Wartawan Menggugat

Anonim (sementara)

Mon, 1 October 2001

SIANG itu, sidang istimewa digelar di gedung parlemen Jakarta. Suasana Jakarta sepi. Juga kota Solo, Jawa Tengah.

SIANG itu, sidang istimewa digelar di gedung parlemen Jakarta. Suasana Jakarta sepi. Juga kota Solo, Jawa Tengah. Pengaruh perhelatan politik nasional terasa lantaran seluruh stasiun televisi menyiarkannya secara langsung.

Namun, pengadilan negeri Surakarta, yang terletak di Jalan Slamet Riyadi, Solo, menyuguhkan suasana sebaliknya. Sidang gugatan Anjar Fahmiarto melawan PT Aksara Solopos, perusahaan yang menerbitkan suratkabar Solopos digelar pada 21 Juli 2001 itu. Ini sidang kelima.

Beritanya ramai dimuat media lokal. Baru sekali ini wartawan yang dipecat menuntut haknya lewat pengadilan. Sebelumnya, banyak kasus pemecatan berhenti di tingkat perusahaan atau hanya sampai persidangan di Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah.

Aksi solidaritas datang dari sesama wartawan dan aktivis lembaga swadaya masyarakat, seperti Aliansi Jurnalis Independen Surakarta, Lembaga Bantuan Hukum Nurani, dan Gita Pertiwi. Mereka bergabung dalam Koalisi Bersama untuk Keadilan Buruh Kontrak. Mereka berkumpul di halaman gedung pengadilan.

Tak berapa lama, beberapa peleton polisi menuju tempat tersebut. Para polisi mengira aksi itu berkaitan dengan sidang istimewa. Begitu tiba, senyum kecut segera menghiasi muka-muka mereka yang tegang. Sambil berjalan kembali ke mobil, pemimpin pasukan bergumam, "Tak kirain demo, ternyata bukan to? Ya sudah yang tertib, ya?"

PT Aksara Solopos merupakan salah satu anak perusahaan milik Soekamdani Sahid, bernaung di bawah konglomerasi media yang juga menerbitkan harian ekonomi Bisnis Indonesia. Anjar menggugat PT Aksara Solopos sebesar Rp 1,2 miliar, meliputi pembayaran gaji pokok, tunjangan kesehatan, tunjangan profesi, tunjangan hari tua, tunjangan pajak, uang makan, transport, dan jaminan sosial dan kesejahteraan yang tak didapatkannya ketika bekerja sebagai wartawan. Ia juga menuntut ganti rugi imaterial sebesar Rp 1 miliar, karena merasa tak dihargai sebagai jurnalis profesional. Anjar sudah bekerja lebih dari 18 bulan di suratkabar Solopos.

Anjar wartawan kontrak yang hanya mendapat upah berdasarkan tulisan yang dimuat, ditambah uang basis, uang transport, dan uang makan. Tak ada tunjangan kesehatan, asuransi jiwa, dan tunjangan hari tua. Padahal kerja dan tanggung jawabnya sama besar dengan wartawan tetap. Jam kerja yang tak terbatas dan risiko pekerjaan tak sepadan dengan imbalan yang diperoleh.

Dari sudut pandang ketenagakerjaan, kontrak kerja yang dibuat PT Aksara Solopos pun cacat hukum. Kontrak kerja itu melanggar peraturan menteri tenaga kerja tentang Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu (KKWT), yang dalam kasus ini hanya untuk pekerjaan musiman.

"Sebagai contoh, karyawan kontrak yang diperbolehkan adalah proyek pembangunan gedung atau pekerja musiman perkebunan. Sementara pekerjaan seorang wartawan tidak dapat dimasukkan sebagai karyawan kontrak sebagaimana diatur dalam KKWT tersebut," ujar Edi B. Siagian, kuasa hukum Anjar Fahmiarto.

Departemen tenaga kerja setempat telah meminta PT Aksara Solopos memperbaiki sistem ketenagakerjaannya dan mengangkat karyawan kontrak tersebut menjadi karyawan tetap. Tapi, perusahaan media ini mengabaikannya.

Menurut PT Aksara Solopos, alasan pemberhentian ini berdasarkan hasil psikotes Anjar yang tak memenuhi standar mereka. Tapi, alasan ini kemudian diralat sendiri oleh direktur PT Aksara Solopos Danie H Soe’oed saat bertemu dengan para wartawan. Ia mengatakan yang bersangkutan pernah melakukan kesalahan fatal dalam penulisan berita.

Persidangan belum memutuskan apa-apa. Sehari setelah persidangan kedua, pada 27 Juni 2001, harian Solopos memasang pengumuman: "Bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, diminta kepada seluruh perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan media massa/penerbitan pers agar tidak melakukan hubungan kerja terhadap Sdr. Anjar Fahmiarto dalam bentuk apapun sampai perkara gugatan dimaksud diputus dan putusannya mempunyai kekuatan hukum tetap."

Ashadi Siregar, direktur Lembaga Pendidikan, Penelitian, Penerbitan Yogya, sebuah lembaga pendidikan pers di Yogyakarta, memprotes suratkabar Solopos. Ia mengatakan iklan tersebut menunjukkan sikap arogan yang tak sesuai dengan semangat demokrasi dan hak asasi manusia.

Persatuan Wartawan Indonesia Surakarta ikut bersuara. Ketuanya, Ichwan Dardiri, menilai iklan pemberitahuan itu melanggar hak orang lain, yakni Anjar Fahmiarto yang sedang mengajukan gugatan. Meski Anjar sedang berperkara dengan Solopos tak seharusnya geraknya dalam mencari nafkah atau pekerjaan dibatasi.

"Jika ada perusahaan yang menerima Anjar dan sama-sama mau, apa salahnya? Ini jelas melanggar haknya Anjar," ungkap Ichwan.

Hal ini berseberangan dengan pendapat Henry Yosodiningrat, kuasa hukum PT Aksara Solopos. "Itu adalah konsekuensi logis, karena Anjar meminta dinyatakan sebagai karyawan tetap dalam gugatannya," kilahnya.

Kasus ini masih berbuntut panjang. PT Aksara Solopos menolak putusan sela majelis hakim dan mengajukan banding ke pengadilan tinggi Jawa Tengah di Semarang. *

kembali keatas

by:Anonim (sementara)