SEDAN Timor warna metalik terparkir di pekarangan yang difungsikan sebagai garasi. Terpaut beberapa jengkal, terhalang dinding pintu utama, seorang perempuan berkulit langsat sedang membuang rasa penat setelah seharian bekerja. Ia memainkan game kartu solitaire di depan komputer pribadinya.

Sejurus kemudian, ia menggerakkan mouse, mematikan komputer. “Hai,” sapanya pendek, spontan, nyaris tanpa disadarinya. Ia bangkit dari tempat duduknya, berjalan dengan anggun melewati samping pesawat televisi dan duduk di sofa kain berlatar kuning-biru. Di tangannya, tergenggam handphone mungil keluaran terbaru Motorola.

Delapan tahun menikah, dan dikarunia tiga anak—Puspa Asri Wulandari, Vai Andika Putra dan Axel Andika Putra—tidak membuatnya lekas terlihat tua. Wajahnya tampak terawat secara teratur, kulitnya tetap kencang. Satu-satunya yang berubah dari penampilan fisiknya adalah gelambir di bagian perutnya, tanda ia habis melahirkan. “Bayi di kakak, di Jakarta,” kata Dian Fridianie, demikian nama perempuan tadi.

Fridianie, 28 tahun, sempat menjalani profesi model pada awal 1990-an. Kini, ia bekerja di sebuah bank swasta, tak jauh dari tempat tinggalnya, Cimahi. Status lain yang melekat padanya adalah istri gitaris Azis M. Siagian, motor penggerak Jamrud, kelompok musik yang sedang meraksasa dalam tiga tahun terakhir ini.

“Dia,” tutur Fridianie mengacu suaminya, ”suka banget barang-barang seni. Kalau seneng, berapa pun pasti dia beli.” Ia melayangkan matanya ke dinding sayap kanan ruangan. “Itu dari Pak Toto,” ia menunjuk lukisan armada perahu layar tradisional yang sedang dimainkan ombak laut. Toto Sunu adalah pelukis ternama asal Cirebon. Dia memberikan lukisan kepada Siagian hanya karena salah seorang anaknya penggemar fanatik Jamrud.

Tak hanya lukisan Toto Sunu yang menghiasi ruang tamu yang merangkap ruang keluarga plus ruang kerja Siagian tersebut. Sekurang-kurangnya ada lima lukisan lain, yang sebagian di antaranya diletakkan asal tempel. Barang-barang lain, seperti guci Cina, ukiran etnik dari Irian, Kalimantan, Solo dan arca-arca khas Bali menambah ketidakteraturan ruangan berukuran sekitar 5 x 8 meter persegi itu. Mungkin akan seperti kapal pecah jadinya kalau saja Siagian tidak melarikan sebagian koleksinya ke rumah barunya yang sedang dibangun di kompleks perumahan mewah Taman Mutiara, Cibabat, Bandung, seluas kurang lebih 330 meter persegi.

Sedianya rumah berlantai dua itu, yang sudah makan anggaran senilai Rp 700 juta, bisa ditempati Oktober 2001. Namun, lantaran sering dibongkar-pasang, penempatan jadi molor. Dana pembangunan pun hampir dapat dipastikan akan membengkak. Pembangunan studio, ruang kerja dengan segala aksesorinya serta perabotan rumah tangga, itulah pangkalnya.

“Sebagian dinding rumah ingin ditempeli koleksinya,” kata Fridianie, seraya mengungkapkan, dalam beberapa bulan terakhir ini, Siagian makin keranjingan memborong barang-barang bernilai seni. Sehabis pulang promo tur, ada saja yang dibawanya. Bahkan, beberapa di antaranya, taruhlah gembyok ukiran Solo, diangkut dengan truk sewaan.

Siagian, begitu pula sejawatnya di Jamrud, mungkin sedang menghadapi masalah kecil setelah sukses besar selama ini: kebanjiran uang dan repot membelanjakannya.

CIMAHI, 1984. Sekelompok anak muda biasa mangkal di sebuah rumah di Jalan Kebonsari, Cimahi: memetik gitar, nyanyi-nyanyi sekenanya. Sesekali menggeber tape. Dijamin, mereka tidak sedang beramal biar tetangga terdekat ikut dengar. Kuping mereka baru ngeh bila mendengar hentakan suara drum, distorsi gitar elektrik, dan lengkingan vokal.

Dari kumpul-kumpul sehabis pulang sekolah itulah mereka sampai pada cita-cita untuk membangun sebuah kelompok musik. Penggebuk drum Budi Haryono, belakangan bermain untuk Gigi, pemetik bas Ricky Teddy dan gitaris Azis M. Siagian, pun berlatih dengan tekun. Lagu-lagu Rush—kelompok musik asal Kanada, yang diawaki Gary Lee Weinrib, Alex Lifeson dan John Rutsey—lengkap dengan aksi panggungnya, mereka jiplak habis. Begitu hapal dua-tiga lagu, mereka naik panggung dengan rasa percaya diri yang besar. Sebagian didorong oleh tekad mereka untuk segera dikenal publik, sebagian karena teler dari telapak kaki sampai ubun-ubun.

Tidak sia-sia. Tetangga mereka membaptisnya sebagai rocker.

Di belakang hari, muncul kebutuhan untuk memberi cap pada kelompok. Mereka kemudian menyebut diri Jam. Nama ini dipilih lantaran sifat kelompok mereka yang nge-jam. Siapa saja boleh masuk. Konsekuensinya, orang sering salah persepsi menyebut mereka sebagai kelompok musik yang gemar bongkar pasang personil. Konsekuensi lain, perputaran ide musik mereka berlangsung dalam intensitas tinggi dan kompleks. Kesan yang bekembang, ‘jenis kelamin’ musik mereka menjadi tak jelas. Hari ini mereka bereksperimen dengan heavy metal, besoknya asyik-masyuk dengan black metal, atau thrash. Di kesempatan lain, mereka terbenam ke dasar hardcore dan grindcore, dengan segala sensasinya. Sisi menariknya, musik Rush yang mereka mainkan, boleh dibilang sama seksinya dengan ketika mereka menggeber irama cepat Deep Purple, Iron Maiden, Halloween. “Kami tak memikirkan rekaman,” kata Siagian, “yang paling penting pentas bagus.”

Panggung besar atau kecil, kafe atau kedai, mereka jelajahi dengan hati riang. Tujuannya apalagi kalau bukan berusaha menjangkau publik yang lebih luas. Populer hanya sebatas tetangga rupanya membuat mereka bosan juga.

Ekspansi pentas dicanangkan. Dan mereka manggung di berbagai pelosok kota Bandung. Nama Jam sayup-sayup mulai terdengar di kalangan anak muda pecinta rock. Jangan tanya honor main. Masih untung sekali tampil mereka dibayar Rp 25 ribu, panitia-panitia pertunjukkan yang bermodal cekak tak jarang cuma mengganjar mereka dengan ucapan ‘terima kasih’, yang di kalangan rocker dikenal dengan sebutan “proyek tengkyu”.

Denny Sabri Gandanegara, promotor pertunjukan—yang di tahun 1975 menggetarkan panggung pertunjukkan di Jakarta dengan mendatangkan Deep Purple, supergrup heavy metal asal Inggris—melirik mereka. Di paruh 1980-an, mereka diajak pentas di berbagai daerah di Jawa Barat selama setahun. Mereka makin berkibar.

Budi Haryono, yang makin dekat ke jazz, terutama fusion, keluar. Tahun 1989, mereka menegaskan diri sebagai kelompok musik rock. Di belakang nama Jam, mereka letakkan rock. Jamrock. Formasinya pun relatif stabil, dengan personil Azis M.Siagian, Ricky Teddy, Agus Sahara, dan Oppi. Setahap demi setahap, mereka mencari identitas musik, seraya mencoba menciptakan lagu. Sesekali mereka mendatangi produser rekaman untuk mengantar kaset demo. Tapi, usaha mereka selalu kandas. Para produser umumnya memiliki alasan seragam: lagu-lagu mereka terlalu keras.

Tak ada buku harian yang menuliskan perasaan mereka ketika salah satu kaset demonya disambut promotor-cum-produser Log Zhelebour, pemilik Logiss Record. Log sendiri merasa yakin dengan pilihannya. Ia merasa, Jamrud akan mampu berkembang karena kekhasan yang dimilikinya, yakni teknik dan keterampilan bermusik yang searah dengan zaman. Mereka menggabungkan berbagai irama musik yang sedang trendy sedemikian rupa sehingga mudah memasuki referensi pecinta musik rock.

“Mereka memang lain,” tandas Log.

“Log itu lebih tahu apa yang musti dia rekam. Kupingnya sakti,” komentar Bens Leo, wartawan senior yang banyak mengamati peta musik Indonesia.

Tahun 1995, Jamrock berubah jadi Jamrud.

Ricky Teddy masih memetik bas. Tapi vokalis Oppi digantikan Krisyanto alias Anto. Sandy Handoko jadi drummer tetap. Fitrah Alamsyah masuk sebagai gitaris, mendampingi Azis M.Siagian sebagai melodis. Perubahan formasi bukan satu-satunya alasan perubahan nama kelompok. Sudah menjadi rahasia umum, kelompok dengan nama berbau asing relatif punya hambatan ketika masuk dapur rekaman. Mereka agaknya ingin memperkecil resiko nonteknis semacam itu.

Lagi pula Log punya core ideology untuk membumikan rock dalam peta pergaulan musik Indonesia. Ia tidak perlu mendakwahi para musisi, atau mengirim rilis-rilis ke media massa. Demi ambisinya, sejak pertengahan 1980-an, Log mengadakan serangkaian festival yang mewajibkan pesertanya membawakan lagu ciptaan sendiri. Mulanya, ini jadi bahan tertawaan. Tapi, sejarah kemudian menunjukkan, justru Log yang tertawa paling akhir ketika mereka yang mengejeknya sudah mengatupkan mulut. Mereka berhenti tertawa setelah melihat kader-kader rock berbahasa Melayu kader festival—sebut saja El Pamas, Power Metal atau Slank—terbukti mampu eksis dan bahkan mulai mengukuhkan rock sebagai sandaran profesi.

Jamrud sendiri tidak saja diikat oleh kontrak pembuatan album, tapi juga promo tur ke sejumlah kota. Untuk kontrak rekaman, mereka diberi hak royalti. Jamrud akan menerima bagian keuntungan setelah penjualan melewati break event point yang dipatok pada angka 50 ribu keping. Di luar tetek-bengek tadi, master album mereka dibayar penuh.

Album pertama mereka, Nekad, yang dirilis pada 1996, terjual 120 ribu keping. Tentu saja, ditilik dari hitung-hitungan bisnis, ini bukan prestasi spektakuler. Namun, untuk ukuran pemula, mereka boleh berlega hati agaknya. Banyak pemusik yang garang di atas panggung, gagap di dapur rekaman. Dan begitu albumnya dilarikan ke pasar, penggemar tak mengenali siapa mereka sebenarnya. Penjualan jeblog. Produser nombok. Semangat turun ke titik nadir. Habis.

Pada Nekad, Jamrud memanjakan fansnya dengan irama musik campur-aduk. Thrash metal dan rap, begitu kebanyakan wartawan menyebut identitas musik mereka. Tidak salah-salah amat karena memang Jamrud penuh dengan ledakan, kecepatan bermain yang tinggi, serta vokal yang gahar dan liar. Tapi juga tidak sepenuhnya benar lantaran pada beberapa lagu unggulan, katakanlah Nekad dan Cerita di Jalanan, Jamrud ternyata tidak terlampau bergantung pada penggunaan distorsi gitar. Vokalnya pun keluar dengan intonasi yang jelas. Jamrud tampaknya lebih pas disebut sebagai bagian dari komunitas hip metal, irama yang memadukan hip-hop dan heavy metal, seperti idiom-idiom yang melekat pada Radio Head, Pulp, Nokturnl, Massive Attack, Green Day atau kelompok musik yang berlari kencang dengan Rollin’ dan Mission Imposible, Limp Bizkit.

“Aku suka musik apa saja. Death metal atau underground,” ungkap Azis M. Siagian, serius, “tapi art rock adalah dasar musikku.”

Dua tahun kemudian, Jamrud meluncurkan Putri. Angka penjualan album ini mencapai 260 ribu keping. Kalangan industri musik terperangah. Senyum di bibir Log mengembang. Awak Jamrud tiba-tiba saja melihat hobinya sebagai cara gampang untuk menimbun uang.

Album kedua belum juga menunjukkan karakter musik mereka yang sesungguhnya. Yang pantas dicatat, kesan sangar sudah mulai berkurang di sini. Mereka tak lagi mengesankan datang dari planet lain, egois, asosial. Putri memberi kelembutan, sekaligus menjadi sarana eskapis bagi Jamrud untuk ikut memikirkan lingkungan di sekitarnya. Unek-unek mereka lepaskan, kritik sosial mereka lontarkan. Tentu dengan bahasa mereka sendiri; bahasa yang dimengerti oleh publiknya. Untuk mempertegas aksentuasi, klip video album ini memperlihatkan Anto bernyanyi dengan megafon, tak ubahnya penampilan-penampilan pemusik grunge, yang cenderung berteriak kepada audiens-nya agar, sebagai kaum marginal, suara dapat mereka didengar.

Segala macam kau coba asal bau USA

Dari Red Lebel hingga tanpa BH

Tingkah Laku berubah serasa hidup di L.A.

Dan kau pun bangga

Putri, sayang tubuhmu koq digratisin.

Kecuali AN-Teve, seluruh stasiun televisi kontan menyambutnya dengan antusias. Ada apa sesungguhnya dengan AN-Teve? Stasiun televisi swasta yang paling kering perolehan iklan ini menilai Putri melecehkan perempuan. Hal menarik, tidak hanya Putri, dua lagu lain yang jauh dari isu gender, yakni Berakit-rakit dan Asal British, ikut-ikutan kena jegal.

“Saya hanya ingin berkata apa adanya. Tidak punya pretensi lain,” ujar Siagian, “dulu kita suka bikin lagu dengan kata-kata kiasan. Lebih ke God Bless. Zaman itu lirik-lirik seperti itu kami anggap berkelas.”

“Putri, secara keseluruhan sarat dengan pesan moral,” tandas Log. Ia tidak menunjukkan di mana letak pesan itu. Tapi, para penggemar Jamrud yang menyimak bait demi bait syair Putri secara seksama, niscaya akan mengamini ucapan Log:

Putri, harusnya kau di rumah

Isi PR atau les privat

Bukan di diskotik

ALBUM ketiga meleset dari target. ‘Cuma’ terjual sebanyak 840 ribu keping. Tadinya, Log mencanangkan Terima Kasih dapat menotok angka penjualan sejuta keping.

Di luar target atau tidak, rekor sebesar itu bukannya tanpa makna apapun. Lintas diakhronis menunjukkan, generasi pendahulu mereka—yang sama-sama berkubang di blantika musik rock, mulai Super Kid, Staccato, AKA, Rollies hingga God Bless—tidak pernah membuat catatan penjualan segigantis itu. Rekor penjualan album rock tertinggi hanya bisa dicapai Semut Hitam God Bless dalam kisaran 300 – 400 ribu keping.

“Kami tidak menyangka album Terima Kasih bisa terjual begitu banyak,” kata Krisyanto. Bisa dipahami kalau ia tidak habis pikir. Betapa pun, Terima Kasih dilempar ke pasaran saat daya beli masyarakat melemah gara-gara dihajar krisis ekonomi sejak paruh 1997, menjelang hari-hari kejatuhan Soeharto dari kursi kekuasaannya di suprastruktur politik nasional. “Ini fenomena luar biasa,” Bens Leo memuji Jamrud, “dalam sejarah musik Indonesia belum pernah terjadi seperti ini.”

Tak hanya panen duit. Mereka pun panen platinum. Sekurang-kurangnya lima platinum mereka sabet ketika angka penjualan mencapai titik 750 ribu keping. Selesai? Masih ada cerita lainnya. Album Terima Kasih tak urung mendapatkan dua penghargaan versi Anugerah Musik Indonesia untuk kategori Grup Rock dan Album Rock Terbaik. Sekiranya menunggu beberapa bulan lagi, mungkin panitia juga mesti memberikan penghargaan lain: Album Rock Terlaris Tahun 2000.

Suka-duka adakalanya mirip roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Ini juga yang terjadi ketika Jamrud sedang menikmati sukses besar Terima Kasih. Penggebuk drum Sandy Handoko, yang selama ini mencandui obat bius, akhirnya masuk liang lahat karena over dosis. Di tahun 1999 pula, gitaris Fitrah Alamsyah menyusul ke alam baka. Publik terhenyak. Jamrud terkulai. Sejumlah proyek di depannya, di antaranya menyelesaikan promo tur, terancam babak-belur. Rencana rekaman album keempat pun nyaris berantakkan.

Azis M. Siagian terus membakar semangat. Jamrud kembali bangkit. Dan rencana rekaman, yang selama ini digembar-gemborkan ke publiknya di atas pentas, segera dimatangkan. Tak tanggung-tanggung, pekerjaan mastering dan mixing mereka kerjakan sekalian di 301 Studio, Sydney, Australia. “Kita tak bisa lagi menunda,” ujar gitaris yang merasa nyaman bercelana pendek saat beraksi di atas panggung, itu.

Posisi Handoko, yang sempat menyumbangkan gebukan drumnya untuk lagu Pelangi, digantikan Herman. Drummer berpenampilan kalem ini bukan orang baru. Ia, selain Agus Sahara—bekas drummer Jamrud semasa bernama Jamrock—sering diikutsertakan tur jika Handoko absen. Kualitas bermain Herman, yang jarang memukul cymbal, boleh dibilang sama bagusnya. Kelebihannya, tentu saja dalam stamina.

Album Ningrat keluar. Sejak jauh-jauh hari, Ningrat diproyeksikan untuk mencetak angka penjualan hingga mencapai dua juta keping. Dan mereka tidak sedang mengigau. Tanda-tanda bakal sukses sudah terekam pada bulan ketiga sejak Ningrat dirilis pada Desember 2000. Sekurang-kurangnya 600 ribu keping disikat pembeli. Menjelang akhir Oktober 2001, sekitar 1,85 juta keping diserap pasar.

“Itu rekaman versi original. Kita belum menghitung jumlah album bajakan. Mungkin lebih banyak dari versi original,” kata Bens Leo, bersemangat. “Kabarnya, ini…ini belum bisa dibuktikan secara akurat, album versi bajakan bisa saja beredar lebih kencang di pasaran. Bisa enam sampai delapan kali lipat.” Kalau benar? Paling tidak Jamrud menyamai angka penjualan single Britney Spears terakhir, Oops…I Did It Again, yang delapan juta keping itu.

Seperti penjudi yang merasa auranya sedang naik, produser Log Zhelebour bertaruh besar-besaran untuk mendongkrak angka penjualan Ningrat. Pada tahap awal, ia membuat sedikitnya lima klip video. Empat sutradara dari production house yang berbeda dikerahkan untuk proyek ambisius ini. Lagu Ningrat digarap oleh Richard Buntario dari Broadcast Design Indonesia (BDI), Asal British oleh Ria Irawan, Pelangi di Matamu oleh Rama M dari V-nergi, serta Kabari Aku dan Surti-Tejo oleh Jose Poernomo dari Rexinema. Ketika Ningrat mulai memasuki titik saturasi pada bulan ketujuh, Log membuatkan dua klip lagu berikutnya: Fuck Off ditangani oleh Oleg Sanchabakhtiar dari Planet Desain Indonesia, serta Jauh lagi-lagi oleh Jauh Rama Mugiharto dari rumah produksi V-nergi. Berbeda dengan klip-klip sebelumnya yang menggunakan Betacam, Jauh menggunakan pita seluloid film.

Album baru mereka terasa lebih solid dan berani. Setidaknya, Jamrud mulai tertarik bereksperimen mengkomposisikan nada diatonis dan pentatonis. “Kami perlu memasukan unsur musik lain tanpa meninggalkan warna rock aslinya,” kata Krisyanto, vokalis Jamrud. Krisyanto tak asal nguap, agaknya. Dengarlah Ningrat, lagu maskot album tadi. Kecepatan dan ledakan thrash, menyatu secara imanens dengan techno yang bertumpu pada modifikasi vokal Krisyanto dan orkestra gamelan yang memberi harmonisasi pada interlude.

Drum dengan beat-beat yang menggelegar serta distorsi gitar, tidak lagi menjadi andalan selayaknya album-album sebelumnya. Hasilnya, tidak hanya lagu-lagu cepat dapat mereka larikan, irama lamban pun dapat mereka atur langkahnya. Cobalah putar Surti-Tejo, yang mengawinkan string section, akustik dan bahkan acappela yang tak karu-karuan; seolah hendak mengejek genre musik yang bermodalkan semata vokal itu. Surti-Tejo, lagu dengan syair sederhana tentang pemuda desa yang mengalami kekacauan sikap dan tingkah laku setelah terbius kehidupan kota, banyak menerima cipratan pujian. Acara tahunan Kado Musik Indonesia yang digelar Forum Wartawan Musik pada 2001, melesakkannya ke dalam daftar nomine Lirik Lagu Terbaik. Di ‘MTV Ampuh’ (Ajang Musik Pribumi Sepuluh), klip Surti-Tejo, bertengger sampai 10 minggu.

Lagu Ningrat sendiri tak kurang gaungnya. Anak taman kanak-kanak pun banyak meneriakkan “Pak Le…Bu De…” yang menjadi intro lagu ini. Seperti juga Surti-Tejo, lagu Ningrat berangkat dari keharuan sosial ala Jamrud. Ningrat jelas meledek feodalisme, menendang formalisme dan basi-basi. Untuk syair ‘wong edan’ ini, produser Log Zhelebour berapologia, “Inilah style Jamrud dalam mengekspresikan atau mengungkapkan suatu peristiwa yang terjadi di sekitar generasi muda. Jujur, transparan dan nakal.”

ROCK Indonesia adalah Log. Log adalah musik rock Indonesia. Jauh sebelum Warner Music Indonesia dan Sony Musik masuk ke negeri ini, Log sudah membangun kerajaan rock, dengan Surabaya sebagai ibukotanya dan Jakarta sebagai syahbandarnya. Ia memulainya dari nol selama lebih dari 20 tahun. Kini, ia tinggal menikmati jerih payahnya sebagai raja rock pribumi yang amat berkuasa. Wilayah kedaulatannya sekurang-kurangnya meliputi Logiss Record untuk rekaman, dan Log Zhelebour Production untuk pertunjukkan.

“Saya konsentrasi total di rock. Dan akan tetap konsisten,” ujar Log Zhelebour, sang produser itu. Ia berbicara dengan nada naik, penuh semangat, optimis pada pilihan hidupnya. “Saya nggak mau jadi pelacur, jadi produser yang ngerjain apa saja asal ada duit.”

Lahir di Surabaya pada 1959, Log memulai karir di dunia hiburan sebagai penyelenggara pesta disko yang mulai meruyak sejak pertengahan 1970-an ketika dunia diguncang oleh lagu-lagu Booney M serta film-film John Travolta seperti Saturday Night Fever atau Grease. Ia tidak lama di situ. Rock membuatnya jatuh cinta. Perasaan yang jauh dari akal sehat, barangkali. Mengapa?

Di masa itu, rock belum lagi menjadi lahan buat cari makan. Orang berlalu-lalang di panggung rock semata untuk hobi. Selebihnya, gagah-gagahan. Jangan harap mereka mendapat bagian keuntungan dari penjualan tiket atau kemurahan hati sponsor. Pulang ke rumah dengan diberi ongkos oleh panitia pementasan pun masih untung. Sudah menjadi rahasia umum, sekiranya ada para pemusik rock yang punya nafas panjang, itu pasti ada tangan-tangan di luar panggung yang membeking finansial mereka. Taruhlah perusahaan rokok Bentoel yang menyangga kelompok Bentoel di Malang atau pengusaha Agus Susanto yang memodali Dragon di Semarang. God Bless saja, yang pada zamannya dianggap supergrup, tak lepas dari karitas pengusaha Akuang.

Semakin terasa tak masuk akal sebab sejak tahun 1960-an pusat gravitasi rock berada di Jakarta. Gravitasi baru bergeser ke Bandung setelah medio 1970-an ketika Aktuil sedang jaya-jayanya. Majalah ini acap memelopori pertunjukkan-pertunjukkan kelas stadion, katakanlah Pesta Kemarau ’75 yang terkenal itu. Pentas yang digalang oleh wartawan Maman Sagith dan kawan-kawan dengan dukungan markas militer setempat, ini amat besar pengaruhnya. Kelompok-kelompok musik rock tumbuh subur di ibukota Jawa Barat itu. Mereka antara lain Giant Step, Rhapsodia, Lizard, Rollies, dan Super Kid.

Tapi Log bukan manusia dengan karakter pengecut. Ia terus melangkah, mencoba menyulap belantara rock jadi ladang usaha. Ia bismilah dengan pentas kecil-kecilan, yang dia sebut pentas rock kampung, dengan modal apa adanya: sebuah honda bebek, sebuah mesin tik, sebuah keinginan, sejuta semangat pantang mundur. “Bisnis ini nggak melulu bicara soal uang. Bisnis ini membutuhkan idealisme,” ucap Log.

Persahabatannya dengan kalangan radio, yang dia rintis sejak malang-melintang di pesta-pesta disko, membantunya untuk melangkah lebih panjang, sampai akhirnya Log mampu membuat pentas besar. Bak meteor, namanya tiba-tiba melintas di angkasa musik rock. Ia memang tidak berhasil menyulap Surabaya sebagai pusat gravitasi musik rock, tapi Log menjadikan kota Malang sebagai kawah candradimuka buat mereka yang merasa jadi musisi. Sedemikian penting peran kota Malang, sehingga para pemusik belum merasa jadi rocker sebelum pentas di Malang. Sejarah akhirnya memperlihatkan, hampir semua musisi rock yang masuk dapur rekaman adalah mereka yang sempat mendapat gonjlokan penonton Malang.

Kredibilitas Log bertambah. Media massa yang punya perhatian terhadap musik rock menaruh namanya di daftar teratas sebagai narasumber. Persahabatan dengan wartawan kian lama kian terjalin dalam hubungan simbiosa mutualisma. Log menyebut sejumlah wartawan, beberapa di antaranya sudah menjadi penggede di tempatnya bekerja, sebagai kawan-kawan baiknya yang banyak membantu perjalanan karirnya.

Mereka antara lain Bens Leo (pemimpin redaksi News Music), Theodore KS (redaktur Kompas), Dhimam Abror Djuraid (pemimpin redaksi Jawa Pos), Don Sabdono alias Bre Redana (redaktur Kompas), Solichin Hidayat (eks pemimpin redaksi Jawa Pos) dan Margiono (pemimpin redaksi Rakyat Merdeka). Belakangan, untuk mengkoordinir konferensi-konferensi pers, Log menggandeng Haris Sukandar, salah seorang redaktur di majalah Popular. Kini, Sukandar jadi pemimpin redaksi Showbiz Katalog, majalah musik milik Log Zhelebour.

Konfensi pers menjadi salah satu senjata ampuh buat Log. Tidak asal gelar, ia punya naluri sebagai seorang public relationser. Konferensi-konferensi pers umumnya lebih banyak digelar di daerah di mana musisinya hendak tampil. “Saya banyak main di pers daerah,” katanya. Berbeda ketika hendak merilis album baru, Log pasti memilih konferensi pers di ibukota. Pikirnya, media-media massa di Jakarta kebanyakan melayani pembaca dalam jangkauan nasional. Ia butuh spektrum seluas-luasnya karena wilayah edar kaset-kasetnya hampir menyentuh seluruh pelosok tanah air.

Sukses Log juga ditopang oleh manajemen dengan akar tunjang keluarga (family firm). Tim Hindle, bekas redaktur manajemen The Economist, melihat tipe manajemen semacam itu bukan sesuatu yang buruk bagi kelangsungan suatu bisnis. Ia bahkan tak ragu-ragu menyebutkan bahwa kekayaan industri di semua negara maju, justru berasal dari tipe manajemen family firm. Siemens, Fiat, Barclays atau perusahaan anggur Cognac yang berdiri sejak abad ke-18, adalah beberapa contoh yang relevan. Titik kuat perusahaan keluarga ditentukan oleh kebanggaan, harga diri, kesetiaan, rasa saling memiliki.

Bens Leo, yang mengenal Log sejak 1985, tak menyangsikan kalau Log menganut tipe manajemen macam itu. Ia punya pengalaman yang hingga kini masih membekas di benaknya. “Pernah suatu ketika yang bayarin tiket kereta api buat saya malah ibunya,” ujarnya. Saat itu ia berangkat dari Jakarta hendak menghadiri acara yang digelar Log di Solo.

Dalam kasus Jamrud, Log mengerahkan hampir seluruh anggota keluarga yang dinilai punya potensi. Lie Hwa, misalnya, ditunjuk Log sebagai manajer pemasaran seluruh album Jamrud. Sedangkan komandan lapangan yang menentukan hitam-birunya promo tur Jamrud, dipegang Jingga Ongkowijaya. Baik Lie maupun Jingga adalah kakak-kakak Log. “Saya juga kadang-kadang meng-handle keperluan Jamrud kalau suami saya sibuk,” ucap Novie Antasari, istri Log.

Antasari pun acap menerima telepon untuk suaminya dengan keramahan seorang sekretaris profesional.

Log dan Antasari boyongan dari Surabaya sejak 1998. Kini mereka tinggal di rumah kontrakan di kawasan Muara Karang, Jakarta Utara. Sekalipun Log punya banyak kantor, sebagian bisnisnya justru dikendalikan dari rumah itu. Bukan tidak mungkin, rumah pribadi yang sedang dibangunnya, masih di kawasan yang sama—yang sudah menelan anggaran senilai Rp 3 milyar—juga akan dijadikan salah satu basis bisnisnya. Dan Antasari tetap jadi ‘sekretaris’ yang paling dipercayainya, sekaligus konsultan gratisan untuk mencicipi lagu-lagu baru yang hendak direkam Logiss Recors.

“Kadang-kadang saya disuruh menilai lagu,” ungkap Antasari. Asal tahu saja, perempuan berusia 27 tahun itu mulanya sama sekali tak menyukai rock. Jamrud rupanya telah mengubah selera musiknya.

SURABAYA, paruh Agustus 2001. Kembang api berpendaran di atas panggung mewah berbentuk kubah seluas sekitar 20 x 10 meter persegi. Sinar laser menerobos masuk, menembus kegelapan panggung, seolah hendak membuka jalan bagi lighting. Panggung benar-benar menyala kini. Sound systems berkekuatan 100 ribu watt mengguncang stadion yang berkapasitas 50 ribu penonton itu. Lebih 20 penari latar keluar dari sarangnya. Sejurus kemudian, Fuck Off.

Mungkin sudah seratus kali kuberi tahu

Untuk berhenti tinggalkan saja

Serbuk sialan yang terus berenang

Di darahmu

Fuck off…silakan pergi

Lagu Fuck Off tidak untuk menceramahi penonton. Ia didedikasikan buat Sandy Handoko, drummer Jamrud yang meninggal karena obat bius. Ini bukan lagu slow, tapi penuh hentakan khas irama cepat trash yang sarat distorsi gitar dan debuk-debam drum yang bertenaga. Pada interlude, lagu melambat dan gitar Azis M. Siagian masuk membuat jeritan seakan hendak mengatakan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar berduka.

Sejak Ningrat dirilis, Fuck Off dipilih sebagai lagu pembuka di setiap konser mereka, dan diakhiri Terima Kasih menyusul letusan mercon serta pemasangan headset di kepala Siagian.

Tapi aksi di Gelanggang Olahraga 10 November, Tambaksari—yang juga disiarkan RCTI pada Minggu, 9 September, pukul 22.00-23.00 WIB—itu bukan semata rutinitas konser mereka. Juga bukan semata untuk ikut menyemarakkan puncak acara Festival Rock IX, yang digelar saban tahun guna mencari talenta-talenta baru. Penampilan Jamrud malam itu sepertinya lebih sebagai medium komunikasi Log Zhelebour untuk mengatakan kebanggaan dan emosinya.

Ia bangga telah menaikkan peringkat Jamrud secara dramatis dari rocker kampung menjadi supergrup Melayu, dengan segala potensi yang dimilikinya: kreativitas bermusik yang terus mengalir, kekompakan personil yang tetap terjaga dan kemampuan memadukan bisnis kaset dan panggung dalam satu helaan nafas panjang. “Mereka punya insting, taste, wawasan,” ujar Log bersemangat, “aku banyak bertaruh untuk mereka. Hidup dan mati mereka di tanganku.”

Sebagai supergrup, dalam tiga tahun terakhir ini, Jamrud membuktikan ketangguhan staminanya. Hampir sepanjang tahun, mereka tak pernah berhenti mentas di berbagai kota dengan bayaran rata-rata Rp 30 juta per sekali manggung, yang 20 persen di antaranya masuk kocek Log. Hari ini mereka meluncur dengan pesawat terbang, esok-lusa melaju dengan bis pariwisata yang disetel jadi kendaraan karavan, lengkap dengan ranjang buat tidur-tiduran. Sekurang-kurangnya tiga truk dikerahkan Log untuk mengangkut peralatan konser mereka.

Intensitas konser makin meninggi dalam setahun terakhir ini. Kelelahan sering tampak di wajah-wajah mereka. Namun, sambutan mereka terhadap fans yang biasa menyemut di hotel-hotel di mana Jamrud transit, tak pernah terlewatkan. Awak Jamrud tetap memperlihatkan wajah sumringah-nya seraya melayani sejumlah pertanyaan dan permintaan tanda-tangan.

“Mereka bertingkah positif di depan penggemarnya,” komentar Bens Leo, wartawan senior, yang mencurahkan perhatiannya pada dunia musik sejak pertama kali berkarir sebagai reporter di Aktuil, majalah musik terdepan di tahun 1970-an. “Di Medan, Krisyanto bahkan menyempatkan diri dengan seorang pengamen cilik yang berkeliaran pada jam sekolah. Setelah tahu bahwa dia ngamen buat membiayai sekolah, Yanto langsung merogoh sakunya mengeluarkan uang Rp 50 ribu. Tak banyak rocker bersikap seperti itu.”

Bagaimana Jamrud bisa punya waktu untuk konsisten menciptakan lagu buat album-albumnya sehingga bisa rekaman setahun sekali? “Kan bulan puasa mereka libur show. Suami saya biasanya sibuk bikin lagu,” ujar Dian Fridianie, istri Azis M. Siagian. “Kadang-kadang dalam semalam dia bisa bikin satu lagu. Saya sering aneh, malamnya saya melihat kertas yang acak-acakan dan penuh coretan, eh paginya sudah rapi.”

Sejak dua tahun ini, Siagian tidak lagi bekerja secara manual. Untuk mempertinggi presisi irama, ia menggunakan satu unit komputer yang dipasangi Cake Walk, perangkat lunak untuk mengkompilasi audio sekaligus mengkonversikannya pada format dokumen MP3, tak ubahnya software MTV-Generator atau E-Jay MP3Station. “Kapasitas otak kan terbatas. Padahal, kita musti mikirin macam-macam. Urusan show-lah, rekamanlah, pribadilah. Aku keteter kalau nggak pakai komputer itu.”

BEEP. Pesan pendek sampai pesawat telepon saya. Terbaca: “Di Htl Arkadia JL Wahid Hasim..jam 6 an..” Pesan ini dikirimkan telepon milik Dian, istri Azis M. Siagian, motor Jamrud.

Pukul 15.00, saya mencoba menghubungi Siagian. Di seberang telepon, Siagian menyatakan akan memenuhi janjinya untuk bertemu di hotel seperti disebut dalam SMS tadi. Dari pembicaraan, saya tahu, ia sedang ngemong keluarganya dengan pelesiran di Jakarta. Pelesir yang terbatas waktunya karena pukul 20.00 Siagian dan kelompoknya harus sudah berada di Silang Monas, Jakarta, untuk beraksi di depan penggemarnya. “Saya masih di Pondok Kopi nih. Oke…oke kita ketemu jam enam nanti,” ujarnya, hangat. Jam enam yang dimaksud adalah pukul 18.00 WIB.

Sebulan terakhir ini Siagian bersama kelompoknya mengelilingi 17 kota di Pulau Jawa dan Bali dalam rangkaian promo tur Oktober 2001. Terakhir, saya mengontak Siagian ketika sedang berada di Ngawi. Saat itu, ia sedang bersiap-siap menuju Lumajang.

Waktu terus bergulir. Tepat 30 menit menjelang pukul 18.00, kembali saya menghubungi telepon Siagian. Kali ini, ia ragu-ragu bisa menepati janjinya. Tampaknya ia sedang kesulitan menaklukan kemacetan lalu lintas ibukota. Suaranya terdengar gamang bercampur dengan deru kendaraan, sesekali klakson. “Bang, kayaknya kita ketemu jam tujuh,” ungkapnya.

“Saya sudah merapat ke dekat hotel Anda?” balas saya.

“Ini saya masih di Pondok Kopi. Atau bagaimana kalau kita ketemu jam 11 nanti, setelah konser? ”

“Oke. Saya akan hubungi kalau gitu.”

“Saya saja deh yang hubungi.”

Pukul 22.36, bunyi beep kembali terdengar dari telepon saya. Pesan singkat dari Siagian tertulis: “Mas, Aku udah balik, ada di 4716….” Ia ingin saya menghubunginya di nomor tersebut. Namun, belum lagi mengangkat pesawat telepon, Siagian sudah mendahului.

“Aku kirim SMS barusan,” katanya.

“Ya. Ini saya mau telepon.”

Kami pun berbicara panjang lebar diselingi senda-gurau. Kobaran niat untuk menemui Siagian terpaksa harus saya padamkan. Saya tak ingin merampok waktu anak dan istrinya, yang cuma punya kesempatan separuh malam itu untuk kangenan. Azis M. Siagian dan kawan-kawannya akan segera bertolak ke Bali, esoknya. Akhirnya, saya tahu masalah kecil lainnya setelah mereka sukses besar: mereka bukan lagi semata milik keluarga.*

by:Agus Sopian