Wartawan Kesehatan

Weka Gunawan

Mon, 3 December 2001

PELUH membasahi dahi, dan tenggorokan terasa kering, saya terus bergegas menuju Departemen Kesehatan di Jalan Rasuna Said Jakarta, 23 Oktober lalu.

PELUH membasahi dahi, dan tenggorokan terasa kering, saya terus bergegas menuju Departemen Kesehatan di Jalan Rasuna Said Jakarta, 23 Oktober lalu. Jakarta terasa mulai hangat, mungkin mau hujan. Saya tergesa-gesa karena hari itu ada rapat penentuan pemenang lomba penulisan di media cetak berkaitan dengan isu desentralisasi kesehatan, dalam rangka Hari Kesehatan Nasional, 12 November 2001. Menurut saya ini peristiwa penting.

Tepat pukul 13.00 saya sudah sampai di depan ruang Biro Hubungan Masyarakat di lantai 4 Gedung A Departemen Kesehatan. Mariani, kepala biro itu, menyambut saya dengan mata berseri-seri meski tampak kurus lantaran baru saja sembuh dari sakit, ”Matur nuwun lho, Mbak Weka mau datang dan tepat waktu.”

Kami menuju ke ruang 401 dan di sana sudah ada panitia dari Departemen Kesehatan. Beberapa menit sesudahnya semua juri hadir: Maskun Iskandar dari Lembaga Pers Dr. Soetomo, Retno Widiastuti dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Marius Widjajarta dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, Syamsul Hadi dari Departemen Kesehatan, dan saya sendiri. Kami lalu saling berargumen tentang siapa yang patut jari pemenang. Singkat kata, kami sepakat juara pertama dari harian Kompas, kedua dari Suara Pembaruan, dan ketiga dari Warta Kota.

Ada 119 naskah di tangan kami dan kesempatan kami untuk menilainya selama tiga minggu. Sesudah itu masing-masing menentukan nominasi pemenang pada lima naskah terbaik. Ada 24 naskah yang saya anggap berbobot tinggi, yang terasa sekali wartawannya amat menaruh perhatian pada isu kesehatan dan berempati pada masalahnya.

Saya menaruh hormat pada wartawan kesehatan yang mau mengeksplorasi data lapangan dengan mencari fakta. Misalnya mencari penderita malagizi dan menceritakan keseharian mereka. Tidak hanya mengutip pernyataan pejabat atau organisasi yang bergerak di bidang tersebut, semisal jumlah penderita gizi buruk di wilayah Jakarta sekian ribu orang atau jumlah penderita demam berdarah sekian ratus orang. Kemudian sisanya menceritakan program-program pemerintah atau organisasi tersebut.

Sebagai wartawan kesehatan, saya bangga pada para jurnalis kesehatan karena pekerjaan kami bukan saja mengangkat isu kesehatan, tapi juga mengungkapkan masalah kemiskinan, marginalisasi, dan keterpurukan. Jarang sekali kami bersentuhan dengan kemewahan. Ketika membicarakan tentang kesehatan, kami tak hanya meliput penyakit infeksi yang umumnya menyerang masyarakat miskin, tapi penyakit degeneratif yang biasa mengenai orang kaya seperti jantung, ginjal, dan diabetes. Tapi penyakit degeneratif ini juga menyerang kaum papa yang membuat keadaannya jadi lebih parah dan penanganan terhadap penderita selalu membuat hati miris. Pengalaman saya sebagai reporter kesehatan juga mengajarkan saya pada kesadaran untuk berhati-hati mengambil sudut pengambilan gambar, pilihan-pilihan gambar, proses editing, dan mengambil soundbite wawancara serta pengolahan narasi.

Karena bisa saja atas nama berita bagus maka saya mengabaikan stigma yang mungkin terjadi pada penderita yang menjadi subjek berita. Ini tak terbatas pada penderita HIV/AIDS, penderita kelainan jiwa, penderita kelainan seksual, atau mantan korban obat bius, tapi saya juga harus berhati-hati pada penderita malagizi, penyakit degeneratif, dan penyakit infeksi.

Menjadi wartawan kesehatan juga tak glamor. Bagaimana bisa kelihatan mewah jika ke lapangan berarti juga melepas blazer dan pantalon yang menjadi busana kerja saya kalau ditugasi ke Istana Negara atau mengikuti perjalanan presiden ke luar negeri? Kami berangkat dengan t-shirt, celana jin butut, dan sepatu kets karena harus menempuh gang becek berliku-liku atau ke klinik di pelosok-pelosok daerah yang jauh.

Pengayaan materi berita kesehatan dengan fakta-fakta yang otentik sangat berarti dalam laporan di televisi. Sayangnya, isu-isu kesehatan tak pernah menjadi laporan utama di media massa kita. Walau saya memberi penghargaan khusus pada harian Warta Kota yang banyak memberitakan kesehatan dengan detail, menarik, dan sering menampilkannya di halaman depan. Isu-isu kesehatan dan sosial umumnya jarang sekali berada di halaman depan atau segmen utama di televisi atau radio. Selalu saja berita politik yang semakin membosankan untuk diikuti dan juga berita ekonomi yang hari-hari belakangan ini makin membuat hidup terasa lebih berat.

Isu-isu kesehatan konon tidak layak jual, itu kata beberapa teman. Agaknya seperti mitos, maka isu kriminal, politik, dan ekonomi mewarnai segmen utama di televisi atau radio dan topik kesehatan di segmen terakhir atau segmen rileks, padahal sering kali beritanya sama sekali tidak membuat rileks!

Liputan kesehatan dan sosial juga digolongkan sebagai “rawan drop,” istilah awak televisi. Tanpa rasa bersalah sering kali tiba-tiba topik-topik kesehatan dan sosial tidak ditayangkan oleh produser program berita. Sedihnya sering kali penggantinya benar-benar berita ringan dan berbau mistis seperti kolam yang mengandung kesaktian atau semacamnya.

Saya direkrut untuk jadi reporter kesehatan RCTI pada 1994. Namun yang sering terjadi saya dialihkan untuk meliput masalah politik, kadang-kadang ekonomi juga kriminal. Koordinator liputan kala itu Ganjar Iyas biasa mengatakan, ”Sudah tinggal saja itu, ini lebih penting.” Ketika jadi koordinator liputan ilmu pengetahuan dan kesehatan, saya sering melihat reporter yang tadinya ditugasi meliput kesehatan mendadak keesokan pagi dialihkan ke politik. Saya kesal bukan main karena sering kali tidak dikomunikasikan kepada saya lebih dulu. Dan selalu dibilang, ”Nggak ada kamera lagi, Wek. Isunya penting nih.”

SAYA agak prihatin, karena dari 119 naskah yang dilombakan tak ada yang benar-benar mengaitkannya dengan isu desentralisasi kesehatan itu sendiri. Padahal dampak desentralisasi kesehatan amat besar. Desentralisasi kesehatan memungkinkan anggaran pendapatan daerah menghidupi rumah-rumah sakit dan klinik-kliniknya dan memberi otoritas pada pemerintah daerah untuk mengutip biaya sesuai dengan status ekonomi di daerah itu. Hanya saja akan ada ketimpangan. Daerah yang miskin tak mampu melayani masyarakatnya dengan baik, sedangkan daerah yang kaya mampu melayani masyarakatnya dengan baik. Desentralisasi seharusnya dilakukan bertahap, tak terburu-buru, dan peraturannya harus jelas.

Para jurnalis kesehatan juga sebaiknya lebih kritis terhadap program pemerintah yang akan dilaporkannya. Sedihnya kebanyakan program jangka pendek dan tidak berkelanjutan seperti program pemberian makanan tambahan, yang ketika tak ada dananya berhenti, tanpa ada upaya pemberdayaan masyarakat. Aksinya cepat dan langsung terlihat: ini orang miskin bisa makan bubur bergizi dan susu. Tak berbeda dengan program sosial yang dikelola perorangan atau program sosialisasi pemberian obat Rifampicin untuk penderita tuberculosis (TBC-DOTS) yang sama sekali tak ada edukasi untuk mencegah orang lain tidak terkena TBC. Akibatnya, karena program pemberian Rifampicin itu memerlukan waktu enam hingga sembilan bulan, banyak penderita yang tak lagi menyelesaikan pengobatannya, padahal obat diberikan dari pemerintah secara cuma-cuma. Akibatnya terjadi resistensi bakteri tuberculosis terhadap obat yang menyebabkan ketika penderita kembali terserang TBC, pengobatannya terpaksa mulai dari awal lagi. Ini memakan waktu lebih lama. Juga mengenai Program Kartu Sehat yang tidak pernah disosialisasikan cara mendapatkannya. Apa hak yang diterima si pemilik kartu dan apa kewajibannya? Demikian pula dengan berbagai program Jaring Pengaman Sosial yang lain. Saya tidak mengatakan program itu buruk, tapi alangkah baiknya jika dilengkapi dengan berbagai edukasi dan sarana.

Para jurnalis kesehatan itu juga belum menyentuh kesadaran bahwa kesehatan hak semua warga negara yang seharusnya dikelola oleh negara. Kesadaran itu masih belum terlihat di lembaga eksekutif maupun legislatif Indonesia. Sedihnya, sejak jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998, dan anggota legislatif berasal dari berbagai partai, kesadaran itu terasa memburuk. Para pengambil keputusan di daerah semuanya berasal dari partai. Mereka berusaha mengesankan pemilihnya atau partainya dengan hal-hal yang tampak mata dan langsung terukur dalam waktu singkat karena masa kekuasaannya hanya empat tahun. Mereka membangun mal dan pusat-pusat perbelanjaan yang sering kali disertai dengan penggusuran pasar tempat para pedagang kecil berjualan atau membangun hotel berbintang atau kantor partainya sehingga berkesan jauh lebih nyata dan peningkatan pendapatan ekonomi daerah langsung terukur. Meski itu semu, dan tak akan berjalan lama sepanjang generasi. Akibatnya, menginvestasikan uang untuk pembangunan sekolah dasar, rumah sakit bagi orang tak mampu, klinik-klinik, atau penyuluhan kesehatan dianggap hanya membuang uang karena hasilnya tidak langsung tampak.

Kesehatan dan isu sosial agaknya juga dianggap tak layak jual di kalangan politikus dan ekonom. Kesehatan juga sering dianggap hanya eksklusif dibicarakan oleh orang kesehatan saja. Padahal seperti juga politik seharusnya para ekonom dan politikus negeri ini juga berbicara tentang kesehatan. Mengapa? Karena kesehatan memang urusan semua orang tanpa kecuali!

Jeffrey Sachs, direktur Harvard Center for International Development, yang juga menjadi ketua Comisssion on Macroeconomics and Health di World Health Association dalam suatu seminar menyatakan dia dan timnya di badan kesehatan itu tengah menggodok anggaran untuk membantu negara-negara miskin dan berkembang. Jeffrey Sachs berusaha untuk meningkatkan anggaran kesehatan melalui bantuan negara kaya, pabrik obat besar, dan usaha dari negara miskin sendiri, khususnya untuk mengatasi penyakit seperti malaria, tuberculosis, AIDS (di Afrika) yang dapat dicegah dengan vaksin dan diatasi dengan obat. Ekonom lain di seminar itu lalu menanyakan kepadanya seberapa cepat investasi miliaran dolar Amerika itu akan kembali. Untungnya Jeffrey Sachs seorang profesor ekonom yang handal dan ia mempresentasikan angka investasi dan hasilnya dengan cukup mengesankan. Amartya Zen, pemenang nobel juga seorang ekonom dari Universitas Harvard, berbicara bahwa health brings wealth as well as other utilities. Investasi di kesehatan selalu mempunyai pengaruh yang sangat berarti.

Sebuah penelitian “Social Gradient in Health” memperlihatkan adanya lonjakan sosial di setiap jenis kematian dan penyakit. Hasil penelitian itu juga menyebutkan bahwa orang dengan status sosial yang tinggi cenderung lebih sehat. Artinya masalah kesehatan itu melekat dalam struktur sosial. Implikasinya orang tak akan pernah berhasil memecahkan masalah kesehatan jika hanya didekati oleh sektor kesehatan saja. Di Swedia dan Jepang, tempat kesenjangan sosial masyarakatnya rendah, terlihat bahwa angka harapan hidup di sana amat tinggi. Maka, dalam masyarakat yang egaliter tidak hanya orang yang lemah (vulnerable) yang diuntungkan tapi juga orang dengan status sosial yang lebih tinggi.

Karena itu penting buat saya bahwa para jurnalis kesehatan mampu memasyarakatkan masalah kesehatan menjadi domain masyarakat dan mampu mendefinisikan masalah kesehatan sebagai masalah sosial. Kelak, pemimpin bangsa ini harus ada yang bicara tentang kesehatan bukan sekadar pidato normatif untuk pembukaan seminar, simposium, atau dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Nasional, tapi sungguh-sungguh berbicara dengan pemahaman yang benar bahwa kesehatan sebuah investasi yang sangat berharga. *

Saya berharap lomba penulisan semacam ini terus digalakkan. Lomba penulisan bisa jadi perangsang untuk tetap menggali fakta dan menambah ilmu tentang berbagai masalah kesehatan dan berkreasi dalam penyajiannya, meski saya tetap yakin wartawan pada umumnya menulis berdasarkan hati nurani.*

kembali keatas

by:Weka Gunawan