Pada Sebuah Kapal

Hendri Kuok

Mon, 7 May 2001

TUBUH kecil bukan berarti tidak bisa memikul beban besar. Hal ini berlaku untuk Dini Sari Djalal

TUBUH kecil bukan berarti tidak bisa memikul beban besar. Hal ini berlaku untuk Dini Sari Djalal, seorang wartawati bertubuh kecil tetapi memikul banyak tugas dalam profesinya sebagai wartawan. Dalam usianya yang mendekati tiga puluh satu tahun, Dini mempunyai segudang pekerjaan sebagai kontributor CNBC Asia Television , koresponden untuk Far Eastern Economic Review, kontributor untuk the Bangkok Post, kontributor untuk radio KQED di San Francisco, dan kontributor untuk Channel Four News di Inggris.

Dini memulai kariernya sebagai wartawan freelance di The Jakarta Post pada tahun 1994. Setelah beberapa tahun bekerja di The Jakarta Post, Dini mulai mencoba menimba pengalaman jurnalistik dari beberapa media asing. Tercatat Dini pernah membantu di beberapa media asing seperti Australian Broadcasting Corporation Television (ABC TV) untuk acara Four Corners, Newsweek, The New York Times, The Boston Globe, the San Jose Mercury News, the Guardian. Sejak tahun 1997 Dini mulai secara serius menjalankan tugas – tugas jurnalistik dan dalam waktu singkat dia sudah mencatat sejumlah prestasi dengan menurunkan berita dan laporan dari berbagai daerah konflik, mulai dari Timor Timur, Ambon, Papua Barat, Aceh dan Sambas.

Peran Dini di kancah di media asing tidak bisa dilepaskan dari latar belakang pribadinya. Sebagai putri diplomat senior Hasyim Djalal, Dini menghabiskan hampir dua puluh tahun dari hidupnya di luar negri dalam rangka mengikuti tugas sang ayah. Hidupnya berpindah pindah dari Singapura, Washinton, New York dan Ottawa. Dini meraih gelar Bachelor of Art (BA) di bidang Anthroplogi dari University of British Colombia, Vancouver, Canada, kemudian dia melanjutkan studinya di London dan meraih gelar Master of Art (MA) dari School of Oriental and African Studies (SOAS ), University of London.

HARI masih pagi ketika saya sampai di rumah Hasyim Djalal di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, setelah dipersilahkan masuk saya melewati halaman depan yang asri dan menuju ruang tamu. Di samping rumah terlihat dua mobil berjejer rapi, Toyota Corolla dan Mitsubshi Lancer. Perabotan keluarga Hasyim terlihat sederhana, ruang tamu disi dengan kursi kayu yang tempat duduknya beralaskan kasur empuk, beberapa buah kaligrafi tergantung di dinding. Dua buah kursi masih terbungkus plastik dan diletakkan agak sembarangan di dekat jendela. Di ruangan keluarga terpampang foto – foto keluarga dan seperangkat sofa yang berwarna gelap.

Beberapa menit kemudian, Zurni Djalal ibu tercinta dari Dini muncul dengan mengenakan baju berwarna coklat dengan sedikit motif kembang – kembang dan mengenakan slop berwarna krem yang serasi dengan pakaiannya. Sambil duduk tegak di atas kursi yang dia mulai menselonjorkan kakinya, kelihatannya dia tidak ingin kehilangan kebebasannya sebagai wanita Minang, juga sekaligus tidak ingin kehilangan kewibawaannya sebagai anggota Dharma Wanita Departemen Luar Negri.

Sementara itu sang suami Hasyim sedang bersiap – siap untuk berangkat kerja.

Meskipun sudah memiliki tanda status mapan dengan perut yang mulai tambun dan rambut yang sudah berwarna abu – abu, Hasyim masih memilih untuk menggunakan sarung berwarna merah dan kaus oblong yang sudah kusam warnanya. Sebagai mantan duta besar mungkin Hasyim harus menjaga gengsi dan martabat negara dengan macam – macam atribut kaum elite, tetapi kelihatannya dia masih belum melepaskan gaya hidup proletar desanya.

Mulailah Zurni bercerita tentang putri bungsunya yang badung binal. Di bulan Agustus 1970 pasangan Hasyim dan Zurni tengah cemas menantikan kelahiran anak ketiga mereka. Usia kehamilan Zurni sudah mulai memasuki bulan kesepuluh dan belum ada tanda – tanda kelahiran. Sementara itu sang suami sedang gelisah karena harus segera berangkat ke Jenewa dalam kapasitasnya sebagai Kepala Dinas Hubungan Internasional Deplu (Departemen Luar Negri ). Zurni pun meminta sang suami untuk berangkat saja ke Jenewa dan meninggalkan dia sendirian. Akhirnya Hasyim pun memutuskan untuk berangkat demi menunaikan kewajibannya bagi negara. Pada sore hari tanggal 7 Agustus 1970 pesawat yang ditumpangi Hasyim meninggalkan bandara Halim Perdanan Kusuma, Jakarta . Beberapa jam setelah sang suami berangkat Zurni mulai merasakan tanda – tanda sang bayi akan keluar ke dunia. Pukul tiga subuh Zurni menelepon ambulan dan masuk ke rumah bersalin Siti Chodijah di Jakarta Selatan. Dua jam kemudian seorang bayi perempuan lahir ke dunia dengan proses persalinan yang sangat lancar.

Zurni memberikan nama Dini kepada anak perempuannya karena kekagumannya terhadap penulis novel NH Dini, novelnya yang berjudul Pada Sebuah Kapal menjadi salah satu bacaan favorit Zurni pada masa itu. Dari kota Jenewa yang dingin Hasyim menelepon untuk menanyakan kabar sang istri dan anak mereka yang baru lahir, setelah mengetahui nama pemberian istrinya, dia hanya berkomentar nama itu terlalu pendek, maka Zurni pun menambahkan nama Sari bagi anak mereka.

Di tengah suasana pesta pora kemenangan mesin politik Orde Baru, Golkar (Golongan Karya ) dalam pemilu (pemilihan umum) di tahun 1971 dan semakin mantapnya kekuasaan Suharto, Hasyim harus memboyong keluarganya ke Singapura karena dia mendapat tugas baru sebagai Kepala Bidang Politik di Kedutaan Besar Republik Indonesia( KBRI ) di Singapura. Dini kecil menghabiskan masa balitanya di negri Singa sampai sang ayah dipanggil pulang oleh Deplu pada tahun 1976.

Pulang ke Indonesia, Dini mulai bersekolah di SD (Sekolah Dasar) Al Azhar di Jakarta Selatan. Rutinitas Dini kecil sebelum ke sekolah adalah mengepang rambutnya yang panjang, oleh karena itu dia harus bangun pagi – pagi sekali agar bisa berangkat pukul setengah tujuh mengingat jarak rumah yang agak jauh dengan sekolah.

Tiga tahun bersekolah di Al Azhar Dini kecil harus berpisah dengan teman – temannya karena sang bapak mendapat tugas baru sebagai Deputi Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Washington. Ketika kebebasan kampus sedang diberangus oleh program NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus / Badan Koodinasi Kampus), pasangan Hasyim dan Zurni memboyong ketiga anak mereka untuk berangkat ke Washington, ibu kota Amerika Serikat.

Washington di tahun 1979 adalah ibu kota yang menderita, seperti derita seorang ibu yang kehilangan anak – anaknya karena gugur di medan perang. Amerika baru saja mengalami kekalahan di Vietnam dan sejumlah persoalan sosial yang berhubungan dengan Vietnam menumpuk di meja – meja para politisi dan birokrat. Para pengungsi Vietnam berjubel di rumah – rumah penampungan, anak – anak Vietnam yang kehilangan keluarga sedang merana di negri yang asing bagi mereka.

Dini kecil mulai bersekolah di Washington dan segera dia bisa merasakan bagaimana luka perang Vietnam berimbas kepada orang – orang Asia. Tidak jarang Dini dikata – katai sebagai orang Vietnam dan dia pun pernah diludahi oleh salah seorang murid di sekolahnya. Dini juga harus menyaksikan bagaimana abangnya Dino harus dikeroyok oleh tiga orang anak Amerika karena Dino dihina – hina sebagai orang berkulit coklat. Dimata anak kecil Amerika semua orang asia mungkin sama saja, mereka tidak bisa membedakan mana Indonesia mana kamboja atau mungkin mereka juga tidak tahu dimana letak Indonesia. Sejak kecil mereka juga dicekoki dengan segala macam propaganda rasis tentang orang kulit berwarna sehingga mereka menjadi anak – anak kulit berwarna lainnya.

Lima bulan di tinggal di Washington, Dini yang bahasa Inggrisnya belum lancar, keluar sebagai pemenang dalam lomba mengeja dalam bahasa Inggris (spelling competition). Atas prestasinya ini dia diwawancarai oleh The Washington Post, dengan terbata – bata Dini harus menjawab pertanyaan wartawan. Ketika ditanyakan what are you doing in your spare time as your hobby , Dini kebingungan untuk menjawab. Dia pun membuat asumsi sendiri bahwa sang wartawan menanyakan apa yang dia lakukan sehingga bisa memenangkan perlombaan. Dengan ragu – ragu Dini menjawab saya membaca kamus. Beberapa hari kemudian The Washington Post menurunkan feature tentang Dini yang menghabiskan waktu untuk membaca kamus di waktu senggang sehingga bisa memenangkan lomba mengeja dalam bahasa Inggris.

Tinggal di Washington bukan halangan bagi Zurni untuk mendidik putra – putrinya dengan pendidikan agama yang ketat. Sang Ibunda tidak akan memberikan uang jajan kepada anak – anaknya kalau mereka tidak mau mengaji. Zurni tetap berusaha mendidik anak – anaknya dengan budaya dan adat ketimuran. Tidak lupa dia selalu menyiapkan masakan khas padang bagi keluarganya mulai dari sambal balado sampai ayam pop.

Berbeda dengan kebanyakan anak – anak Indonesia yang hanya kenal boneka si Unyil, di Washington Dini sibuk bermain main dengan boneka barbie. Waktu itu memang belum ada boneka barbie dengan kostum Minang, tapi sosok barbie yang kerempeng seperti emping melinjo kelihatannya menjadikan dia sebagai sosok wanita yang ideal di mata para gadis kecil seperti Dini. Berbeda dengan jaman Majapahit atau Mataram Hindu dulu dimana para wanita yang bertubuh suburlah yang menjadi wanita terhormat, generasi Dini lebih mengidamkan tubuh kerempeng untuk menarik perhatian anak laki–laki yang sedang puber.

Setelah bertugas selama tiga tahun di Washington, Hasyim mendapat tugas baru sebagai Deputi Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa – Bangsa ( PBB ) di New York. Untuk kesekian kalinya Dini harus mengepak koper dan pindah ke salah satu kota termahal di dunia. Suasana baru di New York memberi perspektif baru bagi Dini yang sudah mulai memasuki usia remaja. Di New York Dini mulai banyak bergaul dengan anak – anak Amerika dan belajar dari pola kehidupan mereka. Pasangan Hasyim dan Zurni pun membiarkan putri bungsu mereka untuk terjun ke dalam kehidupan anak – anak remaja New York.

Meskipun New York memiliki tingkat kriminalitas yang tinggi, Dini tidak pernah mengalami nasib buruk dicopet atau dirampok. Bagaimana caranya bisa aman dari kejahatan, menurut Dini dalam situasi yang buruk kita selalu dapat mengatasinya dengan berperilaku baik dan sopan. Dini berkeyakinan kendatipun orang di depan kita bermaksud jahat terhadap kita tapi kalau kita hadapi dengan senyum maka kemungkinan besar dia akan berubah pikiran. Resep menghadapi kejahatan di New York ini terus dipakai Dini sampai kembalinya dia ke Indonesia.

Dini tumbuh sebagai anak remaja yang sibuk dengan hingar bingar musik pop, mulai dari kelompok musik Rolling Stone sampai Duran Duran. Rasa kekagumannya pada kelompok musik Duran Duran membuat Dini rela untuk menghabiskan banyak waktu untuk memburu kelompok musik ini, mulai dari mendatangi hotel sampai mengunjungi tempat latihannya ditempuh oleh Dini demi mendapatkan tanda tangan dan souvenir dari kelompok pujaannya.

Di luar hingar bingar musik pop, Dini sering mendengar cerita sang ayah mengenai perdebatannya dengan Jose Ramos Horta yang merupakan Juru Bicara FRETILIN ( Frente Revolucionaria do Timor Leste Independente / Front Pembebasan Nasional Timor Timur ) di PBB. Bersama dengan Ali Alatas yang menjabat sebagai Kepala Perwakilan Indonesia untuk PBB, Hasyim memainkan peran penting dalam diplomasi Indonesia mempertahankan integrasi Timor Timur.

Suatu ketika Dini tertarik untuk membaca buku karangan Jose Ramos Horta yang berjudul Funu: The Unifinished Saga of East Timor. Membaca buku ini membuat Dini sangat terkejut dan dia merasa buku itu sangat mengerikan karena ada cerita tentang penyiksaan, perkosaan dan pembunuhan. Suatu cerita yang sangat kontras dengan apa yang selama ini pernah dia dengar dari papi tercinta ataupun Om Alex, pangggilan untuk Ali Alatas. Masih sulit bagi Dini untuk mempercayai apa yang diceritakan oleh Jose Ramos Horta, seorang diplomat muda berambut kribo, berkacamata gelap dan selalu mengenakan dasi kupu–kupu.

Tidak berapa lama bertugas di New York, Hasyim dipromosikan untuk menjadi Duta Besar Indonesia untuk Canada. Dini pun mengikuti orang tuanya pindah ke Ottawa, Canada. Kota Ottawa yang dikelilingi oleh gunung – gunung dan hutan membangkitkan semangat petualangan Dini. Bersama sang ayah di sering mendaki gunung dan menjelajahi hutan – hutan, sambil sang papi bercerita tentang gosip – gosip di seputar kekuasaan Orde Baru yang saat itu sudah mulai kelimpungan setelah berakhirnya era boom minyak.

Dini yang saat itu sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) sudah mulai bergulat dengan pergolakan zaman. Dini yang tumbuh besar di era pesawat Boeing dan Concorde jelas mewakili generasi berbeda dengan ibunya yang masih berjalan kaki atau menggunakan kendaraan bergerobak. Dalam tatanan masyarakat Minang perempuan memainkan peranan yang penting, dan Dini diharuskan menerima tongkat estafet dari ibunya dalam keluarga. Tetapi Dini mulai mempertanyakan apakah permainan estafet seperti ini masih diperlukan, karena dia merupakan produk dari globalisasi yang sudah lebih senang disebut penduduk planet bumi.

Di tengah pergolakan itu, dalam sebuah liburan musim panas Dini pulang ke Indonesia, dan setibanya di Indonesia Dini bersama teman temannya memutuskan untuk mengadakan perjalanan dengan menggunakan mobil dari Jakarta menuju Medan. Melihat hal ini Hasyim langsung pusing tujuh keliling, biarpun Dini sudah menjadi wanita tegar ber-blue jeans, dia tetap putri bungsu yang harus dilindungi. Dengan diam – diam Hasyim membuntuti perjalanan Dini, meskipun menjabat sebagai seorang Duta Besar kelihatannya Hasyim tidak mendapat pendidikan intelejen dari BIA (Badan Intelejen Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) sehingga dengan gampang Dini mengetahui bahwa dia dibuntuti oleh ayahnya.

Dini marah besar dan menyuruh sang ayah untuk segera pulang. Hasyim hanya bisa tertunduk lesu ketika putri bungsunya mengatakan , “dad saya sedang mencoba mencari pengalaman sendiri dan kalau selamat dalam perjalanan ini maka saya akan bisa bertahan dalam hidup saya, kalau daddy terus membuntuti saya artinya daddy tidak percaya pada kemampuan saya dan saya tidak akan pernah bisa hidup mandiri.”

Menjadi seorang diplomat mungkin bisa diartikan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Tidak lama menjabat sebagai Duta Besar di Canada, Hasyim dipanggil pulang ke Indonesia. Tinggallah Dini yang masih harus meneruskan sekolahnya, dan mulailah Dini merasakan kebebasan. Hal pertama yang ingin dilakukan Dini adalah menjadi seorang gadis normal tanpa atribut putri seorang ambasador. Dini mulai berjalan kaki atau naik bus ke sekolah dan tinggal sendiri.

Belum lama Dini menikmati kebebasannya dia sudah harus menghadapi sebuah masalah baru, Dini tidak bisa mendaftar ulang di sekolahnya karena dia dianggap sebagai illegal alien. Dini masih menggunakan visa diplomatik, tapi orang tuanya sudah tidak bertugas lagi di Canada, sehingga visa diplomatik tersebut tidak berlaku lagi sementara itu dia masih dianggap anak dibawah umur tanpa ada wali.

Akibat keteledoran orang tuanya ini, Dini terpaksa pindah ke Vancouver karena disana tinggal abangnya Dino yang sedang kuliah di Simon Fraser University. Di Vancouver Dini memutuskan untuk tidak mau menumpang pada bapak – bapak terhormat dari KBRI. Sebagai konsekuensinya Dini harus keluar masuk rumah orang untuk mencari tempat kost, dan setelah hampir putus asa dia memasang iklan mencari tempat kost. Tawaran datang dari sebuah keluarga Yahudi, karena sewanya cukup murah maka Dini memutuskan untuk tinggal disana. Pasangan Yahudi itu sangat menyayangi Dini seperti anaknya sendiri, dan hal ini mengakibatkan Dini dibenci setengah mampus oleh anak perempuan mereka.

Lulus dari SMA dengan duduk di peringkat lima besar, Dini otomatis mendapat beasiswa dari pemerintah Canada. Dini pun melanjutkan studinya di bidang Antropologi di University of British Colombia (UBC). Tahun – tahun pertama kuliah, dihabiskan Dini dengan mempelajari masalah Pilipina yang ketika itu baru selesai bergolak setelah diktator Ferdinand Marcos digulingkan pada tahun 1986. Hampir semua paper yang dibuat oleh Dini untuk tugas kuliahnya menyangkut masalah Philipina, mulai dari kudeta oleh Kolonel Gregorio “Gringo” Honasan, pemimpin pasukan pemberontak RAM (Rebolusynaryong Alyangsang Makabansa) sampai tempat pembuangan sampah yang diberi nama Smokey Mountain.

Dini sendiri tidak tahu persis apakah dia mencoba mempelajari Indonesia melalui pengalaman Philipina ataukah dia hanya ingin lari dari masalah Indonesia dengan melihat Philipina. Selama tinggal di luar negri Dini memang tidak banyak mendapatkan informasi tentang perkembangan situasi sosial politik di Indonesia. Di mata Dini saat itu rakyat Indonesia miskin – miskin, sebagian besar menggunakan tangan sebagai sendok dan sarung sebagai tempat mandi sekaligus buang air besar. Dini mulai berpikir pikir tentang segala macam persoalan kemiskinan itu dan dia juga melihat persoalan kemiskinan itu menjadi persoalan utama di Philipina, pertanyaan di kepala Dini saat itu akankah “people power“ bisa menghapuskan kemiskinan dari bekas koloni Spanyol tersebut.

Ketika duduk di bangku kuliah Dini juga pernah berdebat dengan seorang Professor yang dianggapnya memberi informasi keliru tentang Indonesia. Ketika itu baru saja meletus peristiwa GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) Warsidi di Lampung, dan sang Professor mengatakan bahwa banyak mayat yang dibuang ke sungai oleh tentara Indonesia. Dini yang tidak tahu menahu akan peristiwa itu bangkit berdiri memprotes sang Professor, terjadi perdebatan seru, dan Dini tetap pada keyakinannya bahwa cerita sang professor hanyalah bualan belaka.

Suatu hari di bulan Desember 1991, Dini yang hampir menyelesaikan studinya di UBC dimaki – maki oleh saudara perempuan Kamal Bamadhaj. Kamal adalah pemuda Malaysia yang terbunuh oleh tentara Indonesia dalam kerusuhan di pekuburan Santa Cruz Dili tanggal 12 November 1991. Dini hanya bisa terbengong – bengong dan berkata dalam hati apa yang saya perbuat terhadap dirimu, saya bahkan tidak tahu apa yang terjadi nun jauh di bumi Timor Timur sana. Dini merasa dia menjadi korban tanpa dia mengetahui berapa banyak korban yang terbunuh pada kerusuhan di Santa Cruz.

Pada waktu kuliah di UBC setiap liburan musim panas Dini pulang ke Indonesia dan mencoba menghabiskan waktu dengan magang di The Jakarta Post. Semua ini bisa diwujudkan karena sang ayah mencoba memfasilitasi anaknya dengan melobby pemimpin redaksi The Jakarta Post, Sabam Siagian agar bisa menerima putrinya magang disana. Hasyim menganggap dia perlu memfasilitasi anaknya yang sudah mulai menunjukkan bakat menulis sejak duduk di bangku SMA di Ottawa. Ketika di SMA Dini pernah bertugas sebagai reporter dan menangani rubrik film untuk koran sekolahnya, The Novae Res. Koran ini pernah memenangkan penghargaan sebagai koran SMA terbaik di Ottawa.

Ketika itu The Jakarta Post masih menggunakan mesin tik, dan Dini hanya mengerjakan beberapa tugas terjemahan. Dini melakukan ini setiap liburan musim panas, dan dia tidak dibayar selama magang di The Jakarta Post, baru pada tahun ketiga dia dibayar sekedar uang saku dan ongkos jalan.

Selama kuliah di UBC Dini semakin menunjukkan nafsu kemandiriannya, dia tidak ingin terlalu bergantung pada orang tuanya dalam hal keuangan. Untuk berjaga jaga kalau butuh uang Dini pun mulai bekerja di akhir minggu sebagai penunggu toko yang menjual bahan masakan asia. Malam harinya dia bekerja sebagai babby sitter pada sebuah keluarga Philipina dan dia sering ketiduran di rumah keluarga Philipina ini. Pernah juga Dini bekerja sebagai penjaga museum dan untuk itu dia harus berdiri selama berjam jam melayani para tamu yang mengunjungi museum. Manakala tiba liburan sekolah dia memutuskan pulang ke Indonesia dengan menggunakan uang sendiri dan tidak mau menggunakan tiket pembelian orang tuanya.

Setelah menamatkan studi di UBC dengan menulis tesis tentang keluarga ibunya sendiri, Dini melanjutkan studi di School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London. Tahun – tahun di SOAS merupakan tahun – tahun yang menyenangkan bagi Dini karena disini dia menemukan berbagai macamorang dengan pikiran yang kaya. Dini belajar banyak dan bertukar pikiran dengan teman – temannya yang datang dari berbagai negara. Di SOAS Dini mulai merasakan bahwa identitas tidak begitu penting lagi, tidak ada gunanya kita berbangga dengan label kebangsaan kita tetapi disisi lain banyak hal yang justru tidak kita ketahui tentang bangsa kita sendiri.

Ketika Dini bersekolah di London, sang ayah sedang memangku jabatan sebagai Duta Besar di Republik Federal Jerman yang baru bersatu setelah keruntuhan Tembok Berlin. Suatu ketika pasangan Hasyim – Zurni mengalami kesulitan menghubungi putri mereka di apartemennya, telepon tidak pernah diangkat. Dengan cemas mereka pun mencari tahu apa yang dilakukan oleh putri mereka. Ternyata Dini menghabiskan waktunya untuk berjualan pernak – pernik dan souvenir dari Indonesia di pasar tradisional London. Bersama teman – temannya Dini mengelar dagangan mereka dan sambil menahan hawa dingin mereka mengumpulkan sen demi sen.

Menghadapi hal ini Hasyim bisa lebih tenang, tapi sang istri Zurni langsung menegur anaknya, “ kamu boleh jualan seperti itu asal jangan ketahuan oleh orang KBRI, kalau sampai terlihat oleh orang KBRI maka mungkin papi mami harus menanggung malu karena dikira tidak memberi uang saku buat anaknya, bagaimana nanti mereka akan mengatakan bahwa papimu bisa membereskan Ramos Horta di forum PBB tapi tidak mampu mengurus anaknya sendiri.” Dini hanya menjawab, “ ini bukan persoalan uang yang satu dua pound, tapi yang terpenting saya ingin mencari uang dengan jerih payah saya sendiri.”

Setelah sempat tertunda selama satu tahun akhirnya Dini menyelesaikan studinya di SOAS dengan tesis bertemakan turisme dan identitas nasional. Saat itu baru saja selesai hangat – hangatnya promosi Orde Baru tentang Tahun Kunjungan Wisata ke Indonesia, dan Dini tergelitik untuk menulis masalah identitas nasional seiring keyakinan dia bahwa label identitas bukanlah hal yang utama, tapi yang terpenting adalah praktek dari nilai – nilai identitas tersebut.

Selesai studi di London, Dini pulang ke Indonesia dan dia merasa inilah waktunya bagi dia untuk bisa mengenal lebih banyak tentang negrinya. Dini mungkin lebih banyak berkeliling tempat – tempat di luar negri dibanding mengelilingi negrinya sendiri dan inilah saatnya bagi dia untuk belajar lebih banyak tentang Indonesia yang saat itu sudah banyak diguncang aksi perlawanan oleh mahasiswa dan rakyat.

SAYA bertemu Dini pertama kali pada bulan Juni 1999, ketika itu saya masih bekerja di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Suatu siang Dini datang bersama pacarnya Tom McCawley ke gedung KPU di jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat untuk mewawancarai saya. Wawancara dilakukan di ruangan saya yang sempit, sebelum kamera dihidupkan Dini sibuk memberesi poster – poster yang saya tempel secara asimetris. Dalam hati saya berpikir kelihatannya Dini dia tidak suka pada hal yang aneh – aneh seperti poster – poster yang saya tempel agak miring.

Beberapa minggu kemudian ketika KPU gagal mengesahkan hasil pemilu, saya bertemu lagi dengan Dini. Ketika itu dia menumpahkan kekesalannya kepada saya karena dia belum bisa pergi berlibur akibat tertundanya pengesahan hasil pemilu. Setelah itu saya tidak pernah bertemu lagi dengan Dini, hanya sesekali saya melihat dia di layar televisi ketika saya berkesempatan menonton siaran CNBC.

Hampir dua tahun berlalu baru saya bertemu kembali dengan Dini, kali ini dalam kesempatan berbeda dimana saya yang mewawancarai dia. Siang itu Dini datang agak terlambat di Restoran Padang Sederhana di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Dengan kaki yang agak terpincang pincang Dini menghampiri saya yang duduk menunggu di teras restoran.Dini mengatakan kakinya agak keseleo karena dia banyak jalan – jalan ketika berada di Singapura beberapa hari sebelumnya. Dini mengenakan kaos berwarna ungu dengan celana panjang kain berwarna hitam dan mengenakan sepatu yang warnanya sama dengan kaos yang dikenakannya. Penampilannya agak berbeda dengan terakhir saya bertemu dia, kali pakaiannya lebih santai dan rambutnya dipotong lebih pendek.

Setelah berbicara sebentar tentang situasi politik kami mulai menikmati hidangan yang telah tersedia diatas meja. Dini memesan ayam pop dan saya juga mencoba untuk menikmati ayam khas padang tersebut. Sambil berbicara dengan bahasa Indonesia campur bahasa Inggris Dini mulai menceritakan perjalanan kariernya sebagai wartawan dan dalam wawancara dengan Dini, tercatat antara sepuluh sampai dua puluh kali dia menyebutkan kata “you know what I mean“.

Setelah pulang di Indonesia pada tahun 1994 Dini mulai mencoba bekerja di Jakarta, pertama tama dia mencoba untuk bekerja di sebuah perusahaan iklan Citra Lintas. Dini mencoba bekerja disini karena dia menyukai pekerjaan yang berhubungan dengan seni. Ketika di SMA dia sering mendisain baju dan mendisain kartu – kartu Natal bagi guru – gurunya. Apa hendak dikata, lamaran Dini ditolak dengan alasan bahasa Indonesia Dini sangat jelek dan dia disuruh kembali kalau bahasa Indonesianya sudah lancar. Dini merasa sangat sakit hati karena diperlakukan seperti itu, kembali persoalan identitas bergolak dalam diri Dini.

Dini merasa kecewa karena banyak orang menganggap dia sudah bukan Indonesia lagi. Perasaan ini semakin menguat manakala ketika bertemu dengan orang – orang yang selalu menanyakan asal usulnya. Ketika Dini menjawab “saya dari Jakarta,“ dia selalu ditanya lagi “orang betawi jadinya“. Dini merasa orang – orang selalu mengaharapkan sebuah jawaban yang spesifik tentang daerah asalnya tapi bagi Dini semua itu tidak berarti apa – apa, karena rasa kedaeraehan itu tidak akan berarti banyak kelangsungan hidup bangsa ini.

Menurut sahabat kental Dini, Julia Supatmo, pembawa acara di RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) teman – teman Dini sering mengolok – oloknya dengan mengatakan “ ah lu bule banget sih “. Dini selalu merasa jengah ketika orang – orang mengatakan dia seperti itu, tapi lama kelamaan diapun tidak memperdulikan lagi olok – olokan tersebut. Dini memang sudah berpikir dengan pola pikir barat, tapi dalam hatinya dia masih tetap merasa orang Indonesia. Mungkin yang lebih tepat adalah meminjam istilah almarhum Romo YB Mangunwijaya, bahwa orang – orang seperti Dini adalah generasi pasca Indonesia. Dia masih tetap orang Indonesia tapi sudah melampaui batas – batas tembok budaya dan pola pikir penduduk nusantara.

Setelah gagal bekerja di Citra Lintas, Dini memutuskan untuk kembali bekerja di padepokan tempat dia pernah berguru yaitu The Jakarta Post. Dini mengatakan bahwa pada saat itu sebenarnya dia tidak mempunyai ambisi menjadi seorang wartawan, salah alasan utama dia menjadi wartawan adalah karena dia ingin mendapat pekerjaan yang santai dan bisa memakai sandal. Tapi ini bukan berarti Dini benci menggunakan sepatu. Menurut Tom McCawlley, yang sekarang menjadi koresponden Financial Times, Dini justru mempunyai koleksi sepatu yang jumlahnya mungkin bisa disamakan dengan koleksi sepatu Imelda Marcos, janda mendiang mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos.

Di The Jakarta Post Dini bekerja sebagai wartawan freelance, dan dia mendapat tanggung jawab untuk menangani feature tentang film, fashion dan entertaiment. Mulailah Dini keluar masuk hotel – hotel berbintang seperti Hotel Dharmawangsa, Hyatt dan lain lain untuk meliput fashion show. Dia pun semakin akrab dengan designer – designer dan model – model yang hidup dengan penuh kemewahan ala Louis XIV, raja Perancis yang dihukum mati saat revolusi Perancis.

Indonesia di mata Dini saat itu adalah Indonesia yang sedang booming, orang berfoya foya dimana – mana. Gaya hidup OKB (Orang Kaya Baru) berjamuran dimana mana, pusat perbelanjaan dan pusat bisnis menjadi tempat favorit bagi mereka. Entah disadarinya atau tidak sebagai wartawan muda, Dini agak terasing dari hingar bingar suara rakyat yang menentang sang diktator Jendral Suharto.

Ketika Dini memulai kariernya di The Jakarta Post di tahun 1994, dunia pers Indonesia baru saja digoncang dengan pembreidelan tiga buah media yaitu Tempo, Detik dan Editor. Meskipun Dini mendapat tugas meliput masalah fashion dan entertaiment, dia juga bisa merasakan bagaimana tekanan terhadap pers pada masa itu. Tapi yang paling berkesan bagi Dini bahwa pada masa itu rezim Orde Baru berhasil membangun selfcencoship di kalangan media. Meskipun tidak ada telpon dari aparat militer atau Departemen Penerangan, para wartawan sudah ketakutan terlebih dahulu dan melakukan sensor terhadap dirinya sendiri.

Tidak lama bekerja di Jakarta Post, Dini menerima tawaran dari production house PT Caksuraga Nusantara Media. Production House ini memperoduksi berita video untuk TV3 Malaysia dan Asian Business News (ABN ). Di kemudian hari, ABN berganti kepemilikan dan berubah menjadi CNBC. Pada saat inilah Dini memulai kariernya dibidang pertelevisian, dengan menggunakan uang saku sendiri Dini membeli kamera dan mulai melakukan liputan – liputan untuk CNBC.

Kurang lebih tiga tahun Dini menjalankan pekerjaannya untuk media cetak dan televisi, dan selama itu dia merasa sudah belajar banyak. Memasuki tahun 1997, Dini merasa dia sudah harus memikirkan kembali nasib dia, apakah dia akan terus tinggal di Indonesia atau berangkat ke luar negri. Dini berada dalam posisi yang dilematis, sementara itu hubungan percintaanya dengan rekannya di The Jakarta Post, Jason Tejasukmana, sekarang reporter Time Magazine, juga harus berakhir. Menurut Jason, hubungan mereka berakhir karena ketika itu mereka masing – masing sedang berada di persimpangan jalan, mereka sedang bingung memikirkan apa yang hendak mereka lakukan dalam hidup mereka, tetap tinggal di Indonesia atau pergi keluar negri.

Di bulan Juli 1997, nilai tukar mata uang Bath di Thailand jatuh ke titik terendah, kejatuhan nilai tukar mata uang ini menyebar ke Korea Selatan, Malaysia dan Indonesia. Di bulan Agustus 1997, mantan Presiden Suharto dan team ekonominya sudah pusing memikirkan jatuhnya nilai tukar mata uang yang sudah mendekati angka 80 persen. Dengan cepat krisis ekonomi yang melanda Indonesia membawa perubahan bagi kehidupan rakyat di Indonesia, tidak terkecuali bagi Dini.

Dini memutuskan untuk tetap tinggal di Indonesia, dan berpikir bahwa inilah saatnya bagi dia untuk bisa berbuat bagi negrinya. Dini juga tidak ingin meninggalkan kedua orang tuanya pada seperti itu. Dini bertekad untuk tinggal di Indonesia sampai krisis berakhir, tapi sampai empat tahun kemudian Dini masih belum melihat ada tanda – tanda bahwa krisis ekonomi ini akan berakhir.

Setelah memutuskan untuk tinggal di Indonesia Dini mulai serius memikirkan karier jurnalistiknya. Sepanjang tahun1998 Dini mencoba bekerja secara lepas dengan sejumlah media asing seperti ABC, CNN (Cable News International), Newsweek, dan beberapa media asing lainnya. Saat itu Dini mencoba untuk mencari media mana yang paling bik bagi dia untuk bekerja. Selama itu pula Dini belajar banyak dari berbagai macam media tersebut.

Di tahun 1999, Margot Cohen, koreponden Review (Far Eastern Economic Review) untuk Indonesia mendapat tugas baru di Hanoi, Vietnam. Dini pun mendapat kesempatan untuk mengisi posisi yang ditinggalkan oleh Margot. Menurut John McBeth, Kepala Kantor Review di Jakarta , Dini merupakan pengganti yang tepat untuk Margot karena dia berdiri di dua kaki, satu kaki di dunia barat dan satu kaki lagi di Indonesia, sehingga dia bisa memberikan perspektif yang mendalam untuk pembaca di luar negri. Dalam pandangan John, Dini mampu menulis dengan baik, sehingga tulisan – tulisan Dini langsung dikirim ke Hong Kong tanpa melalui proses editing oleh John.

Seiring dengan perubahan pada tatanan sosial masyrakat Indonesia, Dini juga mulai belajar banyak tentang realitas politik dalam menjalankan tugasnya sebagai wartawan. Di tahun 1997 juga Dini berkesempatan untuk pergi ke Timor Timur dengan menggunakan transportasi darat dari Kupang ke Dili. Untuk pertama kalinya Dini bertemu orang – orang yang kehilangan saudaranya dan orang – orang yang pernah ditahan dan disiksa oleh tentara Indonesia. Di tahun yang sama juga Dini berangkat ke Sambas, sebagai rombongan media asing pertama yang tiba disana dan meliput konflik etnis yang berlangsung di Sambas. Sejak saat itu Dini mulai semakin sering terjun ke daerah –daerah konflik atau tempat– tempat yang sedang bergolak.

Terjun ke daerah – daerah konflik juga menyimpang pengalaman menarik bagi Dini. Bulan Agustus 1998, Dini berangkat ke Aceh dan melakukan wawancara dengan Tengku Abdullah Syafii, komandan AGAM (Angkatan Gerakan Aceh Merdeka). Bukannya Dini yang mewawancarai sang komandan AGAM, justru dia yang memberi kuliah dan wejangan kepada Dini untuk mendukung perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Menurut Abdullah Syafii, sebagai orang Minang Dini juga harus mendukung konsep Sumatera Merdeka yang diperjuangkan oleh GAM. Dan dia terus berusaha menyakinkan Dini bahwa Dini dijajah oleh orang Jawa.

Di Ambon yang penuh dengan desingan peluru, Dini terlibat dalam kisah percintaan yang rumit dengan dua orang anggota Unit Brimob (Brigade Mobil). Ketika itu Dini sedang membuat berita tentang peran polisi di Ambon, untuk itu dia berusaha mendapatkan informasi dari sebuah pleton Brimob, ternyata sang komandan pleton salah tangkap dan ingin mengawini Dini. Dini pun berusaha menolak dengan halus, agar jangan sampai sang komandan tersinggung. Sementara itu Dini berhubungan dekat dengan seorang anggota pleton yang bernama Tommy. Diakhir tugasnya di Ambon, Dini memberi nasehat kepada Tommy untuk meninggalkan kariernya di kepolisian karena dia hanya akan menjadi korban saja dari ambisi para atasannya. Beberapa bulan kemudian ketika terjadi pertempuran antara Brimob dengan Angkatan Darat, Tommy berusaha menghubungi Dini, tapi dia hanya menitipkan pesan di mesin penjawab Dini. Satu – satunya cara bagi Dini untuk menghubungi Tommy adalah melalui atasannya yang cintanya telah ditolak oleh Dini, tapi Dini pun mengurungkan niatnya untuk menghubungi sang komandan karena khwatir dia akan murka mengetahui keakraban Dini dengan anak buahnya.

Di Papua Barat, Dini mendapati pengalaman dicegat oleh rombongan OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang turun gunung hendak menuju kota Wamena untuk mengikuti rally pro kemerdekaan. Di tengah kecemasan dihadang oleh anggota OPM, Dini masih sempat mengambil sejumlah photo yang kemudian diterbitkan di sejumlah media. Beberapa hari kemudian meletus kerusuhan Wamena, dimana polisi menurunkan bendera “ Bintang Kejora “ yang dikibarkan oleh kelomok pro kemerdekaan. Kemungkinan besar orang – orang yang ditemui Dini ikut dibantai dalam kerusuhan itu.

Pengalaman paling berkesan bagi Dini adalah saat dia meliput proses penentuan jajak pendapat di Timor Timur pada bulan September 1999. Pada saat yang sama kakaknya Dino Djalal juga berada di Timor Timur dalam kapasitas sebagai Juru Bicara Satgas P3TT (Satuan Tugas Pelaksanaan Penentuan Pendapat di Timor Timur). Setelah hasil jajak pendapat diumumkan dan kelompok pro kemerdekaan menang, maka rombongan pemerintah termasuk Dino mulai dievakuasi. Dino telah susah payah memesan tempat di pesawat Hercules untuk adik tercinta Dini, namun sewaktu mereka bertemu di bandara Komoro di Dili, Timor Timur, Dini menolak untuk berangkat karena tugasnya belum selesai dan ada temannya yang sakit. Setelah gagal memaksa sang adik untuk pulang Dino pun memberikan nomor seorang perwira militer yang bisa dihubungi Dini dalam keadaan darurat. Dino pulang ke Jakarta dan harus menghadapi ibunya yang mencak – mencak karena sang adik ditinggal sendirian. Dini sendiri akhirnya meningglkan Timor Timur dengan menggunakan pesawat yang dicarter oleh rombongan wartawan Jepang.

Bagi Dini menjadi seorang wartawan adalah proses untuk belajar dari orang – orang disekeliling dia bekerja. Selama di The Jakarta Post, Dini belajar dari cara kerja wartawan senior The Jakarta Post seperti Ati Nurbaiti, dan Santi W.E. Soekanto. Meskipun CNBC tidak pernah memberikan pendidikan jurnalistik khusus kepadanya, Dini merasa dia juga belajar banyak dari crew CNBC di Singapura yang memberikan arahan kalau Dini bertemu mereka. Pelajaran terpenting dari CNBC bagi Dini adalah menulis script yang lebih baik. Di Channel Four News, Dini belajar banyak cara mengedit film dan membuat liputan televisi dari Ian Williams, produser Channel Four News Asia Bureau. Di Review, Dini juga merasa dia belajar banyak dari John yang dia anggap sebagai salah seorang mentor yang terbaik bagi dia.

Disamping belajar dari orang – orang di sekelilingnya, Dini juga mencoba belajar dari wartawan – wartawan yang dikaguminya. Untuk media cetak, Dini mencoba belajar banyak dari Chirstopher Hitchen, seorang wartawan senior yang banyak menulis untuk majalah The Nation dan Vanity Fair, dia juga menjadi kontributor untuk Vogue, New Left Review, Dissent dan Times Literary Supplement. Hitchen banyak menulis buku seperti Hostage to History: Cyprus From the Ottamans to Kissinger, Blood, Class and Nostalgia: Ango –American Ironies, dan The Missionary Position: Mother Terese in Theory and Practice.

Di media pertelevisian, Dini sangat mengangumi Chirtiane Amanpour, Koordinator Koresponden Internasional CNN. Di tahun 1991, Amanpour mendapat penghargaan Golden CableACE atas laporannya tentang perang Teluk. Ketika bekas negara Yugoslavia sedang bergolak di tahun 1992 Amanpour berhasil menurunkan laporan yang memukau dunia. Atas hasil kerja kerasnya di Yugoslavia dia mendapat penghargaan News and Documentary Emmy Award, a Courage in Journalism Award dan Livingston Award for Young Journalists.

Bagi Dini, Amanpour merupakan sosok yang menarik karena dia berpenampilan sederhana, dan orang –orang lebih mendengarkan apa yang menjadi pemikiran dia daripada melihat dia sebagai sosok yang cantik dan menarik. Dini juga mengagumi dedikasi dan kerja keras Amanpour yang sudah terjun di banyak daerah konflik, Yugoslavia, Zaire, Afghanistan dan Rwanda.

Pelajaran tentang jurnalistik berharga bagi Dini didapatkannya dari pengalaman di lapangan khususnya dari wartawan – wartawan lokal yang banyak membantu dia. Bagi Dini keberhasilan kerja dia tidak mungkin tercapai tanpa adanya bantuan dari wartawan – wartawan lokal. Selama berada di Ambon, Aceh, dan Timor Timur, Dini mengakui bahwa dia banyak mendapat bantuan dari wartawan – wartawan lokal dalam menembus sumber – sumber berita.

Penghargaan yang setinggi tingginya patut diberikan pada para wartawan lokal yang telah membantu kerja wartawan asing, demikian tukas Dini. Sehubungan dengan hal ini Dini mengatakan bahwa dia sangat membenci wartawan asing yang tidak menyebutkan nama wartawan lokal di dalam berita – berita mereka. Padahal wartawan lokallah yang pontang – panting mencari berita ataupun membantu proses pencarian berita.

Dini menyadari bahwa dia mempunyai banyak kelemahan sebagai seorang jurnalis. Dini mengatakan bahwa dia tidak mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, salah satu kendala yang dihadapi Dini adalah dia selalu merasa nervous kalau harus tampil di depan kamera, selama ini dia rasa cueknyalah yang membuat Dini masih bisa memaksakan diri untuk tampil di depan kamera. Alasan utama Dini untuk terus menekuni pekerjaanya di CNBC adalah karena kecintaannya pada proses membuat film dan editing. Tentang kelemahan Dini ini juga ditegaskan oleh sahabatnya, Julia Supatmo, dimata Supatmo Dini adalah orang yang pemalu, dia akan memilih diam kalau berada di tengah keremunan orang – orang yang tidak dia kenal.

Disisi lain Dini juga tergolong tipe yang cepat bosan dan dia selalu ingin mencari stimulus baru untuk keluar dari kebosanan itu. Cepat bosan menjadi salah satu alasan Dini untuk tidak menjadi pegawai tetap di sebuah media dan dia memilih lebih menjadi seorang wartawan freelance. Menurut Jason Tedjasukmana, lebih tepat kalau dikatakan Dini orang yang tidak suka diam sehingga dia selalu ingin mencari hal yang baru. Jadi jangan heran kalau sering merasa bosan di Indonesia, dan dia langsung pergi berlibur ke luar negri.

Posisi Dini sebagai wartawan freelance juga membuat dia tidak mempunyai struktur atau jadual yang pasti dalam pekerjaannya. Memang dia masih mempunyai deadline, tapi Dini bebas menentukan kapan dia harus berhenti kalau dia capek dan kapan dia harus memulai pekerjaannya. Dalam hal ini Dini mengatakan bahwa itu bukan masalah, justru dengan posisi sebagai wartawan freelance maka dia akan dipacu untuk lebih kerja keras, karena kalau dia bermalas – malasan maka dia akan perlahan – lahan dilupakan oleh orang. Rekan Dini, John McBeth juga tidak menganggap ini sebagai kendala karena dimata McBeth, Dini adalah seorang wartawan yang penuh inisiatif dan bertanggung jawab.

Sekarang Dini sudah menjadi seorang wartawan dengan penghasilan yang lumayan besar, dan ini berjalan seiring dengan kegemaran Dini berbelanja dan kecintaannya pada fashion. Menurut Jason Tedjasukmana, Dini seperti sudah kecanduan pada baju – baju yang bagus, mungkin itu karena pengaruh gaya hidup selama tinggal di New York dan London. Pulang dari bertugas di Ambon atau Aceh yang dicari pertama kali oleh Dini majalah mode. Menurut Dini sendiri, kegemarannya untuk berbelanja bukanlah sesuatu yang negatif, karena dia tidak merugikan orang lain dan dia menggunakan uang hasil kerja kerasnya sendiri. Di mata Julia Supatmo, kebiasaan Dini berbelanja ini lebih menandakan bahwa dia adalah seorang jurnalis profesinal yang kosmopolitan, dan bukan seorang jurnalis yang kere.

Saat ini Dini baru memasuki usia tiga puluhan, perjalanan kariernya masih panjang. Godaan untuk meninggalkan dunia jurnalisme pernah muncul dari Menteri Riset dan Tekhnologi (Menristek) AS Hikam yang menawari Dini untuk menjadi PR (public relation officer) di kantornya, tapi dengan halus Dini menolak tawaran itu. Dini tetap memiliki komitem untuk tetap di jalur pers, Dini sendiri sudah bercita – cita untuk bisa membuat film dokumenter dan mendirikan majalah sendiri. Sebuah majalah yang semangatnya sama dengan Vanity Fair, majalah yang isinya ringan tapi menggali sisi–sisi yang dalam dari sebuah masalah.

PERTANYAAN terbesar di mata orang–orang tentang Dini adalah independensi dia terhadap bapak dan kakaknya Dino. Seberapa jauhkah Dini mampu independen terhadap Dino dan bapaknya yang merupakan pejabat –pejabat pemerintahan.

Menurut sang papi tercinta Hasyim, dia tidak pernah mendikte Dini. Hasyim mengakui dia pernah mencoba meminta Dini menulis beberapa hal, tapi permintaan itu ditolak dengan tegas oleh Dini. Hasyim juga mengatakan bahwa dia pernah beberapa kali menegur Dini yang menurutnya sudah mulai berpihak pada suatu kelompok, tapi Dini membela diri dengan mengatakan bahwa dia hanya berpihak pada fakta dan kebenaran semata.

Disisi lain sang abang, Dino Djalal mengatakan, di keluarga Djalal anak–anak sudah dilatih untuk berpikir independen sejak kecil sehingga masing–masing orang bisa mempunyai pendapat yang berbeda beda. Di mata Dino laporan–laporan Dini sangat tajam dan obyektif dan sering kali berbeda dengan pandangan-pandangan Dino. Justru sebaliknya Dino merasa dia yang sekarang berada di bawah bayang–bayang sang adik, kalau dia memberikan kartu namanya kepada pejabat–pejabat di Pentagon atau US State Departement (Kementerian Luar Negri Amerika Serikat), maka mereka akan bertanya “apa hubungan anda dengan Dini Djalal.”

Orang–orang di sekeliling Dini, mulai dari Jason Tejasukmana, Tom McCawley, Julia Supatmo dan John McBeth semuanya mempunyai pendapat yang sama bahwa Dini sangat independen dan dia tidak hidup di bawah bayang–bayang dan pola pikir bapak dan kakaknya.

Jikalau laporan–laporan Dini berseberangan dengan posisi bapak dan kakaknya, akan muncul pertanyaan apakah profesi Dini bisa membahayakan posisi mereka? Menurut Dino, dia dan Dini sama–sama profesional dan sama–sama menghormati profesi masing–masing, sehingga dia tidak merasa terancam dengan posisi Dini. Sementara itu menurut sang ayah, profesi Dini juga tidak menjadi soal bagi dia karena selama ini Dini tidak pernah melanggar hukum.

Menurut Hasyim, ketika memulai kariernya sebagai wartawan Dini tidak terlalu politis, karena menulis fashion melulu maka Dini tidak banyak bersinggungan dengan masalah politik kekuasaan Orde Baru. Hal ini juga ditegaskan oleh John McBeth yang mengatakan bahwa sebenarnya Dini baru masuk ke dalam dunia pers secara serius pada tahun 1997

Sebagai seorang jurnalis mungkin benar Dini merupakan seorang profesional dan tidak terpengaruh oleh kakak dan bapaknya. Pertanyaan lain yang muncul adalah apakah lingkungan sosial Dini yang akrab dengan kekuasaan Orde Baru tidak meninggalkan pengaruh pada sel–sel kelabu di otak Dini?

Menurut pendapat Dini pribadi dia bukan merupakan produk dari Orde Baru karena dia lama tinggal di luar negri dan tidak pernah mengecap pendidikan di Indonesia yang sarat aka nilai – nilai Orde Baru mulai dari P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sampai mata kuliah Kewiraan. Di tambah lagi posisi bapaknya yang merupakan seorang diplomat tulen, kendati Hasyim harus menjadi anggota Golkar karena dia pegawai negri, tapi dia tidak menjadi pengurus Golkar atau ikut berkampanye untuk Golkar.

Akan tetapi menurut Jason Tedjasukmana, secara tidak langsung jasa Orde Baru ikut berperan pada karie Dini. Pada saat memulai karier jurnalistik secara serius di tahun 1997, Dini merasa aman karena dia terlindungi oleh koneksi bapaknya mulai dari mantan Presiden Baharudin Jusuf Habibie, yang saat itu menjabat sebagi Menristek sampai pada Ali Alatas, yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Luar Negri. Sehubungan dengan hal ini, Tom McCawlley mengatakan bahwa “Dini memang bukan aktivis anti Orde Baru tapi yang jelas dia tidak munafik dengan mengatakan dia anti Orde Baru setelah Suharto ditumbangkan. Dini cukup trendy dalam dunia fashion , tapi dia tidak trendy dalam sikap politik.”

Tentang masalah Timor Timur yang merupakan isu hangat di keluarganya, Dini mengakui bahwa tidak mempunyai banyak perhatian. Bagi Dini apa yang terjadi di Timor Timur juga terjadi di belahan bumi nusantara lainnya, pembunuhan dan penyiksasan terjadi di Aceh, Ambon, dan Kalimantan, jadi tidak ada yang khusus dari bumi Loro Sae. Meskipun demikian, menurut Tom, Dini tidak bisa dikatakan dia membawa kepentingan suara pemerintah Indonesia dalam pemberitaan tentang Timor Timur.

Pengakuan Dini, dia tidak mempunyai banyak memori tentang Timor Timur, disamping cerita tentang Ramos Horta dan makian dari saudara perempuan Kamal Bamadhaj, Dini hanya teringat pada perdebatan masalah Timor Timur antara kakaknya Dino, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Politik, KBRI London, melawan John Pilger, wartawan Inggris yang membuat film dokuementer tentang Timor Timur berjudul Death of A Nation dan Jose Ramos Horta. Menyaksikan siaran yang ditayangkan oleh BBC (British Broadcasting Corporation) ini, Dini hanya bisa tertunduk sedih melihat sang moderator pun ikut menyerang abang tercintanya, dimata Dini yang terjadi adalah pertarungan tiga lawan satu.

Hampir dua puluh tahun tinggal di luar negri membuat Dini tidak tahu banyak sepak terjang pemerintah Orde Baru. Untuk pertama kalinya Dini melihat kampanye pemihan umum (pemilu) adalah pada pemilu 1997. Dini mengakui bahwa membicarakan tentang mantan presiden Suharto adalah hal yang tabu di keluarganya. Papi tercinta selalu mengatakan “ Pak Harto has very good memory…” . Kata – kata itu sudah cukup untuk membuat anak – anaknya berhenti membicarakan hal – hal yang berkaitan dengan Suharto, karena takut pembicaraan mereka akan sampai di telinga Pak Harto dan dia akan terus mengingat itu sehingga bisa membuat ambassdor Hasyim Djalal dipindahtugaskan ke Timbuktu di benua Afrika. Pembicaraan tentang Suharto masih merupakan hal yang tabu bagi Dini sampai pada dua bulan terakhir menjelang kejatuhan sang diktator.

Di tahun 1991 ketika kakak tertua Dini, Iwan Djalal melangsungkan pernikahan Dini mendapat kesempatan untuk bertatap muka dengan mantan presiden Suharto. Bak seorang hamba yang menghadap raja, Dini yang berpakaian adat Sumater Barat harus berjalan sambil jongkok memberikan tanda ucapan terima kasih kepada Suharto yang duduk seperti kursi besar bak singasana. Tujuh tahun kemudian Suharto harus turun dari singasana, dan tidak ada lagi orang seperti Dini yang memberi persembahan kepadanya.

DINI sudah melanglang buana di seluruh penjuru nusantara dan dari gadis kecil yang bermain boneka barbie, dia sudah menjelma menjadi wartawati energik yang serba bisa. Di luar segala ketegarannya dia tetap dianggap sebagai putri bungsu yang manja, perlu dilindungi dan diperhatikan.

Menurut Dini orang tuanya adalah tipe orang tua Indonesia pada umumnya yang sangat protektif terhadap anak – anak. Masih terngiang dalam ingatannya bagaimana sang ibu menangis dengan berurai air mata ketika Dini memutuskan untuk meninggalkan rumah dan tinggal sendiri. Sang Ibu juga selalu cemas kalau dia harus pulang malam sendirian dan terkadang harus naik President Taxi, yang keamanannya kurang terjamin.

Dino, sang kakak yang bintangnya sedang naik di dunia diplomasi, juga mempunyai hasrat untuk selalu melindungi sang adik. Kalau mengetahui Dini akan berangkat ke daerah konflik, Dino selalu berpesan untuk hati – hati dan jangan sampai dia harus turun tangan untuk menyelematkan sang adik. Hal yang paling menganggu Dino adalah perasaan tidak mampu untuk menolong manakala sang adik tercinta sedang berada di medan perang atau medan konflik. Menurut Dino dia bersikap seperti itu karena Dini sering tidak menyadari bahaya yang dihadapinya karena keyakinan Dini bahwa semua orang pada dasarnya bersifat baik dan bisa ditundukkan dengan senyuman.

Salah satu misi akhir dari pasangan Hasyim dan Zurni adalah melihat putri bungsu mereka agar dapat mendapat pahlawan hati yang cocok. Zurni mengatakan bahwa dia tidak peduli putrinya mendapat laki – laki dari Eskimo, Nigeria ataupun Britania Raya, tapi yang paling penting dia harus memeluk agama Islam dan hal ini tidak bisa ditawar–tawar lagi.

Dalam hal perkawinan, Dini mempunyai keyakinan bahwa dia tidak akan menikah demi sebuah keharusan sosial, dan sebelum dia menemukan seseorang yang bisa membahagiakan dia untuk seumur hidupnya, maka dia tidak akan menikah. Dini sendiri mengatakan bahwa dia masih percaya akan kata cinta dan berharap bahwa dia bisa menikah suatu hari nanti. Nampaknya kedua orang tuan Dini masih harus menunggu cukup lama untuk melihat putri mereka melakukan ijab kabul.

Dalam hal hubungan dengan pria, Dini mengatakan dia tidak suka kalau berhadapan dengan laki–laki yang bisa seenaknya menginjak injak dia atau laki–laki yang tidak suka kalau melihat pasangannya sukses. Meskipun Dini mengaku dirinya bukan seorang feminis dia selalu siap berdiri dengan kepala tegak, dengan berkacak pinggang dan mengepal tangannya untuk menghadap kaum lelaki sambil berkata. “ aku punya harga dan hargaku cukup mahal, bukan kecantikan modalku, tetapi aku bukan sampah yang bisa dibuang seenaknya. Aku tidak akan membungkuk kepala kepadamu, jangan coba–coba mempermainkanku, nanti kutendang anumu“

Meskipun kadang–kadang tampil menghentak–hentak, Dini juga bisa merana seperti burung yang terluka dan saat itu dia pun mencari perlindungan dibawah kepak sayap sang ibu. Dan kalau saat ini tiba, maka Zurni akan memeluk anaknya erat–erat sambil berdoa. Dan untuk burung yang terluka seperti Dinilah, Zurni, yang sudah dua belas kali naik haji dan selalu membawa sambal kalau duduk di executive class pesawat internasional, bisa berfungsi sebagai ibu.

Setelah berpacaran selama hampir dua tahun dengan Tom McCawlley, hubungan mereka berakhir. Saat itu pula Dini lari ke pelukan sang ibu dan berkata “Mami I am broke“. Dalam hatinya Zurni pun ikut bersedih karena dia juga sudah terlanjur senang membayangkan putri mereka akan menikah dengan Tom si aussie guy yang sudah menimbang–nimbang untuk masuk NU (Nahdatul Ulama) kalau dia jadi menikah dengan Dini. Putusnya hubungan Dini bisa – bisa memicu masalah diplomatik antara Australia dan Indonesia, orang tua Tom di Canberra, ibu kota Australia sudah berbicara dengan Duta Besar Indonesia untuk Australia Mister Wiryono,bahwa dia sangat senang akan berbesanan dengan Mister Djalal dan sekarang semua impian itu hancur berantakan.

McCawlley sendiri menolak berkomentar tentang bubarnya hubungan dia dengan Dini, hal itu bukan untuk konsumsi publik tukasnya. McCawlley cuma memberikan sebuah analogi tentang perbedaan dia dengan Dini selama mereka berpacaran, perbedaan itu bisa diibaratkan perbedaan antara kung fu dengan karate. McCawlley tampil lemah gemulai dan luwes dengan kung funya sedangkan Dini tampil menghentak-hentak dan agak kaku dengan karatenya.

Sekian banyak rekan–rekan abangnya Dino telah menaksir Dini, tetapi ia tertutup. Dan sekarang Dini sudah menemukan pasangan yang baru, Charles Darapak, seorang photographer yang bekerja untuk Associated Press (AP). Pemuda Thailand ini sekarang mengisi hari –hari Dini sambil memainkan peran sebagai guru photographi bagi Dini. Tidak ada yang tahu kapan pasangan Hasyim- Zurni bisa menyaksikan putri bungsu mereka duduk di pelaminan.

Dan untuk sementara waktu Zurni pun harus mahfum bahwa sebagai orang tua dia tidak dapat lagi mempertahankan permainan estafet kepada generasi penerusnya. Putri semata wayangnya Dini telah memilih jalan hidupnya sendiri sebagai seorang wartawati dan kecil kemungkinan dia akan menerima tongkat estafet sebagai pimpinan dalam keluarga sesuai dengan tradisi Minang.

DINI Sari Djalal memang bukan jenis petualang sejati atau penjelajah samudera, meskipun dia menuntut ilmu di dua benua. Meskipun demikian ia masih mewarisi semangat rantau yang berasal dari tanah Minang tempat kedua orang tuanya berasal. Ia telah merantau jauh menembus batas–batas tembok kaum elite dan ningrat tempat ia dibesarkan dan dia telah masuk ke dalam dunia yang lain, ditengah desing peluru dan bau anyir darah. Dia telah merantau ke dalam dunia yang sebetulnya tidak dikenal oleh kaum duta besar atau rangkayo dari ranah Minang. Akan bertahankah dia di perantauan ini, ataukah ini semua hanya hobi belaka?

Ibarat burung–burung yang bermigrasi pada musim dingin dan suatu saat burung–burung itu akan kembali ke tempat dia berangkat, di dalam lubuk hatinya Dini menyimpan kompas yang akan memberitahu dia untuk tahu persis ke mana dan bagaimana ia pada musimnya harus kembali ke tempat kelahirannya, untuk memenuhi panggilan hati kecilnya yang tidak dapat ia hindari.

Krisis ekonomi di Indonesia belum menunjukkan tanda – tanda akan berakhir, mungkin ini bisa diartikan Dini akan tinggal lebih lama lagi di Indonesia. Dan lewat kamera dan penanya Dini akan selalu berhadapan dengan segala macam budaya nestapa, kaum lemah serta tragedi manusia yang selalu menjadi “kurban” karena mereka ingin menghirup hawa kemerdekaan. Dini yang selama ini melihat tenggelamnya matahari dengan kaca mata putri duta besar danb keluarga elite terpandang harus berubah untuk menghadapi realita telanjang dari kaum miskin papa yang selalu disalahkan dan selalu menjadi “kurban”. Itulah Dini Sari Djalal wanita yang penuh kontradiksi.*

kembali keatas

by:Hendri Kuok