RENTETAN tembakan menggemuruh. Demonstran kucar-kacir. Ia serta-merta berbalik dan lari menghindar. Seseorang tiba-tiba mendorong punggungnya. Voja Miladinovic menghardik, “Come on don’t push me!” Hanya sedetik atau dua, ada bunyi sesuatu terhempas, persis di belakangnya. Ia berhenti. Ternyata tubuh orang yang mendorongnya, tertelungkup di atas aspal. Mahasiswa. Jaketnya berlumur darah. Aspal sampai basah. Leher mahasiswa itu ditembus peluru. Nadinya sudah tak berdetak. Pikiran Miladinovich kalut, tapi secara refleks ia mengambil foto.

Hasil jepretan itu kini jadi salah satu rekaman terbaiknya di Indonesia saat mahasiswa turun ke jalan pada petang 13 November 1998, melakukan demonstrasi besar-besaran menentang Presiden B.J. Habibie di daerah Semanggi, Jakarta. “Anak muda itu ternyata menyelamatkan saya. Kalau bukan dia ya saya yang kena, posisi kami rapat.”

Miladinovich adalah satu dari sejumlah fotografer asing yang sering memotret di Indonesia. Pewarta foto freelance ini pertama kali berkunjung ke Indonesia awal 1990-an. Ia mengabadikan gerakan perlawanan para pendukung Megawati Sukarnoputri menjelang Peristiwa 27 Juli 1996, kampanye pemilihan umum 1997 yang berdarah, gerakan mahasiswa untuk menentang Soeharto, gejolak Timor Timur, pertikaian Kristen-Islam di Maluku, gerakan politik Aceh, bencana alam di Bengkulu, dan yang lain.

Wajar kalau pria berkumis tebal ini bisa berbicara sangat fasih tentang Indonesia. Ihwal apa saja: Soeharto, birokrat, tentara, Brimob, polisi cepek, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mafia baru di Ambon, Timor Timur, atau Sampit, misalnya. Ia merekam secara jeli karakter stereotif “manusia Indonesia” terutama di kawasan-kawasan bermasalah. Maka jangan heran kalau nada bicaranya kritis. Orang Indonesia yang nasionalismenya tinggi bisa merah telinganya bila mendengar Miladinovich bercerita tentang manusia-manusia Indonesia di Aceh dan Maluku, misalnya.

Serambi Mekah bukan wilayah asing bagi Miladinovich. Sebelumnya ia sudah lima kali ke sana. Lalu, baru-baru ini, Maret 2001, ia ke sana lagi selama tiga minggu. Menurutnya, situasi Aceh sangat buruk. Saban hari ada saja orang yang dibunuh. Macam zaman daerah operasi militer saja. Tentara dan polisi Indonesia sikapnya berlebihan. Tank-tank mereka turunkan ke jalan-jalan. “Saya tak habis pikir. Untuk apa? Tank bukan alat untuk melindungi, tapi untuk menghancurkan,” tuturnya.

Dalam pandangan Miladinovich, Jakarta tak proporsional dalam menghadapi pemberontakan Aceh. GAM sebenarnya hanya bersenjatakan bedil dan pistol. Tak punya persenjataan berat. “Kekuatan mereka adalah dukungan rakyat banyak, termasuk kaum intelektual, mahasiswa, dan LSM. Mereka menguasai 100 persen kawasan pedesaan,” ungkap Miladinovich. Ia mempersamakan GAM dengan kelompok perlawanan Aljazair yang menghadapi kekuatan kolonial Perancis bukan dengan senjata api tapi dengan dukungan populer dan belati.

Kalau rakyat Aceh senantiasa melawan, dalam penilaian Miladinovich itu hal wajar. Sebab hak mereka dirampas sekian lama. Ia mencontohkan ketakjubannya melihat kota industri Lhokseumawe. Menurut dia, di mana pun di dunia, dari Nigeria ke Venezuela, kalau kita pergi ke kota-kota yang jadi pusat industri, yang kita hirup adalah aroma kelimpahan uang: bangunan-bangunan akbar, pencakar langit, plaza, dan yang lain. Kemewahan dan kemilau. “Tapi Lhokseumawe? Sungguh keterlaluan. Kota ini lebih terbelakang dibanding desa-desa di Jawa Timur.”

Cerita Miladinovich tentang Maluku sama buramnya. Pertama kali dia berkunjung ke sana dua tahun silam. Waktu itu ia tak hanya ke Ambon. Tapi juga ke Ternate, Tidore, dan Halmahera (di antaranya Tobelo). Belum lama ini, ia balik ke Maluku lagi selama tiga minggu. Dengan pelbagai kiat ia bisa masuk baik ke kawasan Islam maupun Kristen. Ia bertemu dengan Agus Wattimena, pemimpin organisasi militia Laskar Kristus, tapi juga dengan orang-orang Laskar Jihad.

Kesannya tentang Maluku: parah dan benar-benar terbelah. Bosnia atau Beirut pun yang namanya ethnic cleansing tak pernah dilakukan 100 persen. Karena di wilayah etnik tertentu masih bisa ditemukan etnik lain. Di Beirut misalnya ada kawasan Druz, Islam dan Kristen. Tapi orang bisa menyeberang dari satu kawasan ke kawasan lainnya. “Beirut tak pernah terbelah 100 persen. Maluku ya. Di Ternate misalnya kini tidak ada lagi orang Kristen,” ucap Miladinovich, membandingkan Maluku dengan pengalamannya meliput daerah sengketa di Timur Tengah maupun kawasan Balkan.

Miladinovich tak habis pikir melihat daya rusak orang-orang Maluku. Di sana orang bisa meratakan sebuah bangunan lantai enam tanpa pakai granat atau bahan peledak lain. Suatu saat ia ingin tahu, mengapa orang Kristen dan Islam yang selama berabad-abad hidup bersama kini baku bantai. Di Ternate, ibukota propinsi Maluku Utara, di mana kini tak ada satu orang Kristen pun, semuanya mengungsi, ia pernah mencari jawaban itu ke seorang politisi Partai Golkar yang jadi anggota parlemen zaman Soeharto. “Ia bilang ini proses demokrasi,” Miladinovich tertawa geli.

Maka ia tiba pada sebuah kesimpulan: kesalahan terbesar Soeharto bukanlah korupsi, tapi penghancuran mental bangsa Indonesia. Miladinovich, lelaki yang kalau berbahasa Inggris ber-slang Amerika tapi dengan aksen Eropa Timur kental, membandingkan mental orang Indonesia dengan orang Bosnia atau Lebanon. Walaupun dengan air mata buaya, di Bosnia dan Beirut masih terdengar seruan agar pembantaian dihentikan. Tapi di Indonesia tak terdengar desakan agar pertumpahan darah Aceh, Papua atau Timor Timur diakhiri.

VOJA Miladinovic lahir di Yugoslavia pada 1947. Ia dan seorang saudara perempuannya masih kecil tatkala kedua orang tuanya meninggal. Ketika berusia 17 tahun, ia hendak menjenguk neneknya di kampung. Seorang kawan menitipkan sebuah kamera untuk kakak orang itu di sana.

Dalam perjalanan Miladinovich menyaksikan tabrakan dahsyat. Ia mengabadikan mobil yang sudah ringsek berikut sopirnya yang terjepit dan sekarat. Hasilnya adalah pujian. Seseorang bilang karyanya surealistik. Foto itu dimuat sebuah suratkabar dan ia diberi uang. “Itulah kali pertama saya mendapat uang dari hasil jepretan saya,” kenang Miladinovich.

Namun setelah lulus dari universitas, Miladinovich tak tahu mau apa dengan ilmu fisika teoritis yang dimilikinya. “Mau bikin bom apa?” ucapnya tergelak. Jiwanya juga petualang. Pada usia 20 tahun, jauh sebelum negara Yugoslavia dirobek-robek pertikaian antar etnik, Miladinovich muda bertolak ke Denmark, sebuah negara kaya di Skandinavia, dan menjadi warganegara Denmark.

Pada usia 23 tahun Miladinovich pindah ke Stockholm, ibukota Swedia, untuk belajar membuat film. Tapi enam bulan ia ngacir lagi. Miladinovich mendalami fotografi lebih dengan belajar sendiri. “Teknik dan ketrampilan bisa dipelajari di sekolah. Tapi visual sense hanya bisa diasah di lapangan,” jelasnya. Awalnya ia mengerjakan pemotretan apa saja untuk cari makan: peragaan busana dan pesta.

Sejak pertengahan 1970-an Miladinovich bekerja pada beberapa agensi foto, termasuk yang terbesar di dunia: Sygma dan Gamma. Ia berpindah dari satu agen ke yang lain, tergantung tawaran paling menarik. Sistem finansial agensi adalah 50:50 baik untuk biaya maupun untuk pendapatan. Adapun hak cipta foto ada di tangan fotografernya. “Copy right inilah kekuatan fotografer,” kata Miladinovich.

Sebagai fotografer agensi, Miladinovich lebih banyak meliput peristiwa yang jadi komoditi media massa: perang, kemelut politik, kelaparan, bencana alam. “Berita atau foto itu komoditi. Jangan berbicara idealislah. Saya sebenarnya terkadang mau yang lain. Tapi siapa yang mau bayar?” ujarnya. Tapi ia terkadang meliput sesukanya saja untuk kepuasan diri. Awalnya ia bertugas di Timur Tengah. Lalu ke Eropa Timur. Asia Tenggara, termasuk Indonesia, baru ia liput sejak lima tahun terakhir dari basisnya di Bangkok.

Ibarat burung, Miladinovich selalu terbang. Ia tak pernah menikah. Tapi ia punya seorang putri yang kini sekolah hukum di Maroko. “Tapi bukan berarti hidup saya tidak stabil karena saya meloncat dari satu tempat ke tempat lain,” katanya tersenyum. Kalau tidak sedang meliput, biasanya dia membaca. Miladinovich juga penikmat musik. Setiap jenis musik memberi sentuhan tersendiri pada dirinya: musik gipsi, klasik, spanyolan, The Beatles, dan yang lain.

ROBERT Capa dari Magnum mengatakan, “Jika gambar Anda kurang bagus, artinya Anda tak cukup dekat.” Miladinovich selalu berusaha sedekat mungkin dengan tempat adegan. Dari jarak dekat ia bisa menangkap secara jelas impresi kemanusiaan: kesekaratan, nyeri yang tak terpermanai, amarah, amuk, keputusasaan, kepuasan, keriangan, kegirangan, dan sebagainya. Dengan lensa tele hal ini niscaya tak akan terekam utuh.

Jarak berbanding lurus dengan risiko. Makin dekat makin besar resikonya. Miladinovich mendekat dengan berhitung, “Saya bukan orang yang sedang bunuh diri.” Di Bangladesh 15 tahun silam, Miladinovich ada di tengah sebuah pertikaian. Posisinya bagus: dekat dan terlindungi kotak telepon umum. Seorang anak berlari ke arah tentara. Kelihatannya hendak memungut batu. Tiba-tiba ia tersungkur. Ditembak, rupanya. Tentara mendekat dan tubuh yang sudah tak bernyawa itu mereka tendangi. Miladinovich menjepret adegan itu. Tak cukup, ia mendekat dan membidik lagi. Hasilnya, sebuah foto dramatik yang hingga kini ia anggap sebagai koleksi favoritnya.

Pengalaman paling pahit ada di Beirut dan Bosnia. Beirut pada September 1970 menjadi ajang baku tembak di jalanan antara pejuang Palestina dan pendukung Raja Hussein. Di suatu pojok jalan, Milodinovich melihat sebuah mobil ambulan. Ternyata dalam ambulan ada seorang remaja. “Mobil ambulan kemungkinan tidak akan diserang,” pikirnya. Miladinovich bertanya kepada si remaja apakah mau mengemudikan ambulan sementara dia mengambil foto. Anak itu bersedia. Setelah melaju sekitar satu mil, terdengar tembakan dari pelbagai penjuru. Sasarannya ya ambulan. Mobil sontak melaju kencang berzig-zag. “Untunglah berhasil menepi. Saya salah hitung. Saya pikir ambulan tidak akan ditembaki,” kata Miladinovich terbahak.

Salah hitung kembali terjadi di Bosnia. Suatu hari Miladinovich berjalan santai menuju sebuah jembatan, di kawasan aman. Seorang anak kecil tiba-tiba menghadangnya. Miladinovich meladeni dengan canda. Tapi anak itu berang. Masih bercanda, makin berteriak-teriak. Miladinovich balas berteriak. Mendekati jembatan, di pinggir sungai ia melihat banyak orang. Dua dari mereka bersenjata lengkap dan menggiring seorang pria. Yang membuat Miladinovich menangkap uap maut adalah ketika kedua orang itu menggorok leher sang tawanan.

Belum hilang keterkejutan Miladinovich, kedua orang itu mendekat. Mereka membekuk dirinya dan memaksanya berbaring di jalan. “Kalau mau bunuh, di sini saja. Kalau tidak bawa aku ke jembatan,” Miladinovich berteriak. Mereka tetap memaksanya berbaring. Dua jam berselang baru ada polisi datang. “Untung saya tak mengerti situasi sebelumnya. Kalau tidak saya akan gugup dan tidak bisa berpikir jernih,” kenang Miladinovich. Beberapa minggu sesudahnya ia masih gemetar bila mengingat kejadian itu.

Walau pernah keserempet peluru sekali di kepala, serta dua kali di kaki, Miladinovich masih terbilang beruntung. Di beberapa tempat ia menyaksikan dengan mata sendiri sejumlah rekan fotografer tewas waktu mengambil gambar. Nyawa memang terlalu berharga untuk dipertaruhkan dengan foto. Sebab sehebat apa pun, dampak sebuah foto biasanya kecil saja. Kadang memang foto bisa mengubah pendapat orang banyak. Tapi itu tak acap.

Miladinovich meningkatkan rasa percaya dirinya karena ia merasa niatnya baik belaka. Dirinya bukan musuh dan bukan pula memusuhi. Juga tidak melakukan propaganda. “Jadi, mengapa mereka harus memusuhi saya?” katanya. Kalau dilarang menjepret, ia selalu cari akal. Memang tak ada jaminan langkahnya mulus. Buktinya ya itu tadi: ia beberapa kali dianiaya. Selain itu enam rol filemnya pernah dirampas di Burma sesudah ia bertemu dengan pemimpin oposisi dan pemenang Hadian Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi.

Dalam bekerja, lazim Miladinovich mempelajari dulu perkembangan situasi. Sebagai seorang fotografer ia merasa harus lebih tahu situasi dibanding seorang wartawan tulis. “Karena saya harus meletakkan segala sesuatunya dalam sebuah bingkai,” tuturnya. Pekerjaan seorang fotografer bukan hanya menjepret, tapi bagaimana menciptakan sesuatu dengan dampak visual guna menjelaskan situasi di lapangan. Maka, manakala dia merasa tidak siap atau tidak tertarik meliput, dia tak akan pergi. Ia memberi contoh permusuhan antara orang Madura dan orang Dayak di Sampit, Kalimantan Tengah. Beberapa kali ia ditelepon Sygma agar terbang ke Sampit. Tapi ia ogah.

Bagi Miladinovich, sebuah foto hanya ilustrasi. Tak lebih. Foto hanya dua jenis: yang bagus dan yang jelek. Adapun foto seni, foto olah raga, foto berita, dan yang lain itu tidak ada. “Ukuran kebagusan sendiri, relatif. Tergantung taste si penilai. Karena sejak 20 tahun terakhir tak ada lagi parameter universal,” jelasnya. Kalau disimpulkan dari paparannya, di mata Miladinovich gambar yang bagus sederhana saja: yang bisa menjelaskan inner reality sesuatu.

Kualitas foto di majalah-majalah sekarang, menurut Miladinovich, jauh merosot dibanding 10 tahun lalu. Padahal dulu tak memakai teknologi canggih. Fotografi sendiri, lanjutnya, banyak berubah akibat televisi. Redaktur berita sering minta gambar seperti yang di CNN. “Mereka tidak mau tahu kalau kamera TV dengan kamera biasa berbeda. Tak seperti kamera TV, kamera biasa, yang elektronik sekali pun, tak bisa mengambil gambar di bawah cahaya rendah.” Menurunnya apresiasi ini merugikan bisnis agensi foto. Agensi kehilangan sebagian besar pasarnya. Kalau dulu semua majalah bergantung ke mereka, terutama majalah gambar seperti Life. Kini majalah gambar bertumbangan.

Siapa fotografer favorit atau idolanya? Ternyata tidak ada. Miladinovich tak punya idola dalam bidang apa pun. Sebab yang ia hargai adalah karya, bukan orangnya. Lagi pula seseorang bisa membuat karya bagus hari ini tapi belum tentu esoknya. “Saya tak menghormati Henri Cartier-Bresson sebagai Henri Cartier-Bresson, tapi karyanya,” katanya. Kekuatan karya Bresson, seorang fotografer legendaris dari Perancis, yang mendirikan koperasi fotografer Magnum, menurut Miladinovich, adalah kesederhanaannya.

Lukisan juga mendapat ruang sendiri dalam diri Miladinovich. Fotografi adalah lukisan oleh cahaya. Karya pelukis Belanda Rembrandt, yang kaya dengan permainan cahaya, termasuk sumber inspirasi bagi Miladinovich. Permainan cahaya ala lukisan maestro Belanda itulah yang secara kebetulan ditemukan Miladinovich di sebuah klenteng kuno di kawasan Kota, Jakarta. Cahaya mentari senja menembus dari empat ventilasi membentuk berkas-berkas panjang yang jatuh persis di atas altar. Sebuah pencahayaan yang sempurna. Momennya singkat saja. Sejak menemukannya tiga tahun silam, Miladinovich acap datang ke klenteng itu untuk mengabadikannya. Panggilannya terlalu kuat. Dan ia percaya pada panggilannya. *

by:Rin Hindryati P.