Crime, Mystic, dan Sex

Anonim (sementara)

Mon, 2 July 2001

SALATIGA, kota di kaki gunung Merbabu, di siang hari agak sejuk. Namun, di sebuah angkutan kota, yang berseliweran di kota ini, ada sejumlah anak sekolah berseragam putih-biru, yang membawa sesuatu yang bisa bikin orang tua mereka panas dingin.

SALATIGA, kota di kaki gunung Merbabu, di siang hari agak sejuk. Namun, di sebuah angkutan kota, yang berseliweran di kota ini, ada sejumlah anak sekolah berseragam putih-biru, yang membawa sesuatu yang bisa bikin orang tua mereka panas dingin. Seorang pelajar mengenggam tabloid yang sampulnya "panas." Gambar sampul tabloid ini perempuan berbusana minim, penuh warna. Tabloid dalam genggaman pelajar itu bernama X-Hot.

Tabloid ini terbit setidaknya tujuh edisi. Edisi perdana bersampul gambar adegan percumbuan. Seorang laki-laki mencium leher seorang perempuan. Perempuan itu terlihat tanpa busana. Mulutnya setengah terbuka dengan mata terpejam, bagian dadanya tak tertutup busana, meski tak terlihat jelas, agaknya sengaja dikaburkan.

Lembar-lembar halaman dalam makin banyak ditemukan gambar-gambar perempuan setengah telanjang, setidaknya tanpa penutup payudara, yang lagi-lagi, dikaburkan. Tebal tabloid itu 24 halaman.

Dari mana para pelajar Salatiga ini membeli tabloid yang bisa bikin orang tua mereka khawatir?

Penerbit tabloid itu resminya adalah PT Tiga Media Pers. Pengelolanya agak misterius. Alamat redaksinya berpindah-pindah. Di edisi pertama tercantum alamat di Graha Estetika B10 Tembalang, Semarang. Alamat ini tak lain rumah Sukoto, pemimpin redaksi Radar Semarang, harian milik Jawa Pos News Network. Di edisi kedua, alamat redaksi tidak ditemukan, juga nomor telepon. Di edisi ke empat hingga ke tujuh, X-Hot mencantumkan alamat di jalan Argobogo 18, Salatiga. Rumah itu tak lain kantor biro Radar Semarang. Di masthead tertera nama Donohusodo sebagai pemimpin redaksi. Nama Donohusodo adalah nama yang kurang dikenal di dunia persuratkabaran Semarang.

Dian Yuliastuti, wartawan Radar Semarang biro Salatiga, mengatakan Sukoto bersama dua tenaga grafis dari Radar Semarang biasa mengerjakan X-Hot di kantor biro itu. Dian tahu benar lantaran dia tinggal di sana.

X-Hot dikerjakan mulai tengah malam. Dian yang selalu membukakan pintu untuk mereka. "Setelah pekerjaan di Radar Semarang selesai, kedua orang tenaga grafis itu dijemput Sukoto dan dibawa ke Salatiga (dari Semarang)," kata Dian.

Namun edisi keempat hingga ketujuh tabloid X-Hot dikerjakan di kantor Radar Semarang di Semarang. Ini informasi yang dikatakan oleh Parwito, wartawan Radar Semarang.

Mirip dengan pengalaman Dian, Parwito, suatu malam menyaksikan Sukoto sedang sibuk di mejanya yang betebaran gambar-gambar porno. "Mereka sedang mengerjakan X-Hot," ujarnya.

Benarkah Sukoto adalah orang yang berada di balik penerbitan sebuah tabloid porno?

Sukoto membantah menerbitkan X-Hot. Dia mengatakan alamat rumahnya dipakai sebagai alamat redaksi edisi pertama atas permintaan teman, seorang pengusaha yang menerbitkan X-Hot itu. Katanya untuk alamat surat saja.

Menurut cerita Sukoto, ada pengusaha di Semarang yang datang padanya dan mengatakan memiliki uang Rp 1,5 miliar, dan berniat menerbitkan koran harian. Sukoto bilang, harian butuh waktu untuk untung. "Buat saja yang bisa membuat gebrakan," ujar Sukoto kepada pengusaha itu. Sukoto merahasiakan nama si pengusaha. Maka, lahirlah X-Hot. Edisi perdananya terbit Maret 2001.

Sukoto mengatakan kantor Radar Semarang biro Salatiga sebagai alamat redaksi edisi berikutnya. "Itu hanya sementara. Mereka masih serabutan. Cetaknya saja masih pindah-pindah, kadang di Solo, kadang Yogya," ujarnya.

Apa hubungan X-Hot dengan jaringan suratkabar Jawa Pos News Network? Tidak ada.

Pemimpin redaksi Jawa Pos, Dhimam Abror Djuraid, malah mengirim tim ke Semarang untuk menyelidiki keterlibatan Radar Semarang dalam penerbitan X-Hot. Abror sudah tahu kantor biro Radar Semarang dipakai untuk alamat redaksi tabloid panas itu.

"Tim belum memberikan laporan. Sukoto sudah kami panggil ke Surabaya. Menurut pengakuannya, tabloid itu tidak ada hubungannya dengan grup Jawa Pos dan dirinya," ujar Abror.

Abror masih mengumpulkan bukti-bukti. Jika diketahui Sukoto terlibat akan dikenai sanksi. Pemecatan bisa dikenakan padanya. "Kami serius menangani kasus ini. Apalagi ini menyangkut orang penting di Semarang. Sukoto kami anggap orang penting grup Jawa Pos di Semarang," ujar Abror.

Keterkaitan Jawa Pos dengan media yang dianggap porno tidak hanya terbatas pada kasus X-Hot, namun juga harian Meteor. Salah seorang yang menuding itu adalah Sri Nurherawati, koordinator Kelompok Kerja Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia.

Ali Mufiz, ketua Majelis Ulama Indonesia, Jawa Tengah, mengatakan apa pun alasannya, gambar dan tulisan yang dimuat X-Hot, Meteor atau Kriminal termasuk dalam kategori pornografi.

Tapi lagi-lagi apa sih yang porno dan apa yang tidak?

Pemimpin redaksi Meteor Don Kardono mengatakan porno dan tidak porno masih harus diperdebatkan. Menurutnya, porno bagi masyarakat kelas atas berbeda dengan pornonya masyarakat kelas bawah.

Meteor memiliki rubrik Alkisah, berisi cerita seks yang seru. Menurut Don bahannya diolah dari kiriman pembaca. Seperti nama rubriknya, isinya kisah-kisah seputar kejadian yang berkaitan dengan seks. Ilustrasi rubrik ini dimuat di halaman warna. Biasanya dimuat foto-foto perempuan setengah telanjang. Rubrik inilah yang dituding porno.

Riza A.Taufani, redaktur rubrik Alkisah menuturkan, rubrik ini merupakan salah satu rubrik yang diputuskan melalui evaluasi di redaksi. Ketika Meteor beroplah tujuh ribu eksemplar, dicoba memasukkan unsur seks. "Sebab yang namanya koran kuning itu kan, baik di Amerika atau Eropa, isinya selalu soal crime, mystic, dan sex," katanya.

Terbit pertama kali 6 September 2000, Meteor hanya beroplah 3.000. Kini, setelah tujuh bulan, oplah Meteor mencapai 30 ribu. Dari jumlah itu, 25 ribu terjual di Semarang. "Jumlah itu sudah mencapai batas toleransi Jawa Pos. Artinya, Meteor sudah lolos dari ancaman degradasi alias ditutup. Makanya, begitu melewati angka 25 ribu, rambut saya gundul," tutur Don.

Namun masalah pornografi ini jadi besar nilai beritanya setelah Kriminal diadukan ke polisi oleh Persatuan Guru Republik Indonesia Semarang. Kriminal dituduh melakukan kejahatan susila, karena dalam tiga edisi memuat gambar bugil seorang perempuan yang tak lain seorang guru. Kriminal, yang beroplah 25 ribu, mulai terbit 18 Juni 1999, menulis perselingkuhan guru itu. Berita itu jadi heboh karena foto telanjang sang ibu guru hasil jepretan pasangan selingkuhnya dipasang sebagai sampul dan gambar halaman dalam.

Agus Siswanto, pemimpin persatuan guru di Semarang itu mengatakan, mereka mengadukan Kriminal ke polisi bukan semata-mata karena memuat foto-foto rekannya, tapi juga Kriminal memang porno. Para guru di Semarang memang agak kerepotan belakangan ini. Banyak siswanya kedapatan menyimpan suratkabar-suratkabar leeerrr macam Kriminal.

Pemimpin umum Kriminal Jonner Simbolon menolak tuduhan porno. Menurutnya, pemuatan foto bugil seorang guru perempuan itu dimaksudkan sebagai foto berita. Artinya, foto itu bagian dari peristiwa yang diangkat medianya.

"Foto-foto yang kami muat itu pada bagian-bagian vitalnya sudah diblok tinta hitam dan dikaburkan. Pornonya yang mana?" ujar Simbolon.

Porno atau tidak, menurut dosen komunikasi Universitas Diponegoro, Novel Ali, apabila gambar atau tulisan dapat menimbulkan rangsangan atau tidak. Ini memang ukuran yang sangat relatif. "Dalam batas tertentu terhadap sebuah foto atau tulisan seseorang tidak merasa terangsang, namun terhadap tulisan atau foto yang sama seseorang yang lain akan sangat terangsang," ujarnya.*

kembali keatas

by:Anonim (sementara)