Investigasi

Septiawan Santana Kurnia

Mon, 7 January 2002

DI TENGAH percakapan telepon, Pamela Zekman meraih catatan dan menulis. Dia mencibir. Suara lembutnya menggema, tapi tatapan matanya tak berubah

DI TENGAH percakapan telepon, Pamela Zekman meraih catatan dan menulis. Dia mencibir. Suara lembutnya menggema, tapi tatapan matanya tak berubah—bersinar tajam dan adrenalinnya tinggi. Dia sedang menyelidiki bisnis keamanan bernilai miliaran dolar di Illinois, Amerika Serikat.

Mengamatinya di telepon, seperti memperhatikan pemancing tengah mengail sesuatu yang besar, di ujung kailnya. Ia mendesak, mengencangkan tegangan, lalu mengulur lebih dalam, silih berganti.

“Tapi itulah poin yang saya inginkan,” serunya pada pemilik perusahaan keamanan, di ujung telepon, yang menugaskan seorang pria mengawal sebuah percetakan, tanpa diketahui si pria ternyata terlibat perampokan bersenjata.

Pemerintah negara bagian Illinois sudah bekerja dua tahun dalam memeriksa kasus-kasus macam itu. Ada sekitar 9.000 orang yang bekerja sebagai petugas keamanan swasta di sana, atau mirip petugas satuan pengamanan di Indonesia. Ternyata banyak petugas keamanan ini terdiri atas pembunuh, pemerkosa, perampok, pecandu obat bius, dan psikopat. Tentu saja, mereka dipersenjatai, ditugaskan menjaga keamanan di berbagai tempat, mulai dari apotek, rumah sakit, sampai gedung pemerintah.

Tiba-tiba Sandy Bergo, seorang rekan Zekman, memberi memo tentang penangkapan seorang penjaga keamanan.

“Ini gila!” Zekman meledak.

“Mengirim pemerkosa untuk menjaga bagian pakaian wanita!”

Dengan marah, dia menekan nomor-nomor selanjutnya, yang ada di daftar teleponnya.

Pamela Zekman seorang reporter WBBM-TV Chicago. Dia tipikal wartawan investigasi, yang mengerjakan reportase dengan proses berliku, penuh kesabaran, dan tak mudah patah semangat. Kerja reporter investigasi memang berbeda ketimbang reporter reguler. Kisah ini ditulis Linda Witt dalam majalah Sunday, mingguan yang diterbitkan harian Chicago Tribune.

ISTILAH investigasi muncul pertama kali saat Nellie Bly jadi reporter Pittsburgh Dispatch pada 1890. Bly membuat laporan mengenai kehidupan orang-orang biasa, orang kelas bawah dalam kenyataan sehari-hari. Tapi, Bly melakukannya dengan cara tak biasa.

Bly sengaja bekerja di sebuah pabrik di Pittsburgh untuk menyelidiki kehidupan buruh anak yang mencari nafkah dalam kondisi buruk.

Buntutnya, Bly berhadapan dengan sebuah institusi yang sering memasang iklan pada koran tempatnya bekerja. Institusi itu mengancam memutuskan kontrak iklan dengan Pittsburgh Dispatch. Nellie Bly terpaksa dikorbankan. Dia kehilangan pekerjaan.

Tapi Bly bukanlah orang yang mudah menyerah. Dia tak surut oleh struktur industri yang menganggap media cuma salah satu sekrup roda kapitalisme. Upayanya membuahkan hasil. Nellie Bly direkrut Joseph Pulitzer, penerbit harian The New York World. Sejak itu pula Bly tambah melesak ke dalam persoalan kaum pekerja di wilayah-wilayah kumuh. Laporan investigasinya mendorong terjadinya perubahan terhadap standar hidup para pekerja kelas bawah itu.

Ketekunan Nellie Bly mengilhami jurnalisme Amerika. Banyak kalangan media tertarik melakukan garapan-garapan investigasi.

Pada 1902 pola kerja Bly diadopsi oleh majalah-majalah Mc Clure’s, Collier’s, Munsey’s, Saturday Evening Post, dan The Arena. Masyarakat antusias menyambut pemunculan mereka. Keberhasilan itu membuka ruang-ruang lain.

Menurut Donald L. Ferguson dan Jim Patten, dalam Journalism Today, berbagai media yang muncul pada akhir abad XIX dan awal abad XX ini, jadi semacam pejuang keadilan sosial ketika banyak suratkabar Amerika justru terbetot jurnalisme kuning yang sensasional.

Sejak saat itu pula investigasi jadi bagian resmi dari usaha penerbitan. Sirkulasi 10 majalah yang bergerak dalam liputan ini, misalnya, mencatat jumlah tiga juta eksemplar pada 1906. Asosiasi para penulis dan penerbit yang berkecimpung dalam jurnalisme ini pun lahir. Di dalamnya tercantum sejumlah nama besar: Frank Norris, Ida M. Tarbell, Charles Edward Russell, Lincoln Steffens, David Graham Phillips, C. P. Connolly, Benjamin Hampton, Upton Sinclair, Thomas Lawson, Alfred Henry Lewis, dan Ray Stannard Baker.

Reportase investigasi tambah populer saat para wartawan berhasil mempengaruhi parlemen dalam pengesahan undang-undang seperti Pure Food and Drugs Act (1906) dan Meat Inspection Act (1906) di masa pemerintahan Presiden Theodore Roosevelt.

Salah seorang wartawan legendaris era ini Ida M. Tarbell. Dia sering menulis buat majalah Mc Clure’s. “Para wartawan investigasi berhutang budi pada Ida M. Tarbell,” kata Steve Weinberg dalam biografi Ida Tarbell, Patront Saint.

Liputan Tarbell, tentang skandal perusahaan minyak Standard Oil, yang dipimpin industriawan John D.Rockefeller, seperti membuka mata masyarakat Amerika yang telah lama mencium keburukan perusahaan raksasa itu. The History of the Standard Oil Company, yang ditulis Tarbell, menjawab keingintahuan masyarakat dan menjadi laporan investigasi yang legendaris.

Tarbell lahir di pedalaman Pennsylvania pada 1857. Ia berusia 43 tahun ketika memulai risetnya tentang Standard Oil.

Ia mempelajari ratusan dokumen yang terpencar-pencar di beberapa negara bagian, lalu menyempurnakannya dengan wawancara berbagai pemimpin dan pemilik perusahaan, para pesaing mereka, anggota parlemen, birokrat, ahli hukum, dan kalangan akademis.

Kelebihan Tarbell, menurut Weinberg, terletak pada metode investigasinya. Tarbell tak sekadar memakai pendekatan wartawan biasa, yang mengandalkan wawancara, riset kecil, atau observasi lewat penyamaran, tapi juga menggunakan paper trail atau pelacakan dokumen seperti transkrip dengar pendapat dalam parlemen, berkas-berkas pengadilan, surat perjanjian, dan sertifikat tanah. Tarbell meletakkan dasar bahwa investigasi yang terbaik lewat dokumen-dokumen penting.

Dampak investigasinya dahsyat. Tarbell meruntuhkan reputasi John D. Rockefeller, salah seorang konglomerat Amerika yang sangat berkuasa, yang dikenal agresif tapi juga bereputasi sebagai seorang Kristen saleh. Tantangan yang tidak main-main. Tapi Tarbell punya bukti-bukti kuat, sehingga Presiden Theodore Roosevelt terdorong membuat peraturan untuk mencegah kompetisi tak sehat, khususnya terhadap perusahaan kecil. Tak berapa lama pengadilan Amerika pun menghukum Standard Oil dengan memaksanya memecah diri jadi beberapa perusahaan.

TUJUH dekade setelah Ida Tarbell, muncul sosok reporter yang sepak terjangnya mirip Tarbell. Namanya, Jeft Gerth dari harian The New York Times. Gerth seorang pria berusia 56, botak, dan mengerut seperti burung hantu.

Orangnya sangat low profile. Dia dikenal lantaran berkemampuan di bidang akuntansi (bersertifikat), suka bekerja dalam diam.

Menurut Ted Gup dari harian The Washington Post, yang menulis buat majalah Columbia Journalism Review, Gerth tak kenal lelah dalam seperempat abad kariernya, menggonjang-ganjing Gedung Putih, parlemen, dan perusahaan-perusahaan besar Amerika. Dia mempengaruhi kebijakan dan debat nasional tentang berbagai isu. Laporan-laporannya membuat banyak wartawan iri.

Gerth pula yang memperkenalkan jutawan Saudi Arabia Osama bin Laden pertama kalinya ke masyarakat dunia. Gerth mengungkap skandal Whitewater yang menampilkan Hillary Clinton dan hubungannya dengan regulasi industri di Arkansas ketika suaminya Bill Clinton menjabat gubernur Arkansas. Gerth dua tahun lalu juga meraih hadiah Pulitzer untuk liputan tentang perusahaan-perusahaan Amerika yang memberikan akses teknologi satelit pada negara Cina.

“Dalam banyak laporan itu, saya tidak mengerjakannya untuk sesuatu yang kontroversial,” ujar Gerth.

Tapi Gerth juga tak bebas dari kritik. Layaknya laporan investigasi yang tuntas, Gerth mendakwa banyak orang berdasarkan pekerjaannya. Pengembangan kasus Whitewater dan laporannya tentang Wen Ho Lee, ahli fisika yang didakwanya membocorkan rahasia teknologi Amerika ke Beijing, mendatangkan tudingan dari berbagai pihak. Dia dianggap anti-Partai Demokrat tempat keluarga Clinton berasal. Dia juga dianggap bias terhadap orang-orang Asia. The New York Times, harian tempatnya bekerja, juga tak luput dari serangan. Apalagi dalam kasus Lee, The New York Times, setelah 18 bulan mempelajari dan memberitakan kasus itu, menyadari kekeliruan mereka dan minta maaf. William Powers, kritikus media dari National Journal, menyebut laporan-laporan Gerth "the cowboyization of the Times."

Namun, Gerth sangat menghargai wilayah pribadi orang-orang yang didakwanya. Fokusnya pada kelakuan bukan kepribadian. Dalam investigasinya, Gerth kerap menghilangkan detail kehidupan sosok berita, sehingga yang muncul hanya sosok satu dimensi.

“Ini memang masalah reportase investigasi, dan tak ada yang bisa menolongnya ketika sebuah subjek banyak membatasi pembicaraan dengan seorang reporter,” nilai Ted Gup.

Seymour Hersh, salah seorang reporter investigasi yang terkenal di Amerika Serikat, yang mencuat kariernya lantaran membongkar pembunuhan massal di My Lai, Vietnam, pada 1968, mengenal Gerth dengan baik dan mengatakan “Gerth seorang profesional.”

Hersh selalu merasa nyaman bekerja dengan Gerth. Berbagai pihak dari Investigative Reporters and Editors, organisasi wartawan investigasi dengan jumlah anggota terbesar di Amerika Serikat, juga memuji pendekatan Gerth dalam melakukan tugasnya.

Tak kurang dari Lanny J. Davis, mantan konsultan Presiden Bill Clinton, yang memuji Jeff Gerth. Pertama, Gerth dinilai bukan tipe wartawan investigasi yang menggali dan mendapatkan fakta hanya untuk jadi oposan yang siap menelanjangi orang-orang yang berkuasa. Kedua, dari sisi dasar karakter, “Saya pikir Jeff seseorang yang memiliki 100 persen integritas. Ia merupakan sosok jurnalis berdedikasi dan etis, sekalipun dengan pihak-pihak yang berseberangan dengannya.”

Tapi, menurut Lanny Davis, tulisan Gerth biasanya menunjukkan fakta-fakta seraya membimbing pembaca untuk menyimpulkan, misalnya Hillary Clinton, “mengambil keuntungan dari posisinya sebagai istri gubernur.”

Gerth menjawab, “Saya tidak memiliki kesanggupan untuk menanggulangi tafsiran buruk orang ketika mendapatkan gambaran fakta-faktanya. Itu bukan peran saya. Peran saya ialah menulis fakta-fakta. Tunjukkan pada saya sebuah ketidakakuratan di laporan saya, dan saya akan segera mengoreksinya jika saya salah.”

BAGAIMANA dengan Indonesia? Tak berbeda dengan negara tetangga Filipina, perkembangan reportase investigasi di Indonesia juga dipengaruhi sistem politik. Menurut Toriq Hadad dalam buku Dari Skandal ke Skandal, yang merupakan kumpulan laporan Tempo dari sebuah rubrik yang dinamai Investigasi, media massa Indonesia sangat bergantung dengan sikap penguasa dalam menerapkan kebijakannya. Masalah korupsi, yang banyak terjadi sejak Indonesia meraih kemerdekaan, dilaporkan pers dalam dua gerak ekstrem: dari “sangat takut-takut” sampai “sangat berani.”

Organisasi wartawan investigasi pertama untuk kawasan Asia berdiri di Manila pada 1989, ketika pemerintahan Ferdinand Marcos jatuh dan demokratisasi berderu kencang. Philippines Center for Investigative Journalism atau biasa disingkat PCIJ didirikan para wartawan muda. Mereka jenuh terhadap tradisi breaking news, yang tak memerlukan kedalaman maupun investigasi dalam pemberitaan.

Tapi sebelum demokratisasi di Indonesia terjadi dengan jatuhnya Presiden Soeharto, di Indonesia sebenarnya sudah ada upaya cukup serius buat memantau kekuasaan. Harian Indonesia Raya salah satu media Indonesia yang cukup fenomenal dalam investigasi. Koran yang dipimpin Mochtar Lubis ini (1949 – 1958 dan 1968 – 1974) berisikan berita yang mencerminkan sikap menentang korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, ketidakadilan dan ketidakbenaran, serta feodalisme.

Berbagai beritanya, sesudah pertengahan 1950-an, banyak melontarkan kritik terhadap pemerintah. Skandal, konflik, dan manipulasi yang terjadi di berbagai departemen pemerintah serta perwakilan diplomatik Indonesia di luar negeri jadi menu harian tersebut. Gaya pemberitaan Indonesia Raya begitu terbuka, dengan mencantumkan nama-nama yang terkait dengan subjek berita.

Menurut Atmakusumah Astraatmadja, mantan anggota redaksi harian itu, mereka memang mendefinisikan skandal sebagai wahana pemberitaan investigasi. Nilai skandal, dengan berbagai faktor pelanggaran dan kejahatan publik, membedakan nilai berita biasa dengan berita yang bersifat investigatif.

Tiga dekade kekuasaan Orde Baru merepresi kehidupan pers di Indonesia. Wartawan tak leluasa menyelidiki kasus-kasus yang melibatkan pemerintah dan birokrasinya.

Istilah indepth reporting lebih dikenal kalangan media ketimbang reportase investigasi. Istilah ini terdengar lunak bagi kekuasaan, karena tidak menyiratkan kegiatan membongkar aib, kesalahan, atau kelemahan pemerintah. Terkesan sebagai pencarian data dan keterangan belaka.

Perubahan terjadi saat celah kemerdekaan pers diraih kembali. Pemerintahan Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan. Kontrol negara terhadap pers berakhir.

Sejak itu media di Indonesia mulai terang-terangan memberitakan kasus-kasus korupsi dari rezim yang berkuasa.

“Berbagai skandal muncul satu per satu di koran dan majalah,” kata Toriq Hadad.

Sebenarnya, beberapa majalah pernah mencoba memberi tajuk “investigasi” untuk beberapa liputan mereka. Ketika terbit pada 1996, dwi mingguan Tajuk menyatakan diri sebagai majalah "berita, investigasi, dan entertainmen.” Majalah Tempo edisi 6 Oktober 1998, usai pembredelan dicabut, menampilkan rubrik Investigasi yang melaporkan pemerkosaan perempuan keturunan Cina saat huru-hara Mei 1998.

Bondan Winarno, seorang wartawan Indonesia, membukukan hasil investigasinya mengenai skandal emas di Busang, Kalimantan, dalam Bre-X Sebungkah Emas di Kaki Langit pada 1997.

PARA wartawan investigasi tidak bekerja berdasarkan agenda peliputan reguler. Mereka memilih subjek liputan lantaran ketertarikan dan bukan penugasan semata. Mereka menolak dominasi media yang menekankan unsur hiburan dalam pemberitaan. Mereka juga mengubah mekanisme peliputan di ruang redaksi serta tidak bersedia dibatasi oleh pusat-pusat pemberitaan dan tekanan waktu.

Kisah-kisah reportase investigasi memiliki ukuran dan keluasan yang tidak mudah digeneralisasi. Ada yang memuat kisah “seorang korban,” lalu mengaitkannya dengan kelemahan sebuah sistem, seperti pelanggaran administrasi di lembaga pengadilan, birokrasi, atau berbagai peraturan.

Namun, banyak yang menganggap peliputan investigasi hanya sekadar istilah trendy untuk sesuatu yang terbaik.

John Ullman dan Steve Honeyman, dalam The Reporter’s Handbook: An Investigator’s Guide to Documents and Technicques, mendefinisikan investigative reporting sebagai sebuah kerja yang menghasilkan produk dan inisiatif, menyangkut hal-hal penting dari banyak orang atau organisasi yang sengaja merahasiakannya.

Ada tiga elemen dasar yang mendorong kerja investigasi: laporan investigasi bukanlah laporan yang dibuat oleh seseorang melainkan hasil kerja sebuah tim; subjeknya menyangkut kepentingan khalayak ramai; menyangkut masalah-masalah umum yang sengaja disembunyikan dari hadapan publik.

Persiapan publikasinya harus memperhitungkan berbagai akibat yang dapat ditimbulkan terhadap subjek laporannya atau terhadap penerbitan pers itu sendiri.

Oleh sebab itu, laporan investigasi perlu dilandasi riset yang cermat. Mula-mula Knight Newspaper dari Philip Meyer kerap menjadi contoh bagaimana merancang peliputan dengan cara itu. Informasi dipilah dan disapih dari muatan ideologis atau penyimpangan karena kekeliruan riset.

Laporan Meyer mengungkap kerusuhan rasial yang berlangsung pada 1966 di Amerika Serikat. Dia menghindari penulisan berita yang bersifat sensasional. Melalui kerja Meyer terbukti kerja jurnalis tidak lagi berada di spektrum fakta-fakta belaka, melainkan harus menunjukkan kemampuan menganalisis, memberikan perspektif, dan menyimpulkan realitas sosial yang dicermatinya. Kompleksitas dalam kehidupan masyarakat modern menjadi dasar pemikiran bagi institusi media untuk mengikuti dinamika masyarakat.

Bagi pengembangan reportase investigasi, riset menjadi penting ketika berkaitan dengan situasi yang bisa menjebloskan seseorang ke dalam penjara atau mengeluarkan seseorang dari sana.

“Jurnalisme alat yang bagus untuk meliput bermacam peristiwa, sangat terbuka untuk menangkap pola-pola atau kecenderungan-kecenderungannya, tapi tidak begitu baik dalam menelusuri struktur peristiwa kemasyarakatan,” ujar Meyer.

“Lewat riset, Anda bisa melihat bagaimana sebuah sistem beroperasi dan menjelaskan penyebab-penyebab permasalahannya.”

Peliputan, karena itu, memerlukan rancangan penelitian yang sistematis dan terencana. Sistematikanya meliputi perumusan masalah, penetapan tujuan, hipotesis, pengumpulan dan pengolahan serta penginterpretasian data.

Teknik riset yang dipakai, menurut Herbert Strentz dalam Reporter dan Sumber Berita: Persekongkolan dan Mengemas dan Menyesatkan Berita, di antaranya, mencakup survei, sampel acak, teknik-teknik wawancara dengan topik yang sensitif, dan eksperimen lapangan. Namun, tak semua liputan harus memakai teknik tersebut. Tiap liputan membutuhkan metode yang berbeda untuk mencapai akurasi dan fakta yang teruji. Grafik maupun tabulasi menjadi penting sebagai bagian dari fakta.

Arah penelitian ditentukan oleh hipotesis. Bondan Winarno tak begitu saja mempercayai berita kematian de Guzman. Hipotesanya menunjuk pada kematian yang terjadi secara tak wajar dan aneh. Mayat de Guzman ditemukan dalam keadaan utuh, meski ia dilaporkan jatuh dari ketinggian 800 kaki. Gigi palsu de Guzman juga tak ditemukan di rahang atasnya. Motif bunuh diri tak sesuai dengan sosok de Guzman yang penuh vitalitas dan gemar berfoya-foya dengan banyak wanita.

Bondan mencari fakta mulai dari kota Calgary dan Toronto di Kanada sampai Manila di Filipina, selain masuk ke hutan Kalimantan.

Ia mewawancarai dua orang yang melakukan otopsi mayat, mantan pembantu de Guzman di Busang, keluarga, dan keempat istrinya. Dari penyelidikan itulah Bondan berhasil menemukan kejanggalan pada keterangan dokter dan polisi Indonesia. Di akhir penyelidikannya, Bondan menyimpulkan bahwa kasus ini melibatkan pihak yang hendak memanipulasi pengeboran emas di Busang untuk kepentingan kenaikan harga saham.

Hipotesis harus terus-menerus diteliti dan diuji. Bila tidak terbukti, ia harus rela melepaskan hipotesis yang telah disusunnya pada awal penelitian.

REPORTASE investigasi juga menekankan perlunya etika dan hukum. Film All the President’s Men, yang diangkat dari hasil investigasi Bob Woodward dan Carl Bernstein dari The Washington Post terhadap skandal Watergate, memperlihatkan sikap Woodward ketika menolak tuntutan narasumber yang meminta jati dirinya disamarkan.

Jeb Stuart, salah seorang saksi, telah diwawancara Woodward. Di tengah wawancara, Stuart memberitahu bahwa dia telah diinterogasi Federal Bureau of Investigation. Dan meminta keterangannya dianggap sebagai on background.

Woodward berkelit. Dia menegaskan Stuart salah. Seharusnya Stuart mengerti bahwa tiap pernyataan yang diberikan seseorang kepada wartawan pada dasarnya adalah on the record, kecuali bila sejak awal wawancara antara wartawan dan sumbernya telah ada kesepakatan.

“Tetapi Anda harus membantu saya,” cetus Stuart. “Saya akan mengalami kesulitan bila identitas saya disebutkan.”

“Pernyataan itu pun mungkin akan saya kutip,” tegas Woodward.

Cuplikan kisah Woodward itu menunjukkan pemahaman wartawan mengenai etika peliputan. Kode etik media massa, di antaranya, memberikan beberapa kategori keterangan yang mesti diperhatikan wartawan.

Cuplikan kisah Woodward itu, menurut William L.Rivers dan Cleve Mathews dalam Etika Media Massa dan Kecenderungan untuk Melanggarnya, menekankan perlunya pemahaman wartawan mengenai etika dalam liputan.

Kode etik media massa, di antaranya, memberikan beberapa jenis keterangan yang mesti diperhatikan wartawan, dan sumber-sumbernya di masyarakat luas:

On the record. Semua pernyataan boleh langsung dikutip dengan menyertakan nama serta jabatan orang si sumber. Kecuali ada kesepakatan lain, semua komentar dianggap boleh dikutip.

On background. Semua pernyataan boleh dikutip langsung, tapi tanpa menyebutkan nama si sumber. Jenis penyebutan yang digunakan si sumber harus dinegosiasikan lebih dulu. Tapi harus diingat bahwa makin kabur identitas si sumber, makin ringan juga kredibilitas laporan si wartawan. Seorang dosen di sebuah universitas lebih kabur ketimbang seorang dosen di fakultas universitas tersebut.

On deep background. Semua pernyataan sumber boleh digunakan tapi tidak dalam kutipan langsung. Reporter menggunakan keterangan itu hanya untuk dirinya sendiri, tanpa menyebutkan sumbernya. Umumnya, reporter tak suka kategori ini, sebab si sumber, apalagi yang sudah berpengalaman dengan media, sering memanfaatkan status ini untuk mengapungkan umpan tanpa mau mempertanggungjawabkannya.

Off the record. Informasi yang diberikan secara off the record hanya diberikan kepada reporter dan tak boleh disebarluarkan dengan cara apa pun. Informasi itu juga tak boleh dialihkan kepada nara sumber lain dengan harapan informasi itu bisa dikutip. Secara umum harus diketahui lebih dulu bahwa rencana penyampaian informasi secara off the record harus disepakati lebih dulu oleh reporter. Risiko menyetujui informasi off the record adalah si wartawan terikat untuk tak menggunakan informasi tersebut –termasuk kemungkinan bahwa informasi itu diperoleh dalam bentuk yang lain dari nara sumber lain, tapi bisa menimbulkan kesan bahwa si wartawan tak menghormati kesepakatannya dengan sumber pertama– sampai ada pihak lain yang mengeluarkannya dengan nama lengkap. Kebanyakan reporter dengan sendirinya tak mau menerima informasi yang off the record.

Dari beberapa jenis keterangan ini, jenis kesepakatan yang dipilih sangat menentukan kekuatan investigasi. Disinilah, kecerdikan amat penting dimiliki wartawan investigatif dalam menghadapi berbagai nara sumber mereka.

Pemahaman etika dan hukum pers diperlukan wartawan investigasi ketika berhadapan dengan liputan-liputan yang konfidensial; yang sengaja ditutup rapat-rapat oleh pihak-pihak tertentu. Hal ini, di antaranya, menyebabkan teknik affidavit dan penyamaran dipakai dalam peliputan investigasi.

Dalam upaya mencari keterangan narasumber yang kuat, investigative reporting kerap mensyaratkan informasi dari para saksi mata. Para saksi mata adalah orang-orang yang menyaksikan langsung peristiwa yang terjadi. Di Indonesia hal yang mirip ini adalah keterangan di atas surat bermaterai yang dibuat secara legal.

Mereka memiliki informasi tentang fakta. Namun, keterangan mereka dianggap memiliki potensi memojokkan pihak-pihak tertentu. Untuk itulah, kesaksian mereka harus diberi perlindungan hukum dan disebut affidavit.

“Affidavit adalah pernyataan tertulis yang dibuat di bawah sumpah, di hadapan notaris publik,” jelas Rivers dan Mathews.

Keterangan ini menjadi senjata wartawan. Affidavit merupakan bahan yang dapat memperkuat berita investigasi dan dapat dimanfaatkan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk. Bahkan, bisa digunakan untuk menepis kemungkinan penyangkalan narasumber yang menyatakan bahwa dirinya telah salah kutip. Reporter investigasi jadi memiliki kekuatan legal untuk menolak sumber berita yang kemudian mengatakan, “Bukan begitu maksud saya.”

Melalui affidavit, wartawan Jack Nelson dari Los Angeles Times, berhasil mengungkapkan sebuah kasus lumayan penting.

Seorang teknisi ruang operasi di sebuah rumah sakit menjadi saksi mata pelanggaran yang dilakukan oleh seorang perawat. Perawat itu dilihatnya mengerjakan sebuah operasi besar, yang seharusnya dikerjakan dokter spesialis. Nelson menyelidikinya, tapi hanya berhasil sampai tingkat pengakuan affidavit.

Ia lalu berkonsultasi dengan pengacara yang mengurus kasus pencemaran nama baik dari medianya. Hasil diskusi ini menegaskan Nelson perlu memperoleh keterangan lain, dari staf medis rumah sakit tersebut. Keterangan tersebut berisi penegasan bahwa teknisi tadi benar-benar pekerja di sana dan segala keterangannya dapat dipercaya.

Jack akhirnya berhasil mengorek keterangan dari seorang dokter yang juga hanya mampu memberikan pengakuan setingkat affidavit. Jack Nelson tetap mengangkat kasus tersebut dengan akhir berita yang berbunyi, “Demikianlah sesuai dengan affidavit dari dua pegawai staf rumah sakit ….”

TERKADANG reporter terpaksa melakukan penyamaran dalam penyelidikannya. Seorang reporter di Chicago pernah melamar dan mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga keamanan di penjara, tetapi merahasiakan maksud sejatinya dari para pejabat yang menggajinya. Setelah itu, dia menulis sebuah artikel orang-pertama (the first-person articles).

Dalam kisah lain, seorang reporter di Albuquerque, New Mexico, mendaftarkan diri di sebuah sekolah menengah atas kemudian menulis sebuah serial peristiwa yang terjadi di sana. Selama liputannya, dia tak pernah berterus terang kepada para pejabat sekolah tentang siapa dia sesungguhnya.

Chicago Sun-Times, pada 1979, bersama sebuah lembaga swadaya masyarakat The Better Government Association, pernah menyewa kedai minum di kota mereka. Kedai ini mereka namai “The Mirage,” lalu mengoperasikannya selama empat bulan. Kedai minum itu jadi tempat mereka menyelidiki kasus korupsi dan mismanagement pemerintah.

Salah seorang reporter yang turut bekerja di situ Pamela Zekman, yang menerbitkan laporannya untuk The Sun-Times. Laporan Zekman tentang “The Mirage” mengungkap berbagai tindak penyogokan yang menimbulkan masalah bagi kesehatan masyarakat, kekacauan standar keamanan, tindak pemerasan yang dilakukan seorang inspektur kota (yang membidangi kewenangan kasus “minuman keras”) setempat terhadap para pembuat minuman liquor, sepak terjang pelaku bisnis mesin jukebox dan pinnball ilegal, dan mangkirnya banyak pegawai kantor pemerintah.

Laporan tersebut dinominasikan untuk penghargaan Pulitzer sebagai serial investigasi terbaik dan masuk ke dalam daftar finalis tapi kalah. Beberapa juri Pulitzer menganggap reporter yang menyamar dan mengoperasikan bar itu telah memasuki medan operasi jurnalistik yang kontroversial. Penyamaran mereka terkait dengan berbagai pertanyaan serius dalam etika jurnalisme.

Keberatan diajukan dewan Pulitzer, lantaran Zekman dan kawan-kawan dianggap mendapatkan berita dari perbuatan yang seharusnya menjadi tugas pihak kepolisian.

Banyak editor meneruskan perdebatan tentang tindakan menyamar sebagai praktik penipuan yang merugikan kredibilitas organisasi berita. Mereka tidak menghendaki para reporter mengaburkan jati dirinya sendiri. Mereka juga tidak pernah mengizinkan tipe investigasi dengan jalan semacam itu.

Hal tersebut tetap diliputi sikap pro dan kontra. Tapi pada kenyataannya, banyak kisah-kisah bagus yang tak dapat diperoleh jika sang reporter langsung memasuki sebuah situasi dan serta-merta mengumumkan dirinya seorang reporter. Terlebih jika ia sudah menegaskan dari awal pertemuan, bahwa apapun yang dikatakan orang tersebut akan langsung dicetak atau disiarkan medianya.

Menghentikan kerja penyamaran sama artinya dengan seorang reporter tidak dapat lagi membeli obat bius di toilet wanita di sekolah menengah atas setempat ketika menyamar menjadi murid, atau tidak akan mendapat perlakuan yang sama dengan sipir penjara lainnya ketika menyamar jadi petugas di sana. Dan, tentu saja, para reporter yang bekerja sebagai bartender di “The Mirage” pun tak akan mendapatkan berita pemerasan para pejabat dan penyogokan pemilik bar dan restoran.

Beberapa editor dan direktur berita pun saling berbantahan. Mereka tidak pernah sepakat dalam soal ini; apakah hasil akhir kerja wartawan, atas nama kepentingan publik, dapat membenarkan segala cara peliputan.

Di sejumlah suratkabar dan biro-biro siaran, penyamaran masih dipraktikkan. Pada umumnya, teknik penyamaran digunakan sebagai jalan terakhir, setelah para editor, direktur berita, dan reporter menyimpulkan sebuah kisah begitu signifikan dan tidak ada cara lain untuk mengetahuinya.

Hal ini pula yang memunculkan fenomena narasumber rahasia. Akibatnya, pengadilan di Amerika sering memutuskan untuk memenjarakan para wartawan yang tidak mau membuka siapa narasumber rahasia mereka untuk kasus politis atau pemerintahan. Para wartawan benar-benar diuji keberaniannya dan integritasnya, ketika menolak permintaan pengadilan dan masuk penjara.

Seorang wartawan menjadikan kepentingan publik sebagai alasan utama untuk membuka atau merahasiakan sumbernya. “Paling tidak harus mengetahui lebih dulu sampai sejauh mana identitas narasumber boleh dipaparkan, dan syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi sebelum mengungkapkan identitas narasumbernya,” saran Rivers dan Mathews.

William Recktenwald, reporter Chicago Tribune, yang terlibat dalam berbagai tindak penyamaran dengan sejumlah investigasi, setuju bahwa reporter seharusnya menghindari penyamaran kecuali jika mutlak diperlukan. Ia memberi beberapa saran:

• Tugas pertama seorang reporter dalam mengandaikan dirinya menjadi orang lain semata-mata untuk melaksanakan pekerjaan dengan benar dan bukan untuk mengacaukan hidup orang lain. Jika seorang reporter akan bekerja di panti perawatan manusia lanjut usia, tugas-tugasnya harus didahulukan ketimbang profesinya sebagai jurnalis.

• Jika sesuatu, yang dicari, tak ada di sana, jangan coba membuatnya ada, membagus-baguskan, atau melebih-lebihkannya. Jangan pernah mendorong orang untuk melanggar hukum agar mendapat adegan dalam laporan yang hendak disampaikan.

• Seorang reporter yang menggunakan identitas palsu, janganlah terlalu jauh dalam menyamar. Misalnya, tidak jadi manajer jika jabatan satuan pengamanan lebih cocok dipakai dalam penyamaran. Seorang reporter biasanya memakai nama palsu dengan nama depan diambil dari nama aslinya. Ini untuk menghindari keraguan/kecurigaan ketika seseorang memanggilnya. Ketika mengisi lembar aplikasi gunakan tanggal lahir, alamat, asal sekolah, dan pengalaman kerja yang sesungguhnya, kecuali pekerjaannya selaku reporter. Masih cukup mudah untuk mendaftar pengalaman kita selama dua tahun terakhir, sementara yang diperlukan biasanya hanya pengalaman selama enam bulan terakhir. Dalam banyak kasus, latar belakang tidak diperiksa. Tapi jangan sekali-kali berbohong untuk dokumen-dokumen tertentu, seperti surat izin mengemudi, yang memerlukan sebuah sumpah.

• Jangan pernah melanggar hukum. Pengumpulan berita tidak kebal terhadap hukum. Ini mengacu kasus Dietemann versus Time Incorporation pada 1971 bahwa “undang-undang tidak pernah menyatakan bahwa orang-orang pers mendapatkan kekebalan dari tindakan kerugian (ketidakadilan) dan kejahatan selama rentang pengumpulan berita.”

• Hindari lubang. Kisah-kisah yang berdasarkan pada “lubang-lubang bocoran” informasi akan terlalu menggantungkan diri dengan banyak sumber tak bernama. Alih-alih demikian, bersandarlah pada enterprise journalism, kegiatan atau insiatif atau usaha yang lebih kreatif, serta antusias, tekun, dan sabar dalam menghadapi berbagai rintangan jurnalisme. “Gali terus walaupun harus melalui catatan-catatan yang membosankan. Kunci keberhasilan adalah ketabahan dan penggalian/pendalaman.”

Akhir dari tiap diskusi undercover ini memang penuh polemik. Wartawan investigasi amatlah berbeda dengan pencuri. Jurnalisme bukanlah pekerjaan yang tidak mengindahkan etika dan hukum. Perkara mencuri informasi tetap akan dikenai sanksi hukum. Pengadilan akan memutuskan berdasarkan tuntutan pihak yang merasa dirugikan dan pembelaan pihak yang menganggap tindakan itu bukan kesalahan.

Reportase investigasi telah mencapai bentukan yang berbeda dibanding awal mulanya pada zaman Nellie Bly maupun Ida Tarbell. Tantangan-tantangan yang ditempuh para wartawan makin bervariasi sesuai gerak masyarakat modern.

Struktur organisasi kegiatan investigasi kini terhubung dengan sistem yang dirancang ekonomi kapitalisme yang bertujuan bisnis dan menjadi akumulasi kehendak para pemilik saham. Produk pemberitaan investigasi media pun menjadi komoditas peraih laba ekonomi.*

kembali keatas

by:Septiawan Santana Kurnia