Banyak Berhitung

Eri Sutrisno

Mon, 1 October 2001

SUATU hari di bulan Agustus 1999, sekelompok orang Timor Timur prokemerdekaan bentrok dengan pendukung Indonesia di wilayah Kuluhun, Dili. Di belakang massa pro-Indonesia terdapat pasukan polisi Indonesia.

SUATU hari pada Agustus 1999, sekelompok orang Timor Timur prokemerdekaan bentrok dengan pendukung Indonesia di wilayah Kuluhun, Dili. Di belakang massa pro-Indonesia terdapat pasukan polisi Indonesia. Mereka menembaki kelompok prokemerdekaan. Kontan kelompok ini lari tunggang langgang.

Sebagian besar lari ke arah kiri, sedangkan sebagian lari ke arah kanan termasuk seorang fotografer Indonesia. Mereka yang lari ke kanan ini masuk parit. Sekitar 200 meter, mereka ke luar parit, walau tembakan masih terjadi. Di belakang si fotografer ada seorang pemuda prokemerdekaan jatuh tertembak.

Si fotografer menengok ke belakang, melihat pemuda itu berlumuran darah. Si fotografer pun termangu sejenak, pikirannya melintas antara mengambil gambar itu atau lari menyelamatkan diri. Hati kecilnya menyatakan harus memotret. Ia balik kanan dan mengambil foto.

Setelah menghabiskankan beberapa frame dan merasa cukup. Ia balik badan untuk mulai lari lagi. Tapi plak … paha sebelah kanannya terasa ditepuk orang. Namun ia tetap lari.

Lama-lama rasa panas terasa di pahanya. Banyak orang bereteriak, "Bapak darah, bapak darah …." Ternyata celananya sudah berlumuran berdarah. Tak lama kemudian ia tak bisa gerak, kaku, serta terjatuh. Ia diusung masuk kampung. Di sebuah gubuk ia dirawat seorang suster. Di tengah kesadarannya, si fotografer memakai telepon genggam dan mengontak kantornya, biro Reuters di Jakarta.

"Aku ada di suatu tempat dan kena tembak. Tapi nggak apa-apa, kalau bisa kirim ambulans ke sini. Aku nggak bisa telepon ke mana-mana," katanya. Akhirnya Jakarta menelepon ke rumah sakit minta bantuan. Berkali-kali, dering teleponnya tak diangkat. Mereka kemudian menelepon International Comission of The Red Cross di Dili.

Di tempat persembunyiannya itu ternyata terdapat enam orang yang mengalami luka-luka serius. Mereka dari kelompok prokemerdekaan. Mereka dirawat di sana oleh dokter ICRC. Sementara si fotografer, pahanya tertembus peluru dan robek bagian belakangnya. Ia perlu perawatan serius, makanya ia diminta tetap tinggal beberapa hari di tempat penampungan. Puluhan lembar perban dan kapas dihabiskannya di situ.

Foto-foto jepretannya mengenai peristiwa penembakan itu sempat dititipkan ke kawan sekerjanya sehingga banyak disiarkan di seluruh dunia: kekerasan antar orang Timor Timur menjelang referendum yang diadakan Perserikatan Bangsa-bangsa September 1999.

Ia sebenarnya tak ingin segera pulang karena banyak peristiwa-peristiwa menarik untuk diabadikan. Tapi ia tak bisa menolak dan pulang ke Jakarta.

Sebulan kemudian ia kembali ke Dili, menyewa sebuah pesawat bersama sejumlah reporter lainnya. Maklum, sejak referendum, penerbangan Jakarta ke Dili tak lagi beroperasi.

CERITA tadi adalah secuil pengalaman pribadi Beawiharta, seorang fotografer Reuters biro Jakarta.

Bea gabung ke kantor berita asal Inggris itu pada awal 1999. Mulanya menjadi stringer, dengan penghasilan berdasarkan jumlah foto yang dimuat. Sebelumnya ia jadi wartawan foto majalah mingguan Gatra, dengan gaji tetap dan mendapat tunjangan kesehatannya.

"Semula memang kami sempat ingatkan bahwa Reuters tidak bisa menggaji sebagus Gatra. Kalau mau, mulailah dari menjadi stringer, dengan honor per order foto yang dipakai," kata Enny Nuraheni, redaktur foto Reuters Jakarta.

Peringatan Enny sempat mengendap di pikiran Bea. Karena ia harus menanggung hidup istri dan anaknya. Namun setelah ditimbang-timbang, demi masa depan kariernya, Bea memutuskan berhenti dari Gatra dan jadi stringer Reuters. Ada dua alasan pokok. Pertama ia sering dikecewakan Gatra. Kedua ia ingin sekali belajar jurnalisme foto dari para ahlinya.

Sebelum Bea menawarkan diri gabung dengan Reuters, Enny Nuraheni sudah mengikuti kiprah Beawiharta. Terutama saat Bea masih aktif di Gatra. Enny mengatakan Bea pintar mengambil angle dalam memotret.

Ironisnya, foto-foto yang baik jarang dipakai Gatra. "Karena itu aku berkesimpulan bahwa aku lebih cocok kerja di Reuters," kata Bea. Sehingga tak heran banyak foto Bea dimuat Reuters.

Memang, menurut Enny Nuraheni, foto-foto Bea angle-nya cocok dengan Reuters. Enny merasa sayang kalau foto-foto yang bagus itu tidak dipublikasikan.

"Aku motivasinya satu: aku ingin belajar memotret. Kalau aku tetap di Gatra, aku pikir tetap tak bisa berkembang karena nggak bisa belajar langsung bersama ahlinya. Dan toh seandainya aku jadi stringer, kelak kalau ada agency foto lain yang butuh staf, aku bisa loncat ke sana. Atau kalau aku mau balik lagi ke media lokal, kan sudah punya ketrampilan lebih," katanya.

Bea mengatakan dia terlambat meniti karir di dunia fotografi. Mulai belajar serius foto ketika umurnya sudah 27 tahun. Bahkan selepas lulus sarjana di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang, ia sempat menjadi penterjemah dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia di sebuah media selama tiga tahun.

Fotografi, baginya adalah hobi sejak kecil. Tapi karena ia berasal dari keluarga sederhana, hobi itu baru mulai jadi serius saat ia bisa membeli kamera hasil tabungannya selama bekerja sebagai penterjemah. Ia suka sekali belajar fotografi dari buku-buku atau majalah tentang foto. Misalnya American Photo, Outdoor Photo, Photo Journalist, dan lain-lain.

Kini, Bea dianggap oleh Enny sebagai fotografer yang sudah matang. Bea sudah bisa memilih sendiri mana foto yang bagus dan tidak untuk Reuters.

DI lapangan seorang wartawan sering dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Antara mendapatkan foto yang bagus atau nyawanya terancam. Atau mendapatkan foto bagus tapi sumbernya mati di depan mata. Jika Beawiharta dihadapkan pada dilema itu, mungkin belajar dari pengalaman Dili, maka jawabnya, ia akan mengorbankan memotret dan lebih baik lari menyelamatkan diri.

Baginya, keselamatan dirinya lebih penting dibandingkan dengan hasil jepretannya. "Sebab, ada atau tidak ada aku, peristiwa itu tetap berlangsung, perang terus berlangsung kok," katanya pada saya beberapa waktu yang lalu. Dan ternyata, pakem Reuters memang demikian. Keselamatan jurnalis lebih penting dibandingkan hasil potretannya. Karenanya, mereka secara reguler melatih korespondennya berlatih penyelamatan diri di area perang.

Pemahaman atas situasi dianggapnya sebagai sebuah prasyarat seorang wartawan bekerja di daerah konflik. "Kalau berhitung nggak bisa masuk, ya nggak usah masuk. Aku nggak mau bertaruh nyawa. Kalau lagi baku tembak, paling aman ya sembunyi," katanya.

Bea bercerita saat meliput kerusuhan di Ambon. Waktu ada pertempuran, kantor polisi diserbu oleh massa yang melakukan protes. Tiba-tiba ada dua mobil Kijang lewat dan memberondongkan senapannya ke pos polisi. Massa bubar tak keruan. Sementara polisi berlindung di balik tembok dan membalas menembak mobil Kijang itu. Tapi mobil lari tak berhenti. Bea tak mengambil foto peristiwa tersebut, tapi ikut berlindung. "Ya lah … konyol. Gila apa?" katanya. "Aku rasa takutnya gede, aku selalu banyak berhitung. Mungkin itu handicap yang paling besar," lanjut Bea.

Ia menganggap, dari sekian konflik yang pernah diliputnya, yang paling gila itu di Ambon. Konflik di Timor Timur belum ada apa-apanya. "Di Ambon itu begitu masuk bandara, aroma pertempuran sudah di mana-mana. Masuk ke kota ambon sudah setengah mati. Depan hotel aja masih terjadi tembak-tembakan.”

Bea juga seorang jurnalis yang tidak tegaan. Ia pernah mencegah terjadinya pertempuran tak seimbang antara dua kelompok di Timor Timur. Ia minta tiga orang dari kelompok prokemerdekaan yang berjalan membawa poster menyingkir dari jalan, karena di kejauhan ada massa pro-Indonesia yang membawa senjata dan siap perang. Apakah dia prokemerdekaan Timor Timur? Ternyata tidak juga. Saat pasukan Perserikatan Bangsa-bangsa masuk ke kota perbatasan Atambua, ada dua milisi di sana, laki-laki dan perempuan, yang dimintanya kembali karena kalau tidak, pasti keduanya ditangkap pasukan internasional.

Mungkin karena bekerja di daerah penuh kekerasan macam Indonesia, Bea lebih dikenal dengan foto-foto tentang kekerasan tentara. Bahkan gara-gara karyanya itu, ia sempat berhari-hari dikejar-kejar tentara sewaktu meliput di Ambon. Ia akhirnya bisa selamat dan keluar dari Ambon selamat setelah minta perlindungan marinir.

Masalahnya, ada tentara ikut menyerbu sebuah gereja dan ditulis oleh Reuters dengan menyebut kesatuannya dari Kostrad. "Mereka marah dan mencari orang Reuters. Mereka terus menteror kami, malam menelepon kamar, dan mengancam akan mematikan seluruh lampu gedung. Teror terus menghantui kami. Kami lapor ke Pomdam dan diantar keluar oleh marinir," ceritanya.

Selain itu ia pernah dikejar-kejar tentara saat meliput pemulangan pengungsi Vietnam di Pulau Galang, dekat Pulau Batam di Selat Malaka. Saat itu ia memotret seorang ibu yang meronta-ronta saat diangkat tentara dipindahkan ke kapal. Juga soal foto pengungsi yang dikejar-kejar tentara hingga ke rumah.

Yang lain, saat Bea memotret tiga orang polisi bersenjata berjajar mengintip aksi mahasiswa Universitas Trisakti, tiga hari setelah beberapa mahasiswa kampus itu meninggal ditembak pasukan bersenjata pada Mei 1998. Polisi waktu itu menyangkal habis-habisan bahwa foto Bea itu di Trisakti. Polisi mengatakan itu foto saat polisi latihan menembak. Bea ngotot. Dengan memotret ulang lokasinya, ia membantah tuduhan polisi. Sementara pemimpin Gatra tak berbuat apa-apa.

Rasa takut saat dikejar-kejar tentara masih mampu ia hadapi. Tapi saat meliput pertikaian etnik Dayak dan Madura di Sampit dan Palangka Raya awal tahun 2001, rasa takut itu sangat membekas. Semula ia setengah percaya dan tidak percaya bahwa orang Dayak punya kekuatan magis. "Setelah lihat, saya jadi yakin dan takutnya semakin menjadi. Terasa kaki itu nggak nginjak tanah. Karena takutnya itu, saya nggak bisa kosentrasi untuk motret," tuturnya. Delapan hari Bea berada di sana. Tapi saking tidak bisa menguasai rasa takutnya, ia minta diganti orang lain.

Meliput di daerah konflik harus punya banyak trik. Misalnya saat meliput di Ambon, Beawiharta sengaja tak membawa kartu tanda penduduk. Tapi yang dibawanya hanya kartu pers. Juga saat meliput di Aceh, ia harus pintar-pintar membawa diri di hadapan orang-orang Gerakan Aceh Merdeka dan tentara Indonesia. Sebab kalau tidak, bisa saja dia dianggap informan. Maklum, masing-masing pihak, menurut Bea, sering minta informasi tentang musuhnya dari para wartawan.

BEAWIHARTA punya pengalaman menarik dari Aceh. Saat itu menjelang 17 Agustus 2001. Ia ditugaskan meliput Aceh, karena diperkirakan akan terjadi peristiwa besar. Tanggal 16 Agustus pagi ia berenam terdiri dari satu sopir, dua wartawan lokal dan tiga dari Reuters, berangkat ke Lhokseumawe. Sampai di tengah perjalanan, banyak pohon ditumbangi, mobil mereka berhenti. Tiga orang mendatangi mereka membawa senjata dan granat. Untungnya mereka membawa orang Aceh, sehingga bisa minta izin lewat dengan bahasa Aceh. Akhirnya tiga orang itu memperbolehkan jalan terus, asal pohon-pohon dikembalikan seperti semula.

Mereka melanjutkan perjalanan. Tapi lagi-lagi, mereka berhenti karena ada lima pohon kelapa menghadang jalan. Mereka berhenti. Tak lama kemudian, terdengar rentetan tembakan dari semak-semak di sekitar lokasi. Mobil langsung putar balik. Ternyata di belakang mereka ada pasukan Brigade Mobil yang sedang membersihkan jalan.

Setelah berjalan sampai sekitar pukul 16.00, gardan mobil mereka lepas di tengah-tengah hutan. Mereka pun terpaksa mendorongnya, untuk mencari bengkel. Sepanjang jalan mereka diperiksa dan digeledah oleh tentara Indonesia. Seorang pengendara motor datang dan menawari tumpangan mencari tukang bengkel. Setelah selesai, ia membayar bengkel. Dan kaget, karena ongkosnya hanya Rp 30 ribu! Ternyata tukang bengkel itu simpatik dengan Gerakan Aceh Merdeka.

Perjalanan mereka teruskan. Di sebuah wilayah di kecamatan Jeuneb, pertengahan antara ibukota Banda Aceh dengan Lhoksumawe, mereka menemukan kayu dibakari. Jenieb berjarak 200 km dari Banda Aceh. Mereka menemukan pos Brigade Mobil tapi mereka tak berani tidur di sana karena daerah ini wilayah Gerakan Aceh Merdeka. Setahun lalu, GAM memusatkan ulang tahunnya di wilayah ini. Listrik dipadamkan oleh GAM.

Saat balik, mobil mereka terhenti oleh tiga pohon kelapa yang ditebang dan dihadangkan di jalan. Saat berhenti serentetan suara senjata meletus di sekitar mereka. "Saya pikir mereka menembakkannya ke atas. Karena tidak ada bekas peluru di mobil," katanya.

Mereka dibentak supaya keluar dari mobil. Sambil menembakkan senjatanya ke atas, mereka minta wartawan-wartawan itu tiarap. Setelah meloncat dari mobil dan tiarap, mereka masih diminta berbaris ke depan.

Letusan senjata kembali berbunyi. Mereka pikir hanya untuk menakut-nakuti, karena tak ada peluru yang ditembakkan ke arah orangnya. Kelompok bersenjata itu minta tiarap di depan mobil. Salah seorang wartawan Reuters teriak-teriak, “Bea say something, Bea say some thing!"

“Saya pikir dia ngomong apa?” kata Bea tentang temannya dari Reuters yang orang asing itu. Wajahnya memerah ketakutan.

“Akhirnya aku teriak, kami wartawan, dari kantor berita Inggris. Dan mereka ke luar satu orang. Izal, guide kami keluar dan bicara dalam bahasa Aceh bahwa mereka dari kantor berita dan mau bertemu dengan Abu Sofyan di Lhokseumawe," katanya.

Empat orang memeriksa kantong-kantong para wartawan. Setelah dikeluarkan kartu pers, mereka minta maaf.. Mereka mengatakan bahwa prosedur standarnya memang begitu. Kelompok bersenjata ini minta Bea dan kawan-kawan meneruskan perjalanan, tapi waktunya jangan malam. Mereka akan menjamin aman karena mobil wartawan.

Kelompok bersenjata ini memperbolehkan dipotret atau diambil gambarnya. Tapi sebaliknya, para wartawan kebingungan karena saat meloncat dari mobil sudah tidak tahu lagi kamera ada di mana. Setelah ketemu, dan ketika hendak dipotret, terdengar suara riuh dari kejauhan, mereka spontan lari karena tahu bahwa itu tentara Indonesia.

"Ada TNI, ada TNI, maaf!" kata orang dari kelompok bersenjata itu sambil lari masuk hutan.

Ketika balik, Bea dan kawan-kawan tidur di pompa bensin. "Nggak tahunya di sana pompa bensin merupakan tempat netral. Jadi TNI nggak boleh nyerbu, demikian juga GAM," katanya.

Akhirnya mereka sampai ke Lhokseumawe, pada 17 Agustus 2001 pukul 15.30 dan 17.00 tiba di tempat GAM. Markas GAM. Mereka wawancara, mengambil foto, lalu pulang membawa banyak kenangan dan kepuasan.*

kembali keatas

by:Eri Sutrisno