Bertahan dalam Bahaya

Linda Christanty

Mon, 3 December 2001

"SAYA masih ingat kejadiannya. Pada bulan Mei 1995. Saya biasa jalan pagi sekitar satu jam. Di lapangan. Tiba-tiba begitu jalan terasa di sini ada yang menusuk.”

“SAYA masih ingat kejadiannya. Pada bulan Mei 1995. Saya biasa jalan pagi sekitar satu jam. Di lapangan. Tiba-tiba begitu jalan terasa di sini ada yang menusuk.” Ia menunjuk bagian tengah dadanya.

Ismid Hadad pun terduduk di atas trotoar. Batinnya bertanya-tanya, tapi tak lama. Rasa sakit perlahan menghilang. Seminggu kemudian, rasa nyeri itu datang lagi. Berkali-kali dalam satu bulan. Ia tak mengira ada kelainan pada jantungnya, “Mungkin masuk angin biasa.” Suatu hari ia memperoleh serangan yang agak keras saat berenang bersama istri, anak-anak, dan keponakannya di Pondok Indah, Jakarta Selatan.

“Kan di situ ada perosotannya. Saya ikut ke atas perosotan. Nah, keponakan saya itu belum saya ajak turun, tahu-tahu sudah lepas, plung … lompat sendiri. Saya kaget, saya lompat juga. Sampai bawah, aduh … kena lagi. Istri saya sempat tanya, ‘Apa ini? Sepertinya, sudah yang keempat kali.’ Sempat terpikir untuk periksa ke dokter, tapi tak jadi. Sempat terpikir juga kalau harus ke dokter, ke dokter apa, karena memang nggak terpikir itu jantung.”

Uban menyela di antara helai-helai rambutnya yang hitam. Pria berkaca mata ini mengenakan kaos oblong putih dan celana pendek katun abu-abu. Kami berbicara di muka taman yang menyuguhkan langit pagi bulan November. Desis air terjun buatan terdengar jelas dari arah kolam. Rumput-rumput menghijau. Suplir dan berjenis perdu tumbuh di sana. Cahaya matahari terasa teduh. Di sebelah kanan saya sebuah jam besar dengan bandul yang berdentang tiap 30 menit tegak berdiri. Jarum jam menunjuk pukul 06. 25.

“Istri saya sudah berangkat, tapi sebelum pukul sembilan dia sudah di sini. Mau minum apa?” tanya Hadad.

Ia bergegas ke dapur, meminta pembantu menyiapkan teh. Gerak-geriknya masih cekatan. Ia kembali menghampiri kursi di hadapan saya. Usia Hadad sudah 61, tapi ia tampak lebih muda.

Pembantu muncul membawa nampan berisi secangkir teh dan gelas besar dari keramik. Hadad meraih pot gula, menanyakan rasa teh saya, dan menawari membubuhkannya bila masih hambar. Desis air terjun meningkahi percakapan kami. Ia terdiam sejenak, seperti mengingat-ingat sesuatu. Tak seorang pun dari ketiga anaknya terlihat; dua putri dan seorang putra.

“Nah, yang betul-betul membuat saya berpikir, wah ini satu hal yang nggak benar, waktu saya diminta bicara di Prisma. Saya sudah lama nggak ke Prisma. Tapi, Prisma mau bikin semacam evaluasi,” katanya, sambil menyendokkan gula ke dalam gelas.

Prisma majalah kajian ekonomi dan sosial yang diterbitkan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berdiri pada 1970. Ismid Hadad salah seorang pendirinya dan pernah menjadi pemimpin redaksi Prisma.

Hadad berbicara agak emosional ketika itu. Tiba-tiba, serangan tersebut muncul lagi. Bahkan, ia hampir tak mampu bersuara lantaran rasa sakit. Hadad buru-buru pamit, lalu bergegas ke Rumah Sakit Medistra untuk menemui dokter jantung Hanafi Trisnohadi, kenalannya.

Tahap pertama pemeriksaan menggunakan electrocardiogram untuk mengukur kerja otot-otot jantungnya. Sinyal elektrik kecil yang melintasi serambi jantung dan bilik jantung serta memacu denyut jantung tercatat oleh elektroda-elektroda yang menempel pada lengan, tungkai, dan enam posisi di bagian dada. Elektroda ini dihubungkan dengan berbagai kabel ke mesin pengukur tersebut untuk memperoleh 12 alur pedoman, yang menggambar peta elektrik jantung. Tes darah dan tekanan darah juga dilakukan pada hari yang sama, termasuk memeriksa fungsi jantung dengan treadmill, alat olahraga untuk lari di tempat.

“Saat di treadmill saya merasa nggak kuat dan langsung dihentikan. Dokter mengatakan saya terkena serangan.”

Ia tak diperbolehkan pulang dan menjalani rawat inap.

JANTUNG manusia memompa darah ke seluruh tubuh. Darah bersih berwarna merah segar dan mengandung 96 persen zat asam yang berasal dari bilik kiri jantung dialirkan ke seluruh tubuh melalui pembuluh nadi atau arteri. Saat kembali ke bilik kanan, darah tak lagi bersih dan berwarna merah tua dengan kadar zat asam yang tersisa 60 persen. Darah kotor ini dipompa kembali dari bilik kanan ke paru-paru untuk menerima zat asam dan bersih lagi.

Bagaimana bila mekanismenya terganggu?

Juni 1995. Hari masih pukul setengah delapan pagi. Suhu kamar sangat dingin. Hadad baru saja selesai diseka dan tengah membaca majalah pria Matra di atas tempat tidur rumah sakit. Sebuah wawancara dengan Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi majalah Tempo, menarik hatinya. Ia menyimak kalimat demi kalimat di sana. Penyair itu berpose telanjang dada. Mendadak jantungnya terasa tertusuk. Ia sesak napas.

“Pada waktu itulah saya dapat serangan jantung yang sebenarnya, heart attack, kalau yang sebelumnya baru gejala, angina. Kalau tak sempat ditangani berakibat fatal. Sakitnya minta ampun, luar biasa,” kisah Hadad, menggelengkan kepala, meringis, dahinya berkerut, mengingat rasa sakit yang dahsyat itu.

Rambut dan piyamanya kuyup oleh keringat dingin. Ia gemetar menekan bel. Dokter dan perawat datang dalam tempo tak sampai lima menit.

“Kemudian saya menjalani angiography. Kateter dimasukkan melalui paha bagian bawah dan pada ujungnya ada kamera kecil, melalui pembuluh jantung bagian dalam. Hasil pemeriksaannya menunjukkan penyumbatan arteri 98 persen, kemudian yang satunya 90 persen, lalu 70 persen, dan yang keempat mungkin baru 30, 40 persen,” tutur Hadad.

Penyakit jantung koroner biasa menghinggapi mereka yang berusia antara 50 sampai 60 tahun. Pembuluh darah ibarat pipa ledeng dan pertambahan usia membuat pembuluh yang dulu bersih bersalut kerak-kerak kotoran. Akibatnya, pembuluh jadi menyempit dan darah tak lancar mengalir. Bila penyumbatan mencapai 100 persen, jantung tak mendapat makanan. Serangan jantung terjadi. Inilah yang disebut sakit jantung koroner. Pria lebih rentan terhadap penyakit ini. Pada wanita yang belum menopause, hormon-hormon reproduksi akan melindungi jantung mereka. Namun, menjelang menopause risiko terkena penyakit jantung pada wanita sebanding dengan pria.

Trisnohadi menawarkan alternatif pengobatan: peniupan atau pembedahan. Hadad ingin berpikir dulu, meski cenderung ingin dibedah.

Proses peniupan diawali dengan memasukkan balon yang belum ditiup melalui pembuluh darah di lengan atau di tungkai penderita. Kawat kecil yang berbentuk rangka dari stainless steel setipis rambut manusia dipasang pada balon itu. Setelah balon digelembungkan dan penyumbatan hilang, kawat yang disebut spent ini tetap tinggal dan menyangga pembuluh agar tak tersumbat lagi.

“Dokter Hanafi bilang, melihat kondisi saya sebaiknya saya di-by pass. Ia memberitahu risikonya, termasuk perincian biaya, dan juga memberi pilihan mau dioperasi di mana. Di sini yang terbaik Rumah Sakit Harapan Kita. Dokter dan alatnya bagus. Tapi, kata orang-orang, masalahnya dua sampai tiga hari sesudah operasi, saat di intensive care unit. Operasi berhasil, tapi sering gagal di intensive care ini, kegagalannya mencapai 30 sampai 40 persen waktu itu. Pada saat kritis ini pasien harus ditunggui, sehingga gangguan sedikit saja bisa segera diatasi,” kata Hadad, lagi.

Pada 1 Juli 1995 Hadad pun berangkat ke Australia bersama istrinya Tini, dan dua anaknya, Nadia dan Emil.

MELBOURNE, Australia, di musim dingin. Tak ada salju. Angin sangat kencang dan bising. Seorang pria terbaring cemas dalam kamar nomor 616 di lantai enam Rumah Sakit Epworth. Ia menunggu pembedahan pintas koroner (Coronary Artery Bypass Graft Surgery). Pembedahan ini mengalihkan fungsi pembuluh-pembuluh arterinya yang tersumbat ke pembuluh-pembuluh baru yang diambil dari tubuhnya sendiri tanpa memotong pembuluh yang rusak tadi.

Suhu kamar yang berpendingin membuat ia menggigil dalam seragam pasien biru muda. Ali Alatas, mantan menteri luar negeri Indonesia, pernah menempati kamar yang sama saat menjalani bedah jantung. Liem Sioe Liong atau Sudono Salim, salah seorang pengusaha kaya di Indonesia dan sangat intim dengan mantan Presiden Soeharto, juga alumnus Epworth.

Sore itu seorang demi seorang mendatangi Hadad dan memperkenalkan diri sebagai anggota tim medis. Ia menerima Brian Buxton, dokter bedah jantung. Buxton termasuk yang terbaik dalam bidang ini dan terkenal di kawasan Asia Tenggara. Selain Buxton, Ronald Dick, kardiolog, menjelaskan tugasnya dalam tim mereka pada Hadad. Berturut-turut ahli anestesi, ahli mesin pengganti jantung, dan perawat menenangkan kecemasan pasien mereka.

“Jangan khawatir saya memulai pengalaman ini 20 tahun. Sejarah rumah sakit ini dan tim kami kegagalannya di bawah satu persen. Itu pun biasanya orang yang mempunyai penyakit lain, karena diabetes, atau yang sudah lanjut usia sekali ….”

Kalimat-kalimat itu terngiang di telinga Ismid Hadad yang merasa berpijak di antara hidup dan mati.

Malam hari semua rambut pada tubuh pria ini dicukur. Setelah itu ia mandi dengan sabun antiseptik.

Pada 5 Juli 1995, pukul 07.00, Hadad memperoleh suntikan obat bius yang pertama dan dibawa meninggalkan lantai enam menuju lantai tiga. Sayup-sayup ia mendengar suara mereka yang mengantar sampai di muka ruang bedah. Ruangan tersebut amat dingin. Tubuhnya hanya dibalut selimut tipis. Ia terus menggigil. Buxton melontarkan kalimat yang jenaka, mengendurkan ketegangan. Setengah jam kemudian, Hadad menerima suntikan yang kedua. Kelopak-kelopak matanya semakin berat.

“Saya mendapat giliran operasi yang kedua. Operasi ini berlangsung selama lima sampai enam jam,” tutur Hadad, mengenang pengalaman itu.

Dalam pengaruh pembiusan, Hadad merasakan nausea dan menceracau, “Pokoknya istri dan anak-anak saya bilang saya paling mengerikan waktu itu. Nggak terkendali.”

Penggunaan mesin pengganti jantung menimbulkan efek tertentu pada tubuh dan emosi, seperti mual, sesak napas, dan mudah marah.

Pascapembedahan, Hadad harus belajar bernapas, batuk, dan berjalan. Ia juga mulai mandi tanpa bantuan siapa pun. Semua proses ini diprogram dalam hitungan jam. Pada hari ke-10 ia sudah harus meninggalkan rumah sakit untuk menjalani kehidupan normal. Ketika menemani istrinya berbelanja di mal, Hadad menggunakan kesempatan tersebut untuk berlatih jalan dalam balutan baju hangat yang tebal.

“Jadi teorinya, recovery kita itu akan makin cepat, kalau kita bisa mengaktifkan peredaran darah atau bergerak cepat,” katanya.

“Sekarang saya menyempatkan untuk senam tiap pagi atau treadmill sekitar 15 menit, “ lanjut Hadad, seraya menunjuk ke arah alat olahraga di sisi kanan ruang ini.

Biaya operasinya di Epworth sekitar Rp 50 juta, sudah termasuk anggaran untuk seorang penjaga pasien. Tini menginap serta menunggui Hadad di rumah sakit.

“Mau saya tunjukkan potret-potret saya? Biar tahu kalau tubuh kita itu seperti spaghetti, penuh kabel yang dihubungkan ke berbagai mesin.” Hadad beranjak dari kursi.

Ia kembali dengan setumpuk buku tentang jantung dan sebuah album foto.

“Ketika itu nasib kita tergantung pada perawat. Mereka harus berjaga benar-benar 24 jam, intensive care. Kalau ada bunyi, tit, tit, tit, dia harus menemukan sumbernya, ada yang tak beres. Pokoknya bunyi-bunyian itu terus terjadi,” kata Hadad, tertawa.

Jam berdentang tujuh kali. Tini Hadad terlihat melangkah dari ujung kanan rumah mereka, tersenyum. Tini baru kembali dari mengisi acara Nuansa Pagi di stasiun televisi RCTI. Ia dan Hadad sama-sama orang sibuk. Selain menjadi pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tini juga aktif dalam kepengurusan Forum Perempuan Kesehatan dan sejumlah organisasi lain.

“Maaf,” kata Hadad, seraya mengangkat kaos oblongnya. Ia menunjukkan goresan vertikal kemerahan sepanjang kira-kira 25 centimeter tepat di tengah dadanya pada saya. Luka jahitan bekas operasi.

TINI Hadad kini duduk di seberang saya, menggantikan posisi suaminya. Ia sudah mengenakan pakaian rumah yang santai, blus dan celana panjang longgar.

“Sebenarnya, siang ini saya harus pergi lagi. Tapi, sudahlah. Saya capek,” ujar Tini, terdengar riang.

Hadad berpamitan untuk mandi. Pukul 09.00 ia akan berangkat ke tempat praktik akupuntur. Selama enam bulan ini Hadad menjalani pengobatan dengan jarum-jarum halus yang ditusukkan pada simpul-simpul sarafnya. Ia menderita sakit punggung.

“Ismid memang orang yang sibuk sekali, dalam arti kurang istirahat. Pola tidurnya tak sama dengan orang normal. Dia suka bekerja sampai larut malam,” tutur Tini.

Sejak muda Ismid Hadad biasa berorganisasi. Ia menjadi wakil ketua pengurus pusat Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia dan ketua biro penerangan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Suatu hari Hadad mengorganisasi hampir 1000 pemancar radio di Jakarta untuk memobilisasi ratusan ribu mahasiswa ke Monas, menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia, pembersihan kabinet Dwikora-nya Presiden Soekarno, dan penurunan harga kebutuhan pokok pada 1966. Bersama Nono Anwar Makarim dan Zulharmans, ia mendirikan Harian Kami di masa yang bergolak itu. Ia bertemu Tini di sela-sela aktivitas tersebut.

“Ditambah lagi waktu mudanya, dia perokok berat. Tiga bungkus sehari. Kata dokter itu salah satu penyebab. Ketika terkena itu dia sudah lama berhenti merokok. Tapi, kata dokter, pengaruhnya masih tetap ada.”

Zat nikotin atau tar dalam rokok menyumbat pembuluh jantung secara tak langsung. Nikotin membuat darah menjadi lebih kental dan merusak dinding dalam pembuluh darah yang bernama endotil, sehingga faalnya terganggu. Endotil mengatur aliran darah, membuat pembuluh menyempit atau melebar sesuai keperluan, dan melindungi pembuluh darah. Lemak atau kotoran akan menempel pada pembuluh serta menyumbat aliran darah bila endotil tersebut rusak.

Hadad berhenti merokok selama 14 tahun sebelum jantungnya bertingkah.

Menurut data Yayasan Peduli Jantung dan Stroke berdasarkan World Health Report pada 1997, tiga juta orang meninggal tiap tahun akibat kanker paru-paru dan penyakit jantung gara-gara merokok.

Pola makan juga berpengaruh. Hadad tak banyak makan, tapi suka mengudap makanan kecil yang mengandung minyak.

“Seperti goreng-gorengan. Kami suka sekali goreng-gorengan, seperti emping itu selalu tersedia. Kemudian, faktor genetik juga berpengaruh. Ada orang yang makan yang berkolesterol tinggi, tapi kolesterolnya nggak tinggi-tinggi. Tapi orang seperti bapak dan juga saya, belakangan tahu, mesti sangat hati-hati. Karena ternyata cepat sekali mekanisme tubuhnya menimbun kolesterol,” cerita Tini Hadad dengan nada agak cepat.

Kolesterol merupakan lemak berwarna kekuningan mirip lilin yang diproduksi hati. Ia bermanfaat untuk membuat hormon seksual, hormon korteks adrenal yang menjaga keseimbangan garam tubuh, vitamin D, dan garam empedu yang membantu usus menyerap lemak. Dalam batas tertentu ia dibutuhkan. Kadar normalnya sampai 200 miligram persen.

“Dokter Hanafi bilang, kolesterol saya juga termasuk tinggi, 240 miligram persen dan harus diturunkan,” ujar Tini.

Namun, Tini tak menyangka bakal mengidap penyakit yang sama dengan suaminya. Pada September 1995 dokter menyatakan pembuluh arteri utamanya tersumbat pada bagian pangkal dan ia harus segera dioperasi.

“Dokter bilang periksa, karena ini juga ada sesuatu yang di jantung, tapi belum bisa memastikan apa, lagi pula waktu itu saya sedang transisi menopause, katanya wanita di masa ini memang rentan. Saya heran, saya kok nggak pernah merasa sakit. Dokter bilang, kasus seperti ibu ini yang sekali anfal langsung gawat dan bahkan, meninggal.”

Tini keras kepala. Ia malah nekat berangkat ke Beijing, Cina, untuk menghadiri konferensi perempuan sedunia yang ditunggunya sejak lama. Lagipula, ia masih ragu terhadap kesimpulan dokter di Indonesia. Sepulang dari konferensi, Tini memutuskan memeriksakan diri di Singapura.

“Dokter di sana kaget dan bilang, ‘You are crazy …,’” kenangnya, tertawa.

Tini dioperasi di rumah sakit yang sama dengan Hadad di Melbourne, Australia, hanya berselang waktu tiga bulan dari suaminya. Perubahan cara hidup terjadi pada pasangan ini sesudah peristiwa tersebut. Mereka mulai mengurangi makanan yang mengandung lemak jenuh dan lebih banyak menggunakan minyak zaitun dalam memasak.

“Kami lebih banyak makan sayur dan buah sekarang. Bahkan, hampir satu tahun ini kami mempraktikkan cara hidup sehat. Pagi cuma makan buah sampai jam 12, siang baru makan, dan malam diupayakan makan sayur.”

Mereka juga mencoba rutin berolahraga.

“Dia lebih rajin ketimbang saya,” kata Tini.

Namun, pagi ini saya tak melihat Hadad menyentuh treadmill itu.

Ismid Hadad muncul dari salah satu pintu. Ia sudah berpakaian rapi, mengenakan kemeja dan pantalon.

“Sarapan, yuk,” ajaknya, berjalan ke meja makan.

“Masih cerita-cerita ini,” sahut Tini.

“Terima kasih,” kata saya, menolak tawaran itu.

“Kegiatan kami nggak banyak berubah. Kami dua-duanya memang orang sibuk. Tapi, kami memang saling mengingatkan bahwa kami nggak boleh lagi terlalu capek. Tapi terlepas dari jantung atau tidak, seperti saya sudah 55 tahun, sudah berasa kok bahwa stamina udah nggak seperti dulu lagi. Cepat lelah,” tutur Tini, lagi.

“Bagaimana reaksi anak-anak dalam menghadapi ini?”

“Nadia, putri saya yang pertama bekerja di LSM, sedangkan Imelati, putri saya yang kedua di advertising agency, yang sepertinya nggak punya jam kalau bekerja. Ya, kami coba mengingatkan. Nah, yang nomor dua itu perokok. Saya sampai sedih sekali. Berkali-kali saya mengingatkan, bahwa kamu itu punya dua orangtua yang punya penyakit jantung dan rokok itu penyebab utama, dan dia bilang dia akan berhenti merokok kalau dia hamil, tapi nggak tahu kapan dia hamilnya. Kami mencoba memberi pengertian, nggak tahu bagaimana nanti,” jawab Tini, pasrah.

Ia menunjuk ke arah dinding di belakang saya. Ada sebuah potret keluarga di sana.

“Itu anak-anak kami. Nadia, Imelati, Emil yang bungsu.”

Perkawinannya dan Ismid sudah memasuki tahun ke-30 pada 17 September 2001 lalu.

”Apakah anak-anak menunjukkan kekhawatiran mereka?” tanya saya

Jam berdentang sembilan kali.

“Nggak. Tapi, anak saya yang laki-laki yang suka mengingatkan. Dia kelas lima SD ketika kami dioperasi. Dia agak down waktu saya dioperasi jantung, turun sekali nilai-nilai rapornya, tapi kepala sekolah mengerti. Ini mungkin karena orangtuanya. Nah, sampai sekarang dia yang banyak mengingatkan. Tapi, kemudian dia sangat menyenangi pelajaran biologi. Kalau di majalah Tempo, dia selalu baca rubrik kesehatan. Tapi, di SMA sekarang dia malah memilih IPS, meski dia bisa IPA,” ujar Tini, tertawa kecil.

Kadang-kadang, Tini dan Ismid menonton orkestra atau film bioskop. Apa yang membuatnya jatuh cinta pada Ismid dulu?

“Saya itu dari keluarga yang ibunya bekerja. Saya terbiasa dengan ibu yang aktif di luar rumah. Ayah tak terlalu aktif, tapi suka bicara politik. Ketika saya SMP mereka masuk tahanan dua-duanya. Ibu saya pengarang wanita pertama di Indonesia. Sariamin Ismail, Selasih, Selaguri. Pernah dengar?”

Sariamin Ismail penulis prosa maupun puisi yang sering menggunakan nama samaran dalam berkarya. Beberapa novelnya, seperti Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937) diterbitkan Balai Pustaka. Ia menjadi redaktur suratkabar Kaum Ibu Sumatera Suara di Padang pada 1934.

“Mungkin, saya melihat Ismid itu aktivitis dan saya juga kalau sudah berumah tangga nggak mau di rumah aja, jadi mesti cari suami yang mengerti dan kelihatannya dia begitu,” lanjut Tini.

“Bagaimana dengan kehidupan seksual?” tanya saya.

“Saya kira, biasa saja. Saya baca di majalah, itu normal untuk seusia kami. Kami kan sudah bukan anak muda lagi, yang menggebu-gebu. Berbeda kalau penderita jantung berusia 30-an, pasti berpengaruh, ya. Hubungan suami istri yang sudah menikah di atas 25 tahun itu sudah seperti teman,” jawab Tini, santai saja.

Pukul 09.15. Ismid Hadad telah menyelesaikan sarapannya, kemudian menuju kamar dekat meja makan dan kembali dengan mendorong tas bepergian yang beroda. Tini menghampiri suaminya. Mereka terlibat percakapan kecil. Hadad akan mampir ke toko reparasi tas setelah selesai tusuk jarum. Esok hari, 4 November 2001, ia berencana ke luar kota dan tinggal di sana selama empat hari. Padahal, kemarin ia baru saja kembali dari Papua.

“Saya nggak ikut, deh. Hari ini saya harus menyelesaikan makalah saya. Hari Senin saya berangkat ke India,” seru Tini, sewaktu saya pamit.

JALANAN di selatan Jakarta itu sudah padat pada pukul 09.30. Langit putih menyilaukan. Mobil kijang berwarna perak metalik ini terkadang merayap di tengah barisan mobil lain. Udara di dalam terasa sejuk oleh pendingin. Saya dan Hadad duduk di jok belakang, melanjutkan percakapan kami.

Ismid Hadad merasa lebih muda dan segar sekarang. Kesibukannya sebagai direktur eksekutif Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia terus mengalir. Semua kecemasan terhadap kondisi jantungnya sudah terlampaui. Namun, ia menganggap pencegahan penyakit tersebut lebih baik ketimbang mengalaminya. Ia teringat seorang teman, Aristides Katoppo, dan keponakannya sendiri, Toriq Hadad, orang-orang yang mengidap penyakit serupa.

“Kehidupan wartawan apalagi tak ada jam, pola hidup tak teratur. Malam jadi pagi. Tak cukup exercise. Makan jadi tak teratur. Mencomot gorengan tempe, singkong, di jalanan. Berminyak. Kolesterolnya tinggi sekali. Pertama, minyak tak tersaring. Kedua, minyak ini dipakai berulang kali, unsecurited oil, lemak yang tak securited,” tuturnya, serius.

Aristides Katoppo, pemimpin redaksi suratkabar Sinar Harapan, merasakan serangan pertama saat berjalan-jalan di kebun teh di Gunung Mas, Bogor, pada awal 1985. Ia mengalami sesak napas. Seorang teman menyarankan ia ke dokter.

“Dia bilang, you looked fit, tapi hati-hati jantung. Dia bilang, ayahnya juga begitu. Nah, begitu sampai di Jakarta, kok saat mandi juga begitu, mandi juga sesak napas,” kata Katoppo pada saya dalam sebuah wawancara.

Katoppo sama sekali tak percaya jantungnya punya kelainan. Ia termasuk orang yang rajin berolahraga, suka mendaki gunung. Namun, ia mulai cemas dan memutuskan pergi ke Rumah Sakit Jantung Harapan Kita untuk menjalani pemeriksaan.

“Saya diperiksa di treadmill. Pada waktu itu baru jalan tiga menit langsung dihentikan, beruntung perawatnya berpengalaman. Dia tanya ada nyeri nggak di dada atau di mana? Saya bilang, nggak. Paling-paling ada sedikit sesak napas. Dia langsung panggil dokter. Rupanya dokter biasa tak ada, dia telepon gawat darurat,” tutur Katoppo.

Tiga pembuluh arterinya tersumbat. Sebuah pembuluh tersumbat 100 persen dan dua lainnya, 70 persen. Penyebab sakit jantungnya lebih pada pola hidup.

“Ada beberapa profesi yang katanya berisiko tinggi, untuk terkena jantung atau stroke. Pertama, wartawan, kemudian pilot atau penerbang, dan satu lagi saya lupa. Jadwal tak menentu, banyak mengalami stres, harus lebih sering berlibur. Tapi, saya kira pencegahan paling penting. Menjaga makanan dan hidup teratur. Penyakit ini sangat mengubah hidup kita, tapi itulah kita nggak kapok-kapok, ndablek,” kata Katoppo, tersenyum.

Dokter berkali-kali meminta Katoppo mengurangi jam kerjanya menjadi setengah jam kerja normal.

“Katanya, jam kerja normal itu sampai pukul lima, bukan 24 jam.” Ia tetawa pelan.

Toriq Hadad, redaktur eksekutif majalah Tempo, pernah menderita stroke ringan pada 1999. Penyakit tersebut membuat Hadad harus menjalani pemeriksaan menyeluruh. Dari situ pula terbongkar kalau jantungnya bermasalah.

“Ternyata, sumbatannya ada tiga yang 100 persen,” katanya.

Hadad merupakan orang kesembilan dalam keluarga besarnya yang mengidap penyakit ini.

Kini ia lebih berhati-hati memilih makanan, “Saya tidak makan lagi daging, kecuali ayam. Gorengan tidak, duren, daging kambing, saya jauhi. Saya melakukan diet makanan rendah kalori, mengontrol berat badan. Sekarang saya olahraga tiap hari, mulai pukul enam sampai pukul tujuh, senam. Tapi, kalau terlambat bangun saya jalan saja. Saya juga tidak merokok.”

Ia menjalani pembedahan pintas koroner setahun lalu, tapi merasa belum nyaman pada bagian dada sebelah atas, “Seperti ada yang dicantolin.” Rasa was was terkadang muncul.

Penyakit jantung koroner hanya salah satu dari sederet penyakit jantung lain. Penyakit jantung bawaan, penyakit jantung rematik yang disebabkan bakteri streptococcus, penyakit otot jantung (kardiomiopati), dan penyakit gangguan pada irama jantung adalah gangguan pada organ sentral tubuh manusia ini. Namun, jantung koroner dikategorikan sebagai penyakit paling berbahaya di Indonesia, menyebabkan 25 persen kematian. Penderita jantung koroner mencapai jumlah tertinggi di Amerika dan Eropa. Pertumbuhan industri menciptakan masyarakat baru, masyarakat pekerja yang berburu target dan waktu.

“Ada yang dinamakan behavior tipe A. Kepribadian tipe A itu orang yang kompetitif, nggak mau kalah, pokoknya ambisi gitu. Itu katanya paling mudah terkena penyakit jantung koroner,” ujar dokter Hanafi Trisnohadi pada saya.

Berapa jumlah pengidap penyakit jantung di Indonesia?

“Mungkin bisa dicari datanya, tapi di Indonesia ini sulit. Relatif belakangan ini dengan kemajuan masyarakat kita, kesibukan yang tinggi, stres, merokok, fast food yang mengandung lemak, mungkin pengidap jantung koroner ini bertambah. Di Amerika Serikat itu, kira-kira penduduknya 200 juta lebih, yang mendapat serangan jantung dalam setahun sekitar sejuta orang. Jakarta itu kira-kira penduduknya dua jutaan. Yang menderita jantung 2000 orang per tahun. Dibandingkan negara barat lebih sedikit. Tapi relatif lebih banyak, kalau dibandingkan dengan saat saya masih mahasiswa pada tahun 1960-an. Mencari pasien jantung itu nggak ketemu-ketemu,” ujar Trisnohadi.

Harian Kompas menyebutkan Rumah Sakit Harapan Kita mencatat 370 pasien jantung dirawat pada 1998, 467 pasien pada 2000, dan 473 pasien pada 2000.

“Hanya pola hidup sehat, kunci mencegah penyakit jantung. Makan, istirahat, olahraga teratur,” pesan Ismid Hadad, kesekian kali.

Lagipula, mencegah membutuhkan biaya lebih murah.

“Biaya operasi di Indonesia sekarang saya dengar bervariasi, dari 60 sampai 100 juta. Kelihatannya mahal. Tapi, kalau operasi di Amerika paling murah US$ 20 sampai US$ 40 ribu. Kalau ditiup paling murah US$ 15 ribu. Tak usah jauh-jauh ke Amerika, di Singapura untuk ditiup harus membayar tak kurang dari S$ 15 ribu, bisa-bisa S$ 25 ribu,” kata Trisnohadi.

Saya minta diturunkan di tepi sebuah jalan yang padat di daerah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Pintu mobil itu kembali tertutup dan deru yang halus perlahan meninggalkan saya. Ismid Hadad melanjutkan rencana berikutnya dalam agenda hari ini. Ia sudah melewati satu bahaya.*

kembali keatas

by:Linda Christanty