Akbar Tandjung dan Pria Homoseks

Dyah Listyorini

Mon, 4 February 2002

FONDA Lapod biasa menonton siaran berita Metro TV. Namun, pagi itu ia terkejut ketika presenter membacakan berita tentang harian Rakyat Merdeka.

FONDA Lapod biasa menonton siaran berita Metro TV. Namun, pagi itu ia terkejut ketika presenter membacakan berita tentang harian Rakyat Merdeka. Lebih terkejut lagi ketika ia mendengar Akbar Tandjung, ketua Dewan Perwakilan Rakyat, mengadukan harian Rakyat Merdeka ke polisi.

Tandjung kecewa karena foto dirinya dimuat harian itu, edisi Selasa 9 Januari 2002. Foto Akbar Tandjung dimontase, kepalanya dari foto Tandjung, tapi bertelanjang dada dibanjiri keringat, dan bercelana hitam.

“Kami akan menuntut kasus ini sampai ke pengadilan,” ujar Hotma Sitompul, pengacara Tandjung.

Tak lain dan tak bukan, gambar itu dibuat Fonda Lapod. Awalnya, Senin malam, 8 Januari, beberapa jam setelah kejaksaan agung menyatakan Tandjung sebagai tersangka kasus korupsi Rp 40 miliar. Berita itu besar sekali artinya. Tandjung jadi pejabat tinggi negara tertinggi yang dikenai tuduhan korupsi sejak Presiden Megawati Sukarnoputri jadi presiden Juli lalu.

Lapod membuka internet untuk melihat foto-foto. Dia adalah manajer artistik Rakyat Merdeka dan memang biasa memulai pekerjaan pukul sembilan malam dan selesai pukul sebelas malam, sebelum akhirnya naik cetak.

“Biasanya sih di situs yang gratis,” ujar Lapod. Gambar untuk badan Tandjung diambilnya dari foto seorang homoseksual yang sedang mandi. Air yang memenuhi bagian tubuh sang pria homo itu diibaratkan keringat yang mengucur, seakan-akan Tandjung gemetar dan ketakutan karena dijadikan tersangka.

Lapod membuat dua dua versi montase, versi pertama leher Tandjung dililit tali. Ilustrasi ini menggambarkan Tandjung akan digantung berkenaan dengan kasus korupsi di Badan Urusan Logistik. Versi kedua ya versi yang menghebohkan tadi.

Ide untuk memainkan foto, dalam ruang redaksi Rakyat Merdeka, bisa lahir dari siapa saja, terkadang dari redaktur, dan bagian artistik yang mengerjakannya. Dengan teknik komputer dan permainan grafis maka foto Tandjung berubah. Tekniknya sangat sederhana dan gampang dikerjakan.

Atmakusumah Astraatmadja dari Dewan Pers menganggap reaksi Tandjung agak kebanyakan. Sebagai seorang public figure sebenarnya perlakukan macam ini memang diharapkan. Makin orang itu besar dan terkenal maka makin menarik untuk dijadikan bahan olok-olok. Begitu juga Tandjung. Meski demikian, Astraatmadja mengatakan tiap orang, termasuk Tandjung, memiliki hak jawab terhadap apa yang diberitakan oleh media massa, terutama jika itu dinilai merugikan dirinya. “Akbar bisa saja memakai hak itu,” katanya.

Namun Astraatmadja juga menyalahkan Rakyat Merdeka. Foto yang diletakkan di halaman depan sebuah suratkabar biasa dikategorikan foto berita. Kaidah yang berlaku umum di dunia jurnalisme, foto berita sama sekali tak boleh direkayasa, termasuk memberi tambahan sekecil apa pun. “Harusnya ada pembedaan secara jelas mana karikatur dan mana foto berita. Karena hal ini akan mempengaruhi pembaca,” ujarnya.

Dia memberi contoh pelanggaran lain yang dilakukan Rakyat Merdeka. Pada Kamis 10 Januari 2002, halaman pertama harian tersebut memuat gambar Bustanil Arifin, mantan kepala Badan Urusan Logistik, yang seakan-akan berada di balik jeruji. Memang Bustanil ditahan polisi tapi bukan di balik jeruji ruang tahanan. Foto itu juga buatan dengan bantuan komputer.

“Walaupun diterangkan bahwa itu rekayasa, tapi seharusnya itu tidak boleh terjadi,” jelas Atmakusumah Astraatmadja.

Lapor, orang yang tampaknya tak mengerti jurnalisme, membela diri dengan mengatakan setiap kartunis selalu mencari hal-hal yang kontradiktif sebagai sumber inspirasinya. Dia pun dituntut menghasilkan karya-karya terbaru, yang mengejutkan. “Jika Akbar saya ilustrasikan dengan kostum Superman atau memasang wajahnya pada badan si Rambo, mungkin responnya tidak akan seperti ini. Semua itu tergantung persepsi masing-masing. Mungkin Tandjung ketika melihat gambar tersebut sedang marah,” ujar Lapod.

Sebelum Rakyat Merdeka, mendiang majalah D&R pernah mengalami hal yang sama. Pada sampul majalah tersebut tergambar kartu remi berkepala Presiden Soeharto. Majalah itu diusut polisi dan Kejaksaan Agung sampai akhirnya kasus ini berhenti seiiring jatuhnya Soeharto.

Dalam kasus Tandjung, Golkar pun sempat mencak-mencak dengan gambar kulit majalah Tempo yang menggambarkan hidung Tandjung panjang ala Pinokio –tandanya dia berbohong. Tapi beda antara Rakyat Merdeka dan keduanya, sekaligus menunjukkan kelas mereka, kedua majalah itu sengaja menciptakan karikatur. Mereka tidak main-main dengan rekayasa foto.

Rakyat Merdeka menjadikan foto berita, atau entah apa namanya buat foto yang diobok-obok itu, sebagai ciri halaman satu hariannya. Ini mengukuhkan dirinya sebagai salah satu media massa cetak yang mengedepankan parodi. Hal-hal yang sensasional dijadikan sasaran empuk tim artistik. Ini membuat hariannya menarik dan laku dijual. Entah sampai kapan Lapor maupun Margiono, orang nomor satu Rakyat Merdeka, bisa bertahan dengan selera yang menurunkan mutu jurnalisme pada tingkat yang paling rendah itu?*

kembali keatas

by:Dyah Listyorini