Napak Tilas V.S. Naipaul

Sigit Susanto

Mon, 4 February 2002

HADIAH Nobel bidang sastra 2001 jatuh ke tangan Vidiadhar Surajprasad Naipaul, pengarang kelahiran 1932 dari Trinidad, sebuah koloni Inggris yang terletak di sebelah timur laut Venezuela.

Beyond Belief

Islamic Excursions among the Converted Peoples


Oleh V.S. Naipaul (Juni 1998) 368 halaman

Random $27,50

HADIAH Nobel bidang sastra 2001 jatuh ke tangan Vidiadhar Surajprasad Naipaul, pengarang kelahiran 1932 dari Trinidad, sebuah koloni Inggris yang terletak di sebelah timur laut Venezuela. Naipaul anak imigran miskin beragama Hindu dari kasta brahmana yang berasal dari India sebelah utara. Pada 1950, ketika berusia 18 tahun, Naipaul mendapat beasiswa ke Inggris dan belajar empat tahun di Universitas Oxford. Lulus dari Oxford, dia bekerja di radio BBC seksi Voice of Caribbien.

Sejak itu, Naipaul hendak menjadikan “menulis” sebagai jalan hidupnya. Pada awal 1960-an Naipaul berkelana ke daerah bekas jajahan Barat, di Amerika Selatan dan Karibia, untuk menulis sebuah buku. Dia terkadang menggunakan pesawat kecil, menerabas daerah pedalaman yang masih asing. Namun isi buku itu hanya terbatas pada panorama alam dan autobiografi. Belakangan timbul kesadaran, sebagai seorang penulis, dalam bepergian yang ditulis ya semestinya orang-orang yang dia temui. Penulis kerjanya hanya mendengar dengan seksama, dengan hati yang jernih mencatat apa yang dikatakan orang, dan menanyakan beberapa hal pokok.

Ini yang jadi dasar buku-buku selanjutnya, termasuk Beyond Belief, yang ditulis Naipaul berdasarkan perjalanannya pada 1995 ke empat negara Islam non-Arab—Indonesia, Iran, Pakistan, dan Malaysia. Buku tersebut, yang terbit pada 1998, menurut Naipaul, lanjutan dari buku sebelumnya yang berjudul Among the Believers terbitan 1979—juga dari perjalanan ke empat negara itu.

Beyond Belief mendapat tanggapan semarak dari banyak orang. Salah satunya dari Edward Said, profesor asal Palestina, yang kini mengajar di Universitas Columbia, Amerika Serikat, dan terkenal dengan beberapa bukunya, antara lain, Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World. Edward Said mengritik buku Naipaul dengan mengatakan, “Naipaul bukan seorang orientalis apalagi seorang pencari fakta yang handal. Dia adalah seseorang dari Dunia Ketiga, yang mengemas dan mengirim kembali dari Dunia Ketiga untuk dikonsumsikan pada pembaca liberal Barat, yang tak pernah mendengar mitologi Dunia Ketiga tentang gerakan kemerdekaan, revolusi, dan keburukan kolonialisme, yang mana dalam pendapat Naipaul tak diterangkan sama sekali tentang penderitaan negara-negara Asia dan Afrika, yang jatuh dalam kemiskinan, pendidikan yang buruk.”

Subjudul Beyond Belief adalah Islamic Excursions among the Converted Peoples. Atau kalau diterjemahkan, “Perjalanan Islami orang-orang yang pindah agama.” Naipaul menganggap Muslim di Indonesia, Pakistan, Iran, maupun Malaysia, tempat Islam jadi agama mayoritas dan sudah beberapa generasi dianut penduduk empat negara ini, sebagai “converted peoples” atau “orang yang pindah agama.” Mereka bukan orang Arab sehingga Islamnya ya Islam pindahan.

Pada pengantarnya Naipaul mengatakan, "Ini adalah buku tentang orang-orang. Bukan sebuah buku yang berisi opini. Ini adalah sebuah buku cerita.” Buku cerita yang dikumpulkan selama lima bulan pada 1995 ketika dia mengunjungi Pakistan, Indonesia, Malaysia, dan Iran. Naipaul mengatakan setelah kunjungan 1995, dia merasa makin jelas dan melihat perubahan yang mencolok akan kesadaran umat Islam di empat negara itu.

DI INDONESIA, Naipaul bertemu banyak orang, termasuk beberapa nama yang cukup terkenal, antara lain Abdurrahman Wahid, Adi Sasono, Dewi Fortuna Anwar, Imaduddin, serta sastrawan Goenawan Mohamad, Umar Kayam, dan Linus Suryadi A.G. Naipaul juga bertemu Mariman Darto, seorang peneliti dari Centre for Information and Development Studies (CIDES)—sebuah think tank milik Ikatan Cendekiawan Muslim di Indonesia (ICMI)—juga seorang pengusaha yang diperkenalkan Naipaul hanya dengan nama Budi.

Beyond Belief diawali dengan cerita Imaduddin, cendekiawan Muslim asal Sumatra Utara, yang bekerja sebagai dosen di Institut Teknologi Bandung. Naipaul bertemu dengan Imaduddin pada kunjungan pertama pada 1979. Pengalaman dramatis Imaduddin terjadi pada 23 Mei 1978, menjelang tengah malam seseorang menelepon rumah Imaduddin. Ketika Imaduddin ke luar rumah, sudah menunggu tiga intel, salah seorang membawa pistol. Mereka mengatakan datang dari Jakarta dan bermaksud membawa Imaduddin ke sana. Saat itu suasana politik Indonesia mencekam. Imaduddin beranggapan para intel itu bekerja di bawah kontrol seorang jenderal Katolik, mungkin yang dimaksud adalah Jenderal Benny Moerdani. Akhirnya Imaduddin dimasukkan ke penjara bersama para tahanan politik tingkat atas. Salah satunya dokter Soebandrio, bekas menteri luar negeri era Presiden Soekarno, yang mendekam di penjara sejak 1965 dan divonis hukuman mati oleh pemerintahan Jenderal Soeharto. Pada saat pelaksanaan hukuman mati, datang uluran tangan dari Ratu Elizabeth, yang minta agar hukuman mati dibatalkan.

Penjara membuat Imaduddin dan Soebandrio berkawan akrab. Mereka sering salat bersama di masjid mungil dalam penjara. Imaduddin belajar budaya Jawa, sebaliknya Soebandrio belajar membaca Alquran. Tak terelakkan keduanya sering bicara tentang politik. Imaduddin jadi guru mengajinya Soebandrio. Soebandrio jadi guru politiknya Imaduddin. “Dalam politik jangan mengharapkan adanya kejujuran dan moralitas yang benar. Kesopanan dan kebaikan tidaklah penting. Dalam politik, kemenangan adalah hasil akhir. Sehingga kalau Anda meletakkan gagasan-gagasan Anda dalam benak musuh, dan musuh itu mempraktikkannya, itu namanya kemenangan,” kata Soebandrio.

Setelah keluar dari tahanan, dengan bekal kuliah tambahan tentang budaya Jawa

dan politik dari Soebandrio, Imaduddin bergerak mendekati tembok kekuasaan di Jakarta. Imaduddin suka pada masalah pengembangan sumber daya manusia dan menerapkan pada Yayasan Pembina Sari Insan.

Pada Januari 1989 dia mengumpulkan kawan-kawannya untuk mendirikan sebuah organisasi cendekiawan Islam yang secara resmi berdiri di sebuah hotel kecil di Yogyakarta. Namun rencana itu tak berjalan mulus. Empat polisi datang dan membubarkan pertemuan. Nama Imaduddin masih dalam daftar hitam, sebagai bekas tahanan.

Lalu Imaduddin pun mengamati B.J. Habibie, seorang insinyur dan menteri kesayangan Soeharto, yang berambisi mengembangkan industri pesawat terbang di Indonesia. Imaduddin berhasil bertemu Habibie pada 23 Agustus 1990 di mana Imaduddin minta dukungan Habibie untuk mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Imaduddin minta Habibie yang jadi pemimpinnya. Alasan Imaduddin, Habibie dekat dengan pucuk kekuasaan. Habibie minta Imaduddin membuat pernyataan dukungan lebih dulu. Bagi Imaduddin tak terlalu sulit karena dia didukung oleh minimal 20 cendekiawan Islam bertitel PhD dari seluruh Indonesia, yang lalu berkembang jadi 49 orang. Pada 2 September 1990 proposal beserta tanda tangan 49 orang itu dibawa oleh Habibie ke Presiden Soeharto, yang langsung disetujui. Soeharto berucap, "Ini pertama kalinya para cendekiawan Muslim bersatu dan saya tunjuk Anda sebagai ketuanya untuk membangun negeri ini.”

Awal Desember 1990, ICMI diresmikan oleh Soeharto sendiri. Soeharto juga minta Habibie untuk memiliki sebuah suratkabar. Giliran berikutnya, Habibie kembali minta Imaduddin memilihkan nama yang cocok. Imaduddin menyodorkan tiga nama: Res Publica, Republik, dan Republika. Soeharto memilih Republika. Sejak peristiwa itu Imaduddin lebih bebas bicara di tempat-tempat umum. Bahkan mulai 1991, Imaduddin jadi orang sibuk yang ditugasi Habibie untuk memberi "pendidikan Islam" bagi para mahasiswa kiriman Habibie ke luar negeri: Eropa, Amerika, dan Australia.

ADI Sasono adalah orang yang mempertemukan Naipaul dengan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada 1979. Hubungan Gus Dur dan Adi Sasono cukup baik, walau belakangan setelah berdirinya ICMI, mereka berseberangan. Gus Dur tak bersimpati dengan pandangan politik dan agama Habibie.

Bertemulah Naipaul dan Gus Dur di sebuah pesantren milik Gus Dur dekat Yogyakarta. Gus Dur meyakinkan Naipaul, bahwa pesantren masa depan gerakan Islam modern di Indonesia. Gus Dur menerangkan padanya, pesantren itu diurus oleh seorang guru yang mengajar agama Islam dan bahasa Arab. Guru itu disediakan rumah kecil dan diberi makan oleh rakyat desa.

Tesis Gus Dur itu diperkuat dengan kunjungan seorang tokoh pendidikan kelahiran Wina, Ivan Illich, yang terkenal karena buku Deschooling Society. Illich menyatakan pesantren adalah sarana pendidikan desa yang efektif, dan bisa jadi percontohan di kawasan Asia. Tapi Naipaul agak kecewa melihat para santri hanya “duduk-duduk santai dan membawa buku-buku agama di tengah kegelapan malam.” Naipaul mengira para santri itu akan diajari membuat kerajinan tangan. Naipaul pun menghubungkan sosok guru itu dengan pendeta Budha yang mendapat bantuan dari rakyat setempat.

Gus Dur sendiri kecewa dengan Among the Believers. Dalam buku karangannya Tuhan Tidak Perlu Dibela, Gus Dur menyatakan kesannya terhadap Naipaul dengan menulis, “Sayangnya kunjungan Naipaul ke dunia pesantren tidak membuatnya memahami keadaan secara lebih baik, ironisnya kunjungan yang dilakukannya itu justru ke pesantren Tebuireng di Jombang dan Pabelan di Muntilan, tempat bermulanya upaya tersebut.”

Dari pertemuan lain dengan Gus Dur di kantor Nahdlatul Ulama di Jakarta, Naipaul menceritakan pandangan Gus Dur dan para ulama Nahdlatul Ulama, bahwa Islam hanya berfungsi sebagai "kekuatan moral dan etika.” Naipaul bercerita alasan itulah yang mendorong Gus Dur pada 1991 mendirikan Forum Demokrasi, sebuah organisasi kumpul-kumpul dan diskusi kalangan cendekiawan Jakarta, yang intinya menolak Islam-politik yang digalang Soeharto, Habibie, dan Adi Sasono.

Pada sisi lain, Adi Sasono bercerita pada Naipaul, ide pesantren Gus Dur itu memang baik, tapi ketinggalan zaman. Pada zaman penjajahan Belanda, pesantren masih dihormati orang-orang desa, dan pemimpin pesantren yang lazim disebut kiai sekaligus bertindak sebagai pemimpin warga desa. Tapi zaman telah berubah. Pada zaman modern ini, sistem lama tak mampu menjawabnya. Metode tradisional ini tak bisa dipertahankan di masa mendatang.

Naipaul menulis dalam Beyond Belief bahwa Islam dan Eropa masuk ke Indonesia hampir bersamaan. Mereka sama-sama datang dengan semangat imperialistis dan bersaing ketat. Karena kehadiran merekalah maka pengaruh agama Hindu dan Budha tergeser.

Edward Said tak setuju karena penjelasan itu terlalu sederhana, "Naipaul menderita sebuah kecelakaan intelektual yang serius. Obsesinya dengan Islam membuat dirinya agak berhenti berpikir, mengulang-ulang rumus yang sama terus-menerus.”

Dalam resensi berjudul “An intellectual catastrophe,” Edward Said mengatakan, “Ini (buku) sebuah musibah intelektual. Celakanya, buku Naipaul tentang Islam ini akan dianggap sebagai interpretasi penting terhadap sebuah agama yang besar dan akan lebih banyak orang Muslim yang akan tersinggung. Dan jurang antara mereka dan Barat akan meningkat. Tak seorang pun yang diuntungkan buku ini kecuali penerbit, yang mungkin akan menjual banyak buku dan Naipaul mendapatkan uang banyak.”

Suatu saat Naipaul datang ke rumah Imaduddin dan diberitahu bahwa Imaduddin akan pergi ke Masjid Sunda Kelapa, Jakarta. Ada orang Amerika dari Oklahoma akan menikah dengan perempuan Indonesia. Si orang Oklahoma akan masuk Islam. Imaduddin bertindak sebagai ulama yang mengesahkan upacara peralihan agama tersebut. Naipaul pun ikut hadir di Sunda Kelapa.

“Selamat datang dan kembali ke Islam,” kata Imaduddin kepada si orang Oklahoma.

“Kembali ke Islam, karena kepercayaan kita setiap orang yang lahir sebagai Islam, tanpa dosa. Anda kembali ke Islam, karena Anda telah dibukakan hatinya kepada kebenaran. Semuanya Anda serahkan pada kehendak Allah. Islam artinya penyerahan.”

Orang Amerika itu membacakan sumpahnya dan tampak malu-malu, mungkin karena agak kesulitan dengan bahasa Arab, yang diikuti dalam bahasa Inggris, "Saya bersaksi, tak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah nabi yang terakhir,” katanya.

Imaduddin bertanya, "Anda akan mengubah nama Anda?"

Namun tak segera terjawab. Tapi ada suara perempuan yang menjawab bersama-sama dari seberang, "Yes, yes, better, much better."

"Anda suka nama Muhammad,” tanya Imaduddin.

Orang Amerika itu menyukai nama itu.

"Dan nama Adam?" tambah Imaduddin.

“Nama itu seperti Khalid,” Imaduddin melengkapinya.

Akhirnya Imaduddin mengatakan, "Anda lahir kembali sebagai Adam baru, nama Anda, Muhammad Adam Khalid. Saya harap Anda bahagia dengan nama baru itu,” kata Imaduddin mengakhiri upacara perpindahan agama.

Peristiwa itu disaksikan Naipaul dan digunakannya dalam Beyond Belief. Walau Naipaul tak menjelaskan secara tersurat, tapi peristiwa Sunda Kelapa itu memperkuat argumentasi Naipaul—seperti yang pernah diterangkannya pada harian Le Monde edisi 17 Juli 1987—bahwa orang yang pindah ke agama Islam, maka budayanya akan kosong, “Tak ada kolonialisme yang lebih dalam pengaruhnya dari Islam dan orang-orang Arab.”

Selanjutnya Naipaul mengunjungi sebuah tempat keramat di Sumatra Barat, tepatnya di Minangkabau. Orang yang mengirim Naipaul ke sana tak lain Dewi Fortuna Anwar, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang juga pendukung ICMI, dan ketika B.J. Habibie jadi presiden, menjadi juru bicara kepresidenan. Di Minangkabau, Naipaul mengagumi deretan gunung api dan hamparan padi. Konon sejarah bercocok tanam padi dimulai pada abad VII pada masa kejayaan kerajaan Budha yang bernama Sriwijaya. Naipaul melukiskan betapa pengaruh bahasa Sansekerta dari India masih bertahan hingga kini, seumur dengan peradaban padi. Naipaul tampaknya tak bisa menyembunyikan upaya pencarian terhadap akar budaya Indianya. Pascale Casanova dari mingguan Swiss Wochenzeitung pada awal Desember 2001 mengutip Naipaul yang mengatakan, "Sebagai seorang Hindu dari kasta brahmana, pelan-pelan saya bisa memahami, betapa pentingnya sistem kasta di India.”

Di Minangkabau, Naipaul mengunjungi Pariangan, sebuah sumber mata air panas keramat. Ada sebuah batu bertuliskan aksara India yang dianggap warga setempat punya "kekuatan." Naipaul menganggap tempat suci bagi Islam seharusnya segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Muhammad di Saudi Arabia. Harusnya di sini tak ada tempat-tempat suci. Ini salah satu penemuan utama Naipaul. Dia merasa aneh ketika mengunjungi negara-negara yang rakyatnya sudah beralih ke Islam: Iran, Pakistan, Malaysia, dan Indonesia. Orang-orang Muslim di sini ingin tampil lebih Arab ketimbang orang Arab. Mereka membangun tempat-tempat keramat. Mereka cenderung jadi fundamentalis.

Gus Dur tak setuju. Dalam buku Tuhan Tidak Perlu Dibela, Gus Dur menjelaskan, "Sebagai salah seorang novelis terbesar dewasa ini, dengan sendirinya Naipaul menyajikan pengamatan yang tajam dan tinjauan yang mendalam atas apa yang dilihatnya. Sayangnya, ia hanya mampu mengungkap ‘Islam yang marah’ terhadap dunia modern, kesimpulan itu sendiri belum tentu benar. Kiranya masih lebih besar liputan ‘Islam yang tidak marah’ yang sama sekali lepas dari pengamatan Naipaul."

Kemudian Naipaul bertemu Mariman dan Furqan, keduanya dari CIDES. Mariman termasuk bintang peneliti CIDES. Pada kartu namanya, yang diterima Naipaul, tertulis lengkap nama Mariman Darto. Adi Sasono, orang nomor satu CIDES, menyuruh Naipaul mewawancarai Mariman. Meski disebut “bintangnya” CIDES, tapi Mariman tak bisa berbahasa Inggris, sehingga dalam tiap pertemuan harus didampingi Furqan sebagai juru bahasa. Naipaul tertarik riwayat Mariman, termasuk faktor-faktor yang mendorong Mariman makin khusyuk dalam Islam.

Cerita Mariman seperti umumnya pemuda dusun. Awal kehidupannya melarat tapi ia tekun dan rajin sehingga berakhir dengan keberhasilan dalam karier. Keberhasilan Mariman membuat nama desanya harum. Tapi Naipaul sempat terperanjat, ketika dia mengajukan pertanyaan, "Apakah pemuda-pemuda desa mengikuti jejaknya dalam hal agama?" Mariman menjawab, "Banyak teman-teman saya merasa bahwa keberhasilan saya itu kuncinya pendidikan, bukan agama.”

PADA bidang sastra Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi majalah Tempo, adalah sastrawan yang pertama kali ditemui Naipaul. Goenawan disebutnya sebagai penulis dengan pandangan universal. Pada 1960-an Goenawan menjauhi komunisme, lalu juga menjauh dari para agamawan. Goenawan menandaskan, "Pada zaman Soekarno, bahasa dibelokkan ke arah totaliter, di zaman Soeharto bahasa dibuat birokratis. Ketika saya menulis puisi pada 1960-an, saya menemukan, bahwa semua bahasanya mengandung arti yang abstrak, kebangsaan, kerakyatan, revolusi, sosialisme, dan keadilan. Suatu ketika saya duduk-duduk di galeri tua dan saya lihat ada burung-burung gereja. Saya lupa pada benda-benda kecil itu.”

Ketika Naipaul mendapat Nobel sastra, harian The New York Times membuat wawancara dengannya. Naipaul ditanya, "Apakah peristiwa 11 September 2001 mempengaruhi keputusan panitia Nobel?” Naipaul menjawab, "Saya tidak tahu, saya pikir sejak 1973 saya sudah masuk nominasi, kemudian saya kalah karena ada kampanye besar yang menjatuhkan saya. Mereka mempermalukan saya sebagai seorang yang rasialis dan anti-Dunia Ketiga.”

Pendapat lain tentang Nobel sastra dilontarkan Marcel Reich-Ranicki, kritikus sastra dari Jerman, dalam sebuah acara Das Literarische Quartett pada tayangan televisi Jerman. Reich-Ranicki mengatakan, "Hadiah Nobel sastra itu sekarang sudah tidak ada bobotnya lagi, setiap penulis bisa mendapatkan Nobel tersebut.”

Di Yogyakarta Naipaul bertemu penyair Linus Suryadi A.G. Novelis Umar Kayam yang mengantar Naipaul ke desa Linus pada 1979. Di rumah Linus, Umar Kayam membacakan puisi Linus yang berjudul Pengakuan Pariyem. Puisi itu, menurut Linus, banyak dipengaruhi puisi Jawa abad XIX, dengan ciri khas kalimat-kalimat panjang, sehingga saat Kayam membacakan, sempat Linus sendiri minta menghentikan, "Cukup!”

Linus mengatakan puisinya lebih bertalikan budaya Jawa dan mengambil latar desanya sendiri. Naipaul merasakan itu ketika diajak jalan-jalan oleh Linus di desanya serta diperkenalkan dengan beberapa orang desa. Pada 1979, Naipaul merasa Jawa telah membuat dirinya romantis. Desa tempat Linus tinggal menawarkan bermacam macam fantasi: sawah, tanaman, dan tempat keramat untuk memuji Dewi Sri—sang dewi padi.

Pada 1995 ketika Naipaul berkunjung lagi ke desa Linus, rumah Linus tetap tak punya telepon. Linus dengan sepeda motornya mendatangi Hotel Melia, tempat Naipaul menginap. Kemudian keduanya berkunjung ke desa Linus. Desa itu digambarkan Naipaul sudah jadi kota kecil, di jalan-jalan banyak dekorasi menyambut perayaan hari kemerdekaan Indonesia ke 50. Menurut Linus, orangtuanya belum pernah memeluk Islam. Mereka menganut kepercayaan Kejawen, sebuah kepercayaan campuran antara kepercayaan lokal, Hindu, Budha, dan animisme.

Naipaul teringat akan kunjungannya pada 1979, Linus dan dirinya nonton wayang kulit dan melihat karakter "Krisna hitam.” Naipaul menghubungkan karakter itu dengan tokoh serupa di India. Bedanya Krisna versi Jawa berkarakter baik. Naipaul berpikir upaya menggabungkan kehidupan wayang kuno dan puisi Pengakuan Pariyem ternyata menghasilkan perbedaan. Kehidupan kuno itu tak sembarangan bisa dimasuki begitu saja oleh orang luar. Ini menegaskan lagi argumentasi Naipaul bahwa orang Muslim Jawa, yang tak pindah agama, dalam kasus ini ke agama Islam, lebih baik dalam mempertahankan budayanya.

Pendapat Naipaul berseberangan dengan Edward Said yang mengatakan, "Apa yang didokumentasikan Naipaul adalah masalah perpindahan agama, masalah orang-orang yang kehilangan masa lampaunya, tapi mendapatkan sedikit dari agama baru mereka. Argumen ini bisa diperlebar, bahwa hanya orang Roma yang dapat jadi orang Katolik yang baik, orang-orang Katolik lain, dari Itali, Spanyol, Amerika Latin, Filipina, yang juga berpindah agama, bisa dianggapnya tidak asli dan telah terputus dari masa silamnya.”

Terakhir Naipaul bertemu seseorang bernama Budi, secara kebetulan dalam perjalanan mobil dari lapangan terbang Yogyakarta ke hotel. Naipaul secara spontan menghubungkan nama "Budi" dengan nama “Budha.” Ini sesuatu yang menggelikan. Naipaul tak menjelaskan dengan rinci nama lengkap Budi serta identitasnya, hanya disebutkan sebagai pengusaha yang punya perusahaan komputer. Pertemuan Naipaul dan Budi berlanjut di Jakarta dan Bandung. Naipaul ingin tahu keislaman Budi, dan Budi pun menjelaskan bahwa dia sering merasa kosong batin. Seorang kawan menasihati Budi untuk memperdalam Islam dari seorang guru agama.

Naipaul penasaran pada cerita guru agama itu. Maka bersama Budi, dia naik pesawat CN-235 buatan Habibie terbang dari Jakarta ke Bandung. Sampai di Bandung, Naipaul merasa kecewa, cerita Budi dianggapnya terlalu dibesar-besarkan. Masjid yang dikatakan indah dan besar itu ternyata kecil, dan supermarket yang dikelola guru agama, tak ubahnya toko biasa di desa. Pelayanan sewa komputer yang dikatakan besar, ternyata hanya sebuah kedai komputer kecil. Naipaul dan Budi pun kembali ke Jakarta dengan menumpang kereta api eksekutif.

Naipaul tampaknya orang yang tak bisa menghilangkan sikap sinis dan suka mengeluh. Pada buku Naipaul yang lain, yang berjudul India, A Million Mutinies Now, diceritakan bahwa dia sudah lama ingin mewujudkan impiannya, menengok negara leluhurnya India. Naipaul masih menjalankan ritual Hindu walau dia sudah lupa bahasa India. Impian itu terwujud pertama kali pada 1962. Naipaul mengadakan perjalanan panjang dengan kereta api dan kapal dari London ke Venesia, kemudian dengan kapal ke Athena, Alexandria, Karachi, dan Bombay. Dia merencanakan tinggal satu tahun di India sebelum kembali ke London. Ternyata dia tak mampu menulis karena tak banyak data yang bisa dibawanya. Dia mengeluh, “Sudah banyak biaya saya habiskan selama di India, toh saya belum bisa menulis apa pun.”

Keluhan Naipaul diulangi lagi ketika mengunjungi pesantren Tebuireng pada 1979. Imam B. Prasodjo, sekarang dosen Universitas Indonesia, waktu itu juru bahasa Naipaul, menulis dalam majalah Panji Masyarakat pada Maret 1982 bahwa Naipaul orang yang menyebalkan. Naipaul misalnya bersungut-sungut ketika tak berhasil bertemu dengan Kyai Yusuf Hasyim dan Kyai Samsuri dari Tebuireng. Naipaul marah dengan Prasodjo dan berkata, "Prasodjo berapa lama waktu telah terbuang! Semuanya telah kubayar dengan uang yang amat mahal di sini! Apa yang dapat kuperoleh di sini dengan cara begini?”

Naipaul mengakhiri cerita Indonesia dalam Beyond Belief dengan menulis kepercayaan Budi, yang sudah belajar soal Islam itu, pada sebuah kamarnya yang “dihuni oleh roh hantu perempuan.” Ini lagi-lagi bukti Naipaul terhadap hilangnya kepercayaan lama, sementara kepercayaan baru masih bermasalah. Budi sudah belajar Islam tapi masih tanggung.

Dalam Tuhan Tidak Perlu Dibela, Gus Dur menulis, "Inti dari masalah yang dirisaukan Naipaul adalah gagalnya orang Islam untuk menyajikan jawaban yang modern atas tantangan kehidupan masa kini. Baginya modernitas adalah dalam bentuk yang berkembang di negara-negara yang sudah maju industrinya, dari sikap hidup yang serba berperhitungan hingga kemampuan menguasai dan mengeksploitasi alam. Tidak heran kalau ia lalu berucap, orang Islam tidak akan maju, kalau masih mengerjakan salat dan berpuasa, yang dirumuskannya sebagai ‘kerja yang tak perlu.’ Di sini terdapat kesalahan mendasar dari Naipaul: ia mengukur modernitas dari penolakan terhadap yang tradisional, mengukur kemajuan dari penghancuran keyakinan semula.”*

kembali keatas

by:Sigit Susanto