Menyusuri Jejak Kelly Kwalik

Eri Sutrisno

Mon, 5 November 2001

MUSIM hujan telah dimulai pada Desember 2000 itu. Ricky Dajo masuk hutan Papua untuk menemui Kelly Kwalik, mungkin salah seorang pemimpin Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang paling terkenal

MUSIM hujan telah dimulai pada Desember 2000 itu. Ricky Dajo masuk hutan Papua untuk menemui Kelly Kwalik, mungkin salah seorang pemimpin Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang paling terkenal, pada dasawarsa 1990-zn. MetroTV, stasiun televisi tempat Dajo bekerja, ingin menayangkan wawancara istimewa dengan Kwalik.

Mula-mula Dajo berusaha menjalin hubungan dengan jaringan Kwalik. Orang-orang Kwalik tak langsung membuka jalan untuknya. Mereka mencurigai Dajo dan memberi syarat. Orang-orang ini bersedia membawa Dajo pada Kwalik asal ia bersedia membayar upeti sebesar Rp 6 juta. Uang sejumlah ini tidaklah sedikit untuk ukuran peradaban di luar hutan sekalipun. Dajo tak mau menyerah begitu saja. Ia menawar sampai Rp 1,5 juta. Tentu orang-orang Kwalik keberatan. Tawar-menawar berjalan alot dan melelahkan, sampai kesepakatan dicapai. Mereka sepakat pada angka tersebut. Dajo pun bisa menarik nafas lega.

Pada 13 Desember 2000 orang-orang Kwalik membawa Dajo dan Budiono, reporter MetroTV, menuju ke Mapuru Jaya, sebuah dermaga perahu mesin. Sesampai di dermaga, mereka menemukan perahu mesin dalam keadaan terkunci. Tangki bahan bakarnya pun kosong. Dajo kecewa, tak bisa berbuat apa-apa, lalu memutuskan kembali ke Timika.

Langkah pertama gagal, pikirnya, kesal. Tapi, Dajo pantang surut langkah. Ia kembali berunding dengan orang-orang Kwalik. Mereka sepakat berangkat ke hutan keesokan harinya. Kali ini Dajo sendirian, karena Budiono sudah kembali ke Jayapura, ibukota provinsi Papua.

Dajo kembali ke Mapuru Jaya. Ia dijanjikan akan diantar dengan perahu mesin 60 PK. Lagi-lagi, ia diberi kejutan. Perahu yang tersedia hanya berkekuatan 25 PK. Ia merasa sudah kepalang basah.

Pukul sepuluh pagi. Bersama orang-orang Kwalik ia mengarungi sungai, mengarah ke pedalaman. Bekal yang dibawa ala kadarnya: biskuit dan air mineral. Sehari semalam mereka menempuh perjalanan yang menegangkan. Orang-orang Kwalik juga merahasiakan lokasi yang akan menjadi tujuan mereka.

“Di sungai itu kami sudah berserah nyawa. Nggak jelas mau ke mana dan di mana. Kondisi tak menentu,” tuturnya, mengenang pengalaman kembali.

Telepon genggam Dajo sebagai satu-satunya alat komunikasi dengan dunia luar tak berfungsi, mendadak kehilangan sinyal. Ia seperti terdampar di antah-berantah.

“Jaringan Kwalik cukup rapi,” kata Dajo pada saya.

Perjalanan ke markas Kwalik membutuhkan waktu sekitar tujuh jam dari tempat penjemputan. Sungai-sungai yang dilalui penuh buaya. Dajo sampai bergidik.

Sekitar pukul dua dini hari, mereka berhenti di muara sungai. Dalam keadaan setengah terlelap, Dajo melihat sebuah perahu bersandar di akar pepohonan bakau, sejenis tanaman yang tumbuh di daerah berair payau.

Orang yang membawa Dajo meneriakkan kata sandi. Beberapa pria yang berada dalam perahu tersebut membalasnya. Salah seorang dari mereka pindah ke perahu Dajo. Mereka mengantarnya menuju markas sang pemimpin, Kelly Kwalik.

Dajo juga tak bisa menyembunyikan rasa takjub saat bertemu para pengawal Kwalik. Ia pernah tinggal bertahun-tahun di Papua, tapi belum pernah melihat postur tubuh penduduk asli serupa ini.

“Tubuh mereka besar-besar, rambutnya panjang. Seumur hidup saya baru pertama kali melihat orang-orang seperti itu,” ujarnya, nyaris bergumam.

Sebelum bertemu Kwalik, ia diperiksa berjam-jam oleh wanita-wanita anggota kelompok Kwalik. Barang bawaannya juga turut digeledah. Jantung Dajo berdegup kencang ketika teringat sehelai dokumen dalam tasnya, yang menerangkan bahwa ia datang ke Papua dengan pesawat Hercules. Pesawat Hercules ini milik Tentara Nasional Indonesia, pihak yang berseberangan dengan kelompok Kwalik.

“Untung mereka tidak memahami itu. Sehingga saya lolos dan bisa bertemu dengan Kelly Kwalik,” kata Dajo, bangga.

Setelah pemeriksaan selesai, tim pemeriksanya pamit untuk berunding lagi dengan “Bapa” –sebutan untuk Kelly Kwalik dalam kelompok tersebut. Dajo diterima dengan baik sebagai tamu. Yudas Kogoya, salah seorang anggota letnannya Kwalik, menyajikan ubi talas sebagai santapan makan siang. Kogoya ini penembak jitu terbaik di kalangan mereka. Namanya mulai mencuat pada awal 1996 ketika Kwalik dan Kogoya terlibat penculikan 24 peneliti biologi mancanegara di Lembah Baliem. Perawakannya kecil, tapi ia ditakuti banyak orang, termasuk militer Indonesia. Pria ini putra dari Silas Kogoya, tokoh yang disegani dan tergabung dalam bagian eksekusi di OPM.

“Talasnya bukan main enaknya. Wangi sekali. Sebelumnya, saya belum pernah makan talas yang seenak ini. Saya katakan kepada mereka, di sinilah kekuatan kalian,” kata Dajo, membayangkan kembali menu siang itu.

Inaugurasi itu belumlah usai. Dajo diminta bersumpah bahwa ia betul-betul wartawan. Saat sumpah diucapkan, ia dikelilingi pasukan bersenjata panah dan golok yang tampak sangar. Sumpah selesai. Salah seorang yang memimpin upacara itu menghampiri Dajo. Dajo menyalaminya. Ia menebaknya nama pria itu Kelly Kwalik.

Sang pria merangkul Dajo dengan hangat. Ia memang Kwalik.

“Kok, kamu tahu?” tanya Kwalik, heran.

“Karena feeling saja,” jawab Dajo.

Dajo berada di markas Kwalik selama hampir dua jam. Dua buah kaset dihabiskannya untuk merekam wawancara dengan pemimpin OPM itu, termasuk beberapa rol film untuk memotret Kwalik dan anggota kelompoknya.

Setelah memperoleh cukup materi untuk Metro TV, Dajo yang ditemani orang-orang Kwalik meninggalkan pedalaman dengan perahu. Tiba-tiba salah seorang kurir ditahan, tak diperbolehkan menyertainya. Perasaan Dajo mulai tak enak. Tapi, mereka meyakinkan bahwa itu merupakan mekanisme pengamanan biasa.

Dalam perjalanan pulang, sinyal telepon seluler Dajo mati selama tiga jam. Begitu alat komunikasi tersebut berfungsi normal, Dajo cepat-cepat menghubungi Andi Flores Noya, pemimpin redaksi MetroTV, di Jakarta. Noya minta Dajo segera mengirimkan hasil repotasenya ke Jakarta.

“Saya jawab, saya masih di tengah laut. Tidak bisa mengirim berita. Baru besok hari sampai di Timika,” kisahnya.

Pada tengah malam buta, perahu Dajo mendarat di sebuah teluk. Warna malam begitu kelam. Hujan sebentar lagi turun. Mata Dajo membentur sesuatu di kejauhan. Di ujung teluk itu berdiri sebuah tenda kecil, menyendiri. Banyak orang bercerita kalau tenda tersebut merupakan tenda penyelamat. Tak terhitung jumlah perahu yang diselamatkannya. Perahu Dajo juga selamat dari hempasan badai yang sering datang tiba-tiba. Di tengah badai, air pasang bisa mencapai dua meter. Ombak besar menggulung. Mereka terselamatkan.

“Itu luar biasa. Jasanya tidak bisa diukur dengan uang.”

Mereka disandera situasi alam. Perbekalan sudah menipis. Akhirnya, mereka tetap meneruskan perjalanan dan sampai di Mapuru Jaya pukul sembilan pagi keesokan harinya. Dajo hanya mempunyai sedikit waktu istirahat. Pada pukul satu siang itu ia sudah berangkat dari Timika ke Jayapura. Dajo beruntung bisa memperoleh pesawat. Penerbangan ke Jayapura penuh karena bertepatan dengan jadwal masa liburan.

Dari Jayapura, Dajo mengirim hasil rekamannya ke Jakarta, melalui satelit. Selama satu minggu MetroTV menyiarkan Headline News tentang Kelly Kwalik. Banyak stasiun televisi lain cemburu pada keberhasilan Ricky Dajo. Ben Bohane, wartawan Australia, termasuk orang yang merintis jalan buat Dajo. Bohane mewawancarai Kwalik pada akhir 1995 atau sekitar sebulan sebelum Kwalik menculik para peneliti biologi itu. Tak berapa lama sesudah Dajo kembali ke Jakarta, pesawat yang membawa serombongan orang pemerintah Provinsi Papua jatuh di wilayah Kelly Kwalik, sebuah tempat yang dulu maupun kini tak pernah tersentuh di dalam mimpinya.

RICKY Dajo belum lama jadi kamerawan Metro TV, stasiun televisi berita pertama di Indonesia. Ia bergabung pada November 2000. Semula ia fotografer. Tapi, pertukaran profesi itu bukanlah masalah besar baginya. Tak ada kesulitan yang berarti.

“Hanya moving biasa, tidak pindah ke lain hati,” kata Dajo, pendek, mirip puisi.

Baginya, kedua profesi tersebut masih dalam satu jiwa, satu dunia: jurnalisme. Hal itu pula yang membuat Dajo bertekad tak bakal pindah ke foto salon. Dajo membuktikannya saat majalah Jakarta Jakarta, media tempat Dajo bekerja sebelumnya, berubah bentuk dari majalah berita foto menjadi majalah gaya hidup. Dajo termasuk orang yang gelisah menghadapi kenyataan itu.

“Ketika harus memotret artis, aku sering menghindari foto salon, tetap dengan angle foto-foto berita,” katanya. Dajo memang tak suka membuat foto salon. Ia menganggap pekerjaan tadi statis dan seringkali penuh basa-basi.

Ia punya siasat. Tiap diberi tugas memotret model atau tokoh, Dajo selalu mengajak mereka bercakap-cakap. Sambil berbincang-bincang Dajo mencari sudut gambar yang tepat untuk membidik subjeknya.

“Tapi bukan berarti saya meremehkan foto salon, ya,” tukasnya.

Meski sudah berganti profesi berikut konsekuensinya, juga berganti peralatan, ia masih saja membawa-bawa tustel sambil memanggul kamera televisi.

“Belum bisa meninggalkan fotografi seratus persen,” alasannya.

Menurut Dajo, secara teknis kedua alat kerjanya memang jauh berbeda. Namun, perbedaan teknis bukan hambatan. Ia pernah kuliah sinematografi di Institut Kesenian Jakarta dan sedikit banyak paham mengoperasikan kamera. Dalam waktu singkat, Dajo sudah mahir menggunakan kameranya. Di samping itu, pengalamannya sebagai fotografer telah mengasah kemampuan pria ini dalam mengambil angle foto berita.

Dajo sukar menjawab jika diminta memilih satu di antara dua. Lebih menyenangkan jadi kamerawan atau fotografer? Menurutnya, untuk bekerja sendiri lebih enak menjadi fotografer. Peralatannya pun relatif murah. Sedangkan untuk bisa membeli kamera televisi dibutuhkan anggaran yang tak sedikit dan terasa berat jika harus mengeluarkan dana dari saku pribadi. Seorang kamerawan juga tak bisa bekerja sendirian. Ia memerlukan sebuah tim yang baik.

Dajo mulai menyukai fotografi sejak sekolah menengah. Ia berlatih memotret dengan meminjam tustel milik ayahnya. Hasil jepretannya dikirim ke sejumlah media massa, seperti majalah Aktuil, majalah musik yang kini sudah almarhum, dan majalah Selecta, juga majalah musik senasib dan lebih tua usianya dari Aktuil.

Semula fotografi sekadar hobi. Sampai suatu hari Dajo, yang dibesarkan di Jayapura, bertemu seorang teman dekat George Junus Aditjondro, seorang akademisi-cum-aktivis yang terkenal karena data-datanya soal harta keluarga Presiden Soeharto. Waktu itu Aditjondro bekerja memimpin sebuah organisasi nirlaba di Jayapura. Banya orang bertemu Aditjondro. Teman Aditjondro inilah yang menyarankan Dajo masuk sekolah sinematografi, menekuni serius bidang ini.

Dajo tertarik dan lantas berangkat ke Jakarta, mendaftar kuliah di Institut Kesenian Jakarta. Di masa kuliah pula Dajo makin menyelami dunia jurnalisme. Ia dan kawan-kawannya mengembangkan majalah Rona, bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat Wahana Lingkungan Hidup. Majalah Rona memuat tulisan tentang berbagai kesenian khas Indonesia dan laporan perjalanan ke tempat-tempat menarik di tanah air maupun luar negeri. Pembuatan majalah tersebut diilhami oleh National Geography, majalah foto yang bagus terbitan Amerika.

Sayang sekali, Rona tak berumur panjang. Dajo memutuskan melamar ke majalah Jakarta Jakarta. Sejak 1990, ia resmi menjadi fotografer majalah yang diterbitkan Kelompok Kompas Gramedia itu.

“Saya memilih Jakarta Jakarta karena satu-satunya majalah bergambar di Indonesia. Semua visualnya gambar. Ini tantangan bagi saya,” katanya, lagi.

Dajo kenyang pengalaman di Jakarta Jakarta. Ia membangun jalur-jalur di medan yang sulit. Naluri vivere vericoloso-nya tak bisa dibendung. Pada 1994, ia menjejakkan kakinya di Timor Lorosa′e bersama Aboeprijadi Santoso, wartawan radio Hilversum, dan mengabadikan berbagai peristiwa di negeri ini dalam 500 foto. Timor Lorosa′e pada masa itu bukan tempat yang aman bagi siapa pun. Perang antara militer Indonesia dan pejuang Timor Lorosa′e masih berlangsung.

“Saya dulu pernah berencana menerbitkan foto-foto tersebut. Tapi setelah Timor Lorosa′e merdeka dari Indonesia, rencana saya batalkan. Saya tidak tega melihat perubahan-perubahan ekspresi mereka saat ini. Mungkin nanti, anak atau cucu saya saja yang menerbitkan,” katanya, lirih.

Dajo menjalin hubungan dengan berbagai kelompok di Timor Lorosa′e. Ia mendekati Uskup Felipe Ximenes Belo dan menawarkan program kunjungan misi religius artis Maya Rumantir. Belo setuju.

“Sebelumnya saya melihat aksi Maya bagus saat di Manado. Maka, saya berpikir, akan bagus juga kalau dilaksanakan Timor Lorosa′e. Padahal saat itu Maya belum tahu rencana ini,” ujar Dajo, yang memang punya hubungan khusus dengan Rumantir, seorang penyanyi dan pengusaha yang suka terlibat kegiatan sosial, dan dulu pernah pacaran dengan Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Soeharto.

Dajo memang bukan tipe wartawan yang konservatif dalam menjaga jarak dengan sumber-sumbernya.

Dajo kembali ke Jakarta, menemui Maya Rumantir dan menjelaskan rencananya. Ternyata Maya Rumantir menyambut hangat rencana tersebut. Tak berapa lama Maya Rumantir berkunjung ke Timor Lorosa′e berkat upaya Dajo tadi.

Membangun jaringan sama pentingnya dengan mengerjakan foto atau tayangan yang baik bagi Dajo. Kebiasaan ini pula yang membuatnya bisa melakukan pekerjaan yang sukar dibayangkan orang.

Ricky Dajo tercatat sebagai kamerawan sekaligus reporter televisi Indonesia yang berhasil pertama kali menemui dan mewawancarai Kelly Kwalik, mantan guru yang sekarang menjadi panglima Organisasi Papua Merdeka, yang tengah diburu tentara Indonesia maupun para wartawan dengan berbagai tujuan. •

kembali keatas

by:Eri Sutrisno