"Amerika" versus "Islam"

Eriyanto

Mon, 5 November 2001

DALAM situasi perang, siapakah yang menjadi korban? Warga tak berdosa atau yang tak ada kait mengait dengan penyebab peperangan, salah satu jawabnya.

Dikerjakan bersama Coen Husain Pontoh

DALAM situasi perang, siapakah yang menjadi korban? Warga tak berdosa atau yang tak ada kait mengait dengan penyebab peperangan, salah satu jawabnya. Philip Knightley ternyata punya jawaban yang lebih fokus. Dalam bukunya, The First Casualty, Knightley memaparkan, dari Perang Krimea pada 1854-1856 hingga Perang Teluk 1990-1991, korban pertama yang jatuh ternyata adalah kebenaran. Mengapa? Masing-masing pihak yang terlibat dalam peperangan saling mengklaim diri sebagai pihak yang paling benar. Masing-masing pihak melancarkan propaganda yang membius agar pendapatnya diterima khalayak.

Pendapat Knightley kian terasa relevan kembali dikemukakan setelah Minggu malam, 7 Oktober 2001, Amerika Serikat menggempur Afghanistan. Lewat serangan berlabel Operation Enduring Freedom, AS mengklaim bahwa serangan itu tidak bertentangan dengan piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena sebagai hak bela diri (right of self defense). Meskipun tak disertai bukti lengkap mengenai keterlibatan milyuner Saudi Arabia Osama bin Laden dalam penerjangan beberapa bangunan penting di AS pada 11 September 2001, AS tetap menyerang Afghanistan. Serangan itu dimaksudkan untuk menghukum Bin Laden, yang dituding sebagai otak terorisme.

Sebaliknya, dalam propaganda Taliban, rezim berkuasa di Afghanistan, yang dituduh melindungi Bin Laden, tindakan Amerika merupakan bentuk nyata dari agresi militer ke suatu negara berdaulat. Lebih dari itu, Taliban menyatakan serangan Amerika terhadap Afghanistan adalah serangan terhadap sebuah negara Islam. Karena itu, seluruh umat Islam sedunia harus bersatu menyatakan jihad melawan Amerika.

Baik Amerika ataupun Afghanistan mempunyai kepentingan untuk mengontrol media. Di Amerika, stasiun televisi besar memutuskan untuk berhati-hati menayangkan berita maupun gambar yang berhubungan dengan Bin Laden dan organisasinya, Tanzim Al-Qaedah. Jaringan televisi ABC, CBS, CNN, dan Fox sepakat untuk tak mengudarakan secara langsung pidato Bin Laden, sebelum melalui sensor. Kesepakatan ini muncul setelah kalangan media Amerika melakukan diskusi dengan Penasihat Keamanan Nasional Condoleeza Rice. Rice khawatir televisi Amerika dipakai sebagai sarana propaganda Bin Laden, misalnya untuk menyampaikan pesan rahasia kepada pengikutnya agar memulai serangan. Gaya bicara bahkan pakaian yang dipakai bisa ditafsirkan sebagai kode perintah kepada pengikutnya.

Tekanan pemerintah Amerika tak hanya pada televisi lokal. Menteri luar negeri Colin Powell misalnya meminta Emir Qatar, Sheikh Hammad bin Khalifa al-Thani, agar mengawasi Al Jazeera, satu-satunya media yang bisa mewawancarai sekaligus menayangkan kegiatan Bin Laden.

Sebelumnya, Voice of America (VOA), radio yang didanai pemerintah Amerika, telah mendapat teguran dari Departemen Luar Negeri Amerika. Pasalnya, stasiun radio itu menyiarkan wawancara dengan pemimpin Taliban, Mullah Muhammad Omar. Dalam wawancara itu, Omar menolak menyerahkan Bin Laden yang dituduh Amerika sebagai otak peledakan gedung kembar World Trade Center (WTC) dan Pentagon. Departemen luar negeri menilai VOA telah dimanfaatkan Taliban dan Al-Qaidah.

Taliban pun sama dan sebangun. Kecuali stasiun televisi Al-Jazeera, pemerintahan Taliban melarang wartawan asing meliput di Kabul, terutama yang melaporkan serangan Amerika terhadap Afghanistan. Visa wartawan asing dibatasi waktunya. Taliban juga menahan beberapa wartawan asing, termasuk wartawan majalah Paris Match Michel Peyrad, dengan tuduhan sebagai mata-mata. Kini, Peyrad sedang menghadapi ancaman hukuman mati.

BAGAIMANA media Indonesia menyiasati perang propaganda yang dilakukan pemerintah Amerika maupun Taliban? Amarzan Loebis, redaktur pelaksana Gatra, mengatakan, di tengah sumber berita yang terbatas, Gatra kesulitan menerapkan metode peliputan berimbang. Namun mereka tetap berusaha mendapatkan berita dari wilayah terdekat dengan mengirimkan reporter ke kota perbatasan Peshawar, Pakistan.

Loebis juga menekankan unsur kehati-hatian dalam menerima informasi baik yang datang dari pejabat Amerika maupun Taliban. Bagi Loebis, serangan Amerika itu tak bisa dimengerti. Amerika tidak memberikan bukti faktual bahwa Bin Laden terbukti sebagai dalang peristiwa 11 September, kecuali hanya mendasarkan buktinya pada pembicaraan telepon, korespondensi, dan pengakuan-pengakuan yang akurasinya diragukan. “Ini membingungkan, terlebih yang dibom adalah Kabul, Kandahar, dan Jalalabad, padahal menurut laporan intelijen AS sendiri, Bin Laden berada di Timur Laut di bekas pangkalan militer Uni Soviet. Kesimpulannya, perang ini ditujukan untuk menghancurkan pemerintah Taliban dan menggantinya dengan rezim lain yang dirancang skenarionya oleh AS melibatkan antara lain Aliansi Utara serta Zahir Khan, raja yang mengungsi di Roma,” ungkap Loebis.

Andi F. Noya, pemimpin redaksi Metro TV, melihat dari perspektif berbeda. Menurut Noya, ketika arus informasi ke Indonesia begitu deras berasal dari jaringan televisi, suratkabar, maupun kantor berita Barat, Metro TV melihat dari perspektif Taliban. “Apa yang kami lakukan adalah memberikan porsi yang cukup besar bagi Taliban, karena akses mereka ke dunia internasional terbatas, hanya melalui stasiun televisi Al-Jazeera, yang berkantor pusat di Qatar.”

Untuk merealisasikan gagasannya itu, Metro TV mengontak Al Jazeera, mengenai kemungkinan hubungan kerjasama. Ada dua bentuk kerjasama yang ditawarkan Metro TV: membayar gambar-gambar Al-Jazeera, terutama yang berkaitan dengan Bin Laden dan Taliban, atau barter program.

Ketika memberitakan serangan Amerika ke Afghanistan, media mempunyai banyak pilihan sumber liputan. Kebanyakan wartawan berada di Peshawar dan melihat nasib pengungsi di sana. Informasi soal kesuksesan militer Amerika yang membombardemen instalasi militer Afghanistan banyak didasarkan pada sumber resmi dari pihak militer Amerika. Atau informasi soal tembakan pesawat Amerika yang salah sasaran, banyaknya korban rakyat sipil, atau peledakan sarana publik di Afghanistan didasarkan pada keterangan resmi pihak Taliban.

Ada banyak perspektif, cara pandang, yang bisa dipilih dan disajikan media. Pada titik ini, ada perbedaan pilihan media dalam mengambil sumber berita. Republika banyak mengutip keterangan dari pejabat Taliban. Keterangan resmi dari pemerintah Amerika bukannya tak disajikan, tapi ditempatkan dalam posisi sekunder dalam menjelaskan masalah. Dengan pilihan semacam ini, yang banyak ditekankan Republika bukan kesuksesan operasi militer Amerika, namun justru keganasan operasi militer yang mengakibatkan korban masyarakat sipil yang tak berdosa. Pada edisi 14 Oktober 2001, Republika mengkritik serangan Amerika yang dilakukan saat umat Islam sedang memperingati Isra Mi’raj. Pada edisi 12 Oktober, Republika menulis rudal-rudal Amerika yang mengenai masjid, tempat ibadah Islam. Ditulis, tidak benar Amerika hanya meledakkan sarana instalasi militer. Teks berita itu bersumber dari laporan Afghan Islamic Press dan didasarkan pada wawancara dengan penduduk Afghanistan.

Pada edisi 11 Oktober, Republika menulis soal jatuhnya bom Amerika di pemukiman penduduk. Serangan itu bahkan menunda proses pemakaman warga Afghanistan yang akan mengubur sanak saudaranya akibat serangan Amerika. Dalam berita yang dikutip dari Islam Online itu disebutkan, rudal-rudal Amerika ternyata tak secanggih yang dipromosikan. Atau dalam edisi 10 Oktober, Republika menulis senjata dan bom Amerika yang salah sasaran ke rumah sakit.

Dengan pilihan seperti itu, Republika menekankan kekejaman militer Amerika.

Sikap Republika yang memilih berita yang kritis terhadap Amerika tidak dapat dilepaskan dari bagaimana koran ini melihat serangan Amerika. Menurut Arief Supriyono, redaktur pelaksana Republika, sikap dasar Republika adalah menolak serangan Amerika. Serangan militer kepada negara lain tidak bisa dibenarkan, karena bisa berakibat jatuhnya korban rakyat tak berdosa. “Katakanlah Bin Laden terbukti sebagai dalang peristiwa 11 September, kami tetap tidak setuju jika Amerika menyerang Afghanistan,” ujarnya.

Di sisi lain, berita Media Indonesia, Kompas, dan Suara Pembaruan menempatkan versi militer Amerika dan Taliban dalam posisi kurang lebih setara. Dalam berita ketiga koran tersebut, ada berita soal kesuksesan militer Amerika dalam menghancurkan instalasi militer dan kawasan udara Taliban; ada juga serangan Amerika yang salah sasaran dan mengenai penduduk sipil. Media Indonesia edisi 12 Oktober, misalnya, memberitakan serangan Amerika yang menyebabkan hancurnya pertahanan udara Taliban. Tetapi Media Indonesia 11 Oktober memberitakan serangan Amerika ke kawasan pemukiman yang menyebabkan 76 orang penduduk sipil dilaporkan meninggal. Suara Pembaruan 12 Oktober melaporkan serangan udara di Kabul dan menghantam pangkalan amunisi Taliban. Amerika mengklaim telah menguasai wilayah udara Afghanistan. Suara Pembaruan 13 Oktober justru sebaliknya, tidak memberitakan kisah sukses militer Amerika, tapi ancaman kematian ratusan ribu anak Afghanistan.

Kompas 8 Oktober memberitakan sasaran instalasi militer Afghanistan. Tapi pada edisi 12 Oktober, Kompas melaporkan semakin banyaknya serangan yang salah sasaran dan mengenai penduduk sipil.

Kompas lebih melihat peristiwa ini sebagai masalah kemanusiaan. “Kompas melihat serangan itu sebagai tragedi kemanusiaan. Prinsipnya, kami tidak menghendaki adanya kekerasan, termasuk perang. Apapun alasannya, perang menimbulkan kesengsaraan dan menyebabkan tragedi kemanusiaan yang besar,” tutur Suryopratomo, pemimpin redaksi Kompas.

Yang tergambar dari pilihan peristiwa yang diambil media tersebut menggambarkan kesulitan media dalam meliput peristiwa. Berita yang diambil dari sumber militer Amerika selalu berisi keberhasilan dan keperkasaan Amerika dalam menguasai kawasan udara Afghanistan. Sementara pejabat Taliban menyatakan, serangan Amerika banyak yang salah sasaran dan menewaskan penduduk sipil. Susahnya, yang dikatakan pejabat militer Amerika dan Taliban seringkali tidak mengomentari peristiwa yang sama. Ketika sumber yang dikutip adalah militer Afghanistan, selalu nada positif pada Afghanistan. Sebaliknya, ketika yang dikutip adalah militer Amerika, selalu menguntungkan posisi dan opini publik Amerika.

TAHUN 1998, Samuel P. Huntington dari Universitas Harvard menulis buku The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Inti gagasan Huntington, konflik masa depan bukan didasarkan pada persoalan ekonomi, melainkan peradaban. Buku itu sudah berulang kali dikritik karena melihat budaya Barat sebagai peradaban yang maju, sementara peradaban Islam sebagai peradaban yang tak maju dan tak rasional.

Betapapun sering dikritik, dalam kasus Afghanistan, kesalahpahaman itu tetap mencuat. Orang Barat melihat Islam sebagai orang yang tak rasional, bodoh, dan barbar. Sementara orang Islam melihat Barat penuh konspirasi dan akal licik. Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi pernah mengatakan, peradaban Barat lebih unggul dibandingkan Islam –meskipun dia minta maaf setelah dikecam dunia internasional.

Donald K. Emmerson dalam kolom di majalah Tempo, 21 Oktober 2001 “Suarat dari Amerika,” berusaha menempatkan peristiwa di Indonesia dilihat dalam kacamatanya. Emmerson di antaranya menyesalkan pemberitaan di media terutama berkenaan tragedi 11 September di Amerika. Menurut Emmerson, ada banyak peristiwa dan konspirasi yang tak benar. Misalnya pemberitaan mengenai 4.000 warga Yahudi yang tak masuk kerja saat terjadi tragedi dikarenakan punya informasi dini akan adanya tragedi. Bagi Emmerson, cerita semacam ini selain tak benar juga jahat, karena memberikan nuansa adanya komplotan dan konspirasi di balik tragedi tersebut. Emmerson juga menyesalkan kenapa tak ada kutukan terhadap Bin Laden. Emmerson juga minta agar orang mengerti tindakan militer yang dilakukan Amerika. Baginya, tragedi 11 September meminta korban terbanyak dalam sejarah Amerika, dan itu membutuhkan jawaban militer.

Pandangan Emmerson seakan melihat kaum muslim membenci Amerika; pandangan lama yang melihat muslim agar menerima dan bertindak rasional. Sementara untuk banyak kalangan di Indonesia, terutama di kalangan muslim garis keras, Bin Laden adalah pahlawan dan pejuang Islam. Ia dianggap sebagai orang yang berani mengatakan tidak pada Amerika. Apa yang dilakukan Amerika adalah pengulangan dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan Amerika.

Islam tampaknya menjadi isu yang sensitif. Taliban dan Bin Laden melihat perang ini sebagai perang antara Amerika lawan Islam. Karenanya, mereka mengajak kaum muslimin di seluruh dunia untuk bersatu berjihad melawan Amerika.

Amerika tampaknya gusar pada seruan jihad itu. Buktinya, Amerika berkali-kali menekankan tidak memusuhi dan melawan Islam. Paul Wolfowitz, deputi menteri pertahanan Amerika, menulis kolom opini pada 11 Oktober ke berbagai media di Indonesia. Surat itu ditulis empat hari setelah serangan Amerika ke Afghanistan dan kedutaan besar Amerika di Jakarta menjadi sasaran para penentang serangan Amerika. Wolfowitz, yang pernah sebagai duta besar Amerika di Indonesia selama pemerintahan Presiden Ronald Reagan, tampaknya jengah melihat perkembangan demonstrasi anti-Amerika di Indonesia yang mengaitkan Amerika sebagai negara yang memusuhi Islam.

Dalam kolomnya, Wolfowitz mengatakan, Amerika tidak memusuhi Islam. Ia menunjukkan bukti, banyak korban serangan 11 September yang beragama Islam. Presiden George Walker Bush sendiri menyatakan menghormati Islam, selain terorisme tak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Amerika, kata Wolfowitz, selalu memberi bantuan kepada masyarakat Islam. Bukan hanya bantuan uang, tetapi juga keamanan: di Kuwait, Somalia, Bosnia dan Kosovo.

Pada akhirnya, konflik Afghanistan ini terjadi polarisasi antara Islam dan Amerika. Perang tidak hanya melibatkan Osama bin Laden lawan Amerika, tetapi antara Amerika lawan Islam. Afghanistan dengan mudah diterjemahkan sebagai representasi Islam. Perang lantas tak hanya melibatkan anggota komunitas, tapi menyertakan komunitas yang lebih luas. Afghanistan bukan lagi ditempatkan sebagai sebuah negara, melainkan representasi Islam.

Munculnya sentimen Islam dan anti-Amerika ini menyulitkan posisi media di Indonesia ketika memberitakan serangan Amerika ke Afghanistan. Karena media akhirnya sukar mengambil jarak. Media bisa dengan mudah mengkritik berbagai kebijakan Amerika, mengutuk serangan yang dilancarkan Amerika. Hal yang harus dilakukan secara berhati-hati ketika memberitakan Bin Laden atau Taliban. Pemberitaan media atas Bin Laden dan Afghanistan misalnya, selalu dengan citra positif. Media tampaknya enggan mempersoalkan berbagai kebijakan atau hal yang buruk atas Afghanistan dan Bin Laden. Kenapa? Mempersoalkan Bin Laden dan Afghanistan bisa dituduh mempersoalkan Islam. Mengkritik Afghanistan bisa dianggap tidak bersimpati pada negara lemah serta tidak mendukung sesama negara Islam. Ini pilihan yang sulit di Indonesia, negara dengan populasi muslim terbesar di dunia.

Setelah dua jam Amerika menyerang Afghanistan, Bin Laden berpidato lewat televisi Al-Jazeera. Dalam pidatonya, dia katakan bahwa yang dialami Amerika merupakan buah dari tindakan yang sepantasnya mereka terima. “Saat ini, seluruh dunia terbagi pada dua sisi. Sisi orang-orang yang beriman dan sisi orang-orang kafir. Mudah-mudahan Tuhan menghindarkan Anda dari mereka. Setiap muslim harus berjuang membuat agama mereka menang. Gelombang keimanan telah datang, gelombang perubahan telah datang untuk membasmi penindasan umat Muhammad. Untuk Amerika, hanya sedikit kata-kata yang saya katakan. Saya bersumpah dengan nama Tuhan, orang Amerika tidak akan menikmati keamanan sebelum orang-orang Palestina hidup dalam kedamaian, dan sebelum semua pasukan-pasukan kafir meninggalkan tanah kekuasaan umat Muhammad”.

Pidato Bin Laden dimuat di Kompas, Republika, dan Media Indonesia. Ketiga koran Jakarta tersebut tak ada yang mengkritik atau bernada negatif atas pidato Bin Laden. Dalam pidatonya, Bin Laden sama sekali tidak menampakkan nada penyesalan atau bela sungkawa terhadap korban serangan 11 September. Osama bin Laden mengajak kaum muslimin di seluruh dunia agar memusuhi dan membuat tidak aman Amerika.

Media juga tidak menyoal berbagai citra buruk rezim Taliban. Fakta bahwa tidak semua rakyat Afghanistan mendukung dan senang pada rezim Taliban, luput dari pemberitaan. Demikian juga dengan perlakuan diskriminatif rezim Taliban terhadap penduduk di daerah kekuasaannya. Misalnya, kebijakan yang tak mengizinkan kaum perempuan bersekolah. Taliban juga tidak mengizinkan televisi, kaset-kaset musik, dan foto. Berbagai citra buruk ini jarang dilaporkan Kompas, Media Indonesia, Suara Pembaruan, dan Republika.

Ketika sentimen anti-Amerika sedang tinggi di Indonesia, ketika dukungan jihad meluas, melaporkan berbagai keburukan Taliban bisa dengan mudah menimbulkan kebencian luas di kalangan masyarakat terhadap media. Ketika opini publik menggiring Taliban sebagai representasi Islam, menggambarkan citra buruk Taliban bisa identik dengan menjelekkan Islam. Media bisa dicap sebagai kepanjangan tangan propaganda Amerika yang menggambarkan Taliban sebagai barbar dan tidak punya peradaban.

TIADANYA sikap kritis ini diiyakan Cyprianus Aoer, redaktur pelaksana Suara Pembaruan. “Kami memang sangat berhati-hati dalam hal ini, karena Bin Laden terlanjur menjadi tokoh pembela Islam.”

Demikian juga majalah Gatra. Menurut Amarzan Loebis, Gatra lebih memilih berhati-hati ketika sentimen dan emosi masyarakat terhadap sosok Bin Laden kian meninggi. “Pada saatnya, kami akan lebih kritis terhadap Taliban atau Bin Laden.”

Yang bisa dianggap perkecualian adalah majalah Tempo. Majalah ini cukup banyak menulis ulasan kritis terhadap konflik internal di Afghanistan. Tempo juga beberapa kali menurunkan tulisan soal perlakukan buruk Taliban pada wanita dan anak-anak.

Meskipun demikian, jurnalis sadar untuk tidak memberitakan peristiwa demonstrasi ini sebagai perang agama. Makrun Sanjaya, kepala peliputan berita SCTV, memulai upaya agar pemberitaan tak terpancing menjadi isu agama. “Misalnya, dalam liputan mengenai seruan jihad, kami mendudukkan apa sih pengertian jihad itu? Oh, ternyata jihad itu tidak semata-mata perang, atau membela sesama muslim dengan cara bertempur di medan tempur yang sia-sia,” jelas Sanjaya.

Konflik Afghanistan sendiri adalah konflik yang pelik dan kompleks. Ini bukan perang antara kejahatan lawan kebaikan. Bukan juga perang suci antara kekuatan jahat lawan kekuatan suci. Dalam masa modern ini, perang selalu punya beragam kepentingan. Di Afghanistan sendiri, Taliban bukan satu-satunya kelompok. Ada juga Aliansi Utara, yang punya kepentingan sendiri dan mengklaim diri juga sebagai kelompok Islam. Aliansi Utara memanfaatkan serangan Amerika untuk menggulingkan Taliban, kekuatan yang hampir lima tahun terakhir tidak berhasil ditumbangkannya.

Serangan udara Amerika yang memborbardemen pusat-pusat kekuatan Taliban, dimanfaatkan Aliansi Utara untuk menambah sarana, persenjataan, dan garis komando. Sebaliknya, Amerika juga datang tidak dengan misi suci menumpas terorisme sebagaimana yang didengungkan oleh Presiden George W. Bush. John P. Roosa, ahli sejarah dari California State University, berpendapat Amerika datang bukan sekadar untuk menangkap Bin Laden. Bin Laden hanya sasaran jangka pendek. Sasaran jangka panjangnya, serangan ini diniatkan untuk melumpuhkan pemerintahan Taliban dan menggantinya dengan pemerintahan yang bisa didikte Amerika. Tujuan akhirnya, Amerika akan menggunakan Afghanistan sebagai salah satu basis militernya. Dengan menguasai Afghanistan, menurut Roosa, Amerika berharap dapat mengontrol minyak di kawasan Laut Kaspia yang menyimpan sekitar 270 miliar barel minyak.

Adanya kepentingan ekonomi, politik, dan militer di balik perang ini tak banyak diberitakan Republika, Suara Pembaruan, dan Kompas. Afghanistan semata ditempatkan sebagai negara yang tergusur dan patut dibela.

Kecuali Media Indonesia, ketiga suratkabar Jakarta ini menempatkan Afghanistan dalam kacamata yang monolitik. Seakan-akan pemerintahan Taliban merupakan representasi kekuatan politik satu-satunya di negara itu. Padahal, ada begitu banyak kekuatan politik yang hidup di sana dan saling bersaing. Taliban lantas dilihat sebagai representasi Islam. Ia tidak dilihat sebagai sebuah rezim, pihak berkuasa yang setiap saat bisa digulingkan rezim lain –yang sama-sama mengaku dan mengklaim sebagai rezim Islam. Hanya Media Indonesia yang meliput konflik di antara faksi-faksi yang bertikai di Afghanistan. Dari seminggu liputan Media Indonesia, tercatat ada tujuh berita yang menginformasikan konflik dalam tubuh Afghanistan dan memberi tempat pada komentar petinggi Aliansi Utara.

DALAM perang selalu terjadi polarisasi: siapa kawan siapa lawan. Setelah serangan Amerika ke Afghanistan, yang bertikai membagi ke dalam dua kubu yang saling berlawanan: yang tidak mendukung berarti musuh.

Propaganda yang selalu disebarkan Presiden Bush, Bin Laden adalah musuh masyarakat internasional sekaligus musuh kemanusiaan. Bin Laden bukan semata musuh Amerika. Alasannya, terorisme bisa terjadi di mana saja. Amerika mengingatkan, serangan Bin Laden bisa terjadi di belahan dunia mana pun. Karena itu, serangan Amerika ke Afghanistan merupakan serangan terhadap terorisme. Mereka yang tak berdiri di belakang Amerika, dipandang Amerika mendukung terorisme. Seakan hanya ada dua posisi: mendukung Amerika atau anti-Amerika. Dalam pandangan ini, posisi ketiga –yang menentang perang sebagai solusi– tidak banyak mendapat tempat. Mereka yang tak setuju terorisme namun juga tak setuju terorisme dilawan lewat kekerasan dan perang, tak mendapat tempat. Padahal, bisa jadi jumlah mereka yang berada di tengah ini merupakan suara mayoritas.

Yang dilawan oleh posisi ketiga ini bukan orang atau bangsa, melainkan aksi kekerasan dan perang sebagai sarana penyelesai konflik. Mereka bukan melawan Amerika atau mendukung Amerika, namun yang ditolak adalah perang sebagai jalan mencapai tujuan. Mereka mengutuk terorisme 11 September 2001 sekaligus juga mengutuk serangan militer Amerika yang dimulai 7 Oktober 2001 –meski berdalih menumpas terorisme.

Komunitas ini barangkali justru yang terbesar, tapi tidak bersuara. Jajak pendapat yang dilakukan Tempo dan Insight di antaranya menunjukkan hal ini. Jajak pendapat yang menyertakan 516 responden dari lima wilayah di Jakarta ini menunjukkan: 88,6% tidak setuju serangan Amerika. Yang menarik, alasan responden menolak perang: sebagian besar menjawab korbannya warga sipil Afghanistan.

Dalam media, yang banyak muncul adalah suara yang anti-Amerika, yang meminta Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika, seruan jihad, dan sebagainya. Termasuk dalam polarisasi ini adalah menganggap seakan semua orang punya sikap yang sama, seakan orang hanya punya dua pilihan: pro atau anti-Amerika. Antara kepentingan pemerintah dan kepentingan rakyat Amerika dianggap seragam. Padahal di Amerika sendiri, ada banyak orang dengan beragam kepala, kepentingan, dan sikap yang berbeda-beda. Keputusan pemerintah Amerika, tidak dengan sendirinya diterima secara tunggal oleh masyarakatnya.

Demonstrasi antiperang juga marak dilakukan di Amerika dan belahan negara lain di Eropa. Seperti dicatat wartawan The Nation (Amerika) John Nichols, aksi antiperang ini merata melanda negara bagian Amerika. Renungan perdamaian di New York, New Jersey, Missouri, Maine, Oregon, dan California berhasil menggalang puluhan ribu orang, yang selalu memenuhi ruang-ruang terbuka yang pernah menjadi pusat protes anti-Perang Vietnam dan Perang Teluk. Di Inggris, lebih dari 30 ribu orang melakukan demonstrasi menentang aksi pemboman Amerika, sementara di India dan Jerman terhitung 70 ribu orang. Di Italia, 100 ribu orang melakukan protes yang sama. Para demonstran berpawai menuntut penghentian perang.

Berbagai demonstrasi tersebut menyiratkan bahwa di Amerika tidak semua masyarakatnya mempunyai sikap yang seragam. Ketika pemerintah Amerika perang, tidak berarti warga Amerika yang ada di Jakarta dan Indonesia umumnya bersetuju dengan keputusan pemerintahnya. Mereka seringkali tidak tahu apa-apa dengan keputusan politik negaranya.

Kompas, Republika, dan Media Indonesia tidak memberi tempat yang dominan pada berita antiperang ini. Berita antiperang kurang bergema dibandingkan dengan berita soal penyerangan, senjata canggih yang dipertontonkan Amerika. Retorika pejabat pemerintah Amerika atau Taliban lebih mendominasi pemberitaan dibandingkan dengan suara mereka yang antiperang.

Kenapa demo antiperang tidak banyak mendapat tempat? Atmadji Sumarkidjo dari RCTI menilai hanya peristiwa tersebut yang banyak mewarnai kehidupan Indonesia pasca-serangan Amerika.

Demonstrasi anti-Amerika melebar tidak hanya di Jakarta tapi juga menyebar hingga kota-kota lain: Solo, Surabaya, Medan, Makasar, bahkan Ternate. Spanduk-spanduk bertulisan anti-Amerika dan Yahudi menyemarakkan pawai massa di jalanan. Teriakan-teriakan anti-Amerika, anti-Yahudi campur baur dengan lantunan zikir dan sholawat badar. Ada pendaftaran untuk menjadi pasukan jihad membela muslim Afghanistan. Poster dan kaos Osama bin Laden diacungkan-acungkan, diangkat tinggi menjulang. Melalui pemberitaan layar kaca dan media, Bin Laden tumbuh menjadi figur pemimpin umat Islam paling dihormati. Seruan jihadnya dikumandangkan secara luas, disebarkan dari tangan ke tangan.

“Sebagai fakta itu kita beritakan, meskipun kita mengedit kata-kata yang vulgar seperti Amerika agressor,” ujar Sumarkidjo.

Bambang Harymurti, pemimpin redaksi Tempo, menyatakan, berita demonstrasi anti-Amerika atau pro Taliban diberitakan tapi tetap dengan sikap kritis dan hati-hati. Bagi Harymurti, aksi-aksi yang mengatasnamakan kepentingan Islam itu tidak mewakili aspirasi mayoritas muslim. Bahkan ia menilai, reaksi anti-Amerika yang berkembang dalam masyarakat tidak berimbang. “Buat kami, orang yang mau berjihad-jihad itu aneh, karena di WTC itu sendiri jumlah umat Islam yang mati ratusan,” ujarnya. *

Tema Berita dalam Perang Afghanistan

pada Empat Harian Jakarta, 8-14 Oktober 2001

kembali keatas

by:Eriyanto