Mochtar Lubis

Bill Aribowo

Mon, 4 February 2002

RUMAH Mochtar Lubis masih seperti sedia kala. Asri. Halaman yang luas ditumbuhi tanaman hias, sementara temboknya dipenuhi anggrek.

RUMAH Mochtar Lubis masih seperti sedia kala. Asri. Halaman yang luas ditumbuhi tanaman hias, sementara temboknya dipenuhi anggrek. Ruang tunggu diisi satu set kursi antik dengan meja memanjang. Ada kursi malas, semua terbuat dari kayu. Maksudnya agar tahan air dan panas.

Antara pintu gerbang dan pintu ruang tamu berjarak sekitar lima meter. Tidak ada bel di sana sehingga agak sulit memanggil tuan rumah. Apalagi sejak kematian istrinya, Halimah Lubis, 27 Agustus 2001, editor Indonesia Raya, yang namanya berkibar pada 1950 dan 1960-an ini, hanya ditemani pembantu dan seorang perawat. Mereka umumnya sibuk sehingga kurang punya perhatian pada pintu gerbang. Jalan keluarnya setiap tamu yang datang selalu memencet klakson.

Formasi rumah Lubis di Jalan Bonang, di kawasan Menteng, Jakarta, ini menusuk ke belakang. Untuk tamu-tamu yang sudah dikenal anggota keluarga biasanya langsung mendapat sambutan sebagaimana layaknya. Dibukakan pintu, disapa seperlunya, diantar ke ruang tunggu, dan dipersilakan duduk. Buat tamu yang belum dikenal, ada basa-basi sehingga terasa kikuk. Siapa Anda? Mau ketemu siapa? Sudah ada janji atau belum, dan sebagainya.

Yana Zamira, yang akrab dipanggil Ira, kini menemani sang ayah. Ira anak bungsu Lubis. Dua anak lainnya, lndrawan Lubis dan Arman Lubis, tinggal di rumah masing-masing. "Kondisi bapak ya seperti itu, sering lupa," kata Ira membuka percakapan, "sewaktu ibu masih ada, masih agak mendingan."

Ira didampingi perawat yang menangani bapaknya yang sudah uzur. Kini kegiatan Lubis hanya di rumah itu saja. Ia hanya bisa diajak ngobrol setelah makan siang. Waktunya lebih banyak dihabiskan di kamar tidur. Ira mengatakan ayahnya sudah tidak tertarik membaca buku. Koran pun cuma dilihat judulnya. Mungkin ini pengaruh penglihatan yang mulai kabur.

Mochtar Lubis tidak lagi seperti dulu, tinggi dan tegap. Tidak seperti ketika ia memimpin harian Indonesia Raya, atau ketika harus mendekam di penjara karena aktivitas jurnalistiknya. Ketuaan telah mengubahnya. Lubis kadang-kadang minta pulang ke Jalan Bonang. Ya dia lupa kalau ini rumahnya. Dia merasa masih dalam penjara saja–situasi yang digambarkannya dengan hidup dalam buku Catatan Subversif.

"Bapak memang trauma masa lalunya. Maka saya sering mengajak jalan pagi. Waktu ibu masih ada, acara jalan pagi seminggu tiga kali masih rutin. Ibu yang suka mengajak dan mendorong kursi roda bapak, sesuai permintaan dokter. Rutenya hanya di sepanjang Jalan Bonang. Sepeninggal ibu, bapak jadi malas," kata Ira.

Lubis sering kali menanyakan Halimah, yang akrab dipanggilnya Hally. Ira selalu memberitahu bahwa Hally sudah dipanggil Tuhan. Lubis sering lupa. "Mereka berdua memang dua sejoli yang laksana prangko. Tidak mungkin dipisahkan," kata Ira. Cinta sepasang suami-istri ini digambarkan dengan mesra sekali dalam Catatan Subversif.

Lubis masih bisa makan dengan normal. Kebetulan ia tak punya penyakit kolesterol dan gula. Giginya pun masih utuh. Cuma fisiknya tidak sesegar dulu. Lubis tak mau lagi keluar rumah. Ia senang kalau mendapat kunjungan teman-temannya. Kalau di depan teman-teman maunya memberi nasihat, layaknya orang sehat. Bahkan bisa bergurau. Dan kalau sudah bergurau, ketawanya lepas berderai seperti dulu kala.

Siang itu Lubis tampak segar. Diiringi Ira, ia berjalan di ruang tamu. Ia manggut-manggut sambil menebar senyum khas. "Bagaimana situasi tanah air Republik Indonesia?" Lubis membuka pembicaraan. Ternyata perhatiannya masih bagus. "Makin kacau ya?" Lubis menambahkan.

Ketika saatnya makan siang, wartawan tua itu pergi ke ruang makan. Di meja makan yang bulat dengan empat kursi di sekelilingnya, tiga sendok nasi disediakan perawat. Lauknya, Lubis mengambilnya sendiri, cumi kecil yang dimasak asem manis, sepotong tahu, dan sambel botol. Ia makan pelan-pelan.

Pada 7 Maret ini Lubis akan berulang tahun ke-80. Pada acara itu akan diluncurkan bukunya yang berjudul Berkelana dalam Rimba. Rencananya akan dilakukan di kantor Yayasan Obor, organisasi yang dipimpinnya sejak Indonesia Raya dibredel, tapi belum memperoleh konfirmasi dari sana.

Apa isi buku itu?

"Catatan tentang hutan. Hutan penting bagi kita. Kenapa tidak dilarang kerusakan terjadi. Kok dibiarkan. Bisa terjadi bencana besar. Tahu-tahu nanti tidak ada pohon di Indonesia," ujar Lubis. Nadanya bersemangat meski lirih.

Tak lama kemudian Ira keluar. Ia mengatakan sedang menunggu kedatangan keluarga Indrawan Lubis, lengkap dengan istri, anak-anak dan menantu Indrawan. Mereka baru pulang dari Amerika. Maya Lubis, anak Indrawan yang sulung kawin dengan orang Amerika dan Tanya Lubis, anak yang satunya, kawin dengan orang Australia. Keduanya bekerja di Amerika.

Akhirnya yang ditunggu pun datang. Dalam sekejap riuhlah rumah itu. Senyum simpul, derai tawa berhamburan.

"Bapak ini Maya dan ini Tanya. Remember me?" sapa kedua cucu itu kepada kakeknya. Peluk dan cium pun berlangsung singkat, akrab, dan penuh kemesraan. Rupanya cucu-cucu Lubis menyapa kakek dan neneknya dengan "bapak dan ibu."

"Biar awet muda," kilah Ira sambil ketawa.

Seluruh keluarga yang berjumlah sembilan orang itu akhirnya larut dalam bincang-bincang dengan bahasa Inggris.

Pukul 15.00, Lubis yang lebih banyak diam akhirnya mundur.

"Ngantuk berat."*

kembali keatas

by:Bill Aribowo