AMBISINYA adalah mendongkrak wibawa Jawa Pos agar reputasi suratkabar ini berbanding lurus dengan jumlah oplahnya. Itu sebabnya, dalam suatu pertemuan di rumahnya, di bilangan Kutisari, Surabaya, redaktur pelaksana Jawa Pos Arief Afandi, dengan bersemangat mengungkapkan keinginannya menghilangkan “jurnalisme sumber” yang merajalela di sana.

"Zaman transparansi seperti ini seharusnya sudah tidak boleh koran pakai sumber," kata Arief.

Kegelisahan itu memang wajar menggantung di benak Arief. Pekerjaannya sebagai orang redaksi nomor dua, setelah pemimpin redaksi Jawa Pos Dhimam Abror Djuraid, mengharuskan Arief bergumul dengan masalah penyuntingan dari hari ke hari.

Di mata Arief, banyaknya pemakaian sumber anonim, menurunkan wibawa dan martabat koran sebagaimana kesalahan pada soal akurasi, keseimbangan, kecepatan, kedalaman, atau pembedaan secara tegas ruang privat dan ruang publik.

Arief mengatakan suratkabarnya memang maju secara bisnis, tapi Jawa Pos belum bisa sukses sebagai institusi jurnalisme. "Saya ingin, kalau ada peneliti, pelaku bisnis, atau apapun, kalau mencari rujukan ya di Jawa Pos. Sekarang ini, Jawa Pos kan belum seperti itu! Yang jadi rujukan masih koran lain," kata Arief.

Tak gampang mewujudkan impian itu. Jawa Pos yang sudah tumbuh besar dan jadi kapal induk dari sekitar 70 anak perusahaan pers, sejak awal memang tak diarahkan jadi suratkabar bermutu. Mutu Jawa Pos belum bisa bersaing dengan harian Kompas atau Bisnis Indonesia.

"Kita pernah melakukan reinventing koran, dan ditemukan bahwa koran yang bisa berkembang adalah yang bisa mempertahankan penulisan. Ketika televisi merajalela, koran kan kalah terus. Lalu apa yang bisa mempertahankan media cetak? Ya penulisan," tutur Arief.

Tapi Arief menunjuk contoh mulai berkurangnya penggunaan sumber di korannya hingga tinggal sekitar 30 persen. Untuk menghabiskannya total, Arief mengatakan masih sulit. Pasalnya, selain secara etis hal ini diperbolehkan, metoda sumber anonim ini sering membuat Jawa Pos memimpin dalam beberapa isu.

"Tapi penggunaannya sudah saya batasi. Yang saya hindari penggunaan sumber terhadap berita yang sifatnya opini," kata Arief.

ARIEF Afandi di jajaran redaksi Jawa Pos tak cuma dikenal sebagai redaktur pelaksana. Lebih jauh, dia juga diperkirakan sebagai pemimpin redaksi yang tinggal menunggu waktu. Arief diperkirakan bakal menggantikan Dhimam Abror Djuraid jadi orang nomor satu redaksi Jawa Pos. Di antara tiga redaktur pelaksana yang ada, peluang Arief dinilai lebih besar ketimbang Ali Murtadlo dan Sururi Alfaruq.

Arief dinilai relatif lebih baik, baik dalam soal skill, kemampuan membaca situasi, maupun kebijakan redaksional dibanding rekan-rekannya.

"Saya tidak bilang Arief yang terbaik lho ya, karena itu harus jelas dari segi apa. Kalau dibilang terbaik nanti akan memicu kontroversi. Tapi paling tidak, dibanding yang lain, termasuk saya, Arief memang paling mungkin," ujar redaktur politik dan polling Jawa Pos Maksum.

Ali Murtadlo, sesama redaktur pelaksana, menganggap Arief pantas menduduki kursi pemimpin redaksi.

"Dia pantas. Jurnalistiknya mantap, profesional, kapabel di bidangnya. Dia memahami roh Jawa Pos, menulisnya juga bagus. Yang penting juga, Arief sangat peka terhadap komunitas NU. Ini penting buat Jawa Pos yang ada di basis NU dan pernah punya masalah dengan NU," katanya.

NU adalah singkatan Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi Muslim dengan kekuatan 35 juta orang, yang menjadikannya sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, di mana sebagian besar anggotanya adalah petani atau warga pedesaan lain. Jawa Timur dengan ibukota Surabaya adalah basis Nahdlatul Ulama. Sebuah organisasi pemuda Nahdlatul Ulama pernah bersengketa dengan Jawa Pos pada Mei 2000 sedemikian rupa hingga harian itu tak terbit satu hari.

Solichin Hidayat, mantan pemimpin redaksi Jawa Pos, sebelum digantikan Abror, juga termasuk yang melihat Arief lebih menonjol dibanding Ali Murtadlo, bahkan Abror sekalipun. "Saat ini, memang Arif yang paling bisa memegang jabatan itu," katanya.

Abror, menurut Solichin, memiliki pengalaman luar negeri yang bagus mengingat dia pernah bertugas di Sydney, Australia. Namun dalam melihat masalah politik, Solichin menilai Abror terkadang sedikit kurang matang dan kurang jernih.

Sedangkan Ali, dari latar belakangnya sebagai dosen, masih memiliki sedikit kesulitan dalam soal penyuntingan dan pemahaman pada berita masalah sosial.

Sementara Arief, karena kariernya dibangun dari lapangan dianggap Solichin lebih matang. "Wawasan dan akses ke sumber berita juga bagus," katanya.

Redaktur rubrik kota Imam Syafii dengan berkelakar mengatakan, "Dia itu pemred in waiting, tinggal menunggu waktu saja. Begitu Abror dipromosikan lagi, sesuai jalur biasanya jadi wakil direktur, hampir pasti Arief yang naik. Kami di redaksi legawa dia naik."

Arief sendiri merasa kariernya di Jawa Pos amat cepat. Dihitung-hitung, rentang waktu antara dia masuk sebagai reporter hingga jadi redaktur pelaksana hanya berkisar empat tahun. Bahkan pada 1996, tahun pertama dia dipasrahi memegang halaman satu, Arief dia sudah menjalankan fungsi redaktur pelaksana, meski secara resmi bukan redaktur pelaksana. Arief baru formal menjadi redaktur pelaksana tahun 1997.

"Yang kariernya lebih cepat dari saya hanya Margiono, setelah itu belum ada. Diukur lapis saya, Abror dan Ali, yang paling cepat saya," katanya, mengacu pada mantan pemimpin redaksi Jawa Pos yang kini memimpin harian Rakyat Merdeka, sebuah suratkabar kuning, terbitan Jawa Pos News Network di Jakarta.

Pada 1996 Arief sempat dipangil ke ruangan Dahlan Iskan, orang nomor satu Jawa Pos, dan diberitahu gajinya bakal dilipatgandakan dengan skala paling besar dalam sejarah Jawa Pos: 350 persen. Arief malahan mendengar, sebetulnya gajinya hendak dinaikkan 400 persen namun diprotes bagian keuangan.

"Saya juga dinasehati Pak Dahlan agar tidak kaget dan menjadi konsumtif," tuturnya.

Apa tidak ada yang terganggu dengan melejitnya karier? Arief menyambut pertanyaan ini dengan termenung, "Mungkin ada yang terganggu. Sempatlah muncul celetukan-celetukan bernada cemburu. Yang jelas, saya ini orang yang tidak mau menyuruh orang pindah kursi karena saya ingin duduk di situ."

"Rasanya ndak enak. Yo opo sih rek, kene niate kerjo kok ana sing ngono (bagaimana sih, saya berniat kerja kok masih saja ada yang begitu). Saya bahkan pernah punya pikiran mau mutung. Tapi saya jalan terus karena yakin dengan apa yang saya lakukan. Loyalitas saya pada profesionalisme. Saya yakin Pak Dahlan melihatnya juga seperti itu. Dia kan sangat rasional. Kalau ada orang dianggap mampu, ya mengapa tidak?"

Apakah tak ada rivalitas dengan Abror? "Rasanya kok ndak ya. Saya ini ke mana-mana dengan Arief. Kami saling tahu luar dalam, karena sudah kenal sejak 1988 di Yogyakarta. Istilahnya, no hard feeling," ujar Abror tertawa.

ARIEF lahir dari pasangan Imam Tauhid-Syafaatun di desa Gogodeso, kecamatan Kanigoro, Blitar, 14 Mei 1963. Anak sulung dari lima bersaudara ini sejak kecil dididik agama secara sangat serius. Sang ayah adalah aktivis Nahdlatul Ulama dan pendiri sebuah yayasan pendidikan yang menaungi Madrasah Ibtidaiyah Maftakhul Huda, tempat Arief kecil menimba ilmu.

Orangtua Arief berharap anaknya jadi guru. Itu sebabnya, selepas madrasah, Arief dimasukkan ke Pendidikan Guru Agama Negeri di Blitar. Setelah itu, dia masuk Madrasah Aliyah juga di Blitar.

Setelah lulus, sang ibu ingin anaknya melanjutkan ke Institut Agama Islam Negeri Malang. Namun Arief menolak. Alasannya sederhana. Arief termakan ejekan seorang tetangganya yang pegawai departemen pendidikan. "Dia selalu mengejek saya, wah lulusan aliyah paling-paling jadi mudin."

Karena itu meski tak punya bayangan menjadi guru, waktu ikut seleksi masuk perguruan tinggi pada 1982, Arief memilih Universitas Brawijaya dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang. Dia diterima di IKIP Malang. Tapi di sini Arief hanya bertahan setahun. Pada 1983 Arief kembali mengikuti seleksi dan diterima di fakultas ilmu sosial dan politik Universitas Gadjah Mada.

Orang tua keberatan jika Arief ke Yogjakarta. Alasannya?

"Mereka takut saya jadi Muhammadiyah ha ha …."

Saking takutnya, sang ibu sampai menitipkan surat ke Arief untuk disampaikan ke pamannya yang juga tinggal di Yogjakarta. Belakangan Arief tahu, surat itu berisi permintaan tolong agar sang paman menjaga Arief agar tak jadi anggota Muhammadiyah.

"Tapi ketakutan mereka saya menjadi Muhammadiyah tak terbukti. Orangtua saya malah mengalami transformasi, mulai terbuka terhadap Muhammadiyah. Buktinya, dua adik saya sekolah di Muhammadiyah," kata Arief mengenang masa lalunya.

Muhammadiyah adalah organisasi muslim dengan latar belakang sosial dan kebudayaan yang berbeda dengan Nahdlatul Ulama. Anggotanya sekitar 25 juta dan kebanyakan berlatarbelakang birokrat, pedagang, atau anggota masyarakat urban lainnya.

Meski berlatar belakang NU tulen, di kampus Arief memilih Himpunan Mahasiswa Islam yang relatif lebih dekat dengan Muhammadiyah sebagai ajang olah organisasinya. Bersama Yahya C. Staquf, yang dikenal sebagai jurubicara Presiden Abdurrahman Wahid, Arief juga mengibarkan Kelompok Jamaah Mushola yang aktivitasnya lebih banyak ke diskusi.

Awal terdamparnya Arief di dunia jurnalisme adalah Yayasan Cordova yang didirikannya bersama alumni Kelompok Jamaah Mushola. Pada 1989 Cordova bekerja sama dengan Jawa Pos menggelar seminar NU-Muhammadiyah dengan mengundang beberapa pemikir Islam terkemuka Indonesia, antara lain, Nurcholish Madjid, Sjafi’i Ma’arif, dan Abdurrahman Wahid.

Arief pun mulai mengenal wartawan Jawa Pos, khususnya redaktur pelaksana Margiono dan Dhimam Abror yang waktu itu menjabat kepala perwakilan Yogyakarta. Kepada Margiono, Arief bercerita tentang konsep pemuatan artikel dengan satu topik bahasan. Dia berangan-angan halaman opini dimuati sejumlah artikel dengan satu topik dan dibahas beramai-ramai oleh sejumlah pakar.

Margiono tertarik dan meminta Arief merealisasikan gagasannya di Jawa Pos. Arief pun berburu sejumlah kolumnis Yogjakarta untuk menulis dengan tema yang ditentukan, dan memuatnya secara berseri di halaman opini Jawa Pos. Kalau si kolumnis tak sempat menulis, Arief yang menuliskannya berdasar wawancara yang dilakukan sebelumnya.

"Honor saya per artikel Rp 25 ribu. Lumayan, lebih banyak ketimbang wartawan baru saat itu. Akumulasi satu bulan bisa mencapai Rp 850 ribu," kata Arief.

Berikutnya dia ditawari jadi reporter. Sejak Januari 1991, Arief resmi jadi reporter Jawa Pos di Yogjakarta. "Saya ini ngglundhung semprong (mengalir begitu saja). Tapi waktu akhirnya jadi wartawan, sepertinya orangtua saya bangga. Mereka begitu senangnya ketika tahun 1992 saya bisa mengajak Gus Dur, Cak Nun, Eros Djarot, dan Gus Mus datang ke rumah di Blitar."

Cak Nun adalah Nurcholish Madjid dari Yayasan Paramadina. Eros Djarot adalah seniman-cum-politisi dan penerbit tabloid Detik. Gus Mus adalah nama panggilan Mustofa Bisri, seorang kyai pengasuh pondok pesantren Raudlatut Thalibien, Rembang, yang juga dikenal sebagai seorang penyair.

Pada 1993 saat Arief menikah dengan Tjahyani Retno Wilis, banyak nama besar itu datang pada resepsinya. Diadakan di sebuah rumah kecil di Yogyakarta tapi tamu-tamunya membuat banyak tetangga tercengang.

(Kini pasangan itu tinggal di rumah berukuran sekitar 250 meter persegi di Taman Anggrek, kawasan Kutisari Selatan, Surabaya bersama tiga anak kecil mereka: Nadia Makhya Azhari, Nissa Lilia Azhari, dan Nizar Mohamad Afandi).

Karier Arief pun mengalir seperti air. Kebetulan, Jawa Pos tengah berupaya mengembangkan hubungan di kalangan cendekiawan Yogyakarta. Pas dengan posisi Arief yang sebagai mantan aktivis kelompok diskusi cukup dekat dengan kalangan itu. Dia pun all out. Nyaris tiap hari ada beritanya yang dipajang di halaman satu, khususnya yang berupa analisis tentang suatu peristiwa.

"Yogja menjadi andalan berita analisis setelah Jakarta. Bahkan untuk berita halaman satu, Yogja andalan kedua setelah Jakarta. Kalau sampai jam 10 malam halaman satu kurang berita, teleponnya selalu ke Yogja," kata Arief.

Dalam rubrik yang biasa disebut “diskusi ahli” Yogyakarta juga jadi andalan. Arief mengatakan suatu malam pukul 21.00 Margiono menelepon untuk diminta dibuatkan diskusi ahli tentang pembubaran International Governmental Group on Indonesia, sebuah kelompok negara-negara donor Indonesia pimpinan Belanda, karena ditolak Presiden Soeharto yang gusar karena kritik Belanda terhadap pelaksanaan hak azasi manusia di Indonesia.

Esok hari diskusi harus digelar. Malam itu juga Arief menelepon Prof Mubyarto, Ichlasul Amal, dan Loekman Soetrisno, ketiganya dosen Universitas Gadjah Mada, serta Y.B. Mangunwijaya, seorang pastor Katholik yang banyak melakukan pekerjaan sosial di Yogyakarta. "Akhirnya jadi juga, meskipun saya harus menjemput mereka satu-satu. Diskusinya pun di kantor Pak Moeby karena beliau harus terbang langsung ke Jakarta selepas diskusi," kata Arief.

Tahun 1993 Arief ditarik ke Surabaya untuk memegang halaman Indonesia Bagian Timur sebagai redaktur. Tapi setahun di Surabaya, Arief dikembalikan ke Yogyakarta sebagai kepala perwakilan Yogyakarta seiring dengan pengembangan Jawa Pos di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Setahun di Yogyakarta, Arief dipanggil kembali ke Surabaya untuk menangani halaman pertama.

Inilah saat Arief merasa mulai diperhitungkan dan dikader Solichin Hidayat serta Dahlan Iskan. Meski belum diresmikan jadi redaktur pelaksana, selama setahun Arief merasa menjalankan tugas sebagai redaktur pelaksana. Dahlan pun kerap memperkenalkan Arief pada orang lain sebagai redaktur pelaksana. Arief baru jadi redaktur pelaksana resmi dan tercantum di masthead pada akhir 1997.

Dahlan agaknya puas pada kinerja Arief. Bersama Leak Kustiya dari bagian grafis, Arief diberi hadiah bepergian ke Amerika Serikat melihat pameran pracetak di New Orleans. "Kami juga sempat nonton tinju gigit kuping (Mike) Tyson versus (Evander) Holyfield di Las Vegas, jalan-jalan ke New York dan Washington."

Pada 1996 Arief juga sempat menancapkan salah satu tonggak penting kariernya di dunia jurnalisme. Dia menerbitkan buku Islam, Demokrasi Atas Bawah yang berisi kumpulan tulisan tentang Abdurrahman Wahid dan Amien Rais. Buku itu didiskusikan di masjid Sunda Kelapa, Jakarta, yang dihadiri Wahid dan Amien Rais, yang masing-masing menjabat sebagai pemimpin Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

"Itu jadi momen pertama bertemunya Gus Dur dan Amien dalam forum terbuka. Sebelumnya saya pernah mencoba mempertemukan keduanya tapi tak berhasil. Kalau bisa mengundang Gus Dur, Amien tak mau datang. Begitu sebaliknya."

"Ini saya anggap salah satu tonggak karier karena mulai saat itu saya agak lebih menonjol. Saya merasa waktu itu Pak Dahlan bangga. Berita tentang diskusi itu menjadi headline semua koran."

Perjalanan karier Arief bukan berarti sepi dari kritik. Redaktur Maksum menyatakan, "Mungkin karena usianya masih muda, dia terlalu cepat mengambil kesimpulan dan kadang gegabah menurunkan berita. Saya pernah katakan ini di rapat redaksi. Pernah ada headline di halaman satu ‘Akbar Serahkan Diri.’ Ini kan fatal walau hanya merupakan trik judul. Padahal Baharuddin Lopa mengatakan, ‘Akbar seharusnya menyerahkan diri kepada hukum.’"

Maksum mengacu pada jaksa agung Lopa yang hendak menjalankan proses pemeriksaan terhadap Akbar Tanjung, jurubicara parlemen sekaligus ketua Partai Golongan Karya, karena dituduh terlibat perkara penggelapan tanah.

Solichin Hidayat melihat Arief masih harus mengasah kepemimpinannya, "Kadang-kadang kita bisa menerima persamaan, tapi sulit menerima perbedaan. Nah Arief harus bisa menerima itu, dia harus belajar menerima perbedaan.”

"Sebagai orang NU dia terlalu Gusdurian sehingga tidak jernih menyikapi hal-hal tertentu," kata Maksum, mengacu pada aliran pemikiran Gus Dur, pemimpin Nahdlatul Ulama, yang dicabut mandatnya sebagai presiden oleh majelis nasional pada Juli 2001.

Ali Murtadlo punya pandangan serupa. "Dia sangat sensitif dengan komunitas NU, dalam soal ini kadang-kadang Arief berlebihan," katanya.

Di lingkungan intern Jawa Pos, Arief dicurigai terlalu membela Nahdlatul Ulama. Namun di sebagian kalangan Nahdlatul Ulama, Arief dicap pengkhianat. Apalagi, Arief pernah ditugaskan Dahlan Iskan ikut mengelola harian Duta Masyarakat milik Nahdlatul Ulama yang hanya tahan selama lima bulan.

Hubungan Jawa Pos dengan Nahdlatul Ulama sendiri sering dilanda ketegangan. Setidaknya tiga kali harian ini bermasalah dengan Nahdlatul Ulama. Pertama, pada 1998 saat Jawa Pos menurunkan laporan khusus yang mempertanyakan peran Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam reformasi. Kedua, saat Jawa Pos menurunkan berita Gus Dur “dicekal” pengurus Nahdlatul Ulama di halaman satu.

Ketiga, ketika Jawa Pos keliru memasang foto Hasyim Wahid, adik Gus Dur, dengan ketua Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi. Laporan itu sendiri menyoroti dugaan korupsi dana sebuah lembaga pemerintah yang melibatkan Gus Dur. Pertikaian ini berakhir dengan didudukinya kantor Jawa Pos oleh para anggota sebuah organisasi kepemudaan, Barisan Serba Guna, yang dekat dengan Nahdlatul Ulama. Itu membuat hubungan Jawa Pos dengan Nahdlatul Ulama kurang harmonis. Sebagian kalangan Nahdlatul Ulama bahkan menduga Jawa Pos terlibat konspirasi besar untuk menjatuhkan Gus Dur.

Kasus foto Hasyim Muzadi jadi puncak keterjepitan Arief di antara Jawa Pos dan Nahdlatul Ulama. Apalagi, dia membuat keputusan yang radikal ketika kantor redaksi diduduki Barisan Serba Guna. Arief memutuskan Jawa Pos tidak terbit sehari. Sontak, Nahdlatul Ulama mendapat kecaman bertubi-tubi dari berbagai kalangan, termasuk organisasi advokasi kebebasan dari luar negeri, lantaran dianggap biang keladi tidak terbitnya Jawa Pos.

Dalam laporan Gerakan Pemua Ansor, organisasi kepemudaan lain dari Nahdlatul Ulama, memang disebutkan peran Arief dalam penyelesaian kasus ini yang dinilai merugikan warga Nahdlatul Ulama, Ansor, mapun Barisan Serba Guna. Arief disebut menjanjikan pertemuan Ansor dengan Dahlan Iskan yang tak direalisasi. Apalagi, Arief lalu memutuskan tak terbit sehari.

"Dalam tiga kasus Jawa Pos dengan NU, sebagai orang NU, Arief tidak berbuat apapun untuk NU, malah merugikan NU. Karena itu kami mempertanyakan ke-NU-an Arief, bener tah arek iku NU (apa benar dia NU)?" kata Imam Ghozali Aro, salah satu pemimpin Gerakan Pemuda Ansor cabang Jawa Timur, yang ikut Barisan Serba Guna saat meluruk kantor redaksi Jawa Pos pada Mei 2000.

Imam Ghozali Aro mengatakan Nahdlatul Ulama mengalami "kecelakaan" ketika mencantumkan nama Arief sebagai anggota Lajnah Ta’lim Wan Nasr di Nahdlatul Ulama wilayah Jawa Timur beberapa tahun lalu. "Setelah tahu Arief itu siapa, dalam satu periode kepengurusan Arief tak lagi dilibatkan," kata Imam.

"Posisi saya sulit, tapi saat itu saya tak membela Jawa Pos atau NU melainkan jurnalisme. Ketika saya memutuskan tak terbit sehari, saya tahu persis dampaknya sangat menyakitkan NU. Sebagai orang NU saya juga sakit, tapi sebagai orang pers cara-cara begini tidak bisa diteruskan. Integritas pers bisa hancur. Dan saya memilih persnya, meski saya harus mengorbankan hubungan baik dengan beberapa tokoh NU," kata Arief.

Saat menjelaskan peristiwa itu pada saya, Arief terdiam agak lama dan mengambil nafas panjang. "Saya jadi korban. Misalnya saya difitnah seakan saya pengkhianat Jawa Pos dan NU. Tapi saya biarin aja, saya jalanin saja. Lama kelamaan orang kan tahu, saya pengkhianat atau bukan," katanya.

Itu sebabnya Arief membantah anggapan bahwa dirinya terlalu Gusdurian. Buat dia, itu hanya soal pencitraan. Arief menegaskan, komitmennya sejak awal bukan pada kelompok. "Saya ini orang NU tapi dibesarkan HMI, dekat dengan orang Muhammadiyah, dan saya tak pernah punya bayangan akan menjadi NU tulen. Saya sangat menghindari eksklusivisme. Orang yang membaca tulisan-tulisan saya tak akan punya pikiran saya membela kelompok. Yang saya perjuangkan itu pluralisme, inklusivitas, yang begitu-begitu itu."

Dalam menurunkan berita, yang dipikirkan Arief adalah implikasinya. Misalnya, jangan sampai berita yang diturunkan Jawa Pos memicu bentrokan. Dia mengakui, boleh jadi cara-cara itu yang membuat dirinya dicap sebagai pembela Nahdlatul Ulama. Apalagi jika dikaitkan bahwa dirinya pernah jadi wakil pemimpin redaksi Duta Masyarakat.

"Bukan salah saya kan bahwa saya dilahirkan dari keluarga NU? Mungkin juga perlu content analysis berita Jawa Pos, agar bisa diketahui persis banyak mana berita yang kritis dan pro Gus Dur."

Redaktur kota Imam Syafii menyatakan yang dilakukan Arief adalah demi keselamatan Jawa Pos yang terbit di daerah basis Nahdlatul Ulama. "Menurut saya sih Arief tidak membela Gus Dur, dia hanya ingin safe," katanya.

Memang itulah yang dirasakan Arief. Dia merasa, masa sekarang lebih menantang ketimbang era Presiden Soeharto maupun Presiden B.J. Habibie. Sekarang, pers harus berhadapan dengan massa yang keinginannya tak terukur dan bisa dimainkan. Mau kritis terhadap Gus Dur, tidak mungkin jika markas Jawa Pos tetap di Jawa Timur. Sebaliknya, jika tidak kritis pasar tak terlalu bergairah menyambut datangnya koran.

"Kita berusaha tetap kritis sebatas faktual. Saya usahakan begitu agar selamat. Sampai sekarang kayaknya tidak ada reaksi jelek. Bahkan saya dapat informasi ada pemulihan image di kalangan NU, bahwa Jawa Pos tak lagi memusuhi NU," tutur Arief.

Sekarang, meski masih calon orang nomor satu di redaksi dan relatif masih muda, Arief sudah merasa berada di puncak karier. Di tengah kesibukannya mengemudikan redaksi, Arief juga sibuk di The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi yang kantornya terletak di lantai yang sama dengan redaksi Jawa Pos. "Mulai tahun depan, institut ini akan memberi award pada daerah yang terbaik melaksanakan otonomi. Kami sudah siapkan parameternya," kata Arief.

Tentang masa depan pasca redaktur pelaksana atau pemimpin redaksi, Arief mengatakan belum bisa membayangkan. "Saya ini pernah punya bayangan yang sampai sekarang belum juga pudar: pensiun muda. Tapi saya ingin tetap entah menulis atau menangani institut yang bergerak di bidang intelektual. Tapi saya ndak tahu apa masih mampu mengembangkan diri sehingga layak terjun di sana atau tetap di Jawa Pos tapi dengan bidang garapan lain. Intinya saya ingin mengalir dulu …." *

by:Nanang Krisdinanto