Amplop dan Pertikaian di Ternate

Eriyanto

Mon, 5 November 2001

KANTOR redaksi mingguan Ternate Pos bukanlah sebuah gedung mentereng. Cuma sebuah rumah kontrakan yang terletak di pusat kota Ternate, ibukota provinsi Maluku Utara, yang baru diresmikan berdiri pada 1999.

KANTOR redaksi mingguan Ternate Pos bukanlah sebuah gedung mentereng. Cuma sebuah rumah kontrakan yang terletak di pusat kota Ternate, ibukota provinsi Maluku Utara, yang baru diresmikan berdiri pada 1999.

Namun kantor Ternate Pos jauh lebih baik. Mingguan Gema Nusantara lebih menyedihkan. Kantor redaksinya yang terletak di Jalan Ahmad Yani, terletak di salah satu bedeng pengungsi asal Tobelo, Halmahera Utara. Setiap sudut tampak dekil, lusuh, dan baunya tak sedap. Hanya sebuah komputer terlihat di ruang itu, padahal Gema Nusantara beroplah paling besar di sana, 15 ribu eksemplar setiap terbit.

Kesulitan media cetak yang terbit di Ternate terletak pada mesin cetak. Tidak ada percetakan di sana. Percetakan paling dekat di Manado, satu seperempat jam terbang dengan pesawat kecil yang melayani trayek Manado-Ternate.

Gema Nusantara malah mencetak jauh di Makassar. Terbitan edisi minggu kedua Oktober terlambat diedarkan, karena para awak kapal yang membawa koran itu dari Makassar lupa membongkarnya. Koran terbawa ke Jayapura. “Kami harus menunggu kapal itu berlayar pulang kembali dari Jayapura lewat Ternate ke Makassar,” kata Akhmad Basir Noer, sang pemimpin redaksi, tersipu malu.

Di Maluku Utara, kini ada 12 media cetak, dua radio swasta, dan RRI Ternate. Di antara media cetak, Ternate Pos yang tertua, kendati usianya baru tiga tahun. Modal untuk menerbitkan mingguan itu hanya Rp 15 juta. “Uang itu hasil pemberian seorang kawan yang batal naik haji karena ongkos naik haji membengkak akibat krisis moneter,” tutur Abdurrahman Lahabato pemimpin redaksi Ternate Pos.

Modal sekecil itu jelas tidak cukup. Lahabato semula bingung bagaimana menggunakan uang itu untuk menyiapkan sebuah media. Namun, ia berhasil juga menerbitkannya. Mula-mula ia mencari tenaga wartawan. Tak gampang. Seseorang merekomendasikan nama Rusli Djalil, aktivis mahasiswa yang saat itu tengah bersembunyi. Lahabato tidak tahu di mana Rusli berada. Ada informasi ia berada di Manado. “Maka saya menyiarkan pemanggilan lewat RRI Ternate, tentu saja dengan maksud menghemat biaya,” ujar Lahabato.

Rusli mendengar panggilan itu. Ia memberanikan diri pulang ke Ternate. “Ketika saya dites hasilnya dianggap baik hingga saya menjabat redaktur pelaksana,” tutur Rusli, tertawa-tawa.

Tapi, gaji wartawan di Ternate sangat kecil. Para wartawan Ternate Pos boleh nyambi jadi koresponden media di Jakarta. Ketika konflik berdarah terjadi di wilayah itu, berbagai media memang mencari koresponden di Ternate, kota yang sebelumnya tak diperhitungkan untuk diliput. Jangan heran bila berkunjung ke sana malam hari, berkali-kali telepon berdering dari Jakarta mencari beberapa wartawan tabloid itu untuk memberikan tugas peliputan. Begitulah cara mereka menyambung hidup. Menggantungkan pendapatan dari gaji Ternate Pos jelas tak mungkin.

Itu sebabnya, di Ternate, wartawan menerima amplop adalah hal yang lazim. Di sebuah pelatihan wartawan Maluku Utara yang dibiayai United States Agency for International Development, lembaga dana milik pemerintah Amerika Serikat, pertengahan Oktober 2001, ketika ditanya siapa saja yang menerima amplop? Semua peserta pelatihan mengacungkan tangan.

Kini, Ternate Pos berkembang. Mereka menerbitkan harian Koran Ternate, kendati saat ini belum bisa terbit setiap hari. Pertimbangan menerbitkan harian, menurut Lahabato, karena banyak berita yang basi jika menunggu dimuat di Ternate Pos, para pembaca tak sabar. Selain itu, Ternate Pos sedang menyiapkan sebuah radio yang akan banyak menyiarkan berita.

Maluku Utara mayoritas Muslim. Konflik yang dimulai di Ambon merembet ke sana. Di Ternate, semua warga Kristen mengungsi. Namun, kini keadaan berangsur normal, satu dua warga Kristen sudah kembali ke sana dan tak diusir, apalagi dibunuh.

Media di kawasan konflik seringkali sulit diharapkan jadi jembatan kelompok-kelompok yang bertikai. Padahal seharusnya peran itu mesti ditonjolkan. Ada banyak halangan yang tak memungkinkannya bersikap sebagaimana idealnya sebuah penerbitan media massa. Konflik menjadikan media terbentur banyak hal dan bukan tak mungkin menenggelamkan perannya.

Di Maluku Utara kelemahan-kelemahan seperti itu ada. Media hanyut begitu saja dalam pergolakan sosial yang tengah berlangsung. Semula mereka terpolarisasi akibat terjadinya konflik yang bernuansa agama dan etnis. Kondisi ini tidak memungkinkan wartawan bekerja secara profesional.

Namun di akhir pelatihan itu, para peserta sepakat bahwa media tidak boleh menjadi provokator, apalagi berpihak pada salah satu kelompok yang bertikai. Tapi soal menerima amplop, yang ini mungkin masih harus menunggu.*

kembali keatas

by:Eriyanto