Pers Era Mega-Hamzah

M. Said Budairy

Mon, 3 September 2001

AKHIRNYA, yang dimunculkan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi. Inilah pengganti Menteri Penerangan dengan Departemen Penerangannya, yang tadinya mau dihidupkan kembali.

AKHIRNYA, yang dimunculkan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi. Inilah pengganti Menteri Penerangan dengan Departemen Penerangannya, yang tadinya mau dihidupkan kembali. Gagasan itu, yang muncul sewaktu memperbincangkan format kabinet Megawati Sukarnoputri oleh lintas fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat, serta merta dibatalkan karena adanya penolakan sangat keras. Lalu, macam apa kebebasan pers ke depan nanti?

Penolakan keras terhadap gagasan menghidupkan kembali Departemen Penerangan datang dari banyak pihak secara serentak, kompak, dan dengan macam-macam cara. Ada dalam bentuk memberi keterangan pers, menulis artikel, mempengaruhi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, berkirim surat atau unjuk rasa. Di antara mereka ialah para dosen di bidang informasi dan komunikasi, tokoh dan organisasi-organisasi wartawan, lembaga-lembaga kajian. Semuanya bicara tidak setuju Departemen Penerangan seperti yang pernah ada di alam Orde Baru dihidupkan kembali.

Bahkan, ikut-ikutan pula Committee to Protect Journalists (CPJ). Organisasi yang didirikan untuk mempertahankan kebebasan pers di seantero dunia itu berkirim surat kepada Presiden Megawati. CPJ menyatakan, "We hope that you will use your authority to preserve and strengthen recent gains in press freedom. CPJ is concerned about reports that your party is considering reinstatement of the Ministry of Information –a department which, under the authoritarian rule of Indonesia’s former president Suharto, was used to censor and control the country’s media."

Berpanjang-panjang juga surat CPJ itu, tapi kemudian ditutup dengan, "CPJ urges Your Excellency to ensure publicly that your new administration will not take any steps to curtail the hard-won freedoms of the Indonesian press."

Tembusan surat itu dikirim kepada 25 alamat organisasi internasional di seluruh dunia. Dan, beberapa hari sebelum kabinet terbentuk, ada pernyataan resmi bahwa dalam susunan kabinet tidak akan ada Departemen Penerangan.

Tidaklah susah memahami timbulnya reaksi penolakan yang menggebu-gebu atas gagasan menghidupkan kembali Departemen Penerangan. Pemerintahan presiden Soeharto lebih dari tiga dekade menggunakan departemen tersebut sebagai alat ampuh untuk membonsai kebebasan pers. Dunia media sempat dibikin pontang-panting, terengah-engah kelelahan menghadapinya. Untuk menerbitkan media, harus mengantongi izin. Untuk memperolehnya, sulitnya tak terkirakan. Kalau secara politis lolos, tidak jarang dipalak dengan harus menyisihkan saham kosong bagi pemberi izin. Bagi yang sudah terbit, hambatannya berupa "himbauan" lewat telepon, peringatan dan pemanggilan penanggungjawab redaksi, sampai pembredelan media jika isi pemberitaan tidak sesuai dengan kehendak penguasa. Padahal, banyak korban berjatuhan setiap kali sebuah media dibredel. Akibat yang menimpa perorangan, misalnya, diderita oleh para pengecer, agen, pembaca media, wartawan berikut keluarganya, juga perusahaan pengiriman. Penerbitnya pun terkena dampak pahitnya, porak poranda. Belum terhitung besarnya kerugian oleh terinjaknya hak asasi manusia.

MENAJAMKAN ingatan dengan menoleh ke belakang, 27 tahun yang lalu belasan penerbitan pers dibredel, sebagai kelanjutan dari tindakan menghentikan demonstrasi mahasiswa dalam apa yang disebut Malapetaka 15 Januari l974. Mereka adalah enam harian Nusantara, Kami, Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta Times dan Pedoman, dua mingguan Wenang dan Pemuda Indonesia dan satu majalah mingguan berita Ekspres. Di luar Jakarta harian Suluh Berita (Surabaya), mingguan kampus Mahasiswa Indonesia (Bandung), dan mingguan Pos Indonesia (Makassar).

Sebagai ilustrasi betapa pahitnya pembredelan, saya mengikuti langsung pengalaman harian Pedoman. Akhir l972 Pedoman hampir tidak mampu lagi mempertahankan hidupnya. Sudah ada niatan mau menutup penerbitan itu. Tapi kemudian pemimpinnya, Rosihan Anwar, mendapat jalan keluar, menemukan sumber dana segar. Ia mengajak banyak tenaga muda untuk membangun kembali suratkabar itu. Amir Daud jadi pemimpin redaksi, saya diminta jadi pemimpin perusahaan, Rosihan sendiri sebagai pemimpin umum.

Merayap mulai dengan tiras yang hanya 5.000 eksemplar sepanjang tahun l973, pada bagian akhir tahun itu kondisinya jauh membaik. Tiras mencapai sekitar 40.000 eksemplar. Memasuki tahun l974 grafik tiras terus menanjak. Bulan Februari 1974, ketika tiras mencapai 60.000 eksemplar, Pedoman dibredel bersama dengan belasan penerbitan pers lainnya itu.

Enam tahun kemudian pembredelan massal berulang kembali, menyusul usainya pemilihan umum l977. Ada arus kuat yang menginginkan terjadinya suksesi kepemimpinan nasional melalui sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat l978. Gelagat seperti itu tercermin pada isi sejumlah suratkabar. Aspirasi itu dibendung melalui pembreidelan tujuh suratkabar umum, yaitu Kompas, Merdeka, Sinar Harapan, The Indonesia Times, Pelita, Sinar Pagi dan Pos Sore. Masih ditambah lagi dengan sejumlah suratkabar mahasiswa di kampus-kampus.

Untuk kembali dapat menghidupkan koran-koran itu, banyak pengorbanan harus diberikan. Bersama dengan para pimpinan redaksi yang lain, saya mewakili harian Pelita juga harus ikut menandatangani surat yang ditujukan kepada Presiden Soeharto.

Suratnya antara lain berisi pengakuan dapat memahami atas tindakan pembredelan yang dilakukan oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), lalu memohon kepada Presiden Soeharto agar suratkabar-suratkabar tersebut diperkenankan terbit kembali dengan janji "mengindahkan, memenuhi dan menjalankan segala ketentuan sebagaimana telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan, Dewan Pers, Kode Etik Jurnalistik serta ketentuan-ketentuan lainnya."

Masih ada lagi syarat lain, berkirim surat kepada menteri penerangan ad interim Sudharmono dan panglima Kopkamtib Sudomo. Masing-masing pemimpin suratkabar berkirim surat tapi isinya serupa. Pernyataannya, "isi pemberitaan koran akan turut bertanggungjawab menjaga stabilitas nasional, keamanan, ketertiban dan kepentingan umum dan tidak akan memperuncing keadaan" dan seterusnya.

Proses berikutnya harus melalui semacam introgasi oleh panglima Kopkamtib Sudomo dilakukan di salah satu ruangan kantornya di Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Cahaya ruangan diremang-remangkan sehingga sosok Pak Domo tidak begitu jelas terlihat, tapi suaranya saya kenal. Tanya jawab dilakukan, tidak terlalu lama, tapi teror itu cukup menegangkan. Barulah kemudian "borgol" dilepas dan Pelita terbit kembali. Begitu juga koran-koran lainnya.

Empat tahun berikutnya, lagi-lagi, pengalaman pahit datang dari Departemen Penerangan. Kali ini korbannya hanya Pelita. Kejadiannya, menjelang hari pemungutan suara pemlihan umum l982, para pemimpin redaksi diundang dan diberi pesan imbauan oleh menteri penerangan Ali Murtopo. Periode itu direktur jenderal pembinaan pers dan grafika adalah Sukarno. Sedang ketua Persatuan Wartawan Indonesia adalah Harmoko.

Pelita tidak mematuhi “himbauan” yang mengharuskan semua koran hanya melaporkan hasil penghitungan suara dari Lembaga Pemilihan Umum (LPU) saja. Kami berpendapat, untuk mengurangi manipulasi, selain hasil penghitungan suara oleh LPU, hasil penghitungan suara di tempat-tempat pemungutan suara seyogyanya dipublikasikan juga. Dan itu dibenarkan oleh undang-undang yang menyatakan, "Rapat penghitungan suara di tempat pemungutan suara adalah rapat terbuka untuk umum".

Selang sehari setelah menyiarkan hasil penghitungan suara itu, Pelita dibredel. Teman-teman di kantor redaksi bekerja seperti biasa hari Jumat itu. Tiba-tiba sore hari ada telepon dari Departemen Penerangan. Saya diminta datang pukul 19.00 di departemen tersebut, jalan Merdeka Barat, Jakarta. Datang sendirian saya dipersilakan menunggu. Tidak lama datang seorang yang mengaku dari bagian penerangan Komando Daerah Militer (Kodam) V Jakarta Raya.

Menyusul kemudian direktur jendral Sukarno keluar dari ruang kerjanya. Disaksikan petugas penerangan Kodam, Sukarno menyerahkan surat keputusan pembredelan dengan penjelasan bahwa bukan dia sendiri yang mengambil keputusan tersebut. Saya segera meluncur ke kantor redaksi. Rapat kilat redaksi diselenggarakan dan menghentikan kerja redaksional yang sudah menyelesaikan 75 persen tugas untuk edisi esok paginya.

Amat menyakitkan, ‘kan? Berbulan-bulan menganggur. Masa nganggur yang melewati hari lebaran Idul Fitri itu terhibur sedikit oleh kesetiakawanan teman-teman dari majalah Tempo yang ditampilkan berupa kiriman "hadiah lebaran" untuk para penganggur yang korannya dibredel itu.


MASUK akal, rentetan peristiwa-peristiwa sepanjang lebih dari tiga dekade itu menghadirkan trauma yang mengundang reaksi keras menghadapi usaha menghidupkan kembali Departemen Penerangan. Tapi menurut saya tidaklah adil menuding hanya departemen yang mulanya bernama kementerian tersebut.

Dibentuknya Kementerian Penerangan ssebagai salah satu dari 12 kementerian pada 19 Agustus l945, menurut sejarahnya, adalah atas pertimbangan agar ada perangkat yang memperkenalkan dan menjelaskan tentang negara Republik Indonesia yang baru lahir beserta cita-cita nasional bangsa Indonesia kepada rakyat Indonesia sendiri dan bangsa-bangsa seluruh dunia. Di samping itu juga menjadi alat pemerintah untuk menanamkan rasa tanggungjawab dan patriotisme kepada rakyat dan untuk terus mengobarkan semangat perjuangan memertahankan negara.

Menteri Penerangan pertama Amir Syarifuddin, lalu Ali Sastroamidjojo, Mohammad Nasir. Pernah juga Sjafruddin Prawiranegara, Ferdinand Lumban Tobing, Sjamsuddin Sutan Makmur, Mohamad Yamin, Ruslan Abdulgani dan lain-lain. Mereka orang-orang politik dan tidak berada di lingkungan pemerintahan otoriter.

Usianya departemen penerangan genap 54 tahun ketika ditiadakan dari susunan kabinet Abdurrahman Wahid. Dari 54 tahun itu hanya sebagian saja yang dijalani di bawah sistem pemerintahan otoriter. Pemerintahan yang mempersenjatai diri dengan ketentuan yang mengharuskan pemilikan surat izin cetak (SIC), surat izin terbit (SIT) kemudian berubah menjadi surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) bagi yang akan menerbitkan media massa. Masa-masa itulah Departemen Penerangan jadi alat ampuh untuk membonsai kebebasan pers.

Guru besar Universitas Gadjah Mada Affan Gafar punya pendapat lain. "Saya berpendapat institusi itu sangat diperlukan dalam konteks negara yang mengalami persoalan ancaman disintegrasi, seperti Indonesia saat ini," katanya kepada Antara. Menurutnya, merupakan sesuatu yang sangat diperlukan sekarang ini adanya institusi yang mendisiminasi informasi, yang menyangkut nilai-nilai yang berhubungan dengan masalah persatuan dan kesatuan bangsa. Perlu ada kampanye besar-besaran mempertahankan negara kesatuan, sehingga Aceh, Irian Jaya tetap dalam pangkuan Republik Indonesia. Tapi institusi itu tidak boleh menjangkau wilayah yang berkaitan dengan hak individu, hak masyarakat atau hak publik, misalnya pengaturan masalah pers.

PEMERINTAHAN Abdurrahman Wahid melahirkan Badan Informasi dan Komunikasi Nasional (BIKN) melalui Keputusan Presiden nomor 153 tahun l999 sebagai langkah improvisasi akibat peniadaan Departemen Penerangan tanpa perencanaan dan persiapan. Belum sempat kepalanya ditetapkan, lembaganya diubah menjadi Lembaga Informasi Nasional (LIN) melalui. Fungsinya antara lain melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan di bidang informasi nasional, pengkajian dan pengembangan sistem informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelancaran arus informasi antar lembaga dalam penyelenggaraan pemerintahan.

LIN merupakan modal pokok bagi Kantor Menteri Negara Informasi dan Komunikasi. Saat ini LIN yang menguasai asset eks Departemen Penerangan. Langkah-langkah awal tugasnya baru mulai dilakukan di bawah kepala LIN Asep Saifudin. Di bekas gedung Departemen Penerangan itu Menteri Informasi dan Komunikasi berkantor.

Didasari pengamatan atas proses peralihan kekuasaan kepada duet Mega-Hamzah, saya berpendapat, langkah yang pernah dilakukan Departemen Penerangan terhadap media massa di masa pemerintahan Soeharto tidak bakal terulang. Pemerintah sekarang dipagari oleh berbagai peraturan perundangan, mulai dari UUD l945, Ketetapan MPR, Undang-undang Pers No. 40/l999, dan opini dunia. DPR tidak lagi memble seperti masa lalu. Maka, jika rambu-rambu itu diterjang, berarti melanggar sumpah jabatan dan menggagalkan sendiri program penegakan hukum kabinetnya. Pelanggaran tersebut jika terjadi masuk kategori "sungguh-sungguh melanggar UUD". Maka kembali Sidang Istimewa MPR terpaksa harus digelar, betapa mahalnya sekalipun.*

kembali keatas

by:M. Said Budairy