Pariyem di Layar Kaca

Anonim (sementara)

Mon, 5 November 2001

YA, Pariyem, seorang babu yang akhirnya menjadi menantu Kanjeng Cokro Sentono, sebentar lagi akan tampil di layar kaca.

Ya, ya, Pariyem saya

Maria Magdalena Pariyem lengkapnya

"Iyem" panggilan sehari-harinya

dari Wonosari Gunung Kidul …

YA, Pariyem, seorang babu yang akhirnya menjadi menantu Kanjeng Cokro Sentono, sebentar lagi akan tampil di layar kaca. Pengakuan Pariyem, demikian judul sinetron ini, diangkat dari sebuah prosa lirik berjudul sama, karangan Linus Suryadi Agustinus, sekitar 1978-1980. Prosa ini telah diterjemahkan dalam tiga bahasa: Inggris, Belanda, dan Prancis.

Aktivitas jurnalismenya membuat Linus dikenal di kalangan pers. Ia sempat bekerja buat harian Bernas, selain bergabung di Persada Studi Klub, Yogyakarta, pada 1970, bersama penyair Umbu Landu Paranggi. Linus mengasah kemampuan menulisnya dengan mengikuti program penulisan di Universitas Iowa, Amerika, pada 1982.

"Malioboro boleh berubah. Tapi seorang penyair tidak. Dia tetap konsisten dengan kepresidenan puisi di kota ini. Bahwa kepresidenan itu dicerminkan dengan sikap membimbing, membina, dan melecut calon penyair dan esais untuk berkembang. Karenanya, hanya dia Presiden Malioboro sekarang. Hanya dia," tutur Ashadi Siregar dari Universitas Gadjah Mada.

Kesenimanan Linus boleh jadi yang membuat karyanya terutama Pengakuan Pariyem sempat mengundang kontroversi. Butet Kertarejasa, seniman asal Yogyakarta, mengungkapkan kontroversi antara lain menyangkut soal seks, pelecehan agama, serta banyaknya penggunaan bahasa Jawa. Bobot terbesar soal seks.

Pariyem, tokoh utama dalam buku ini blak-blakan menceritakan pengalaman seksnya dengan Raden Bagus Ario Atmojo, anak Kanjeng Cokro Sentono. Katanya, "Selagi saya membersihkan kamarnya, tiba-tiba saya direnggut dari belakang. O, Allah, saya kaget setengah mati, Mas …. Tapi saya pasrah saja, kok. Saya lega lila."

Maka, tak usah heran bila ada yang memandang prosa lirik ini tak lebih dari pengakuan seorang pelacur. "Linus pernah bercerita pada saya, karyanya itu ada yang menilai bukan sastra Jawa, tapi pengakuan pelacur," ujar Landung Simatupang, sahabat Linus, seraya mengungkapkan, dirinya pun sempat terperangah saat pertama kali membacanya.

Sebesar apa sesungguhnya kontroversi prosa tersebut? Pemirsa televisi agaknya bisa melihat sendiri sinetronnya. Sinetron Pengakuan Pariyem diproduksi Prima Entertainment dengan sutradara Sam Sarumpaet. Nama-nama yang tidak asing di dunia perfilman nasional turut membintanginya. Niniek L. Karim memerankan Ayu, Adi Kurdi sebagai Kanjeng, Mathias Muchus sebagai Paiman, Landung Simatupang sebagai Suwito, dan Donny Kesuma sebagai Kliwon.

Pariyem sendiri diperankan Dewi Rahmawati, mahasiswa dari Yogyakarta. Ia berhasil menyisihkan bintang film Ria Irawan dan penyanyi Denada. "Pariyem ini kan ada di setiap kepala pembacanya. Ketika saya letakkan Ria Irawan atau Denada, orang mau tak mau masih melihat mereka sebagai pribadi. Tetapi ketika saya meletakkan pemain baru yang sama sekali belum dikenal, maka identifikasi Pariyem itu akan menjadi utuh," tutur Sarumpaet.

Sarumpaet yang juga dosen Institut Kesenian Jakarta mengungkapkan kesulitannya membuat sinetron yang ceritanya diambil dari buku. "Siapa pun harus berhati-hati. Sikap kita terhadap pengarangnya tak boleh sembarangan," katanya.

Ia menilai, sangat tepat bila produser Prima Entertainment, Leo Sutanto, menunjuk wartawan Seno Gumira Ajidarma sebagai penulis skenario. "Siapa pun tahu kualitas Seno," kata Sarumpaet.

Rencananya sinetron ini terbagi dari empat episode. Per episode ditambah iklan berdurasi 90 menit. Pada episode pertama, cerita sepenuhnya berasal dari buku Pengakuan Pariyem. Baru pada episode berikutnya, penafsiran Seno Ajidarma masuk. "Pada bagian empat, kita akan melihat satu kesimpulan yang murni ditulis Seno. Bagian yang sebenarnya tak ada dalam buku Pengakuan Pariyem," kata Sarumpaet. Ia belum lagi tahu di stasiun televisi mana sinetronnya bakal diputar.

"Skenarionya sangat sadar bagaimana mempertahankan ‘kelinusan’ Pengakuan Pariyem ini," begitu komentar Simatupang.

Kemampuan Seno Ajidarma juga tak diragukan oleh Bakdi Sumanto, mantan ketua Dewan Kesenian Yogyakarta. Toh ia merasa perlu mengingatkan, Pengakuan Pariyem bukanlah novel yang di dalamnya memuat deskripsi keadaan, dialog, dan konflik. Prosa ini adalah sesuatu yang literer, lebih sebagai ungkapan pengalaman batin.

Pendapat lain datang dari Kertarejasa. Ia mengambil Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya yang diangkat sutradara Ami Priyono ke layar lebar. Pesan-pesan sastrawi dari penulis tak muncul. "Padahal pesannya waktu itu sudah isu gender. Romo Mangun pernah berkata bahwa Roro Mendut itu mempunyai semangat juang pada kesetaraan gender. Dan itu, tak tergambar pada film," ujarnya.

Apapun itu Linus tak sempat menikmati karyanya di layar kaca. Ia meninggal pada 1999 dalam usia 48 tahun. Jasadnya dikubur, berpakaian Jawa lengkap, berblangkon, dan bersurjan merah bara.*

kembali keatas

by:Anonim (sementara)