ANGIN kering bulan Juni berembus di Jalan Lengkong Kecil, Bandung. Percetakan PT Timbul yang menempati gedung bernomor 57, bangunan ekskolonial Belanda berlantai dua, terasa sunyi. Di lantai satu, ada sebuah kamar kerja berukuran empat kali tiga meter persegi. Perabotan-perabotan tua terlihat menyita ruangan. Seperti biasa, hanya ada dua orang di situ: Maman Sagith, manajer kantor, dan Ina Herlina, satu-satunya tenaga administrasi. Di mulut pintu, tampak mesin absen ketok (time recorder) produk 1970-an yang sudah tak lagi digunakan.

Betapa panas dan pengap di dalam. Dua kipas yang berfungsi membuang udara sudah lama pensiun. Sementara enam jendela kaca berderet di dinding atas, hanya dua yang berfungsi sebagai sirkulasi udara. Selebihnya, sekadar membantu penerangan siang hari.

Sekurang-kurangnya ada dua meja dan empat meja kecil di sana. Semuanya sudah penuh cacat oleh goresan-goresan benda tajam dan lelehan tinta yang membatu. Di atas meja, ada kertas-kertas tak beraturan, mulai kertas folio, afvaal, sampai doorslag berceceran di sana-sini.

Di tengah ruangan ada satu unit mesin cetak buatan Italia, Nebiolo Invicta 36. Tahun 1970-an, ketika dunia pers dijangkiti demam offset, impian besar para pengusaha percetakan dan penerbitan di negeri ini disandarkan padanya.

Di seberang Invicta, terdapat mesin potong Polar-Mohr Standar 90, sebuah mesin impian untuk zamannya. Tak jauh darinya, ada sebuah bangunan aneh, terpencil di pojok ruangan sebelah kiri. Isi bangunan yang mirip saung petani di sawah ini tak lain dari meja exposer uzur untuk mengerjakan plate. Di atas meja, tampak deretan lampu neon, yang bingkainya sudah dipenuhi kembang debu.

Pusat perhatian di ruangan ini ada di sayap kanan ruangan. Itulah dua letter press, mesin cetak yang masih menggunakan klise pelat timah. Original Heidelberg, demikian jati diri sang mesin, di hari tuanya, mesin ini masih sanggup mencetak sampul buku atau majalah sebanyak 1.500 lembar per jamnya.

Di depan mesin berusia lebih dari 60 tahun tersebut, Kuswari masih terlihat segar dengan uban putih yang tumbuh merata di kepalanya. Pria kelahiran 1939 ini tak menoleh ketika saya tegur. Pada teguran ketiga, baru dia menoleh dan tersenyum. Dia kembali pada pekerjaannya. Sesekali dia mengambil kuas dan mengkilik-kilik mesin. Kali lain dia memindahkan hasil cetak ke meja di sebelahnya.

Kuswari dan mesin itulah yang melahirkan jabang bayi sebuah majalah fenomenal pada 1970-an. Namanya: Aktuil.

PADA masa jayanya, ruang redaksi Aktuil menempati lantai dua percetakan PT Timbul. “Mari ke atas,” ajak saya kepada Maman Sagith, layaknya tuan rumah kepada tamu.

Saya menaiki tangga pendek. Ruangan redaksi benar-benar sudah berubah. Tak ada lagi meja tulis yang semrawut karena tumpukan kertas atau majalah-majalah luar negeri. Tak ada lagi Royal dan Remington, mesin tik berkelas pada 1970-an. Ruangan berlantai teraso kerang luks warna abu-abu coklat seluas 250 meter persegi yang semula tanpa sekat itu kini jadi bilik-bilik kecil. Ada empat bilik di sana: ruang tamu, kamar tidur, studio, dan kantor studio. Di studio, terdapat peralatan band keluaran 1980-an buat latihan.

Pandangan saya lantas tertuju pada sebuah pojok, tak jauh dari tempat bertenggernya pendingin ruangan New Rotary keluaran 1974, yang sudah belasan tahun menganggur. Di pojok sayap kanan saya membayangkan seorang pria gondrong, berkaos oblong, dan bercelana jins sedang mengetik dengan cepat, karena harus mengurusi hal-hal lain yang menunggu sentuhannya dari koordinasi reportase, menyunting naskah para kontributor, membayar honor tulisan, mengecek mesin cetak, distribusi majalah, sampai memegang kunci kantor.

Pria yang saya bayangkan tak lain dari Maman Sagith, yang kini berdiri di samping saya. Penampilan eksmanajer Dara Puspita, sebuah kelompok musik asal Surabaya yang sangat terkenal pada 1970-an ini, benar-benar seperti pria kebanyakan yang sedang menghadapi senja, dengan sejumput kenangan masa jaya yang tak jelas lagi buat apa.

Seperti juga Kuswari, Sagith adalah awak Aktuil yang masih bertahan di sana. Sagith bekerja sejak 1967, tahun pertama Aktuil dihadirkan ke hadapan publik. “Tapi saya tidak termasuk pendiri Aktuil. Yang mendirikan Mas Toto,” katanya. Mas Toto adalah Toto Rahardjo, sepupunya dari garis ibu, anak Suprapto, pemilik pertama PT Timbul.

Aktuil memang lahir dari sebuah kesepakatan. Prakarsa bermula datang dari Denny Sabri Gandanegara, kontributor majalah Discorina, Yogya. Putra pertama Sabri Gandanegara, wakil gubernur Jawa Barat untuk dua periode sepanjang 1966 – 1974 ini tidak puas dengan majalah tempatnya berkarya yang hanya menyajikan profil pemusik dan chord lagu. Ia lalu bertemu Bob Avianto, seorang penulis lepas masalah-masalah perfilman. Dari obrolan ringan, mereka sampai pada perbincangan intens dan serius untuk membuat majalah hiburan.

Avianto menemui Rahardjo, pemimpin kelompok musik dan tari Viatikara. Gayung bersambut. Rahardjo rupanya sudah lama mengidamkan sebuah media yang dapat memberikan panduan informasi, selain untuk mempublikasikan kegiatan-kegiatan seninya.

Di rumah Syamsudin—publik musik mengenalnya pemusik Sam Bimbo—mereka mencapai kata sepakat dan mengusulkan Aktuil sebagai nama majalah. “Ini bahasa Indonesia yang salah memang. Tapi, saat itu kami sedang gandrung-gandrungnya majalah Actueel,” kata Denny Sabri Gandanegara. Actueel adalah majalah musik terbitan Belanda, yang masuk ke kota Bandung melalui jalur bursa media Cikapundung. “Nama Aktuil diusulkan untuk pertama kalinya oleh Avianto, sedang logonya dibuatkan Dedi Suardi,” tambah Rahardjo.

Timbul persoalan bagaimana mereka mendapat tambahan biaya investasi, yang setelah dihitung ternyata memerlukan dana sekitar Rp 10 juta (kurs rupiah atas dolar AS saat itu Rp 900 untuk US$1). Mereka kemudian mengajak Roy Sukanto dan Bernard Jujanto, keduanya anggota Viatikara.

Ramai-ramai menunjuk Toto Rahardjo sebagai pemimpin umum-cum-pemimpin redaksi, mereka berencana meluncurkan edisi perdana pada Mei 1967. Namun, karena satu dan lain hal, terutama karena hampir sebagian besar dari mereka tidak memiliki latar jurnalistik, peluncuran nomor perdana molor. Ketika urusan redaksional teratasi, kerumitan lainnya muncul: mereka tak tahu tempat mendapatkan kertas. Selebihnya, percetakan milik keluarga Rahardjo ternyata memerlukan tambahan listrik. Puncak kesulitan, tak ada seorang pun di antara mereka yang tahu persis bagaimana mengerjakan separasi dan opmaak.

Toh, akhirnya, satu per satu kesulitan mereka singkirkan. Berbekal izin Penguasa Perang Daerah Jawa Barat, organisasi militer yang sangat berkuasa, nomor perdana Aktuil diterbitkan pada 8 Juni 1967.

Awak Aktuil yang hampir seluruhnya berasal dari keluarga kelas menengah kota. Tak urung mereka merasakan suka-duka mengecerkan majalah. Para pengecer dadakan ini berkeliling kota bersepeda motor. Sebagian bahkan melarikan majalah ke luar kota Bandung, seperti Sumedang, Garut, dan Cianjur.

Oplah 5,000 eksemplar ludes dalam waktu kurang seminggu. “Siga kacang goreng kasar na mah (seperti kacang goreng kasarnya),” kenang Gandanegara.

Pada nomor kedua, mereka tak mau diganggu lagi problem keredaksian. Karenanya, Maman Sagith, eksawak Harian Banteng, mereka comot. Pada nomor ini mereka baru berani menetapkan kebijakan periodisasi terbit: dwimingguan.

DENNY Sabri Gandanegara, kelahiran Garut tahun 1948, tidak perlu rumah sakit jiwa untuk mengobati kegilaannya pada Deep Purple, sebuah kelompok musik rock asal Inggris yang sedang merajai ingar-bingar blantika musik cadas. Maka, selepas edisi nomor tiga, dia siap-siap menuju Eropa. Kepada ayahnya, dia bilang ingin kuliah di sana. Kepada kawan-kawannya di redaksi Aktuil, dia janji akan mengirimkan laporan pandangan mata aksi-aksi pentas para pemusik rock, terutama Deep Purple.

Ternyata, Gandanegara malah makin tenggelam ke dasar kegilaannya hingga uang di koceknya untuk hidup dua tahun terancam habis hanya dalam beberapa bulan. Tangannya pun enggan menyentuh mesin tik. Alhasil, laporan pandangan mata yang dijanjikan hendak dikirimkan segera sesampai di Eropa, hanya menjadi dedak di dalam benak.

Di Bandung, pekerjaan redaksi praktis hanya dikerjakan oleh dua orang: Maman Sagith dan Sonny Suriaatmadja, seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung. Kurangnya personel membuat kerja mereka benar-benar spartan. Apa saja mereka garap. Dari pengumpulan sampai pengolahan informasi, dari pekerjaan layout sampai mengocek tinta cetak, dari menjilid sampai mengepak, juga mengedarkan majalah. “Wartawan sekarang sungguh beruntung. Semua serba otomatis. Ada tape recorder, ada komputer. Dulu, kalau tangan belum belepotan, belum bisa disebut wartawan,” ujar Sagith, tersenyum.

Pada 1968, kantor redaksi Aktuil di 2000 Hamburg 52, Wichman Sto. 42/B Grahn, Jerman Barat, mulai mengirimkan hasil reportasenya. Namun, sambutan publik masih biasa-biasa saja. Tampaknya, reportase tersebut kurang menggigit karena sebagian besar isinya menyadur majalah asing.

Di Bandung, sejak awal rezim Orde Baru naik ke altar kekuasaan, majalah-majalah asing, baru atau bekas pakai, boleh dibilang menyerbu deras bursa media Cikapundung. Tak terkecuali Muziek Express, terbitan Belanda, yang acap dijadikan rujukan Gandanegara.

Sonny Suriaatmadja tidak kehabisan akal. Ia menerjemahkan artikel dari majalah-majalah tersebut untuk tulisan-tulisannya, sekadar usaha untuk menanamkan kebiasaan membaca Aktuil. Paling tidak, berusaha bertahan hidup dari kurangnya artikel-artikel yang masuk.

Usaha Suriaatmadja tidak sia-sia. Aktuil terus bertahan sampai akhirnya Suriaatmadja punya ide menurunkan tulisan bertema perubahan gaya hidup di Barat nun jauh di seberang benua. Dikemas dalam artikel serial sepanjang tahun 1969, Suriaatmadja antara lain memotret abc kehidupan hippies: mulai sistem sosial yang mereka bangun, landasan ideologis, cara mereka berbusana, seks dan orgi, sampai bagaimana mereka bergaul dengan mariyuana.

Artikel serial tersebut mendapat sambutan luar biasa. Surat-surat dari pembaca terus mengalir ke meja redaksi untuk memberi komentar atau sekadar bertanya. Oplah Aktuil pun bergerak naik hingga tiga kali lipat dibanding terbit pertama kali. Percetakan PT Timbul gelagapan. Ledakan oplah tiba-tiba, karena banyaknya pesanan, memaksa PT Aktuil—payung penerbitan majalah Aktuil yang dibangun setelah dua tahun terbit—melarikan sebagian order cetak ke PT Ekonomi, di Jalan Oto Iskandar Dinata, di Bandung juga.

Oplah terus mengalami perkembangan signifikan. Lebih-lebih setelah seniman Remy Sylado menyuntikkan eksperimen sastra mbeling dalam bentuk cerita bersambung Orexas. Cerita ini sekaligus menegaskan Aktuil sebagai majalah anak muda. Orexas sendiri bukanlah dewa atau ksatria dari mitos Yunani, melainkan kependekan dari “organisasi sex bebas.”

Di negeri asalnya, baik di daratan Eropa maupun Amerika Serikat, pemberontakan anak muda dimulai setidak-tidaknya sejak 1950-an dalam bentuk tumbuhnya subkultur rock “n roll, dengan embrio munculnya generasi cross boy. Film-film Hollywood yang dibintangi James Dean macam East of Eden atau Rebel without Cost, memberi siluet bagaimana pemberontakan itu dilakukan, bagaimana kebebasan berekspresi menentukan nasibnya sendiri.

Di Indonesia, pemberontakan anak muda, secara eklektis disalurkan melalui bahasa nonverbal dalam bentuk peniruan tingkah laku dan gaya. “Di sana,” kata Remy, ”perlawanan berlangsung sangat verbal, dinyatakan dengan kata-kata. Di sini, orang tidak terlatih berkalimat.”

Ironisme mengalir lancar.

Sejumlah kaum muda Jakarta, misalnya, mengapresiasi tokoh Shane dalam film Shane yang dibintangi Alan Ladd, melulu sebagai tukang gebuk, jagoan tak kenal kompromi. Walhasil, Shane—yang dikagumi cendekiawan muda Arief Budiman karena moralitas ceritanya yang antikekacauan sosial—tak lebih dari simbol kebengalan. Shane, tokoh protagonis yang biasa melilitkan selendang kuning, pada akhirnya melahirkan kelompok antagonis bagi masyarakat dalam wujud geng Selendang Kuning Boy, yang pada 1970-an bikin pening aparat karena peperangan bengisnya melawan geng Marabunta Boy.

Remy mencoba meluruskan persoalan dengan caranya sendiri. Kemampuannya berbahasa dalam sejumlah bahasa dunia dan kemauannya untuk mencoba berpikir lintas bangsa, memungkinkan dirinya dapat memindahkan teks yang bersembunyi di balik fenomena pertempuran budaya tua-muda itu ke dalam sastra eksperimental yang ditekuninya.

SEGERA setelah perubahan surat perizinan, dari izin Penguasa Perang Daerah Jawa Barat ke Izin Menteri Penerangan melalui surat keputusan nomor 0929/SK/Dir/SIT/1970, Denny Sabri Gandanegara dari Jerman Barat mengontak markas pusat dan menyarankan agar Remy direkrut jadi redaktur, “Dia seniman hebat.”

Menjelang 1970 berakhir, oplah Aktuil mencapai 30 ribu eksemplar. Percetakan PT Ekonomi yang mulai kepayahan, mengharuskan PT Timbul menambah kapasitas cetaknya, dengan mendatangkan mesin baru Gordon.

Untuk menampung karya-karya yang terus mengalir ke dapur redaksi, ukuran majalah yang semula 16 x 21 centimeter diubah menjadi 21 x 29,7 centimeter. Tiba-tiba saja, Aktuil merasakan betapa berat kerja mereka. Karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk merekrut tenaga-tenaga pracetak, yang selama ini dikerjakan Dedi Suardi.

Maman Husen Somantri, seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung, yang dianggap menguasai seluk-beluk pekerjaan desain, direkrut Aktuil. Untuk pertama kalinya, Somantri menelurkan gagasan pemberian bonus stiker, poster, dan gambar setrikaan. Dalam tempo cepat, atribut Aktuil menyebar ke pelosok kota; dan Aktuil tak urung jadi simbol sosial anak muda kota Bandung.

“Rasanya belum menjadi anak muda kota kalau tidak menenteng Aktuil,” kata Yusran Pare, penanggung jawab harian Metro Bandung, yang pada 1980-an menjadi penjaga gawang rubrik kebudayaan di Bandung Pos. Dia sendiri, di awal 1970, sudah biasa merengek pada ayahnya untuk dibelikan Aktuil.

Tiras Aktuil menembus angka 126 ribu eksemplar. Sagith memperkirakan oplah sebesar itu dicapai dalam kurun 1973-1974, atau setelah Aktuil Fans Club, komunitas kaum muda pembaca Aktuil, terbentuk di berbagai daerah. Asal tahu saja, di Jakarta, Aktuil Fans Club diurus kelompok musik Panbers. Sedangkan di Bandung, ditangani antara lain oleh A.M. Ruslan, kini penanggung jawab redaksi Pikiran Rakyat.

Gara-gara tiras yang tiba-tiba melompat ke angka fantastis, PT Aktuil tidak bisa lagi hanya mengandalkan dua percetakan. Sebagian order cetak akhirnya dilarikan ke PT Masa Baru yang berlokasi di kawasan Viaduct, Braga, Bandung; tempat berdirinya Bank Republik Indonesia Tower sekarang. Belakangan, dari keuntungan yang diperoleh, PT Timbul menambah lagi mesin cetaknya: Invicta 36.

Habis masalah percetakan, terbit problem pemasaran. Kian Thiong, manajer pemasaran, keteteran. PT Aktuil kemudian memanggil Billy Silabumi, koordinator wartawan Aktuil di Jakarta, untuk turut menangani sirkulasi dan distribusi, terutama untuk kawasan Jakarta dan luar Bandung lainnya.

Adakah korelasi antara peningkatan oplah dengan keterlibatan Remy Sylado? Saya tak tahu. Di Bandung hampir tidak ada dokumen pendukung. Jangankan dokumen, kumpulan majalah dari setiap edisi, yang dulu dibendel dengan rapi dan memenuhi kamar kerja Toto Rahardjo, sudah tidak ada (saya mendapat koleksi Aktuil di perpustakaan pribadi Sylado).

Dari sejumlah narasumber yang saya hubungi, hampir semuanya merujuk pada nama Remy sebagai pemberi sapuan besar pada lelakuing urip media itu. Arief Gustaman, redaktur budaya Metro Bandung, mengatakan, “Remy Sylado sedang gila-gilanya.” Remy membangun komunitas sastrawan Bandung, terutama dari lapisan kaum muda. Gedung Kesenian di Jalan Naripan, Bandung, boleh dibilang tak pernah sepi pertunjukkan.

REMY Sylado adalah nama baptis Jubal Anak Perang Iman Tambajong, atau ia biasa menyingkatnya Japi Tambajong. Nama Remy Sylado, sesekali cukup ditulis 23761, diambilnya dari chord pertama lirik lagu All My Loving milik The Beatles. “Nama saya diinterpretasikan macam-macam. Padahal saya bikin asal-asalan,” ujarnya terkekeh.

Remy lahir di Makassar pada 1945. Sebelum menjadi redaktur Harian Tempo, Semarang (1965) dan redaktur Aktuil, dia belajar bahasa Arab, Ibrani, Mandarin, dan Yunani di Seminari Theologia Baptis, Semarang; belajar seni rupa di Akademi Kesenian Surakarta; serta teater di Akademi Teater Nasional Surakarta. Hampir berbarengan dengan keterlibatannya secara formal dengan pekerjaan redaksional di Aktuil, Remy menjadi dosen di Akademi Sinematografi Bandung untuk matakuliah estetika, make-up, dan dramaturgi.

Di Aktuil, Remy tidak hanya membuat cerita bersambung Orexas, ia juga jadi guru para awak redaksi dan kontributor Aktuil. “Remy itu guru saya. Saya masuk ke Aktuil karena banyak baca artikel dia. Saya termotivasi,” ungkap Bens Leo, wartawan Aktuil di Jakarta sejak 1975.

Pernyataan seirama terlontar dari Yudhistira Ardi Noegraha Massardi, seorang penggiat seni 1970-an yang sering menulis buat Aktuil. “Guru saya satu-satunya cuma dia. Remy yang mengajarkan saya menulis sajak sesuka-sukanya.” Massardi kini menjabat pemimpin umum majalah Gatra, Jakarta.

kolom-kolom Remy, yang hadir di setiap edisi sejak bergabung secara resmi pada 1973 punya daya magnetis. “Ada saja komentar orang yang dikirimkan ke redaksi,” begitu Maman Sagith.

Remy, di mata Sagith, berhasil memberikan cetak biru Aktuil untuk tidak sebagai majalah hiburan belaka, tetapi juga tempat digodoknya gagasan-gagasan baru dan orisinal. Artikel musik di tangannya adalah catatan tentang kebudayaan dan peradaban. Dari titik pandangnya, sastra dan musik bisa juga jadi sebuah pertautan yang utuh, koheren, seperti terekam dalam tulisan-tulisannya mengenai Marc Bolan atau H. G. Wells, tokoh-tokoh penting 1970-an yang mengawinkan puisi dan musik. “Saya mencoba mencari alternatif, di luar musik pop yang menjadi musik niaga,” Remy menerangkan.

Remy menilai, pop sudah sedemikian merasuki sendi-sendi kehidupan kaum muda, sehingga mereka tenggelam ke dalam massifikasi produk pop. Sialnya, musik pop yang digaulinya tak lebih dari musik yang menurut Remy “cengeng.” Ia hendak menawarkan pilihan lain. Ia tahu, musik alternatif versinya, baik yang ditampilkan melalui pentas maupun lewat tulisan-tulisannya di Aktuil, berpotensi untuk tidak laku. “Tapi, saya tidak mau tenggelam dalam model yang lain,” tandasnya.

Tulisan-tulisan Remy di Aktuil menginspirasi sejumlah musikus untuk melakukan perlawanan terhadap selera pasar. Yan Hartlan dan kawan-kawannya sesama musisi Bandung mempopulerkan irama country di Bandung. Syairnya tidak melulu cinta dan patah hati, tapi juga tafsir hidup lain yang lebih luas.

TIDAK ada batasan usia, status sosial, dan “derajat” kepenyairan untuk menulis puisi mbeling di Aktuil. Dalam beberapa kesempatan, Remy Sylado bahkan sengaja menampilkan puisi-puisi yang disebutnya jelek. Tak usah heran kalau gerakan mbeling berhasil mencetak ribuan puisi dan karya sastra lainnya, selain menelurkan ratusan nama dari dalam dan luar negeri.

Kebanyakan penyair mbeling memang suka berkelakar. Lihat misalnya, bagaimana Nhur Effendhi Ardhianto memberi makna pada puisinya, “Penyakit Turunan” (1974):

habis makan

kenyang.

Atau Remy dengan puisinya, “Waktu Doa Ulangtahun Frya Immambonjol” (1974):

terima kasih tuhan atas hidangan ini

berhubung botty tiba-tiba kentut

terpaksa

amin kami ganti dengan

jancuk

Dasar ideologis puisi-puisi mbeling tentu saja bukan dimaksudkan semata untuk lelucon. Lebih dari itu, para penyair mbeling—yang dirumuskan redaksi Aktuil sebagai “sikap nakal yang tahu aturan”— pada mulanya bermaksud memberi tandingan pada puisi-puisi establishment yang mendewakan bobot dan pesan.

Sebagai sebuah gerakan sastra, ungkap Massardi, mbeling boleh dibilang kredo sastrawan muda 1970-an, yang secara tegas ingin mendobrak kebekuan, sekaligus menggugat dominasi Jakarta yang berpusat pada penyair macam Sapardi Djoko Damono atau Goenawan Mohamad. “Saya gembira saya ambil bagian di dalamnya,” kata Massardi.

Di kesempatan lain, Remy menegaskan, “Manusia lahir bukan untuk jadi seniman. Manusia lahir untuk menjadi manusia. Hidup berada di atas junjungan kepalanya. Bukan seni yang harus dijunjungnya. Seni harus diletakkan di telapak kaki .… Yang merasa bangga jadi penyair mudah-mudahan hanya mereka yang mimpi di langit dalam tidurnya di atas tikar yang penuh kepindingnya.”

Disemangati atau tidak oleh pernyataan-pernyataan seperti itu, muncul kemudian gejala umum, para penyair mbeling secara akrobatis ramai-ramai melemparkan sindiran, ejekan, pun caci-maki kepada para penyair yang sibuk dengan suku kata, bunyi, tekanan, aspek ortografis, visual, gaya, bentuk, imajinasi. Melalui “Buat Penyair Tua” (1973), Remy memukul gong peresmian proyek sastra untuk mengejek:

Selamat istirahat

Buat kau, ini kain kafan

Semoga cepet dirundung frustasi.

Hari-hari selanjutnya, puisi-puisi ejekan jadi mode. Penyair garang sekelas W.S. Rendra sekalipun, kena sentil. Pada edisi nomor 136 tahun 1974, Aktuil memberi kesempatan Estam Supardi untuk mengolok-olok Rendra:

selamat malam tuan rendra

oh, tuan laki-laki bukan?

burung

tuan

kondor, kedodor.

Walau terkesan asal jadi, puisi mbeling tak dapat dibendung kehadirannya di forum-forum pembicaraan sastra. Hasil penelitian Soedjarwo, Th. Sri Rahayu Prihatmi, dan Yudiono K.S., para dosen fakultas sastra dan budaya Universitas Diponegoro, Semarang, yang belakangan dibukukan menjadi: Puisi Mbeling: Kitsch dan Sastra Sepintas, terungkap bahwa pada pemilihan buku kumpulan puisi terbaik, buku Sajak Sikat Gigi karya Yudhistira Ardi Noegraha Massardi diputuskan Dewan Kesenian Jakarta sebagai salah satu pemenangnya, bersama Peta Perjalanan (Sitor Situmorang), Meditasi (Abdul Hadi W.M.), dan Amuk (Sutardji Calzoum Bachri). Tiga nama yang disebut terakhir keberatan disandingkan dengan Massardi.

Di mata Sutardji Calzoum Bachri, Yudhistira Massardi adalah penyair yang lugu.

Syairnya?

Kitsch,” kata Abdul Hadi W.M.

“Parodi yang gagal dari sajak,” ujar Sitor Situmorang.

“Mereka sangat tersinggung karya saya disejajarkan dengan mereka. Mereka ini teman-teman saya juga, sama-sama pernah menyuarakan mbeling. Justru Goenawan Mohamad yang memberikan respon. Padahal dia yang selama ini digugat,” tutur Massardi. Goenawan Mohamad, dalam pemilihan tersebut, bertindak sebagai salah seorang juri.

Sejumlah media ramai memberitakan. Dewan juri menarik keputusannya. Padahal, kisah persisnya tidak seperti itu. “Mereka mengambil hadiahnya. Saya nggak. Kurang ajar. Ha ha ha ha,” Massardi ngakak, menceritakan ulah teman-temannya itu.

TAHUN 1975, bekerja sama dengan Peter Basuki dari Buena Ventura, Denny Sabri Gandanegara dari Aktuil mengundang Deep Purple ke Indonesia. Selama dua hari, 5-6 Desember 1975, Jakarta berguncang. Kaum muda, dari berbagai penjuru tanah air, datang ke Jakarta memastikan bahwa mereka sedang tidak bermimpi. Sekurang-kurangnya 150 ribu orang tersedot pertunjukan itu.

“Mulanya mereka tidak mau datang ke Indonesia. Tapi saya meyakinkannya. Saya berbicara dengan (Richie) Blackmore, lalu saya bujuk Ian Gillian,” Gandanegara mengenang. Blackmore adalah pemetik gitar Deep Purple, dan sering tampil menjadi juru bicara grup ketika mereka sedang beraksi di panggung. Sedangkan Gillian adalah penyanyi, dengan lengkingan vokal yang khas.

Kehadiran mereka di Jakarta memang lebih didasarkan hubungan Gandanegara dengan anggota kelompok musik tersebut sejak paruh 1960-an. Pada 1970, Deep Purple bahkan memasukkan Gandanegara sebagai salah satu kru mereka ketika tur di delapan kota Jerman: mulai Hamburg, Hannover, Berlin, Kóln, Frankfurt, Munchen, Leverskusen, sampai Wina, juga Paris.

Ketika Deep Purple jalan ke Amerika Serikat pada 1971, Gandanegara ikut pindah. Sampai di Amerika, Gandanegara melihat wajah Paman Sam yang sesungguhnya, yang selama ini bersembunyi di balik kekagumannya pada Eropa. Amerika, pikirnya, cepat atau lambat akan menjadi pusat kekuatan musik dunia. Dengan mata dan kepalanya sendiri, Gandanegara melihat indikator-indikatornya dalam bentuk megahnya panggung-panggung pertunjukan, aliran dana yang terkesan tanpa batas, atau para manajer profesional yang bekerja penuh disiplin.

Interelasi dari semua itu, musik berkembang secara akseleratif di sana. Inggris boleh melahirkan para rocker, namun Amerika memberinya uang, popularitas, dan harga diri. Inggris boleh melahirkan tradisi musik rock, tapi Amerika berhasil melakukan degresi dan inovasi atas rock: hard rock, pop rock, art rock, atau glam rock.

Gandanegara segera mengontak redaksi di Bandung untuk membuat jaringan koresponden di sana. Mendapat sambutan, Gandanegara kemudian merangkul Yan Mufni, seorang mahasiswa asal Bandung. Gandanegara juga mengajak Chondone, seorang pria campuran Amerika-Subang untuk memotret. Adang R Sanusi yang sudah lebih dulu mewakili Aktuil di Amerika, dikukuhkan sebagai kepala perwakilan. Untuk melapis Amerika, Aktuil menunjuk Paul Subekti sebagai koresponden Kanada.

Tahun 1972, Gandanegara kembali ke Jerman Barat. Kantor redaksi luar negeri yang selama ini terbengkalai, ditata ulang. Beberapa kawannya dari Werkskunstschule, Universitas Hamburg –tempat Gandanegara menimba ilmu desain grafis selepas pra-universitas di Studium College, Universitas Aachen—direkrutnya jadi koresponden. Mereka adalah Rudy Tjio, Harry T, serta Robert Yo. Reportase mereka, ditambah koresponden lain di berbagai negara, yang makin marak, menambah gengsi Aktuil.

Kehadirannya di Indonesia bersama Deep Purple sekaligus mengakhiri karier kewartawanan Gandanegara sebagai redaktur luar negeri Aktuil. Ia mulai mempraktikan jurus-jurus talent scouting yang dipelajarinya dari Andy Cavalier, ketika tinggal di Amerika. Cavalier adalah manajer yang mengorbitkan sejumlah musisi ke blantika musik dunia, seperti Grand Funk Railroad, Hellen Ready, dan Isis.

Gandanegara mendirikan perusahaan manajemen artis: Denis International Inc. “Saya mulai dengan Superkid,” kata Gandanegara. Banyak artis yang lahir dari tangannya. Sebut saja Sylvia Sartje, Emma Ratnafuri, Nicky Astria, Nike Ardilla, Poppy Mercury, Farid Hardja, dan Deddy Stanzah. Gandanegara juga mengorbitkan Priyo Sigit, Dennys Rouses, atau Richie Ricardo. “Kadang-kadang saya suka … apa ya … hampir seluruh penyanyi orbitan saya meninggal di puncak kariernya,” katanya perlahan.

SONNY Suriaatmadja, Denny Sabri Gandanegara, dan Remy Sylado adalah triumvirat pemikir Aktuil yang berhasil menaklukkan hati publik. “Peran mereka sangat besar, membawa Aktuil sebagai pelopor di berbagai hal. Dari sastra sampai musik, dari film sampai pergaulan sosial,” ujar Maman Sagith.

Sagith mungkin benar. Tapi juga, tumbuh dan besarnya Aktuil boleh jadi lantaran ia melenggang hampir tanpa saingan berarti. Khusus di kota Bandung, Aktuil bahkan hadir sebagai satu-satunya majalah hiburan.

Itu hitung-hitungan bisnisnya. Dari sisi politis, Aktuil pun sebenarnya diuntungkan sejarah. Ia mendapat “subsidi politik” rezim Orde Baru. A. Tjahjo Sasongko dan Nug Katjasungkawa dalam esai “Pasang Surut Musik Rock di Indonesia” yang dimuat majalah Prisma, Oktober 1991, memaparkan bagaimana Orde Baru melakukan counter budaya terhadap sisa-sisa pengaruh rezim Presiden Soekarno, seraya menanamkan keyakinan kepada rakyat bahwa mereka tidak anti-Barat.

Berbeda dengan Soekarno yang sejak 1964 melakukan pembabatan musik Barat —Soekarno menyebutnya musik “ngak-ngik-ngok”— Orde Baru dukungan militer ini justru menyokong pertunjukan-pertunjukan yang digelar anak muda. Malahan Angkatan Darat turun tangan untuk tujuan itu dengan membentuk orkes Badan Koordinasi Seni Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (BKS-Kostrad). Orkes ini dikelilingkan ke sejumlah kota besar di Indonesia, dengan artis pendukung Onny Suryono, Lilis Suryani, dan lainnya.

Badan itu pun pada akhir 1966 sengaja mendatangkan The Blue Diamond, kelompok musik terkenal dari Belanda, untuk tur bersama. Penyanyi Titiek Puspa, Bob Tutupoly, dan Ernie Djohan ikut menyemarakkan tur ini. Di hampir semua tur, BKS-Kostrad sudah lazim mempertunjukkan musik, penyanyi, atau kelompok musik, yang di masa rezim Soekarno jadi sasaran intel bahkan dilarang main.

Tidak hanya panggung pertunjukan. Rezim Orde Baru pun mendukung produksi rekaman lagu. Stasiun-stasiun radio yang menyiarkan lagu-lagu barat tak diganggu kemunculannya.

William H. Frederick dalam tulisan “Rhoma Irama and the Dangdut Style” dalam jurnal Indonesia, mengemukakan, “Sebelum Orde Baru terbuka pada aktivitas ekonomi barat, mereka terbuka pada musik rock Inggris dan Amerika.”

Rezeki boom minyak tahun 1970-an mendukung proyek menarik hati rakyat yang digalang Orde Baru ini. Di berbagai kota, bermunculan sarana-sarana hiburan untuk berbagai kelas. Pertunjukan musik tiba-tiba bergetar di banyak kota. Perusahaan-perusahaan rokok galibnya berada di balik semua panggung pertunjukan.

Kelompok-kelompok musik tumbuh subur. Calon artis bejibun antre kesempatan. Triumvirat Aktuil memanfaatkan momentum ini untuk bahan-bahan tulisannya. Aktuil memperkenalkan artis-artis luar, mulai profil sampai pada kebiasaannya manggung. “Saya yang memperkenalkan Bob Dylan,” ujar Remy Sylado, mengacu pada penyanyi balada asal Amerika Serikat yang kehadirannya di sana identik dengan gerakan anti Perang Vietnam 1960-an dan 1970-an.

Tiadanya televisi komersial dan klip video, memacu pertumbuhan bisnis Aktuil sebagai sarana promosi kaset, artis debutan baru, dan aktivitas para promotor showbiz. Bisa dipahami kalau Aktuil kemudian jadi bacaan wajib buat kalangan pecinta musik.

“Ketika rock sedang booming di seluruh Indonesia, Aktuil menyatukan semua ini. Ia menjadi outlet dari seluruh daerah musik,” kata Massardi.

KEPELOPORAN sekaligus keberhasilan Aktuil menggugah orang lain untuk melakukan investasi pada media yang menekuni musik, film dan … sastra mbeling. Di Jakarta, misalnya, penerbitan pers Tiara Klik berdiri. Dari kelompok ini lahir sejumlah penerbitan yang jadi pesaing Aktuil seperti Ultra dan Top.

Sejak 1974, Remy Sylado sering diminta menulis di Top. Pada 1975, Remy mengundurkan diri dari Aktuil dan masuk Top. “Memang faktor ekonomis masuk dalam pertimbangan, tapi saya pindah lebih disebabkan oleh persahabatan,“ tutur Remy. Lagi pula, aktivitas seni dan kegiatan mengajarnya di Jakarta makin meminta perhatian lebih.

Hanya itu? Kalau daftar alasan kepindahan Remy hendak diperpanjang, maka suasana kerja di Aktuil sepanjang tahun 1974 mungkin benar jadi pemicunya. Sejak dia membantu Top, Remy merasakan suasana kerja yang gerah. “Membantu Top,” ujarnya, “buat orang Aktuil saya itu dianggap musuh dalam selimut.”

Kepergian Remy yang disusul Denny Sabri Gandanegara, karena makin jarang masuk kantor demi kesibukannya mencari artis-artis berbakat, tampaknya merupakan pukulan telak buat Aktuil. Bukan saja Aktuil kehilangan daya sastranya, reportase luar negeri yang tadinya terkoordinasi rapi, pun tak lagi menghadirkan greget.

Triumvirat Aktuil habis. Di dalam kantor, tinggal Sonny Suriaatmadja sendirian. Tahun 1976, tiras Aktuil mengalami saturasi: melorot dan terus melorot.

“Saya kira,” ungkap Remy, “redaksi Aktuil sudah mulai menua. Kalau redaksi menua dan tulisan-tulisannya adalah pelimpahan ketuaannya, itu sudah tidak cocok lagi dengan segmen pembacanya.”

Sejak awal, Remy dan sejawatnya tahu persis mereka harus membuat bacaan untuk kisaran umur 16-18 tahun. “Sudah saya katakan pagi-pagi betul, potensi Aktuil itu remaja,” tandas Remy ketika saya temui di rumahnya baru-baru ini.

Lonceng kematian mulai berdentang di tahun 1977, ketika oplah Aktuil yang sebelumnya sudah menembus angka 100 ribu eksemplar lebih, tinggal sekitar 30 ribu eksemplar.

Toto Rahardjo mulai mondar-mandir di dalam kantor dan menyuruh anak buahnya, Billy Silabumi, untuk mengecek permohonan paten merk Aktuil ke Departemen Kehakiman. Paten dianggap penting sebagai usaha mempertahankan diri dari jarahan orang.

Akhir 1978, oplah Aktuil secara dramatis meluncur tajam. Tinggal 3.000 atau 4.000 eksemplar.

Sondang Pariaman Napitupulu, ekspentolan organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia dan mantan wartawan beberapa majalah, rupanya mencium ancaman kehancuran Aktuil. Napitupulu hilir-mudik Jakarta-Bandung mengutarakan niatnya “membeli” Aktuil. Rahardjo tak punya kekuatan untuk menolaknya.

Pada 1979 Aktuil pun mulai diterbitkan dari Jakarta. Toto tetap pemimpin umum tapi jabatan pemimpin redaksi dialihkan ke Napitupulu. Musik dan sastra mbeling tidak lagi dijadikan generator pendongkrak oplah. Di tangan Sondang Pariaman Napitupulu, Aktuil disulap jadi majalah umum. Menurut Remy Sylado, majalah ini lebih tertarik pada politik dan “tetek.” Bens Leo menyebutnya “Aktuil Gaya Sondang.”

DARI Asbari Nurpatria Krisna saya memperoleh gambaran hidup Aktuil di perantauannya. Di Jakarta, Aktuil berkantor di kawasan Proyek Senen, Jakarta Pusat, dengan percetakan PT Karya Nusantra, yang berlokasi di Kemayoran.

Krisna adalah salah seorang editor Aktuil periode Jakarta. Dia kini tinggal di Belanda dan sejak 1986 bekerja buat radio Netherland. Sebagai wartawan, Krisna dapat disebut well dressed journalist, yang bukan hanya rapi berpakaian, tapi juga tertib dalam mengajukan pertanyaan. Sejarah mencatat, Krisna dan istrinya, Josephine Yuyu Mandagie —menikah 1972 dan dikarunia dua anak lelaki—adalah pasangan pertama yang memperoleh anugerah hadiah jurnalistik Adinegoro. Mandagie sampai kini masih menjadi koresponden Suara Pembaruan.

Krisna didatangi Sondang Napitupulu yang berniat meminta Krisna jadi redaktur pelaksana Aktuil. “Saya terima tawaran tanpa membicarakan gaji,” kata Krisna seraya mengungkapkan, “Saya menjaga gawang isi, karena Sondang mempercayakannya kepada saya, termasuk soal bahasa Indonesia dan penggunaan bahasa asing.”

Di tangan dwitunggal Napitupulu-Krisna, Aktuil yang sedang sakit kembali dapat merangkak. Untuk dapat berlari, Napitupulu mencoba membujuk Remy Sylado, yang sejak 1975 mengelola majalah Top. Remy menyatakan oke.

Aktuil sempat menembus tiras 25 ribu eksemplar, namun angka ini tidak bertahan lama. Penyebabnya? Berbeda dengan semasa di Bandung, Aktuil periode Jakarta hampir bisa dikatakan abai terhadap penggalian ide-ide baru, baik dalam musik maupun sastra.

Napitupulu bahkan terkesan hendak mengembalikan Aktuil ke semangat tahun 1950-an, ketika jagat media penuh dengan teriakan dan caci-maki. “Orang tidak suka lagi pada pers yang gegap-gempita. Muak orang baca media seperti itu,” komentar Remy.

Namun demikian, satu hal yang pantas dicatat, laporan investigasinya lebih maju ketimbang Bandung. Aktuil “Gaya Sondang” diwarnai oleh “jurnalisme bongkar kasus sampai ke akar-akarnya.”

“Sebagai wartawan,” ujar Krisna, “Sondang P.N. sangat baik dalam investigasi. Kerjanya seperti kuda, pantang menyerah, walaupun diancam akan dibunuh sekalipun.”

Tapi Napitupulu bukan superman, yang dengan sigap berani menantang maut. Dia tak jarang main lempar tanggung jawab. Krisna masih ingat, misalnya, kehadiran seorang perwira militer yang murka karena merasa dirugikan Aktuil. “Saya yang harus menghadapinya,” kata Krisna.

Peristiwa hampir senada juga dialami Remy Sylado ketika Aktuil digugat Soehoed Warnaen, wakil gubernur Jawa Barat. Warnaen merasa difitnah telah menyerobot sepetak tanah milik seorang pensiunan militer, di kawasan Jalan Setiabudhi, Bandung. “Tak ada satu pun wartawan Bandung berani muat. Saya memberitakannya sampai kasus ini disidangkan,” ujar Remy.

Di masa kepemimpinan Napitupulu, sudah jamak awak Aktuil dipanggil departemen penerangan untuk “dibina” berkaitan dengan tulisan dan foto yang dimuatnya, baik karena dianggap melanggar susila maupun mencemarkan nama baik.

Kebanggaan awak Aktuil terhadap Napitupulu rupanya tidak bertahan lama. Oplah merosot. Satu per satu, awak Aktuil meninggalkan Napitupulu. Krisna keluar pada 1981 karena merasa tidak cocok lagi. Pada tahun itu pula Napitupulu diturunkan dari kursi pimpinan oleh para anak buahnya.

ASBARI Nurpatria Krisna yang sedang memulai kehidupan baru, kembali ke bangku kuliah, ramai-ramai didatangi bekas anak buahnya. Dia diminta memimpin mereka. Krisna menyatakan siap jadi pemimpin redaksi, dengan sejumlah persyaratan bahwa selama setahun kepemimpinannya orang tidak boleh merecoki kebijakannya.

Dia ingin menaikan kembali Aktuil yang mulai terpuruk, seraya menata manajemen sumber daya manusia, yang dinilainya lemah. Krisna pun mencanangkan program pendidikan buat wartawannya. Namun, bekerja tertib ala Krisna rupanya tidak populer bagi mereka. Lebih-lebih setelah Krisna langak-longok ke sektor bisnisnya, yang dalam pandangan Krisna, mengesankan adanya ketidakberesan. Ia, misalnya, terheran-heran ketika muncul “Konsep Iklan 3-1” alias tiga iklan dibayar satu yang didesain Nuke Mayasaphira, manajer iklan.

Apa benar konsep seperti itu ada?

“Ada kali, ya?” kata Lies Hindriati, yang waktu lampau menjadi staf tata usaha Aktuil. Hindriati kini bekerja untuk PT Nindotama, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang periklanan outdoor, tempat Mayasaphira jadi direktur utamanya.

Toto Rahardjo, pemimpin umum Aktuil, membenarkan adanya konsep semacam tadi. “Waktu itu,” ungkapnya, “memang kita susah cari iklan.” Toh Rahardjo tak memungkiri kalau resep tersebut tak cukup manjur menyehatkan kembali Aktuil, yang mulai terseok-seok.

Konflik menggejala. Saling curiga merajalela. “Mereka tidak lagi satu misi. Tidak sekompak dulu. Waktu di Bandung, Aktuil kompak sekali. Kita malahan sering piknik beramai-ramai, termasuk ke Bali,” kata wartawan Aktuil Bens Leo.

Krisna patah arang. Dalam sebuah rapat lengkap, tepat setahun kepemimpinannya, Krisna berucap, “Kalau ingin kedudukan saya, ambillah, saat ini juga saya keluar.” Krisna meninggalkan rapat, dan sejak itu pula ia tidak pernah kembali ke kantor Aktuil.

Rahardjo, sekalipun masih menjabat pemimpin umum, tidak bisa berbuat banyak. Kekuasaannya hanya berdaulat di atas kertas. Secara de facto, kekuasaan Aktuil kini sepenuhnya di tangan Noor Slamet Asmaprawira, adik Harmoko, seorang tokoh Persatuan Wartawan Indonesia dan selama hampir 15 tahun jadi menteri penerangan rezim Soeharto.

Belum tuntas konflik ditangani, hantu masalah lain muncul: kelangkaan pasokan kertas. Asmaprawira yang kepemimpinannya semula tak mau direcoki, kini melunak dan minta bantuan Toto Rahardjo. Atas perintah Rahardjo, Maman Sagith mencoba menyurati Apandi, bendahara Serikat Penerbit Pers Jawa Barat, untuk meminta suplai kertas 10 ton per bulan agar Aktuil bisa meningkatkan tiras jadi 30 ribu eksemplar per terbit.

Yang disurati angkat tangan. Apandi merasa, Aktuil kini bukan lagi tanggung jawabnya. Alasannya, domisili Aktuil tidak lagi di Jawa Barat. Giliran Jakarta yang disurati. Juga tak berhasil. Jakarta melihat, dalam surat izin terbit, Aktuil dinyatakan diterbitkan di Bandung.

Lonceng kematian nyaring berdentang. Hanya sekitar tiga bulan setelah Krisna mundur, Aktuil masuk ke liang lahat sejarah.

Tahun 1986, Krisna terbang ke Belanda. Beberapa saat kemudian, surat izin usaha penerbitan pers Aktuil terbang ke sekelompok wartawan pecahan Tempo yang memulai majalah berita Editor. Majalah ini dimodali Bambang Rachmadi yang dikenal karena menjalankan waralaba restoran McDonald di Indonesia.

MATAHARI sudah beranjak dari titik kulminasinya. Empat karyawan percetakan PT Timbul yang berdinas hari itu, satu per satu meletakkan pekerjaannya; bersiap pulang.

“Saya biasa pulang pukul 14.30,” ujar Maman Sagith, seraya membereskan sejumlah dokumen Aktuil yang berserak di mejanya. Saya membantunya memasukkan ke map dan minta diri.

Di luar, tawuran sejumlah pelajar bermotor sudah mereda. “Dulu, tak pernah ada tawuran di jalan ini. Anak-anak muda memilih main band di sana,” Sagith menunjuk sebuah rumah di depan kantornya. Di situ New Rhapsodia, kelompok musik asal Bandung 1970-an, bermarkas.

Kantornya sendiri, di masa jaya-jayanya, jadi tempat persinggahan musisi, penyair, dan bintang film bila mereka melewati Bandung. Bahkan mereka sengaja datang mengunjungi Aktuil sekadar untuk berkenalan dan kongko-kongko. “Musisi atau penyanyi cita-citanya masuk Aktuil,” kata Bens Leo, wartawan Aktuil Jakarta, yang sempat dikirim ke Jepang untuk reportase.

Kini, gedung bernomor 57 itu hanya ditemani sepi segera setelah jarum jam menunjuk pukul 15.00. Tak ada lagi awak redaksi yang naik ke atas meja, membaca puisi. Tak ada lagi wartawan yang balapan membuat tulisan sekadar iseng. “Tak seorang pun orang Aktuil datang ke sini sejak Aktuil dibawa ke Jakarta,” ungkap Sagith.

Ia mendengar tidak sedikit awak redaksi Aktuil yang makmur seperti Maman Husen Somantri, yang mengepalai perwakilan Bank Indonesia, di London, Inggris atau Goenadi Harjanto yang menekuni bisnis lapangan golf serta real estate. Lalu, di mana triumvirat itu? Sagith menggelengkan kepala.

Remy Sylado-Denny Sabri Gandanegara-Sonny Suriaatmadja punya kesibukan sendiri-sendiri. Remy tinggal di Jakarta, di belakang penjara Cipinang, di rumah kayunya seukuran sekitar 100 meter persegi dengan benteng mirip kampung Galia dalam komik Asterix. Ia masih mengajar, melukis, menulis esai, puisi, drama, dan novel. Salah satu karyanya, Cau Bau Kan, belakangan difilmkan dengan bintang Lola Amaria.

Gandanegara masih suka keluyuran dan hidup berpindah-pindah. Rumahnya di Jalan Lodaya, Bandung, tempat dulu para artis, promotor showbiz dan pengusaha rekaman berkumpul, sekarang sudah ditempati orang. Gandanegara kini asyik berkebun tomat di atas sepetak tanah warisan keluarga di Wanaraja, Garut, setelah membuka pengobatan alternatif tenaga dalam di daerah Margahayu, Bandung.

Suriaatmadja? Kabar yang sampai ke telinga saya, terakhir ia bergabung dengan radio Antassalam, Bandung, pada 1992. Di sana, ia mengasuh acara musik dangdut; musik yang tak pernah diresensinya. Di sela-sela waktu luangnya, ia menyempatkan diri mengarang beberapa buku cerita anak, yang ia terbitkan sendiri. Setelah terlibat problem keluarga dengan istrinya, ia menghilang … seperti juga Aktuil yang tertimbun tumpukan puing-puing sejarah grand narrative negeri ini.*

by: