Kabar dari Gomarushof

Anonim (sementara)

Mon, 2 July 2001

ESCAPE bukan saja nama sebuah diskotek yang terkenal di Amsterdam. Diskotek ini juga terhitung sebagai diskotek papan atas di seantero Belanda.

ESCAPE bukan saja nama sebuah diskotek yang terkenal di Amsterdam. Diskotek ini juga terhitung sebagai diskotek papan atas di seantero Belanda. Begitu tersohor lantaran banyak bintang tenar muncul di sana. Para artis pun kerap menggunakannya untuk pesta mereka. Penyanyi Janet Jackson, adik kandung mahabintang Michael Jackson, asal Amerika Serikat, senantiasa mampir ke Escape jika kebetulan bertandang ke Belanda.

"Cover charge-nya memang mahal, karena menang image," ucap Travelino Theofilus. Justru lantaran itulah Trevi, panggilan Travelino Theofilus, memanfaatkan diskotek itu untuk kontes Ratu Jumpa.

Ratu Jumpa merupakan bagian dari acara Malam Seribu Anak Indonesia di Eropa. Penyabet piala Ratu Jumpa mendapatkan kesempatan berkunjung ke Indonesia secara gratis lengkap dengan akomodasi dan berbagai fasilitas. Malam Seribu Anak Indonesia di Eropa memang masih dalam tahap perencanaan, tapi poster sudah beredar di banyak kawasan.

"Itulah cara untuk memperkenalkan Indonesia," kata Yuyu Mandagie, ibu Trevi.

Ternyata tak semata Trevi. Anak Mandagie lainnya, Rizal Aquino yang biasa dipanggil Nino juga punya langkah serupa. Pada Februari 2000, di diskotek Marcanti -yang sedikit di bawah kelas Escape- juga di Amsterdam pernah dilangsungkan lomba Yospan I. Lomba ini gabungan dua tarian Papua: Yosim (Biak) dan Pancar (Jayapura). Pada tahun yang sama, lomba Yospan II segera disusulkan, mengingat yang pertama terhitung menyabet sukses.

Malam Seribu Anak Indonesia dan lomba tari Yospan tak semata untuk memperkenalkan negeri Indonesia. Acara-acara ini sekaligus diniatkan untuk makin memperkenalkan Kabar Indonesia, sebuah tabloid yang bermottokan tabloid berbahasa Indonesia pertama di Eropa. Itulah musabab pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan adalah Gaung Indonesia (penerbit Kabar Indonesia), Another Krisnart Productions, dan Kabar Indonesia sendiri sebagai sponsor utama.

Sekadar informasi, di Kabar Indonesia, manajer iklan Trevi, manajer distribusi Nino, serta direktur pelaksana Mandagie.

Nama Krisnart adalah gabungan "Krisna" dan "art" yang berasal dari nama Asbari Nur Patria Krisna, pemimpin redaksi Kabar Indonesia. Ia juga penyiar seksi bahasa Indonesia di radio Hilversum, nama kawasan yang tak jauh dari Schiphol, sekitar 45 menit berkereta api dari Leiden.

Kabar Indonesia memang sebuah penerbitan keluarga. Peralatan kantor: faksimile, telepon, komputer, dan lain-lain memakai fasilitas keluarga alias pribadi. Kantornya pun di rumah mereka di Gomarushof.

Jadi, Kabar Indonesia seperti hendak melengkapi pemeo yang menyatakan bahwa pusat kebudayaan Indonesia, terutama Jawa, justru berada di Belanda; setidaknya koleksi berbagai monograf, berkas, naskah, buku, dan lain-lain bisa didapatkan di Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde, dan Universiteit Leiden. Memang, tak terhitung berapa sarjana yang berkutat dengan kebudayaan Jawa dan Indonesia baik berkebangsaan Indonesia maupun tidak yang memanfaatkan ranah Belanda untuk skripsi, tesis, atau disertasi.

Sukseskah pengenalan dan penyebaran Kabar Indonesia? Krisna, penulis novel antara lain Keranda Merah tentang peristiwa Gerakan 30 September yang ditulis tak lama setelah kejadian, tak buru-buru menjawab. "Terakhir, jumlah pelanggan tercatat 495. Belum terhitung pelanggan gratis termasuk kontributor 75 orang," ucapnya sambil menambahkan tabloidnya tersebar ke seantero Belanda, Belgia, Jerman, Prancis, Inggris, Italia, Ceko dan Slowakia, Kanada, Amerika Serikat, Swedia, Indonesia juga, Suriname, Selandia Baru, dan Australia.

"Terbanyak di Belanda, 60 persen, menyusul Jerman, Prancis, dan Indonesia," sambungnya.

Jawabannya memang tidak langsung merujuk pada kemungkinan titik impas bagi tabloid 36 halaman, delapan halaman di antaranya berwarna, yang terbit perdana pada Juli 1999. Kabar Indonesia dijual seharga delapan gulden, sementara buiaya cetak per eksemplar 22 gulden. Jadi subsidinya sangat banyak. Setidaknya menurut Krisna, ada empat skenario jika harus bicara perkara break event point. Dan itu menyangkut sistem penggajian, persentase iklan, dan harga jual, selain jumlah tiras. Dari kalkulasi tiras, ada beberapa pilihan: 13.600, 9.500, 8.200, atau 4.100 eksemplar.

Selama ini, selain tiras terbanyak hanya sebatas 2.500 eksemplar, karyawan belum pernah digaji, pun kontributornya menulis atas dasar suka rela. Maknanya, titik impas belum terlunaskan sedangkan ongkos produksi pun kadung terkuras.

"Beban seluruhnya hingga sembilan edisi, kami sudah habiskan 292 ribu gulden," kata Krisna, sambil menambahkan dibutuhkan modal sejumlah 600 ribu gulden jika menginginkan perusahaan berjalan lancar.

Dana yang sudah terkuras itu mencakup dana pinjaman, dana pribadi, kredit percetakan, kredit telepon, dan lain-lain.

Dana terus mengucur termasuk untuk membayar cicilan pinjaman dan bunga. Sementara 25 persen pelanggan kendati berniat berlangganan bahkan hingga empat atau lima tahun belum membayar untuk tahun pertama. Akibatnya, edisi 9 tahun I/2000 menjadi nomor terakhir Kabar Indonesia.

"Iklan mulai berdatangan, tapi tak banyak," ungkap Mandagie.

"Kami stop sementaralah," ungkap Krisna, yang pernah mengasuh majalah legendaris Aktuil ini.

Stop sementara? Artinya, masih ada kemungkinan untuk kembali terbit. Sambil menunggu kemungkinan atau keajaiban. Ada bersitan rencana Krisna untuk menjual obligasi dalam jangka lima tahun, atau mencari pemodal yang meminjamkan uangnya lantas keuntungan dibagi bersama.

"Atau menjual semua peralatan dan semua database," tambah Krisna.

Harga yang ditawarkan 300 ribu gulden. "Harga tersebut sudah termasuk untuk bayar utang dan kredit," sambungnya.

Macam mana sih isi Kabar Indonesia? Setidaknya dengan melihat jumlah pembaca yang rela mencanangkan berlangganan hingga empat atau lima tahun. Isi tabloid ini antara lain kilasan peristiwa dari Indonesia, rubrik hukum, psikologi, agama, pengungkapan tabu sejarah Indonesia dan Belanda, perihal warga Indonesia yang tak bisa balik kampung karena alasan politis, puisi, selain serial bersambung suka duka kawin campur atau pelacakan atas kehidupan masa sekarang Jusuf Randy yang pernah menghebohkan dunia pendidikan Indonesia. Pastilah pelanggan itu terbetot rasa ingin tahunya lantaran suguhan berita macam ini.

"Ya, aku juga sedikit ragu tentang tabloid ini," kata Carmen Abels, karyawan di Tropenmuseum, Amsterdam, yang multigenetik dan multikultural: selain Jawa (ayah kelahiran Lasem dan ibu Wonosobo), ada darah Yahudi, Cina, Belanda, juga Portugis. "Kalau mau jujur, isinya tidak begitu menarik untukku. Ide sangat bagus, tapi belum jelas maksudnya. Mungkin hanya untuk orang yang berminat pada kegiatan masyarakat Indonesia di Belanda, ya," rincinya.*

kembali keatas

by:Anonim (sementara)