Dee

Agus Sopian

Mon, 7 May 2001

SALAH satu kelebihan Dewi Lestari, akrab disapa Dee, adalah kepintarannya menyembunyikan diri. Orang tahu, Dee biasa nongkrong di sebuah bar kecil eksklusif di kawasan Setiabudi, Bandung.

SALAH satu kelebihan Dewi Lestari, akrab disapa Dee, adalah kepintarannya menyembunyikan diri. Orang tahu, Dee biasa nongkrong di sebuah bar kecil eksklusif di kawasan Setiabudi, Bandung. Pengagum Roland Orzabal dari kelompok musik Tears for Fears ini tak asing dengan bir, bahkan tequilla atau bacardi. Tapi, minuman favoritnya tak lebih dari teh wangi. Apalagi disajikan panas-panas.

Dee tak suka membaca fiksi. Tapi, ia cinta komik klasik Walt Disney, Tintin, dan Asterix. Dan ketika dirinya makin matang, Dee melebur ke dalam imajinasi segar Michael Crichton, Deepak Chopra, atau Krishnamurti, sambil sesekali mampir ke fantasi-fantasi J.K Rowling, yang menurutnya "superb".

Tempo hari, Dee melulu dikenal publik sebagai penyanyi. Nyatanya, vokalis kelompok vokal RSD (Rida-Sita-Dewi) ini punya talenta lain: mengarang. Sejumlah kalangan malahan membaptisnya sebagai sastrawan "Angkatan Generasi Digital."

Karyanya, Supernova, membawa kegairahan baru bagi tata niaga karya sastra. Di pasar buku Palasari, barometer bisnis buku di Bandung, novel itu diantri banyak peminat. A. Sasmita, salah seorang pemilik kios di sana, sempat kaget dengan ledakan pembeli. Dalam tempo kurang sebulan, pemilik kios buku itu menjual 500 eksemplar. Jumlah ini dalam catatan Sasmita hanya bisa disaingi cerita anak-anak Harry Potter karya J.K. Rowling dari Inggris.

Kekagetan yang sama pernah dirasakan Sasmita, ketika Ayu Utami melepas roman Saman. Sayangnya, roman itu telat sampai di Palasari. Masih untung, seratus eksemplar Saman bisa dijual Sasmita dalam kurun waktu sebulan.

Lain Saman, lain Supernova. Distribusi Supernova jauh lebih agresif ketimbang Saman yang menggunakan jalur konvensional. Di bawah bendera Truedee Books, Supernova dipasarkan melalui konsep pemasaran independen. Modusnya, selain ditaruh di situs Dee www.truedee.com, novel ini dijual langsung dengan memanfaatkan forum diskusi yang sengaja diadakan di sana-sini. Ini model Amerika Serikat memang.

Perjudian yang mempertaruhkan seluruh uang tabungan Dee membuahkan hasil. Di hampir semua forum diskusi, Supernova tak pernah sepi pembeli. Di Universitas Indonesia, Supernova terjual 250 eksemplar. Singkat cerita, edisi pertama, dicetak lima ribu eksemplar dalam dua edisi, edisi "paket hemat" seharga Rp 17.500 dan luks Rp 29.500, ludes hanya dalam tempo dua minggu. Awal April, Supernova mulai memasuki usia cetak ketiga.

Siapa pembeli Supernova?

Mereka datang dari beragam kalangan. Sebagian pembaca sastra, sebagian lagi kalangan yang sekadar iseng. Yanti, mahasiswi Universitas Padjadjaran asal Sumbawa, mengungkapkan, minatnya untuk membeli sekadar hendak membunuh rasa penasaran lantaran setiap hari kupingnya gatal mendengar kawan-kawannya membicarakan novel tersebut.

Yanti mungkin mewakili sampel konsumen buku sastra akibat dahsyatnya promosi dari mulut ke mulut, yang sengaja di-setting Dee sejak awal. Dee memilih cara demikian lantaran sadar betul, di pasaran beredar seabreg novel dengan kelebihan masing-masing.

"Kayak sabun, di supermarket banyak kali mereknya. Bila sebelum masuk ke sana, orang sudah punya satu merek, mereka nggak dibingungkan pilihan-pilihan, kan. Supernova menggunakan cara pikir ini," ujar Dee.

Biar lebih fokus, Dee memilih kampus sebagai segmen utama pasarnya. Pilihan ini diambil setelah ia menyerap pendapat teman-temannya di Truedee Books, yang menyadari Supernova tergolong "berat" untuk sebuah fiksi, sehingga psikografis pembaca yang harus dikejarnya adalah mereka yang benar-benar merepresentasikan konsumen berpendidikan sampai pada level tertentu.

Supernova tergolong berat. Tak sedikit pengamat sastra yang mengamininya. Herry Dim, penyair asal Bandung, yang karier kewartawanannya sempat terhenti setelah ikut menyatroni aktivitas para jurnalis di Sirnagalih, Bogor, pada Agustus 1994, menilai Supernova tak hanya bermaksud bercerita, tetapi juga mencoba mendiskusikan ilmu pengetahuan, ilmu jiwa, hingga filsafat mutakhir.

"Di bagian awal pula, setidaknya saya sebagai pembaca, merasa terbanting-banting mengikuti kuliah teori-teori fisika yang padahal bisa saja dibaca lewat buku-buku sumbernya langsung," begitu Herry Dim berkomentar.

Sapardi Djoko Damono, penyair dan kritikus sastra dari Universitas Indonesia -yang salah satu puisinya, Aku Ingin, digilai Dee- ikhlas menyebut Supernova sangat menarik. Bahkan Jakob Sumardjo, kritikus sastra lainnya dari Jakarta, mendudukkan Supernova sebagai novel generasi baru Indonesia, bergaya The Celestine Prophecy karya James Redfield, yang menentang nilai-nilai dunia lama dengan mengajukan argumentasi-argumentasi baru soal misteri dan spiritualisme dengan adegan di Amerika Latin.

Tapi C. Sri Sutyoko Hermawan, seorang pembaca Supernova, punya pandangan berbeda. Hermawan melayangkan pendapatnya ke redaksi Kompas, yang membuat Dee senewen dan berusaha membalasnya sekadar untuk mengejek. Hermawan mempertanyakan antara lain, keselarasan teks dan konteks dari halaman tiga hingga sembilan yang melukiskan karakter Ruben dan Dhimas berdiskusi mengenai konsep-konsep sains dalam keadaan teler akibat "badai serotonin." Naskah ini jelek.

Demokrasi, demikian pula kebebasan berekspresi menjadi dua kata kunci dalam hidup Dee. Ayahnya, Yohan Simangunsong, pensiunan tentara berpangkat kolonel, tahu persis bagaimana Dee mengambil jalan hidup. Demi mempertahankan semua itu, ia tak jarang berhadap-hadapan dengan kakak-kakaknya, terutama Ian dan Key. Ian anak tertua, disusul Key, dan Imelda. Dee berada di urutan keempat dan Arina pamungkas.

Berbeda dengan kakak-kakaknya, Dee lebih dekat dengan ibunya. Sang ibu, Tiurlan Siagian, seorang penatua di Gereja Huria Kristen Batak Protestan, meninggal pada 1995. Sejak kecil, Dee terbiasa melihat ibunya mencoret-coret kertas, membuat naskah pidato untuk khotbah. Dari ibunya, ini kata Dee, bakat menulisnya mengalir. Dan ia memulainya di usia dini: sembilan tahun.

Media tulisan Dee hampir tanpa batas. Ia bisa menulis di atas apa saja: buku, kertas tisu, bon pembelian barang, sampai kotak muntah di pesawat terbang. Semuanya ia arsipkan dengan rapi di lemari. "Sekarang ini saya lebih banyak menyimpan tulisan di notebook, yang sering saya bawa ke mana-mana," katanya.

Loncat sana loncat sini bukan kebiasaan baru bagi Dee. Sebelum bergabung dengan kelompok vokal RSD dan terlibat aktivitas show di berbagai kota, Dee sudah lebih dulu mengenal sejumlah daerah, mengikuti garis penugasan yang disandang ayahnya.

Sekalipun Dee dibesarkan di lingkungan keluarga militer, karakter Dee jauh dari kesan anak kolong. Ia teguh mengejar sesuatu, tapi bisa berubah pada saat-saat terakhir. Hidup ibarat main catur, bisa berganti strategi dan taktik begitu terlihat medan permainan baru. Ia menolak tunduk pada hal-hal yang jumud, sifatnya. Sebaliknya, cewek bergaya hidup bak kalong ini selalu terbuka untuk sebuah kerangka baru. Sebuah sikap yang disumbangkan juga oleh lingkungan keluarganya.

Perseteruan Dee dengan Ian dan Key, umpamanya, di mata Yohan Simangunsong ikut berpengaruh pada Dee. Gadis ini bergumul dengan ilmu-ilmu sosial di Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Parahyangan, Bandung. Perseteruan dengan kedua kakaknya itu justru membawanya pada keisengan menggumuli sains, termasuk fisika, sesuatu yang barangkali, menurut jalan pikirannya bisa melapis pendapatnya tatkala harus adu argumentasi dengan mereka.

Sains pada akhirnya bukan lagi aksesori, tetapi kemudian jadi kebutuhan yang tak ada habis-habisnya. Ada pesona yang membuat Dee terus menekuninya. Kini pesona itu ia pindahkan ke dalam novelnya. Pemasaran digeber habis-habisan. Orang tertular. Dee senang. Ia tidak menyangka Supernova mendapat sambutan meriah yang melambungkannya ke puncak kebanggaan. Sesuatu yang tak pernah dirasakannya bahkan sehabis pertunjukan menyanyi.*

kembali keatas

by:Agus Sopian