bagaimana awal imajinasi itu kemudian demikian tertata dan terbentuk sehingga dia bisa mencipta? Jawabnya: buta!

Ya, May buta begitu dilahirkan, hingga empat tahun pertama kehidupannya, akibat kekurangan gizi sebagai buntut kemiskinan orangtuanya. Ayahnya seorang penenun miskin. Belakangan kehidupannya membaik ketika ibunya lulus kursus bidan. Dalam masa kebutaannya, May kecil dibombardemen dengan dongeng-dongeng peri oleh neneknya. Ketika sudah celik, ayahnya yang galak mengharapkannya sebagai satu-satunya anak lelaki menjadi tonggak keluarga. Saudaranya ada 14, tapi yang sempat dewasa hanya empat orang, semuanya perempuan. Karena itu, dia digeber ayahnya untuk membaca buku-buku pelajaran sebanyak-banyaknya, termasuk buku doa, matematika, sejarah alam, dan berbagai traktat yang semuanya tidak dimengertinya. Sedemikian galak sang ayah, agar May hapal angka-angka, dia diharuskan menyalin buku geografi 500 halaman!

May kecil mendapat kesempatan mencari uang sendiri dengan menjaga botol bowling di kantin kota kecilnya, usai sekolah. Di perpustakaan kantin dia mendapati buku-buku, berisi cerita-cerita fiksi tentang kapten penyamun, bajak laut atau darat, yang harta jarahannya dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin. May kecil kemudian berargumen: apa arti belajar geografi kalau tak diterapkan dengan suatu setting cerita—niscaya data geografi itu akan jadi sebuah kesia-siaan belaka. Apa arti belajar Al Kitab kalau tak dipraktikkan dalam suatu cerita yang bisa dicerna pembacanya dalam bentuk ajaran-ajaran moral yang praktis?

Karier pertama menulis ketika dia mencoba menulis tentang Indian untuk sebuah penerbit berkala. Tidak dimuat! Tak juga ada jawaban. May remaja ngamuk; dia mengirim surat mengata-katai editor kenapa tulisan yang dianggapnya bagus tidak dimuat. Di kemudian hari May mengatakan peristiwa itu merupakan titik awal suksesnya. Pasalnya, editor yang dikata-katai itu meladeni surat May dengan cara mengupas satu demi satu kelemahan tulisan May.

BENCANA pun datang! Ketika lulus sekolah guru, dia difitnah teman sekamarnya bahwa dia mencuri arloji, yang memang terbawa pulang waktu mudik Natal. Akibatnya, Karl May dipenjara tiga minggu.

Para pengamat menganalisis: kemiskinan yang parah, masa kecil dalam tekanan serta kenyataan dipecat dan seumur hidup tak diperkenankan jadi guru, karena pernah dipenjara, menyebabkan jiwanya memberontak. Dari jiwa yang mencari pelepasan beban dan pelarian diri dari kenyataan-kenyataan pahit tadi kemudian membentuk kepribadian yang lain. Tokoh-tokoh ganda dari dirinya pun muncul. Bermacam peran muncul, mulai dari dokter, notaris, petugas polisi, dan seterusnya, dan tokoh-tokoh dalam dirinya itu tidak bisa dikontrolnya dan dianggap melakukan berbagai tindakan pidana. Masyarakat abad ke-19 jelas tidak paham arti split personalitiy. Ujung-ujungnya dia sekadar dianggap sebagai pesakitan pidana. Itu sebabnya dia kemudian dihukum selama tiga tahun.

Selepas dari bui, penyakitnya masih kumat, kepribadian ganda masih juga menyertainya, dan dia terkenai lagi hukuman empat tahun. Seorang padri Katolik yang “merawatnya” memberinya buku tentang kepribadian ganda.

May sembuh. Di antara kenangan paling penting dalam penjara itu imajinasinya tertata dan dia membayangkan kehidupan padang pasir Arabia dan prairi Amerika. Buku-buku perpustakaan penjara, yang menurut pengamat juga lengkap di zamannya, habis dilahapnya. Masih dalam penjara, draf karya-karyanya dibawa si ayah untuk diteruskan ke penerbit. Sekeluar dari bui, penerbit tersebut langsung menerima May yang berusia 32 tahun sebagai editor muda di penerbitannya. Maka mulailah kariernya sebagai penulis dan berhenti 36 tahun kemudian. Hanya ajal yang menghalanginya berkarya.

Pertanyaan yang masih tersisa: semata pengalaman empirik itukah yang kemudian menjadikan May begitu memukau dalam menggambarkan kisahnya yang meramu dan mencampur-adukkan khayalan dan data nyata?

May memang juga membaca karya-karya orang Jerman lain yang ada hubungannya dengan cerita Wild West. Di antaranya adalah Charles Sealsfield (1793-1864), yang pernah berkunjung ke Amerika lima kali serta mendalami kehidupan para perintis; Friedrich Gerstäcker (1816-1872), terkenal dengan karyanya Bajak Sungai Mississippi (1842), yang juga pernah tinggal di Amerika; Friedrich Armand Strubberg (1806-1889), yang dianggap paling tahu tentang kehidupan Indian Amerika; dan Balduoin Möllhausen (1825-1905), yang dijuluki ‘Cooper van Jerman’ dan dianggap sebagai penulis favoritnya May.

Karl May bahkan juga menulis ulang novel Wild West karya Gabriel Ferry, penulis Prancis yang dia baca waktu remaja, yang malah dinilai pengamat malah lebih bagus dan menarik. Di atas segalanya, May juga dipengaruhi James Fenimore Cooper (1789-1851), novelis Amerika yang dikenal dengan seri Leatherstocking, selain The Last Mohican, karyanya yang paling terkenal. Nama Cooper bahkan muncul disebut dalam buku Winnetou III alias Winnetou Gugur.

Mengenai dunia Islam, Buku Tahunan Karl May 1931 menyebutkan bahwa May paling tidak memiliki Alquran dalam bahasa Jerman terjemahan dari Arab oleh Dr. L. Ullman, edisi ketujuh, terbitan 1877, selain Apa yang Qur’an Ajarkan Mengenai Yesus oleh Th. P. Hughes, terbitan 1909, serta Qur’an, atau Hukum untuk Muslim oleh Mohammed bin Abdall, edisi 2, tahun terbit 1775.

Pengetahuan tentang botani didapatnya dari buku-buku abad ke-16 dari Petrus Andrias Matthiolus atau Joachim Camerius. Sangat menarik ketika dia menceritakan racun upas, yang tidak hanya nongol di buku tentang petualangannya di Kalimantan Timur dengan suku Dayak, tapi upas ini—lengkap dengan bahasa Latin—juga muncul dalam petualangannya di Meksiko. Hanya untuk menyebut kutu busuk yang banyak mengganggu di Mesir atau dunia timur saja, dia mampu membeda-bedakan bermacam kutu itu yang jelas juga memakai referensi buku ilmu hayat.

Karya kotemporer juga dijadikan dasar penulisannya. Buku Mekka tulisan Snouck Hurgronje tadi, akhirnya malah banyak diberi catatan dan coretan ketika May menulis buku petualangan lanjutan di dunia Arab, Mendekati Akhirat (1899). Sebelumnya, ketika menulis Menjelajah Gurun (terbit dalam bentuk buku 1892), yaitu buku pertama Siklus Timur, May mendasarkan imajinasinya pada laporan seorang arkeolog Inggris Sir Austin Henry Layard, “Niniveh dan Reruntuhannya, Berikut Laporan Menuju Kaum Kristen Kaldea di Kurdistan dan Kaum Jezidi Atau Penyembah Setan” (1850). May juga memiliki Perjalanan ke Medina dan Mekkah karangan Burton (1861).

PENGALAMAN pribadi sudah tentu banyak masuk ke buku-bukunya: Charley datang ke Amerika dan berprofesi menjadi guru. Dalam kenyataan, May memang bercita-cita menjadi guru dan pernah menjadi guru. Charley sangat fasih dalam menceritakan berbagai macam tembakau. Dalam kehidupan nyata, May pernah bekerja membuat cerutu sewaktu dalam penjara. Bahkan May sendiri meninggal karena terlalu banyak menghisap asap rokok!

Dalam menceritakan duka citanya atas kematian sahabatnya, seorang Indian Amerika yang bernama Winnetou, May memakai referensi kedukaannya sewaktu ibunya meninggal. Masa lalunya yang pilu, termasuk nasibnya sebagai mantan narapidana, juga banyak masuk dalam baris-baris dalam bukunya. Karya-karya awal May juga menceritakan kehidupan, kemiskinan, dan pengalaman di kampung halamannya.

Tokoh fiksi dan tokoh nyata dicampurnya. Pada 1875, May memunculkan untuk pertama kalinya tokoh Indian Siooux yang bernama Inn-nu-woh (artinya orang yang berkulit gelap). Karena waktu itu berita-berita koran mengungkap kejelekan suku Apache yang dipersalahkan sebagai biang keributan, maka May mengubah identitas tokohnya jadi orang Indian pencinta damai bernama Winnetou, dan ini mengingatkan tokoh Apache pencinta damai bernama Cochise (1815-1874). Narator Charley—yang dalam seri Amerika kini bernama Old Shatterhand (artinya tangan yang menghancurkan)—bahkan berani menyebutkan Winnetou sebagai Indian yang “berbudaya tinggi,” membaca kumpulan puisi Song of Hiawatha karangan Longfellow. May juga berani memasukkan nama Benito Juarez dalam seri Winnetou, sementara Juarez adalah nama presiden Meksiko keturunan Indian yang benar-benar ada dalam sejarah. Senapan sakti Charley disebut-sebut bikinan Tuan Henry. Sedangkan D. Tyler Henry, penemu senapan Henry, orangnya benar-benar ada, dan juga membuat senapan repertir yang bisa menembak beberapa kali tanpa mengisi peluru, yang jadi senjata andalan pasukan Utara ketika perang saudara (1861-1865), yang hak patennya kemudian dibeli Pabrik Winchester.

Tak penting benar untuk menghubungkan apakah Henry-nya Karl May adalah orang yang sama dengan penemu senapan Winchester tadi. Yang jelas, May dengan cerdik menghindari pertanyaan macam itu. Di akhir cerita serial Winnetou (Wasiat Winnetou atau Winnetou IV) juga disebutkan bahwa presiden Amerika Serikat dan salah seorang pengusaha terkenal Amerika—semua namanya benar—menyetujui pembuatan patung Indian dalam skala raksasa di pelabuhan NewYork untuk memperingati punahnya ras merah.

Dalam buku ini pula nama Sascha Schneider, pelukis yang melukis ulang sampul bukunya, dimasukkan pula, sehingga kesan kuat ditimbulkan: petualangan narator Charley benar-benar pernah terjadi! Barangkali teknik penceritaan seperti itu merupakan hal yang lazim dilakukan penulis abad ke-20. Tapi jika itu dilakukan orang pada abad sebelumnya, dengan sedemikian detailnya, tentu perlu diberi catatan tersendiri.

Mengingat latar belakang ceritanya di berbagai pelosok dunia, jelas May tak bisa menciptakan bahasa fiktif. May memasukkan bermacam-macam bahasa sesuai tokoh-tokoh yang muncul. Tercatat tak kurang dari 100 buku bahasa yang dipunyai May dalam perpustakaannya. Itulah sebabnya kita bisa menemui berbagai macam dialek Indian dalam seri Amerika, selain tentunya bahasa Arab, Turki, terkadang Persia dalam seri Timur. Karena penjelajahannya juga ke Indonesia, Charley juga “fasih” bahasa Melayu. Kita tak perlu berteka-teki dari mana May mendapat ilmu bahasa-bahasa itu. Buku-buku perpustakaannyalah yang melayaninya. Pertanyaannya tentu: pada masa itu, dari mana buku tersebut berasal? Tak tanggung-tanggung, agar bibliotek May terjamin up to date, seperti misalnya dalam Dan Damai di Bumi! (1901/1904) dia bisa saja menyitir ayat Injil dalam bahasa Melayu, karena dia punya buku kutipan ayat-ayat itu dalam beberapa bahasa dunia. Dalam buku itu pula dia menyitir surat Al Fatihah secara lengkap.

BAGAIMANA pun, referensi bisa juga kadaluwarsa. Tulisan May tak luput dari kekeliruan. Kejadian dalam seri Amerika, yang mestinya berlaku di sekitar tahun 1800, diceritakan dengan setting 1860-1870. Meskipun dia dengan tepat bisa menggambarkan kehidupan Indian pada umumnya, kesalahan pun tak terelakkan. “Terlalu banyak warna cat peperangan,” demikian seorang pengamat mengatakan. Llano Estacado, suatu dataran tandus dan kering di Amerika Serikat bagian barat daya yang dibayangkan May sebagai padang pasir ala Sahara, ternyata tidak seganas itu. Menara Babilon di Birs Nimrud, ternyata belakangan (1911) merupakan reruntuk piramid Borsippa.

Tentu ini bukan kesalahannya, tapi kesalahan arkeolog yang dipakainya sebagai referensi. Penduduk pedalaman Aceh, yang disebutkan beragama Khong Hu Cu, meskipun mungkin saja terjadi, tentunya janggal di mata pembaca Indonesia. Kata “giaur” yang menurut May berarti “kafir” atau tidak beriman, dan banyak berhamburan dalam seri Timur, ternyata tidak jelas asal usulnya. Mungkin itu dialek Arab daerah tertentu yang sudah punah, mungkin pengaruh Turki yang juga sudah tidak dipakai lagi, atau bahkan mungkin saja karangan May sendiri.

Dalam menampilkan Winnetou yang merupakan lambang orang Indian yang tertindas misalnya, meski dia dengan indahnya mengungkapkan simbolismenya dengan mematikan tokoh itu di usia muda guna melambangkan punahnya ras merah, May tak pelak dianggap terjebak dalam romantisme ala noble savage, orang liar yang mulia, yang pernah disebut-sebut Rousseau, walau sebenarnya May sendiri mempertanyakan dalam buku itu: apa jadinya ras merah ini kalau saja sekiranya mereka tidak punah?

Di antara kesalahan May yang paling besar adalah referensi tentang agama Islam yang tercampur-aduk dengan kebiasaan dan adat istiadat pemeluk Islam. Ketika May hidup, kolonialisme sedang jaya-jayanya. Karya-karya tentang dunia Timur alias orientalisme tentang Islam sedang digalakkan para peneliti, yang bertujuan mendukung politik kolonialisme. Tak pelak May yang juga membaca dan memakainya sebagai referensi, akibatnya terlihat aneh dan terkadang lucu, bagi yang mengerti, bahkan dalam kasus tertentu bisa disimpulkan bahwa May menghina Islam atau umat Islam.

Perlu disampaikan bahwa karena adanya berbagai macam versi Karl May, bahkan yang berbahasa Jerman lebih dari 20 versi, sementara para editor setelah May meninggal pun berlomba-lomba menambah-nambahi menjadi berlebihan, maka versi aslinya jadi melenceng. Mungkin maksud para editor tadi untuk memberikan kesan betapa “fasih”nya Karl May mengenai dunia Islam. Nyatanya justru memperparah kekeliruan. Versi yang “aspal” tadi lebih ngawur dan seolah memperjelek potret May tentang dunia Timur.

May jelas tidak bermaksud menghina atau merendahkan Islam. Terbukti dalam biografinya, ketika ada sekelompok orang mempertanyakan dan memprotes kenapa May sebagai pengikut Lutheran mempromosikan Katolik—hanya karena ada kutipan “Ave Maria” dalam Winnetou Gugur—May dengan tegas membalas: kenapa orang tidak memprotes bahwa dia mempromosikan Islam di hampir sepertiga buku-bukunya?

Karena niatnya memang untuk menulis dengan seotentik mungkin—terlepas sumber yang dipakai keliru—dia pun dengan tak segan-segan mengeritik orang Kristen atau Jerman/Prusia yang tingkah lakunya atau pandangan politiknya melenceng. Hal ini juga tak lupa diedit para penerbit sepeninggal May, sehingga bangsa Jerman pun bisa berubah menjadi bangsa lain non-Jerman.

Ketika Nazi berkuasa—sosok Adolf Hitler juga dikenal sebagai penggemar berat May—naskah May juga dibengkak-bengkokkan khususnya untuk kegiatan propaganda anti-Semit/Yahudi. Saat itu Hitler mem-briefing para jenderal dengan buku-buku May tentang semangat kecintaan terhadap tanah air. Karenanya tuduhan bahwa May merupakan awal gerakan proto-Nazi pun tak terelakkan. Hal itu muncul dan bermula dari penokohan narator perjalanan (yang sebetulnya tidak harus Jerman, demikian pembelaan May, dan sebenarnya hanya sekadar untuk memberi warna domestik bagi pembacanya) selalu unggul/omnipotent dalam setiap usahanya, asalkan sudah bisa menguasai kesulitan dan halangan yang ada. Yang jelas, kesalahan tentunya harus ditimpakan pada segi psikologi May sendiri yang memunculkan tokoh omnipotent itu.

Sedemikian berat naskah yang dibengkokkan para Naziwan itu, bahkan hingga tahun 2000, ketika sedang diadakan persidangan di Jerman tentang perselisihan hak ciptanya, nama Nazi masih disebut-sebut untuk memperjelas bahwa naskah yang hak ciptanya dipersengketakan itu adalah buku versi Nazi.

DALAM usia 57, saat tenar-tenarnya lelaki kelahiran 12 Februari 1842 ini, mengunjungi negeri-negeri yang dulu hanya ada dalam imajinasinya belaka. Ketika hendak ke negeri Apache, yaitu tanah kelahiran Winnetou, sahabat Old Shatterhand, pihak tertentu melarangnya karena dianggap tidak aman. Akhirnya dia membelokkan tujuan: ke Timur! Ke Kairo, Palestina, Srilangka, dan … Indonesia (saat itu 1899: Hindia Belanda).

May tiba di Indonesia dari Penang (dan Srilanka). Setelah transit sehari semalam di Banda Aceh, dia tiba di Padang, pada 10-24 November 1899. Pulang dari negeri timur inilah dia kemudian menulis buku monumental, karena inilah buku satu-satunya yang ditulis berdasarkan kunjungan sebenarnya. Dengan demikian formula jadi berubah, bukan lagi: imajinasi plus pengalaman pribadi plus referensi, melainkan ditambahi kunjungan sebenarnya. Dari 80-an karya May, inilah satu-satunya buku yang ditulis berdasarkan kunjungan sebenarnya.

Buku yang diberi judul Dan Damai di Bumi! itu akan diterbitkan ulang tahun ini oleh penerbit Gramedia, Jakarta.

Pertanyaan pentingnya: apa artinya penerbitan masa kini terhadap buku yang sudah terbit seabad lampau itu? Jawabnya tak sebatas pada pengertian harafiah buku. Buku hanyalah representasi dari adanya komunitas—yang mungkin fanatis—terhadap karya Karl May, laiknya fanatikus Filer bagi penggemar film seri televisi The X-Files, atau Trekker bagi fanatikus seri televisi Star Trek.

Pada dekade 1990-an, terbitan-terbitan baru bermunculan, khususnya di bekas negara-negara tirai besi dan negara persemakmuran Rusia. Runtuhnya tembok Berlin dan akibat yang menyertainya memberi arti sendiri bagi Karl May. Tersiar kabar, 30 ribu eksemplar buku May habis dalam satu hari di Bulgaria, lokasi Hadschi (Haji) Kara Ben Nemsi Effendy bertualang di negeri Balkan. Ketika sedang dibombardemen pasukan North Atlantic Treaty Organization (NATO), seorang wartawan senior Serbia mengatakan dalam sebuah wawancara televisi, “Kalau ingin tahu kebandelan orang Balkan, silakan baca Karl May.”

Dengan adanya teknologi komputer dan internet, pengaruhnya tak juga surut, bahkan meningkat. Dengan search engine Alta Vista, kita akan dapati berbagai macam situs Karl May dalam berbagai bahasa, termasuk Indonesia. Sudah tentu dalam situs-situs resmi, selain Jerman, pihak pengelola juga menyiapkan terjemahan-terjemahan resmi dalam Inggris. Situs http://karl-may-gesellschaft.de atau http://karl-may-stifftung.de merupakan “tempat suci” yang harus dikunjungi para pencinta Karl May dari seluruh pelosok dunia. Karl-May-Gesellschaft (KMG), suatu paguyuban pembaca Karl May di Jerman dengan ribuan anggota aktifnya (harus membayar iuran) merupakan salah satu paguyuban sastra paling besar di Jerman. Banyak tulisan ilmiah di sana, yang ditulis para ahli, dan tidak semuanya dalam sastra.

Bukan situsnya saja yang bertebaran di alam maya, bukunya pun—baik yang baru maupun yang bekas—bisa dibeli baik di situs resmi seperti Amazon.com maupun situs lelang seperti e-bay. Harganya berkisar dari US$ 1-2 hingga US$ 450 per buku. Buku Winnetou bekas, dalam Inggris dan hard cover, dijual seharga US$ 250, terkadang lebih!

Merchandise Karl May juga tidak kalah dibandingkan produk-produk Amerika lainnya. Martell pembuat Barbie sudah sejak lama membuat boneka dengan tokoh-tokoh Karl May. Video, DVD film-filmnya (sekitar 15 buah lebih), CD atau kaset lagu-lagu sound track-nya juga dengan gampang didapat via internet. Termasuk juga secondary literature, yaitu buku-buku yang ditulis berdasarkan tokoh-tokoh May. Pendek kata dunia Karl May hanya bisa dikalahkan oleh Baker Street Irregular, yaitu kelompok masyarakat pencinta Sherlock Holmes, yang bertebaran di seluruh dunia.

BAGAIMANA nasib Karl May di Kepulauan Sunda (demikian Karl May menyebut Indonesia dalam bukunya)? Sama saja hebatnya. Imajinasi May menyerbu para sinyo Indische sejak bukunya diterbitkan dalam bahasa Belanda. Waktu itu sedemikian populernya May di Belanda dan Belgia, sehingga ada 55 penerbitan yang menerbitkan dalam berbagai bentuk dan versi, baik yang memakai jalan cerita asli maupun bikinan sendiri, seizin maupun tanpa seizin pengarangnya. Dalam tulisan di Buku Tahunan Karl May 1923, disebutkan sejak 15 tahun sebelumnya, yaitu 1908 —Karl May masih hidup— para sinyo dan nonik Batavia tergila-gila pada petualangannya. Tidak aneh kalau kemudian Bung Hatta dalam Memoir-nya juga menulis pada 1919, ketika dia masuk Meer Uitgebreid Lager Onderwijs di Batavia, buku Karl May ramai dibaca orang. Yang lebih mengejutkan, Indonesianist macam John D. Legge dan Rudolf Mrazek bahkan menulis, para perintis kemerdekaan Indonesia mendapatkan inspirasi tentang arti kemerdekaan antara lain dari buku May, yaitu adanya orang Indian yang tertindas di negerinya sendiri.

Hingga 1939 buku May masih jaya. Ketika tentara Jepang masuk, ikut musnahlah sejarah Karl May dalam Belanda di Hindia. Terlebih lagi ketika zaman mengungsi pada clash kedua, banyak harta para priyayi yang ikut musnah sewaktu ditinggal mengungsi. Syukurlah, menyusul adanya pengakuan kedaulatan pada akhir 1949, sebuah perusahaan Belanda NV Noordhoff-Kolff menerbitkan Karl May dalam bahasa Indonesia pada 1950. Inilah awal babak baru penerbitan Karl May di Indonesia. Waktu itu buku yang diterbitkan hanyalah empat judul. Namun kemasan hard cover dengan kertas yang bagus, dengan tampilan megah, menjadikan buku-buku itu sangat populer di kalangan remaja. Sebuah paguyuban di Jakarta baru-baru ini sempat melestarikan buku-buku ini dengan teknologi yang ada, sehingga buku hard cover, dengan sampul berwarnanya itu bisa diawetkan dan mirip dengan aslinya untuk 50 tahun mendatang.

Banyak nama beken di negara ini yang tercatat membaca buku terbitan periode ini, mulai dari Emil Salim, Goenawan dan Kartono Mohamad, Taufiq Ismail, Marsillam Simanjuntak, dan lainnya, termasuk Yudhistira Ardi Nugraha Massardi jika membaca novelnya Mencoba Tidak Menyerah, yang semula memenangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta dengan judul awal Aku Bukan Komunis. Kebanyakan mereka membaca buku-buku tersebut yang banyak bertebaran di perpustakaan umum pada zamannya.

Ketika proyek penerjemahan dikerjakan pada dasawarsa itu, kebijakan politik menyebabkan penerbit asing pun harus pula dinasionalisasikan. Nasib Karl May pun ikut terimbas. Meski sempat diterjemahkan dan disunting, buku terbitan 1960-an, sejak dinasionalisasikan, tampilannya tak lagi sekeren zaman sebelumnya. Nama penerbitnya menjadi Noor Komal, kemudian Gita Karya. Meskipun sudah ganti badan usaha, direkturnya orang yang sama, yaitu Mas Soendoro, suatu nama yang perlu dikenal pembaca Indonesia, karena berkat jasanyalah buku 1950-an itu diterbitkan dan proyek pengindonesiaannya tetap berjalan.

Pada 1964 Mas Soendoro meninggal dan proyek diteruskan penggantinya, Ardjo. Sedemikian rupa penerbit yang akhirnya bernama Pradnya Paramita —kini badan usaha milik negara— dengan tertatih hingga 1970-an sempat menerbitkan 22 judul. Ketika seorang karyawan baru membongkar-bongkar file dan menemukan tiga naskah terselip, mereka sempat menerbitkan pada awal 1980-an meski dengan dana dan tampilan seadanya, melengkapi jumlah terjemahan itu menjadi 25 judul pada 1985, tepat 35 tahun sejak buku pertamanya muncul. Sungguh suatu sejarah penerbitan yang panjang, sepanjang karier penulisan Karl May sendiri.

Ketika masa jayanya, me too business alias “saya juga ikut,” menyertai sejarah penerbitannya. Pada 1960-an tercatat tiga penerbit lain selain Noor Komala yang juga ikut menerbitkan, yaitu Penerbit Dua Tiga di Semarang, sebuah penerbit di Bandung, dan sebuah versi Sunda juga dari Bandung. Penerbitan versi Sunda inilah yang mewakili Indonesia untuk hadir dalam Simposium Karl May International, di Lucerne, Swiss, 2001. Pada 1960-an itu juga ada cerita bersambung tentang petualangan di Kurdistan, yang sayang tidak tercatat nama hariannya. Dua macam model serial komik juga pernah diterbitkan. Semua buatan luar. Meski judul dan pengarang sama, tapi isi ceritanya bisa melenceng berbeda.

DALAM nasionalisasi, Pradnya Paramita merupakan gabungan empat perusahaan, yang kemudian menjadi suatu badan usaha yang berada di bawah Departemen Penerangan. Semula berkantor di Jalan Kebon Sirih, kemudian Jalan Madiun, dan sempat di Pasar Majestik, dan sekarang terdampar di sudut kawasan Matraman, demikian juga toko bukunya. Tiga alamat yang pertama disebutkan adalah kantor-kantor dari perusahaan-perusahaan sebelum mereka digabung. Dari lokasi kantor dan toko bukunya saja, tentu agak aneh bagi suatu usaha penerbitan. Tersirat, ada apa-apa yang “salah” dengan perusahaan itu. Jika kemudian mereka bekerja sesuai dengan anggaran tahunan yang ditentukan pemerintah, tak heran status buku May pun terimbas pula. Ini sangat jelas terlihat dari mutu cetakan serta tampilan luarnya. Sangat murah dan … murahan! Konyolnya, tampilan luar ini pun berimbas pada isi cerita, karena banyak alinea-alinea yang tidak ikut tercetak pada cetakan berikutnya, dengan alasan untuk menghemat biaya cetak.

Dengan unjuk kerja seperti itu, penjualan 1998 mencapai sekitar 4.200 buku (biasanya satu judul cerita terdiri tiga jilid buku), tahun 1999 dan 2000 beranjak ke angka 4.300 dan 2.500, meski dengan harga yang teramat murah, mulai dari Rp 2.000 hingga Rp 8.000 per buku, bergantung cetakan lama atau baru. Tapi itu semua dijual tanpa melalui toko buku, melainkan sekadar penjualan melalui pameran tahunan. Alasannya, ternyata toko buku menolak menjualnya karena penampilan buku Karl May bikinan Pradnya Paramita tidak menarik hati! Sebagian terlihat bagaikan buku-buku bekas, yang tentunya akan ditolak oleh toko buku utama yang mana pun. Alasan lain, ilustrasi bukunya tidak konsisten, berganti-ganti gambar dan ini dianggap membingungkan, karena tidak dalam satu nada. Akibatnya, Karl May mati perlahan di Indonesia. Dibunuh penerbitnya!

Selain situs dan mailing list Indonesia Karl May yang sudah terbentuk tahun 2000, paling tidak ada dua toko buku independen on-line yang tercatat menjual karya May bahasa Indonesia. Link cerita karangan May kini juga sudah masuk dalam sebuah situs portal ternama di Indonesia dan hasilnya cukup mengejutkan mengingat ada saja orang yang jadi anggota baru mailing list yang ada.*

by:Pandu Ganesha