Calon Astronot

Heru Widhi Handayani

Mon, 3 December 2001

SEPERTI kebiasaan anak-anak kecil ketika ditanya, “Apa cita-citamu kelak?” Sedikit kemungkinan, bahkan tidak ada yang menjawab, “Aku ingin jadi wartawan.”

SEPERTI kebiasaan anak-anak kecil ketika ditanya, "Apa cita-citamu kelak?" Sedikit kemungkinan, bahkan tidak ada yang menjawab, “Aku ingin jadi wartawan.” Sebaliknya, mereka akan menjawab: ingin jadi dokter atau penerbang. Begitu pula Hary, panggilan anak kecil kelahiran Jakarta 10 Desember 1956 ini. Ia selalu dengan mantap menjawab, “Aku ingin jadi astronot.”

Rupa-rupanya Bambang Harymurti ini benar-benar mengikuti perkataan Soekarno, presiden Indonesia pertama: “Gantungkan cita-cita setinggi langit.” Dengan bercita-cita jadi astronot, ia tak hanya menggantungkannya setinggi langit malahan menembus langit.

Ia selalu membayangkan dirinya benar-benar terbang. Sang ayah—penerbang Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut—sering dengan sengaja membiarkan Harymurti memegang kendali pesawat latih saat pesawat itu mengangkasa. Naik turunnya pesawat terasa benar di belakang kemudi. Akibatnya … hueeek! Harymurti pun mual. Jera? Sama sekali tidak. Justru ia keasyikan.

Harymurti saat itu mulai menunjukkan kesenangannya pada hal-hal yang berbau teknologi juga kemasyarakatan. Kesenian ia tak terlalu suka meski sang ibu, selalu memperkenalkannya sejak kanak-kanak.

Suatu saat Perkumpulan Seni Sunda mengadakan acara di rumahnya di Menteng Dalam, Jakarta. Waktu itu sering diadakan latihan wayang anak-anak. Harymurti yang gembul lantas didaulat jadi Semar. Selalu jadi Semar. Dan, tanpa canggung-canggung ia menggoyangkan pinggul yang berganjalkan bantal seraya tangan kanannya menunjuk-nunjuk ke atas meniru gerakan Semar saat berjalan.

Namun sebenarnya, menurut penuturan sang ibu, Karlina Koesoemadinata, Harymurti agak pemalu. Lantaran keluarga mereka sering berpindah-pindah tempatlah yang membuat Harymurti tumbuh aktif dan mudah bergaul. Misalnya, saat baru mengecap kelas dua sekolah dasar di Jakarta, ia harus pindah sekolah di India mengikuti ayahnya, Ahmad Sudarsono yang menjadi atase kebudayaan di sana.

Setiap kali pindah ke tempat asing, mereka dituntut untuk cepat beradaptasi. Begitu pun Harymurti tak ada masalah untuk yang satu ini.

Di mana berada ia selalu menikmatinya. Selalu terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang menyenangkan. Mengikuti kegiatan kepanduan, misalnya. Saat itu ia sekolah menengah pertama di New Delhi, India.

Di saat yang sama di Pakistan setiap 25 tahun sekali digelar kegiatan kepanduan. Semacam jambore nasional-nya Pakistan. Ada tiga regu yang ambil bagian: dari India, Pakistan, dan Indonesia. Harymurti mengomandani satu regu yang mewakili Indonesia.

Acara berlangsung meriah. Tapi cukup menegangkan bagi regu Harymurti. Anggota regu Harymurti masih muda-muda dibandingkan dengan kedua regu lainnya. Harymurti dan kawan-kawan sangat serius mengikuti acara demi acara. Sedangkan kedua regu itu tampak santai-santai saja.

Keseriusan Harymurti ternyata membuahkan hasil sekaligus membuktikannya kecil-kecil cabe rawit. Dalam satu pertandingan, Harymurti mendapatkan juara kedua.

Ini menjadi kenangan manis bagi Harymurti. Medali perak dikalungkan ke lehernya langsung oleh Presiden Pakistan Faisal Ilahi. Lalu bersama pemenang pertama dan kedua, ia diarak keliling dengan kereta kuda. Sempat ia melihat Benazir Butho, putri perdana menteri Ali Butho. Kala itu Benazir masih kanak-kanak, tentu saja. Lalu malam harinya mereka diundang makan malam bersama di istana. Sebuah penutup hari yang mengantarnya tertidur pulas.

Pada 1977, saat kuliah di Institut Teknologi Bandung, Harymurti aktif di English Study Forum. Ia bertemu Marga Alisjahbana yang kelak menjadi pendamping hidupnya. Mereka sama-sama jadi sukarelawan di sebuah sekolah tuna netra di Bandung.

Di luar kampus, Harymurti juga aktif di Assosiation for Population Study, satu bagian dari organisasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia yang bergerak di bidang kependudukan. Sama sekali tak berhubungan dengan kuliahnya di mesin kelistrikan. Tapi, Harymurti justru menemukan keasyikan tersendiri. Saking asyiknya ia sering bolos kuliah.

Setelah banyak berkutat dengan mata kuliah tentang mesin-mesin yang serba kering, ia merasakan kehidupan dalam kegiatan sosialnya. Daerah-daerah di Jawa Barat ia jelajahi sambil melakukans survei. Mulai dari survei untuk mengetahui tingkat kepuasan penumpang kereta api terhadap pelayanan yang didapat sampai tentang keluarga berencana. Tak heran banyak alumni kegiatan ini bekerja di Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Tapi tidak untuk Harymurti. Ia masih setia pada cita-citanya sewaktu kecil: astronot.

HARI berganti hari. Perjalanan nasib seseorang tak ada yang yang bisa menduga. Siang itu, 14 Maret 1982, tanah pekuburan di Taman Makam Pahlawan Kalibata masih saja merah. Kembang yang bertaburan di atasnya belum juga layu. Suara tembakan salvo baru menghilang. Ajal menjemput siapa saja. Pun pada seorang bapak dari kelima anaknya. Ayah Harymurti.

Satu per satu pelayat beranjak pergi. Tapi Harymurti tetap berdiri di sana. Ia tampak tegar meski kedukaan menyaputi wajahnya. Ini telah jauh-jauh hari ia perkirakan. Siapapun yang terkena kanker kronis secara medis pasti kecil harapan untuk terus hidup. Tapi kabar kematian sang ayah tak urung membuatnya, juga yang lain, tersentak. Ayahnya tak pernah lagi mengeluhkan penyakitnya selepas check-up dari sebuah rumah sakit di Singapura. Ahmad Sudarsono tak mau membuat semua orang khawatir, meski tahu hidupnya tinggal hitungan hari. Ia menutupinya dengan terus sibuk beraktivitas, sampai benar-benar kematian datang.

Tak ada waktu untuk larut dalam keharuan. Bukannya tidak sedih. Lantaran masih banyak yang harus segera dikerjakan Harymurti. Semuanya, termasuk persiapan pemakaman ia yang kerjakan. Ia merasa sejak saat itu dirinyalah pengganti peran sang ayah. Semua kini menjadi tanggungannya. Kedua adiknya masih kuliah. Seorang lagi mengalami gangguan mental. Satu-satunya kakak perempuan meski sudah berkeluarga, masih kuliah juga.

Lagi-lagi belum juga rasa duka sirna pemuda ini harus bergegas menuju suatu tempat. Jejak saat itu menjadi awal jejaknya kelak. Saat itu, 14 Maret 1982, saat ayahnya dikuburkan, nama Bambang Harymurti masuk dalam jajaran reporter magang majalah mingguan Tempo.

Menjadi wartawan? “Tidak sengaja,” begitu selalu jawabnya. Dan, memang semua berawal dari ketaksengajaan. Ia dan Alisjahbana sedang memarkir kendaraan. Mereka hendak membeli roti. Saat parkir, lho itu kok ada iklan Tempo? Mereka tercenung sesaat dan saling berpandangan.

“Ayo Marga ikut daftar!”

“Oh, nggak. Saya nggak bakat jadi wartawan,” Alisjahbana dengan halus menolaknya.

Hati kecil Harymurti merasa inilah kesempatannya. Kesempatan untuk bisa membiayai kuliahnya sendiri setelah merasa umur ayahnya tak akan lama.

Baginya tak bekerja berarti tak bisa meneruskan kuliah. Itu sama sekali di luar harapannya. Kalaupun bekerja ia harus mengambil pekerjaan yang paruh waktu. Dia bisa dikeluarkan dari kampus alias drop out bila belum menamatkan kuliah hingga 1 Januari 1984.

Ia pikir di Tempo yang saat itu salah satu persyaratannya sarjana muda ia bisa kerja sambil kuliah. Ia lantas membayangkan dirinya menjadi reporter di biro Bandung. Tapi dugaannya meleset. Ia sama sekali tak menyangka bakal ditempatkan di Jakarta. Jarak Jakarta-Bandung adalah jarak yang tak memungkinkan dirinya kerja sambil kuliah. Terpaksa cuti kuliah satu semester.

Ia pun mengatur siasat. Ia bertekad kembali kuliah. Pada pertengahan 1982 Harymurti minta pindah ke biro Bandung.

Pertengahan 1983 ia cuti di luar tanggungan. Waktu beberapa bulan itu sangat berharga. Ia nekad menginap di kampus untuk menyelesaikan skripsinya.

“Pokoknya, saya ngepas-ngepas terus,” kenang Harymurti, tertawa.

Kuliah selesai dan Harymurti pun ditarik ke Jakarta lagi pada 1984.

Orang muda dengan semangat muda. Suasana sangat menggairahkan bagi anak-anak yang baru lulus. Begitulah Harymurti memulai debutnya di Jakarta. Bersama sahabat dekatnya waktu itu, Ahmad Lukman, dan sesama wartawan muda lainnya, dia sering mengerjakan laporan hingga larut malam. Sampai-sampai di kalangan wartawan muda ini dikenal istilah “buka loket.” Saat sesama reporter tidak punya waktu untuk menghubungi narasumber karena diburu deadline, mereka menawarkan jasa jadi penghubung sekaligus pelapor via telepon.

“Tempo kan sangat kapitalis,” tutur Achmad Luqman seraya menjelaskan sistem Tempo waktu itu selain gaji, reporter juga mendapatkan uang dari hasil wawancaranya dengan narasumber yang dikutip, sekalipun hanya titik dan koma—demikian lelucon di Tempo mengingat sulitnya hasil wawancara yang nantinya dikutip untuk sebuah artikel. Pun Harymurti mendapatkan uang tambahan yang cukup lumayan.

Keberadaan Harymurti di Tempo membuat sang ibu sedikit tenang. Paling tidak, setiap bulan, Harymurti memberikan honornya. Penuh. “Harymurti anak yang baik,” demikian si ibu bertutur tentang anaknya. Klise. Tapi begitulah adanya. Dari kelima anaknya, Harymurti yang paling menonjol juga yang bisa berperan sebagai kepala keluarga.

Suatu ketika terjadi peristiwa yang sepele menurut kebanyakan orang, tapi begitu menyentuh hati si ibu. Saat ada virus sitoplasma, kucing-kucing kesayangan Karlina terpaksa dipindahkan ke Sumedang, kota kelahirannya. Karlina setuju lantaran anak perempuannya yang sedang mengandung akan tinggal di rumah itu. Tiba-tiba peristiwa yang tak diinginkannya terjadi. Seekor kucing yang sangat disayanginya mati. Berbagai cara untuk menyembunyikan kesedihan dan tetap saja Harymurti merasakannya. “Mama sedih ya kehilangan kucing kesayangan?” tanya Harymurti. Karlina kaget.

Belum juga hilang kekagetannya, keesokan hari sudah ada sepasang kucing Siam yang lucu. “Ini pengganti kucing mama yang mati, ” kata Harymurti. Sungguh tersentuh hati Karlina.

Saat saya bertandang menemui ibu Harymurti, tiba-tiba saja muncul seekor kucing Siam lumayan besar dari kamarnya. “Itu kucingnya,” kata Karlina. Tak berapa lama muncul seekor lagi … lagi … dan lagi! Sekitar tiga ekor muncul hampir berbarengan. Semuanya lucu-lucu. Karlina pun buru-buru menggiring mereka masuk. Dua ekor dibiarkannya menemani kami yang sedang berbincang-bincang.

“Kura-kura itu juga dia yang membelikan. Saya suka binatang, terutama kura-kura dan kucing,” kata Karlina ketika tahu sedari tadi saya memperhatikan belasan suvenir kura-kura kecil. Kebetulan letaknya di samping kursi yang saya duduki. Sampai sekarang pun menurut Karlina, Harymurti kadang memberinya oleh-oleh selepas bepergian dari luar negeri. “Kamar saya sampai penuh dengan kura-kura,” ujar Karlina berbinar-binar.

SORE hari saya sampai di kantor Koran Tempo. Resepsionis menelepon seseorang dan menanyakan keberadaan “bapak.” Pastilah yang dimaksud Bambang Harymurti. Lucunya di ujung telepon sana sepertinya salah tanggap. “Bukan bapak saya,” kata resepsionis, “Pak Bambang.”

Kira-kira lima menit kemudian sosok yang saya nanti membuka pintu sebelah dalam. Ia tersenyum dan mempersilakan masuk. Saya pun mengikutinya dari belakang.

“Sedang rapat, ya Mas?”

“Ya, begitulah.”

Harymurti membuka sebuah pintu lagi yang bertuliskan “Ruang Rapat I”. Sekitar lima orang duduk melingkari sebuah meja oval.

“Ini teman dari PANTAU,” katanya.

Seorang pria, yang melalui obrolan selanjutnya saya kenal sebagai Malela Mahargasarie, tangan kanan Harymurti di Koran Tempo, mengomentari tulisan PANTAU, “Bagaimana nih, masak pemantau media kok masih salah menulis. Masak Tempo dibilang milik Ciputra. Gimana tuh?”

Seusai rapat sambil guyonan Harymurti menceritakan pertemuannya dengan Jakob Oetama di sebuah pesta pernikahan. “Dik Bambang,” kata Harymurti menirukan Oetama, “wah, kalau sudah dipanggil dik ini pasti ada apa-apanya.” Pembicaraan selanjutnya Oetama menyatakan keberatannya atas pemuatan berita di PANTAU yang dianggap memojokan Kompas. “Mbok, jangan gitu.”

Majalah PANTAU memang diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi yang dipimpin oleh Goenawan Mohamad, sekaligus presiden komisaris Tempo dan perusahaan anak-anaknya. Mungkin Oetama mengira kebijakan redaksi PANTAU dipengaruhi oleh Goenawan. Padahal, struktur majalah ini dibuat sedemikian rupa sehingga semua anggota direksi Institut Studi Arus Informasi, apalagi Tempo, tak memiliki akses terhadap urusan redaksi PANTAU.

Harymurti menyatakan tak tahu-menahu soal pemberitaan itu dan ia balik menyatakan keberatannya atas pemberitaan PANTAU yang menyatakan Tempo milik Ciputra. “Lho, betul kan itu?” kata Oetama yakin seperti ditirukan Harymurti.

Rapat benar-benar usai pukul setengah tujuh petang. Sebelum keluar, Malela menanyakan lagi, “Mau menulis tentang apa?”

“Tentang sosok Mas Bambang,” jawab saya pendek.

“Yah, tulislah yang jelek-jeleknya jangan bagus-bagusnya saja,” ungkap Malela, tertawa.

Saya pun berlalu mengikuti Harymurti yang sudah melesat menaiki tangga ke ruang kerjanya.

Kesan sportif langsung terasa. Ruang tidak luas-luas amat, bahkan terbilang sempit. Sebuah meja bundar dengan tiga kursi biru melingkarinya. Di samping pintu terdapat rak buku. Meja kerjanya terletak agak ke dalam dengan meja komputer terpisah di sampingnya.

“Apa yang ingin ditanyakan?” tanya Harymurti.

“Mengapa saat itu terpilih menjadi calon astronot Indonesia?”

Sekilas ia tersenyum. Pandangannya menerawang. Ia pun mulai bertutur. Kala itu dia berusia 29 tahun dan baru dua tahun menyandang gelar kesarjanaan dari Institut Teknologi Bandung.

Saat itu Indonesia tersebar berita tentang penerimaan calon astronot. Maka diutuslah Harymurti untuk membuat laporannya. Ternyata liputan tak semudah yang dibayangkan. Semua sumber sulit ditembus. Semua serba dirahasiakan. Bagaimana akal?

Dia lantas mendaftarkan diri sekaligus mengenang cita-citanya sewaktu kecil. Sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui: menembus berita dan kemungkinan menembus angkasa. Dia bersama 46 calon lainnya diseleksi di Lembaga Kesehatan Penerbang dan Ruang Angkasa Saryanto, instansi yang biasa menangani kesehatan penerbang Angkatan Udara.

Latar pendidikannya memang menunjang. Tes demi tes ia lalui. Ia bahkan termasuk dalam empat finalis. Ketiga yang lain adalah Taufik Akbar, insinyur elektro Institut Teknologi Bandung, M.K. Yusuf, instruktur kepala di Dinas Kelaikan Udara, dan Pratiwi Pujilestari Soedarmono, dosen fakultas kedokteran Universitas Indonesia.

Keempat orang ini menjalani seleksi akhir di Boston, Amerika Serikat. Tentu saja dari keempat orang itu hanya satu yang terpilih. Tidak seperti pada tes-tes sebelumnya yang berjalan cukup fair dan betul-betul memperhatikan secara teknis, kali ini Pratiwi terpilih sebagai calon astronot Indonesia yang akan mengikuti penerbangan lantaran ia perempuan.

“Walaupun secara resmi kita masih berkompetisi, hasilnya sudah dibilang. ‘Udahlah yang perempuan aja,’” jelas Harymurti.

Harymurti tak jadi terbang dan Pratiwi pun akhirnya mengalami hal serupa karena pesawat ulang-alik Challenger milik Amerika Serikat yang sedianya membawanya ke ruang angkasa mengalami kecelakaan dan hancur. Tapi Harymurti kembali ke Jakarta dengan sejumlah cerita. Ia menulis pengalaman tersebut untuk Tempo.

PADA 9 Maret 1986, Harymurti melengkapi hidupnya dengan mempersunting Marga Alisjahbana, putri sastrawan senior Sutan Takdir Alisjahbana. Awal kenal, Harymurti tak merasakan ia bakal berjodoh dengan Marga Alisjahbana. Apalagi saat itu Alisjahbana telah punya pacar. Mereka sering jalan bersama dan berdiskusi, tapi hanya sebatas kawan. Juga saat menemani Harymurti beli roti dan melihat iklan Tempo. Sembilan tahun Harymurti dan Marga saling mengenal untuk kemudian memutuskan pernikahan.

Masih muda usia perkawinan mereka saat Harymurti mendapat panggilan magang di majalah Time di Washington. Saat itu juga, pada bulan yang sama, ia berangkat ke Washington.

Sekembalinya ke tanah air, ia dipilih menjadi kepala biro Tempo di Bandung. Alisjahbana masih tinggal di Jakarta. Mereka saling bertemu saat Sabtu-Minggu. Alisjahbana ke Bandung atau kadang Harymurti yang ke Jakarta. Tapi ini tidak berlangsung lama lantaran Alisjahbana berangkat ke negeri Paman Sam, kuliah di Yale University, salah satu universitas terbaik di negara itu, untuk mengambil gelar master. Tak lama kemudian, Harymurti ditarik ke Jakarta dan memegang rubrik nasional.

Pada 1986 juga awak Tempo mulai merasa gelisah. Juga Harymurti. Kegelisahannya ini sempat ia ceritakan pada kawannya Asbari Nurpatria Krisna saat mampir ke Belanda dalam perjalanan pulang dari Amerika Serikat. Kasak-kusuk pecah dengan keluarnya sekitar 40 awak Tempo. Tapi Harymurti yang juga gelisah tak termasuk di dalamnya.

“Agaknya setelah pengalaman di Time, ia lebih memilih kuda tunggangan yang baik, yaitu tetap di Tempo,” ujar Krisna melalui email, “ibarat berpacu, kita haruslah mencari kuda tunggang yang baik. Kalau mau balap mobil pun harus cari mobil dengan perusahaan pendukung yang baik pula.”

Saat ia melanjutkan studinya ke Universitas Harvard, Amerika Serikat, posisi yang ditinggalkannya digantikan tujuh orang. Ia juga diposisikan sebagai kepala biro Tempo di Washington hingga pembredelan Tempo 1994.

Pascapembredelan, sebagian karyawan Tempo yang nonredaksi pindah ke Gatra. Sisanya,110 orang tidak ke mana-mana. Yang tidak ke mana-mana ini otomatis jadi penganggur. Idealisme tetap membara, tapi dapur harus tetap ngebul. Akhirnya didirikanlah sebuah badan perseroan terbatas yang kemudian dikenal dengan Eks-T.

Macam-macam proyek mereka kerjakan. Mulai dari men-set up perpustakaan elektronik sampai membuat majalah atau buletin. Mereka sempat mendapat tawaran koran Merdeka untuk mengerjakan edisi Minggu. Dengan bersemangat mereka membuat konsepnya. Konsep pun jadi. Tunggu punya tunggu pihak Merdeka tak kunjung menghubungi.

Pada saat itu mendadak muncul tawaran serupa. Surya Paloh, pemimpin umum Media Indonesia, mengajak para karyawan eks-T ini untuk mengelola Media Indonesia Minggu. Ada kekhawatiran mereka lantaran sudah menjadi rahasia umum bila Surya Paloh dekat dengan keluarga Presiden Soeharto. Perdebatan pun meramai.

“Toh akhirnya kita cuma konsultan saja bukan kerja dengan dia,” ujar Harymurti.

Mulai saat itu sekitar 20 orang terikat kontrak kerja dengan Media Indonesia Minggu.

Pengalaman kerja di Media Indonesia benar-benar menyuguhkan warna lain. Setelah terbiasa berkecimpung dalam majalah mingguan, mereka dituntut kerja lebih cepat dan tentu saja dengan hasil yang tak mengecewakan.

Sampai pada masa tertentu, Harymurti dipanggil Paloh.

“Dia memang selalu membujuk saya untuk jadi redaktur eksekutif. Tapi saya bilang ya suatu saat,” papar Harymurti.

“Kamu jadi redaktur eksekutif di sini atau sudah kita putus hubungan saja, Media Indonesia Minggu nggak usah dikerjain saja,” cerita Harymurti tentang ancaman Paloh.

Harymurti tak lantas memutuskan diterima atau tidak. Ia mempunyai keinginan yang tak ada hubungannya dengan peristiwa itu: terbang ke Amerika untuk bertemu anak-istri. Alasannya sudah lama tidak bertemu.

Masalah seputar ancaman Paloh ia serahkan sepenuhnya ke anak buah. Ia ambil cuti.

“Kalian yang mutusin. Buat saya kalau cari kerja kan nggak terlalu sulit lah,” papar Harymurti.

Harymurti pun lantas jadi terbang ke Amerika Serikat. Berselangnya waktu, Harymurti menelepon dari Amerika Serikat.

“Bagaimana hasilnya?”

“Sudahlah, kamu masuk saja ke sana.”

Sekembalinya dari mancanegara ia tidak lagi mengelola Media Indonesia Minggu melainkan termasuk jajaran teras di Media Indonesia, sebagai redaktur eksekutif. Media Indonesia edisi Minggu tetap berjalan dengan pemegang kendali Ivan Haris.

Tak lama Harymurti duduk sebagai redaktur eksekutif, masuklah Djafar Assegaff, seorang wartawan-cum-politisi dan pernah jadi duta besar Indonesia untuk Vietnam. Dalam anggapan Harymurti, Assegaff sangat anti-Tempo. Satu kali kenang Harymurti, Assegaff berkata, “Salah satu tugas saya adalah mengawasi kamu!”

“Itu tidak benar,” tandas Assegaff lewat telepon selulernya. “Justru saya di sana atas permintaan Bambang. Lagipula ia kan redaktur eksekutif, pengambil keputusan, sedangkan saya hanya pemimpin redaksi.”

Harymurti memandang suasana Media Indonesia menjadi penuh intrik.

“Anak-anak Partai Rakyat Demokratik berapa yang masuk. Sampai saya sendiri pernah diskor sampai dua minggu gara-gara dibilang Media Indonesia memuat cover Mega begitu besar padahal Soeharto sendiri nggak pernah,” jelas Harymurti, mengacu pada Megawati Soekarnoputri, seorang pemimpin oposisi yang pada pertengahan 1990-an jadi lawan politik Soeharto.

“Di situlah saya benar-benar merasakan melawan tapi benar-benar survive,” kenangnya.

Sampai akhirnya Media Indonesia Minggu dilepas. Dan, lumbung padi baru segera muncul: majalah D&R. Sementara itu Yopi Hidayat dan kawan-kawan juga dalam proses menerbitkan tabloid Kontan.

“Ini peluang bagus untuk Yopi cs bikin Kontan. Ada surat izin usaha pers baru,” kata Harymurti.

“Nggak ada perselisihan. Saya di D&R, terus nggak lama ke Kontan. Kontan itu baru dan tantangannya juga baru. Sementara D&R itu kan cuma nerusin waktu itu,” komentar Moebanoe Moera, salah seorang wartawan Tempo dan eksponen Eks-T, mengenai seputar kepindahannya ke Kontan.

Tidak dapat dipungkiri setelah sekian lama berjalan, karyawan Eks-T mempunyai dua pilihan: terus bersama-sama atau menyebar.

Saat-saat yang tak mengenakan lagi-lagi bisa Harymurti hindari. Ia mendapat tawaran beasiswa di Harvard. Tanpa pikir panjang ia ambil cuti di luar tanggungan Media Indonesia. Sampai akhirnya angin perubahan berhembus dan sampai ke telinganya: Soeharto lengser. Tiga bulan sesudah kabar gembira itu, Harymurti kembali ke Jakarta.

RABU, tepatnya 21 Juli 1999. Tampuk kepemimpinan Tempo beralih dari redaktur pendiri Goenawan Mohamad kepada Bambang Harymurti. Mengapa Bambang Harymurti?

“Bambang sebenarnya sudah lama dipersiapkan, “ jawab Goenawan Mohamad.

“BHM (Bambang Harymurti) termasuk sudah kita plot dan kandidat untuk jadi pemimpin redaksi berdasarkan perjalanan kariernya. Dia sudah menjadi kepala biro dan pendidikannya bagus, lulus S2. Itu merupakan faktor yang kita perhitungkan sebagai nilai tambah,” jelas Yusril Djalinus, redaktur senior dan anggota direksi majalah Tempo.

Mengenai kandidat lain selain Harymurti, Yusril enggan berkomentar. Katanya,” Saya lupa lagi. Sayangnya data ini ketika orang masuk kira-kira dia nanti berapa tahun ke depan jadi apa itu hilang ketika Tempo dibredel.”

Sementara ketika pertanyaan yang sama dilontarkan kepada Goenawan Mohamad, dia menjawab, “Calon lainnya Saur Hutabarat. Saur juga seorang pemimpin yang bagus. Cuma kelebihan Bambang, dia lobi sangat bagus. Pergaulan ke luar bagus.” Hutabarat adalah salah seorang pemimpin eksodus Tempo pada 1986.

Tapi kecerdasan, kemampuan bekerja dalam tim, kemampuan bekerja di bawah tekanan, dan akurasi menjadikan Harymurti mempunyai nilai lebih di mata Goenawan. Nilai lebih lainnya menurut Goenawan, Harymurti seorang yang demokrat bukan otoriter, mendengarkan keluhan anak buah, sangat setia pada anak buah dan tidak hanya melindungi anak buah tetapi juga pintar.

“Bambang pikirannya kadang terlalu produktif sehingga sampai fokusnya tidak terlalu tajam. Dia itu perhatiannya ke mana-mana. Ya, macam-macam apalah misalnya,” kata Goenawan.

“Tentang pendirian Koran Tempo misalnya?” tanya saya.

“Bukan. Banyak sekali idenya. Ide pengembangan ide banyak sekali. Dia menguasai dengan baik. Dia menguasai macam-macam. Pasar modal misalnya. Teknologi dan informasi saya tidak, dia menguasai,” jelasnya.

“Bagaimana proses pemilihan pemimpin redaksi?” tanya saya.

“Nggak banyak dan nggak mudah. Jangan sampai di atas 40 tahun,” jawab Goenawan.

Tapi oleh Yusril Djalinus, pemilihan pemimpin redaksi sudah dimudahkan dengan penjenjangan karier di Tempo, ”Mungkin dia (Goenawan Mohamad) melihat dari aspek lain tapi kalau melihat dari aspek ini kan cukup membantu. Tapi kalau BHM saya kira Goenawan setuju karena soal kasusnya yang untuk Tempo dibredel sementara orang-orang yang menjadi calon itu sudah pada pergi ke mana-mana.”

“Lalu mengapa Harymurti menjadi pemimpin redaksi majalah Tempo, Koran Tempo, juga Tempo bahasa Inggris?” tanya saya.

“Ya, itu untuk memudahkan saja. Anda tahu bahwa tidak mudah bahkan untuk sumber daya manusia saja kita masih kurang,“ jelas Yusril Djalinus.

“Jadi saya tidak tahu apakah Tempo itu terlalu cerewet memilih orang atau memang pasar tidak ada sehingga di Tempo sendiri jumlah yang ideal menjadi seorang redaktur atau apa itu sangat kurang.”

Selain untuk kemudahan hal kedua menurut Yusril adalah supaya ada sinergi saja antara majalah dan koran.

”Dia bukan seorang manajer yang baik tapi dia mampu mendelegasikan pada orang yang baik.”

Sebagai bukti di majalah Tempo, Harymurti banyak dibantu oleh Toriq Hadad sedangkan di Koran Tempo, S. Malela Mahargasarie dan Ivan Haris.

KINI seiring waktu, Harymurti menunjukkan kelihaiannya mengendalikan pesawat ulang-alik yang bernama Tempo. Pesawatnya harus terus melaju. Ia bertekad memperluas Tempo agar tak lagi sekadar menghasilkan majalah.

“Kita kan bukan produsen majalah tapi kita produsen informasi. Ya sudah kalau begitu kita harus siap kalau medianya berganti-ganti,” kata Harymurti. Dan ia juga melihat bahwa masa depan Tempo di internet. Tapi internet sendiri di Indonesia pasarnya belum jadi. Yang punya komputer di Indonesia juga belum banyak. Harus dicari produsen antara yang lebih cepat tapi pasarnya sudah ada, pikir Harymurti. Aha! Koran!

“Secara frekuensi, koran lebih cepat karena harian ketimbang majalah yang mingguan. Secara idealisme cocok. Secara bisnis juga menguntungkan,” kata Harymurti berapi-api.

“Hitung punya hitung ternyata potensi bisnisnya bagus. Maka dicarilah mitra yang tidak terlalu comercial oriented sekaligus yang berbagi idealisme juga. Ada beberapa institusi asing yang berminat tetapi setelah dijajaki lebih lanjut ada hambatan hukum bahwa pihak asing tidak boleh memiliki saham secara langsung. Kecuali kalau mereka masuk melalui pasar modal. Akhirnya Koran Tempo go public dengan pertimbangan manajemen pemasaran cukup baik. Ini terjadi awal Mei atau Juni. Desember 1999, Koran Tempo sudah public company. Nah uang pun didapat dan koran pun segera dibuat,” papar Harymurti.

“Apakah penerbitan Koran Tempo sebagai pembuktian bahwa Anda mampu membuat media baru?”

“O, nggak,” tandas Harymurti, “Kita tuh di Tempo secara bisnis sudah mendekati … secara reason kita harus membuat produk baru untuk survive.”

Harymurti pernah bertanya pada teman-temannya di Tempo, ”Kalian tuh sebenarnya sudah cukup belum dengan gaji di majalah Tempo?” Harymurti tertawa,”Wah! Pasti pada bilang belum.”

Seandainya Harymurti tak membuat produk baru, ia berpikir dari mana kesejahteraan karyawan dapat ditingkatkan. Media koranlah yang dipilihnya. Dan karyawan pun ditambah menjadi dua kali lipat karyawan sebelumnya. Dengan pembengkakan di bidang tenaga maka diharapkan pembengkakan pula pada keuntungan, bahkan sepuluh kali lipatnya.

Keputusan menerbitkan Koran Tempo dianggapnya penting.

“Pers Indonesia terlalu lama over-proteksi, terbiasa jago kandang,” ujarnya, “Indonesia itu it is matter of time saja kalau segalanya akan masuk ke sini.”

Krisis ekonomi menyebabkan media-media asing belum terlalu tertarik menjajaki pasar Indonesia. Juga kendala bahasa membuat mereka tidak mudah masuk.

“Namun bila mereka masuk, mereka mempunyai modal yang tidak terbatas serta punya brandname. Dan mereka sudah memulainya misalnya Kosmopolitan, Her World News, atau Health. Mereka tinggal bajak wartawan-wartawan bagus di Indonesia. Mungkin termasuk wartawan Tempo, ditawari gaji dua kali lipat masih bertahan, tiga kali lipat mulai goyang-goyang, empat kali lipat? Wasalam! Katanya, ‘Saya mesti nabung untuk anak-istri,’” Harymurti tersenyum.

Lantas ia menjelaskan seandainya ia bisa membuat pendapatan per karyawan dibuat tinggi dan cukup kompetitif sehingga orang-orang media asing pikir-pikir dulu untuk menawarkan dua sampai tiga lipat gaji.

“Saya kira kita punya waktu dua tahun sebelum media asing masuk. Nah, saya berharap dengan dua tahun ini Koran Tempo dalam posisi siap bersaing,” tambah Harymurti.

Seandainya media asing masuk mereka mempunyai dua pilihan: menjadi saingan media lokal dengan membajak wartawan lokal atau kerja sama. Tapi harapan Harymurti kelak, dua tahun yang akan datang media asing hanya punya satu pilihan yaitu kerja sama dengan Tempo sebagai kelompok media.

SABTU pagi saya tiba di rumah berhalaman luas itu. Lebih tepat disebut kebun ketimbang halaman. Pepohonan buah tumbuh di sana. Juga beberapa pohon pisang. Dua orang sedang mencuci mobil.

“Bu Marga sudah menunggu di dalam,” jawab ramah mereka begitu saya mengutarakan maksud kedatangan.

“Silakan masuk,” sapa seorang perempuan bermata abu-abu dan berambut pendek. Ia memperkenalkan diri: Marga Alisjahbana. Istri Bambang Harymurti.

Bambang Harymurti, ungkap Marga, seperti lemari yang punya banyak laci. Masing-masing laci mempunyai label sehingga dengan mudah bisa membuka laci dan menaruh barang sesuai dengan label yang tertera. Saat selesai dia bisa langsung menutupnya, tak perlu takut-takut barangnya akan tercampur atau berantakan.

Marga hampir tak pernah mendapati suaminya membawa pulang pekerjaan kantor ke rumah. Sebaliknya ia bisa asyik bermain dengan kedua anaknya atau membacakan buku.

Tapi, mendadak air muka Marga menjadi menjadi muram. Terbitnya Koran Tempo tak pelak membuat kesibukan Harymurti melonjak. Sesama anggota keluarga jadi seperti kucing-kucingan. Jarang bertemu.

Sebelumnya mereka punya hari keluarga setiap Selasa malam untuk sekadar jalan-jalan atau makan-makan di luar.

Harymurti hampir setiap hari pulang sekitar pukul satu dini hari saat kedua anaknya dan Marga sudah lelap tidur. Keesokan pagi, pukul setengah tujuh Marga sudah berangkat bersama anak sulungnya. Marga harus berangkat ke Serpong membagi ilmunya di Institut Teknologi Indonesia. Sementara Harymurti masih dalam buaian mimpi.

“Jadi ya kurang sehat untuk kehidupan keluarga,” keluh Marga, “Tapi kita sudah bilang dalam satu dua bulan ini kita evaluasi kembali bagaimana mengatur kegiatan dia supaya masalah keluarga bisa jalan dengan baik.”

Pada kesempatan lain Harymurti mengomentari kesibukannya. Katanya, “Oya, itu kan awal-awal saja. Kalau sudah stabil kan akan bisa ditinggal-tinggal. Saya selalu begitu ketika di-pool di satu posisi saya selalu berpikir siapa nih yang bisa gantiin saya supaya saya bisa bergerak. Kalau nggak saya bisa stagnan terus.”

Beruntung Harymurti mempunyai istri yang sangat pengertian. Beruntung pula Harymurti dan Alisjahbana mempunyai banyak saudara yang saling dekat satu sama lain. Marga misalnya, ia begitu dekat dengan Marita Alisjahbana, saudara kembarnya. Rumah yang ditempatinya sekarang milik Marita.

“Masih nebeng (menumpang),” ujar Marga.

Saking akurnya Marga dengan Marita, saat mereka sedang bercanda, Harymurti berkomentar kepada suami Marita, “Wah, itu kalau sudah kumpul berdua, kita jadi kayak duda.”

Kebetulan anak-anak Marita sepantaran dengan anaknya: Rimar Andhika dan si bungsu Mutiara Maharini yang masing-masing berusia tujuh tahun dan empat tahun. Lagipula Marga belum lama pulang dari menyelesaikan S3-nya di University of Maryland, Amerika Serikat. Dan si bungsu diajak serta. Maka jadilah si bungsu bisa berlatih bahasa Indonesia dengan sepupu-sepupunya. Sebelumnya ia sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia.

Suasana yang ramai membuat anak-anak senang. Jarang mereka mengeluh meski kedua orangtuanya terlebih Harymurti terbilang super sibuk.

Suatu hari, fajar belum lagi menyingsing, Marita memergoki Harymurti yang berpakaian lengkap terlihat sibuk di halaman rumah.

“Kamu pulang atau mau pergi?” sapa Marita.

“Saya baru mau pergi,” jawab Harymurti.

“Lho! Ke mana?”

“Semarang.”

Kesibukan demi kesibukan terus dilakukan keluarga itu. Kontak keluarga lebih sering dilakukan melalui telepon seluler. Selebihnya mencuri-curi waktu untuk makan malam bersama yang sudah tak rutin dilakukani. Entah apa jadinya rumah tangga mereka tanpa dukungan keluarga besarnya—keluarga dari pihak Marga maupun Harymurti. Dan Marga berulang-ulang mengatakannya sebagai sebuah karunia tiada tara.*

kembali keatas

by:Heru Widhi Handayani