Kepakan Cenderawasih

Mohammad Kholifan

Mon, 1 October 2001

SUATU hari pada Maret 1993. Bangunan tua di pojok Jalan Sam Ratulangi, Dok V Atas, Jayapura, tampak ramai. Sejumlah pejabat hadir. Dahlan Iskan, bos Jawa Pos News Network, ada di tengah keramaian itu.

SUATU hari pada Maret 1993. Bangunan tua di pojok Jalan Sam Ratulangi, Dok V Atas, Jayapura, tampak ramai. Sejumlah pejabat hadir. Dahlan Iskan, bos Jawa Pos News Network, salah satu perusahaan media terbesar di Indonesia yang bermarkas di Surabaya, ada di tengah keramaian itu. Sambutan demi sambutan pun meluncur. Intinya, berharap agar sejarah hari itu bisa membawa perubahan bagi pers di tanah Papua.

Ya, Papua memasuki sejarah baru perkembangan pers. Jawa Pos News Network datang ke wilayah paling timur Indonesia ini dengan mengibarkan nama Cenderawasih Pos, harian pertama di Papua.

Cenderawasih Pos sebenarnya telah ada puluhan tahun sebelumnya dengan bendera mingguan Cenderawasih. Sejarahnya tak lepas dari sejarah Papua awal 1950-an ketika saat suhu politik memanas antara Indonesia dan Belanda.

Sengketa itu ditengahi oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Hasilnya, UNTEA menyatakan Papua jadi bagian wilayah Indonesia. Sekelompok wartawan Indonesia dengan dukungan perwakilan Indonesia di sana, menerbitkan Cenderawasih. Sekian puluh tahun, mingguan Cenderawasih masih tersendat-sendat hingga datanglah Jawa Pos News Network.

Mereka datang dengan modal mesin cetak hitam-putih (sekarang sudah diganti full color), sejumlah komputer, dan dana yang besar untuk ukuran media Papua. Tidak kalah penting adalah manusia yang mau bekerja secara total untuk Cenderawasih Pos. Meski tidak semua wartawannya memiliki pengalaman jurnalisme tapi mereka bersemangat besar untuk mendirikan harian pertama di Papua.

“Seminggu kami mengarungi lautan,” kata Arifin Sholeh, wartawan asal Madiun yang jadi angkatan pertama Cenderawasih Pos. Bersama 14 orang lainnya, yang semuanya laki-laki dan berasal dari Jawa Timur, Arifin naik kapal laut dari Surabaya menuju Jayapura.

Wartawan yang berpengalaman hanya tiga orang dalam rombongan itu: Darul Farokhi, wartawan Jawa Pos yang ditugasi mendirikan Cenderawasih Pos dan duduk sebagai general manager; Abdul Munib, wartawan Prospek, yang menjadi redaktur pelaksana—karena pemimpin redaksi merupakan jatah Frans Siriwa, pemilik Cenderawasih; dan Sugiono, tukang cetak yang diwajibkan menularkan keahliannya kepada karyawan lain.

Di Papua saat itu hanya ada perusahaan penerbangan Merpati yang jadi andalan angkutan cargo. Tak mengherankan jika suratkabar Jakarta, datang ke Jayapura paling cepat dua hari setelah tanggal terbit. Keunggulan tercepat menjumpai pembacalah yang jadi kekuatan utama Cenderawasih Pos.

Terbit delapan halaman, Cenderawasih Pos hanya menyisakan sekitar dua halaman untuk berita-berita lokal. Selebihnya, berita Jakarta, gosip artis, atau olahraga terutama sepak bola. Dengan demikian, Cenderawasih Pos mampu memberitakan peristiwa nasional yang masa edarnya sama persis dengan di Jakarta.

Apalagi siaran televisi yang tertangkap di Jayapura hanya TVRI. Isi beritanya, harap maklum, penuh propaganda. Suratkabar lokal hanya Tifa Irian. Selain terbit mingguan, Tifa Irian mengkhususkan pemberitaannya pada isu lokal. Jadilah Cenderawasih Pos pemain utama sekaligus satu-satunya media yang terbit dengan berita nasional secara harian. Cenderawasih Pos pun langsung memimpin dan diterima pasar.

SECARA keredaksian, Cenderawasih Pos kurang berkualitas. Wartawan kerap berebut lembaran sambutan pejabat atau sibuk mengikuti kegiatan peresmian ini, peresmian itu. Belum lagi persoalan gaji yang minim. Persoalan lain menyangkut ketepatan deadline. Bukan semata orang redaksi terlambat menyelesaikan berita, tapi juga soal lay out dan percetakan, atau hal-hal teknis lainnya. Saat semuanya siap cetak, ternyata mesinnya ngadat. Atau kadang-kadang listrik mati tanpa pemberitahuan. “Kita sempat dijuluki koran pagi terbit sore,” kata Abdul Munib.

Tapi keredaksianlah yang paling seru. Papua termasuk daerah operasi militer. Peran militer sangat besar. Dari 10 bupati, enam adalah tentara berpangkat kolonel. Departemen Penerangan, yang juga punya kuasa besar terhadap media, juga dipimpin seorang kolonel. Maka, aksi tiarap benar-benar dilakukan Cenderawasih Pos. Dahlan secara khusus memberitahu awak Cenderawasih Pos soal itu. Istilah yang dia pakai “menempatkan diri pada koridor.”

Kondisi yang represif itu mau tak mau harus dijalani. Suatu ketika Cenderawasih Pos memberitakan Organisasi Papua Merdeka melakukan penyanderaan terhadap beberapa orang asing. Seorang tentara dari penerangan angkatan darat Komando Daerah Militer Trikora menyatakan mau tidur di kantor redaksi bersama-sama para wartawan. “Agar kami tidak dimarahi Pangdam karena berita itu salah,” katanya.

Beruntunglah Cenderawasih Pos memiliki Abdul Munib. Dia berperan besar membesarkan hati kami agar tetap setia dengan pekerjaan wartawan. Ketika kami tak memiliki sepeserpun uang, dia tak segan-segan membagi gajinya yang juga tak besar-besar amat.

Munib berperan banyak di redaksi. Bahkan kami tak mengerti apa sebenarnya perbedaan kerja pemimpin redaksi dan redaktur pelaksana. Yang kami tahu hanyalah Munib. Frans Siriwa memang datang saban hari ke kantor redaksi yang sempit dan sesak itu. Tapi, dia tak berbuat apa-apa. Paling-paling bertanya ini-itu yang sama sekali tak substansial.

Munib bagi kami menjadi pelindung. Pada pertengahan 1994, saya mendapatkan data tentang dugaan korupsi yang dilakukan Kolonel Joesoef Adipatah, bupati Paniai. Menurut data yang saya dapat dari salah seorang stafnya, Adipatah diduga menggelembungkan nilai proyek pembukaan jalan Nabire-Ilaga dan proyek dari bantuan Jepang senilai Rp 1,2 miliar.

Atas dukungan Munib Cenderawasih Pos memberitakannya. Mendapatkan informasi menarik ternyata tidak membuat pihak kejaksaan bertindak apapun. Sementara imbas pemberitaan itu makin kencang. Entah kebetulan atau tidak, Adipatah suatu malam mengunjungi kepala Kejaksaan Tinggi Irian Jaya Benny Arli Yasin di rumahnya, di kompleks Angkasa, Jayapura.

Jelas informasi itu menarik. Seseorang yang diduga melakukan korupsi malam-malam mengunjungi kepala kejaksaan. Seberapa jauh pertemuan tersebut dipakai untuk membicarakan dugaan itu? Jaksa Benny Arli Yasin ketika saya wawancarai mengatakan pertemuan itu hanya “silaturahmi.”

Keesokannya, Cenderawasih Pos menurunkan berita itu. Orang makin bertanya-tanya apakah Adipatah melakukan korupsi dan kejaksaan tak mau mengusutnya?

Sekitar pukul 09.00 telepon redaksi berbunyi. Asalnya dari ajudan wakil gubernur Brigadir Jenderal Basyir Bachtiar. Saya diminta menghadap ke Basyir satu jam kemudian. Tujuannya, menyelesaikan dugaan korupsi Adipatah. Saya agak gugup. Saya mendiskusikannya dengan Munib. Kata Munib, tidak usahlah datang. Semula saya tak setuju. Tak datang hanya menunda persoalan.

Sore harinya, telepon dari orang yang sama datang lagi. Kali ini dengan nada marah-marah. Telepon lantas saya serahkan kepada Munib. Ternyata Munib menyetujui pertemuan itu pukul 09.00 keesokannya di ruang kerja Basyir. Saya agak lega lantaran Frans Siriwa mengatakan akan ikut.

Ketika kami memasuki ruangan Basyir, di sana sudah ada kepala kantor wilayah Departemen Penerangan Kolonel Michael Soenjoto, bupati Joesoef Adipatah, seorang perwira penerangan Komando Daerah Militer Trikora yang berpangkat letnan kolonel, dan kepala biro hubungan masyarakat pemerintah daerah Irian Jaya Oswald Simanjuntak. Bayangkan, ada seorang jenderal, dua kolonel, seorang letnan kolonel, dan pejabat tinggi pemerintah daerah.

“Berita kamu ini hanya bertujuan menjatuhkan nama pejabat sekaligus mengadu domba pejabat,” kata Basyir memulai perbincangan. Nadanya datar saja. Mengadu domba karena saya juga mewawancarai sejumlah sumber yang relevan dengan kasus itu. Misalnya kepala kantor wilayah Departemen Pekerjaan Umum untuk mengecek data maupun pejabat Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan.

“Persoalannya gampang saja, Pak. Kami mendapatkan data dan fakta. Kami menginginkan ini diteruskan ke pihak kejaksaan dan seterusnya. Pokoknya sesuai jalur hukum. Karena memang demikianlah tugas kami, melakukan kontrol sosial.” Deg! Sunggguh saya tidak menyangka Munib berani bicara seperti itu.

Sementara Frans Siriwa hanya bilang iya-iya dan sering mengeluarkan kalimat “Bukan begitu maksudnya, Pak.” Sedangkan Soenjoto, Adipatah, dan pejabat lainnya lebih banyak diam. Tampaknya, mereka sepakat menyerahkan sepenuhnya kepada Basyir.

“Sudah. Sekarang begini saja,” Basyir mulai emosi. Dia lalu berdiri. Entah sengaja atau tidak, sebuah pistol di sakunya terjatuh di kursi. Entah sengaja atau tidak, pistol itu kemudian diletakkan di meja yang kami kelilingi. Diam-diam saya menyimpan kecemasan luar biasa yang belum pernah saya rasakan.

“Kami menginginkan berita itu diralat karena memang tidak benar. Dan saya minta berita itu dihentikan.” Kali ini mata Basyir mengarah ke saya.

“Sekali lagi kamu melakukannya, saya akan ….” Saya tak hapal persis kalimat selanjutnya. Tubuh saya gemetaran. Sayup-sayup terdengar nada ancaman yang serius.

Keesokannya, Cenderawasih Pos membuat headline yang menyatakan berita dugaan korupsi Adipatah tidak benar, sekaligus permohonan maaf.

ANCAMAN terhadap independensi media di Papua tak hanya dari pihak eksternal—yang biasanya diperankan tentara dan polisi—tetapi juga dari dalam: pengelola pers itu sendiri. Sensor terhadap materi pemberitaan sangat luar biasa untuk mengamankan bisnis Cenderawasih Pos.

Pada pertengahan September 1995, telepon redaksi Cenderawasih Pos berdering. “Dari Sempati Air,” kata Frida Fodju, sekretaris redaksi seraya menyerahkan gagang telepon kepada saya.

Ketika itu Sempati Air membuka jalur penerbangan Jakarta-Jayapura. Maskapai penerbangan ini lagi agresif mencari konsumen. Suara telepon di seberang datang dari Erwin Effendi, manajer Sempati Air Jayapura. “Datanglah ke kantor, aku punya berita bagus nih,” katanya.

Berita bagus itu sebenarnya sederhana saja. Departemen Transmigrasi mendatangkan ribuan keluarga transmigran ke Jayapura. Para transmigran, sebagian besar berasal dari Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara didatangkan dengan pesawat carteran. Menurut peraturan, ketika pesawat itu balik ke Jawa tak boleh mengangkut penumpang umum—yang memang jadi jatah maskapai swasta dan sedang diperebutkan oleh Garuda, Sempati, dan Merpati.

Ternyata, pesawat carteran itu mengangkut penumpang juga ketika kembali ke daerah asal. Tarif tiketnya jauh lebih murah. Ke Surabaya, misalnya, hanya seharga Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu. Padahal, jika dengan maskapai umum, maka penumpang harus mengeluarkan biaya sedikitnya Rp 850 ribu. Belum lagi, jika dengan maskapai reguler, calon penumpang harus antre dan sering dibatalkan sewaktu-waktu jika ada penumpang istimewa. Sebutlah rombongan gubernur atau pejabat lainnya.

Penerbangan baru itu sangat dinikmati penumpang. Erwin Effendi memberitahu saya, sambil menunjukkan data-data, seat Sempati turun hingga 50 persen. “Ini juga dirasakan oleh maskapai lain,” katanya.

“Ah, ini kan soal persaingan bisnis saja. Enak saja dia mau memanfaatkan saya,” begitu pikir saya ketika kembali ke kantor redaksi. Hampir seminggu saya menyimpan cerita itu dalam benak. Saya cari bukti-bukti lain. Akhirnya, sampailah saya pada sebuah pertanyaan: ke mana uang hasil penjualan tiket penerbangan gelap itu?

Itu lebih mengusik saya ketimbang soal persaingan bisnis. Dan itu pula yang mendorong saya melakukan riset dan mewawancarai sejumlah sumber termasuk Oman Kusman Darmanto, kepala kantor wilayah Departemen Transmigrasi Irian Jaya. Oman adalah tentara dengan pangkat terakhir kolonel. Dia alumnus Akademi Militer Magelang angkatan 1963. Badannya lumayan tegap meski usianya mendekati masa pensiun.

“Ah, tujuan kami tidak jelek. Kami hanya membantu masyarakat yang hendak bepergian,” kata Oman mengawali jawaban kepada saya.

Kantor Oman terletak di Dok IX, Jayapura, sekitar delapan kilometer arah barat dari Jayapura, atau hanya sekitar empat kilometer dari kantor Cenderawasih Pos.

Ketika saya minta informasi soal hasil penjualan tiket penerbangan tersebut, Oman masih menjawab “demi membantu” dana operasional penempatan transmigran. Misalnya untuk transportasi dari Jayapura ke satuan pemukiman, yang memang cukup jauh, maupun membeli konsumsi selama transmigran berada di penampungan.

Alasan Oman, transmigran sering lama tinggal di penampungan untuk menunggu giliran alat transportasi yang akan mengantar ke daerah bakal pemukiman mereka.

Jawaban itu “kurang memuaskan.” Bukankah seharusnya persoalan begini sudah diantisipasi dan ada dananya?

Hasil wawancara itu diturunkan oleh Cenderawasih Pos sebagai pembuka halaman dua keesokan harinya. Tak ada yang luar biasa lantaran berita itu telah dipotong sana-sini oleh Priyo Susilo, redaktur halaman dua. Tulisan asli saya jauh lebih galak. Persoalan uang tiketlah yang lebih jadi perhatian saya. Tapi, Priyo justru memfokuskan berita pada “bantuan” pesawat carteran untuk calon penumpang di Jayapura. Jika sepintas membacanya maka yang tersimpulkan pesawat itu justru berkah bagi masyarakat.

Masih sekitar pukul 08.30, Frida Fodju membangunkan saya. Saya memang tinggal di mes belakang kantor Cenderawasih Pos. Gaji kecil, biaya hidup relatif tinggi di Jayapura, juga saya masih bujangan menjadikan alasan tinggal di mes ketimbang menyewa rumah. Jauh lebih hemat.

“Kamu disuruh menemui Pak Oman sekarang. Kayaknya dia marah-marah,” kata Frida Fodju.

Tanpa prasangka apapun, saya pergi menemui Oman. Jika memang berhubungan dengan berita, pastilah Oman hanya akan mengucapkan terima kasih. Bukankah berita itu mirip berkah? Tapi, kenapa Frida bilang Oman marah-marah? Ah, Frida pasti bergurau!

Saya langsung menuju ke ruang kerja Oman. Tak seperti biasanya. Begitu turun dari kendaraan umum, penjaga keamanan langsung mempersilakan saya ke ruangan Oman.

“Sudah ditunggu,” katanya.

Bahkan, saya diantar sampai di depan pintu. Dan langsung disilakan masuk.

Pintu dibuka. Tampak Oman berdiri di belakang mejanya. Dua-tiga orang berada juga di ruangan itu. Saya masih berusaha tampil manis dengan mengucapkan salam. Oman tidak menjawabnya. Pun tidak mempersilakan duduk seperti biasanya. Dia justru berjalan mendekati saya. Di tangan kirinya ada Cenderawasih Pos yang sudah digulung-gulung.

“Apa ini yang kamu tulis. Kamu sengaja mau menjelek-jelekkan transmigrasi ….”

Entahlah kalimat apa lagi yang dia ucapkan selanjutnya. Saya tidak mendengarnya dengan jelas.

Secepat kilat, tangan kanan Oman kemudian mendarat di pipi kiri saya.

Dia menampar saya!

Lalu, gulungan koran itu dipukul-pukulkan ke wajah saya. Mungkin tiga kali atau lebih. Saya tidak lagi merasakan. Perasaan saya campur aduk antara kaget, heran, dan takut.

Saya berusaha menjelaskan jika memang tak puas dengan berita itu, silakan menggunakan hak jawab. Sungguh, saya sendiri heran bahkan sampai sekarang, mengapa saya tak bicara soal penamparan saat itu juga, tapi justru bicara hak jawab.

Oman tidak mempedulikannya. Dia justru mengusir saya.

Usai kejadian itu, saya langsung menemui Frans Siriwa di rumahnya.

“Saya dipukul Pak Oman, Pak. Saya ingin persoalan ini tuntas, saya merasa dihina,” kata saya kepadanya. Siriwa tampak terkejut.

Saya juga bercerita kronologinya. Tanpa saya sadari, karena didorong emosi, mata saya berkaca-kaca. Bukan rasa sakit akibat tamparan, tapi lebih pada perasaan terhina. Sebegini burukkah saya sehingga ditampar dan diusir?

“Ya, sudah. Nanti saya bicarakan soal ini dengan yang lain,” kata Siriwa menenangkan.

Sorenya kejadian itu dibicarakan oleh Siriwa bersama Bahari, koordinator liputan, Abdul Munib, dan sejumlah orang redaksi lainnya. Hasilnya: akan diselesaikan secara kekeluargaan. Ada memang yang mengusulkan melaporkannya kepada polisi. Serta-merta usul itu ditolak. Oman adalah kolonel, mana bisa polisi memeriksa Oman? Apalagi, ketika itu peran tentara begitu kuat di Papua. Juga yang pasti: saya tidak dilibatkan dalam musyawarah itu.

Atas dasar kekeluargaan itulah, peristiwa penamparan tak diberitakan di Cenderawasih Pos keesokannya. Bahari dan Munib berusaha menemui Oman untuk menyelesaikannya. Setelah tiga hari tidak membuahkan hasil, redaksi memutuskan untuk menulis kejadian itu di Cenderawasih Pos agar Oman mendapatkan keadilan dari pembaca. Ada nuansa balas dendam, menurut saya.

Tiga hari kemudian barulah Cenderawasih Pos menurunkan beritanya. Tidak hanya sekali. Hampir dua minggu berturut-turut berita itu diturunkan dan selalu di halaman muka. Narasumbernya dari banyak pihak, dan hampir semuanya bernada menyalahkan Oman. Diam-diam, hati saya puas. Selain tentu saja, saya menjadi sangat terkenal. Wartawan menjadi berita!

Bertahun-tahun kemudian saya membaca ulang berita-berita itu. Saya merasakan ada sikap tidak fair dalam setiap pemberitaan. Etika jurnalisme tidak lagi diperhatikan. Oman hanya sekali diwawancarai. Juga, ada nada trial by the press serta sikap emosional.

Sekata pun, saya tidak pernah ikut menulisnya. Semuanya dikerjakan oleh rekan-rekan redaksi lain.

Awal Oktober 1995, saya terkejut dengan sebuah berita Cenderawasih Pos. Berita itu di halaman pertama. Terdiri dari dua kolom. Sepertinya sengaja dibuatkan kotak agar mencolok mata. Isinya: M. Kholifan tidak dipukul oleh Oman. Dia berbohong. Karena itu, Cenderawasih Pos mohon maaf dan menganggap kasus itu selesai.

Gila, ini benar-benar gila! Saya langsung menemui Bahari, Abdul Munib, Priyo Susilo, dan entah siapa lagi. Saya mempertanyakan mengapa bisa begitu? Mengapa tiba-tiba dijadikan pesakitan padahal saya adalah korban? Saya tidak bisa membayangkan bagaimana harus menyembunyikan muka di hadapan banyak orang? Juga, mengapa ketika berita itu diturunkan, saya tidak dikonfirmasi padahal menyangkut nama baik saya?

Tidak seorang pun dari mereka yang memberikan jawaban yang memuaskan. Saya yakin ada yang disembunyikan. Saya pun menemui Frans Siriwa. Dia hanya mengatakan, “Ini demi kebaikan kita bersama.”

Saya tidak bisa berbuat banyak. Saya diam-diam mencari jawaban sendiri. Tapi sungguh susah. Sampai akhirnya saya memutuskan keluar dari Cenderawasih Pos.

ABDUL Munib sendiri sebenarnya pernah mengalami represi semacam itu. Asalnya dari kantor wilayah Departemen Penerangan Irian Jaya yang dipimpin Michael Soenjoto. Dalam rubrik tetapnya, semacam esai, Munib menulis tentang Bumi Manusia karya novelis Pramoedya Ananta Toer. Hanya nukilan buku saja sebenarnya, tentang bagaimana buku yang sedemikian bagus justru dilarang beredar hanya karena Pram dituduh komunis.

Munib langsung dipanggil ke kantor Soenjoto. Munib dimaki-maki sekaligus diwanti-wanti agar tak menulis seperti itu lagi. Itu pun belum cukup. Munib diminta menyerahkan riwayat hidupnya untuk di-screening bersih lingkungan. Di Brebes, Jawa Tengah, tempat kelahiran Munib dan orangtuanya bermukim, ditelusuri. Mungkin, untuk membuktikan bahwa Munib benar-benar bersih dari yang berkaitan dengan komunis.

Stigma Partai Komunis Indonesia sebenarnya kurang laku di Papua. Stigma Organisasi Papua Merdeka (OPM) lebih sering digunakan. Jika seseorang distempeli OPM, maka habislah riwayatnya. Sama persis jika seseorang di Jawa dicap Partai Komunis Indonesia. Hanya saja, stigma OPM lebih sering ditujukan kepada orang Papua. Karena Munib orang Jawa, maka stempel komunis mungkin dirasa lebih pas.

Di tengah represi Cenderawasih Pos tampaknya bisa “menempatkan diri.” Harian satu-satunya di Papua itu berjalan dengan mulus dan selamat hingga kini. Dan dari rahimnya lahir wartawan-wartawan muda di Papua. “Tapi, faktor Munib yang paling berperan untuk itu, bukan institusi Cenderawasih Pos-nya,” kata Angleng Murcana, mantan wartawan Cenderawasih Pos yang kini berdomisili di Biak Numfor.

Wartawan-wartawan muda itu antara lain Muhammad Imran, kini pemimpin redaksi mingguan Pikiran Merdeka di Kabupaten Biak Numfor, Serui Pos di Serui, Kabupaten Yapen Waropen, dan Hinggin Pos di Kabupaten Fakfak. Lalu ada Leo Dapot Siahaan yang kini jadi redaktur pelaksana harian Papua Post, Jayapura; Dharma Somba yang kini di harian Timika Pos; Erwin G. Tambunan yang kini jadi koresponden majalah Gatra, dan banyak lagi. Sedangkan saya, selain jadi koresponden majalah Forum Keadilan, kini mengelola tabloid mingguan Jubi di Jayapura. Sementara Munib sendiri mendirikan harian Papua Post di Jayapura. Bayangkan, dari Cenderawasih Pos lahir tiga pemimpin redaksi!

Bisa disebut bahwa generasi Cenderawasih Pos-lah yang menggairahkan kehidupan pers di Papua pascatumbangnya Orde Baru. Di hampir setiap institusi pers di Papua, maupun koresponden media Jakarta, rata-rata dimasuki bekas awak Cenderawasih Pos.

Itu terjadi karena jarang ada wartawan Cenderawasih Pos yang bisa bertahan lama, terutama mereka yang memiliki sikap kritis. Manajemen Cenderawasih Pos, sebagai bagian dari Jawa Pos News Network, tak kondusif bagi pertumbuhan wartawan hebat. Gaji kecil, peraturan ini-itu yang tak jelas, orientasi pasar yang berlebihan, jenjang karier yang tak jelas, dan banyak lagi adalah penyebab utama wartawan tak kerasan. Mereka selalu tertekan dalam manajemen yang kaku dan tertutup. “Lebih banyak karyawan yang keluar daripada yang bertahan kerja di sini,” kata Frida Fodju, sekretaris redaksi Cenderawasih Pos. Akibat manajemen amburadul itu memuncak dengan pemogokan karyawan Cenderawasih Pos awal Agustus ini.

Sisi positifnya, mereka yang mengundurkan diri atau dipecat, mewarnai perkembangan pers di Papua. Bahkan Abdul Munib, yang punya andil besar membawa Cenderawasih Pos seperti sekarang, keluar dari koran bermotto “Menyambut Pendapat dan Merakyat” tersebut. Munib sejak tiga tahun lalu mendirikan mingguan Irja Post yang kemudian berubah nama jadi harian Papua Post.

Dari faktor itulah, dan tentunya juga perubahan politik pasca-Presiden Soeharto, perkembangan pers di Papua berlangsung sangat pesat. Kini, tercatat ada 14 media lokal di Papua. Ada enam harian, yakni, Cenderawasih Pos dan Papua Post (di Jayapura), Timika Pos dan Radar Timika (di Timika), Radar Sorong, dan Fajar Papua (di Sorong). Sedang mingguan, yang semuanya berbentuk tabloid, sedikitnya ada delapan buah. Mingguan itu Tifa Papua dan Jubi (di Jayapura), Suara Papua (Sorong), Nabire Pos dan Amanat Suara Gunung (Nabire), Pikiran Merdeka (Biak), Serui Pos (Serui, Yapen Waropen), dan Hinggin Pos (Fakfak). Belum lagi media yang semula berbentuk buletin kini juga diubah jadi pers dalam karakter pemberitaannya.

Hanya dari dua media, yakni Cenderawasih Pos dan Tifa Papua, sejak 1998, tiba-tiba menjadi belasan.

SEPTEMBER lalu, atau sekitar enam tahun sesudah pemukulan oleh Kolonel Oman dan keluar dari Cenderawasih Pos, saya menemui Frans Siriwa untuk menanyakan mengapa Cenderawasih Pos mengatakan saya telah berbohong?

Siriwa mengatakan berita itu berdasarkan pernyataan Oman sendiri. Oman mengatakan tidak memukul saya, melainkan hanya mengipas-kipaskan koran di muka saya. Pernyataannya dinyatakan dalam sebuah surat hak jawab yang dikirim ke Cenderawasih Pos dan disaksikan seorang pejabat kejaksaaan tinggi Irian Jaya.

“Dia mengakui tidak memukul, hanya mengipas-kipaskan koran. Sementara berita Cenderawasih Pos adalah pemukulan. Kalau sudah mengakui begitu dan dia meminta maaf, masak kita mau teruskan,” kata Siriwa.

“Kok di kejaksaan. Bukankah itu urusannya polisi, lagi pula Cenderawasih Pos tidak pernah melaporkan soal ini ke polisi? Juga, mengapa ketika berita itu hendak diturunkan saya tidak ditanyai, tapi kemudian justru divonis bahwa saya berbohong?”

Sayang, jawaban atas pertanyaan itu tidak juga bisa saya dapatkan sampai sekarang. Siriwa hanya berkata, ”Masak saya mau menjual adik-adik wartawan. Saya berdosa itu.” *

kembali keatas

by:Mohammad Kholifan