Tersanjung

Sutradara: Revi Maghrisa & Vashan

Cerita dan Skenario: Deddy Armand

Pemain: Lulu Tobing/Jihan Fahira, Adam Jordan, Febby Fabiola, Jeremy Thomas

Produksi: PT Multivision Plus, 1998-2001

Stasiun Penayang: Indosiar (10 April 1998 sampai sekarang).

Bukan Perempuan Biasa

Sutradara: Jajang C. Noer

Skenario: Arifin C. Noer dan Arswendo Atmowiloto

Pemain: Christine Hakim, Desy Ratnasari, El Manik

Produksi: PT Multivision Plus, 1997

Stasiun Penayang: RCTI (17 Juli – 15 September 1997).

Matinya Seorang Penari Telanjang

Sutradara: Nan Triveni Achnas

Cerita dan Skenario: Seno Gumira Ajidarma

Pemain: Lola Amaria

Produksi: PT Sinema Sejati, 1998

Stasiun Penayang: AN-Teve (tiga kali pada 1998).

Senandung

Sutradara: Bobby Sandy

Cerita dan Skenario: Alex Suprapto Yudho

Pemain: El Manik, Okky Asokawati, Devy Permatasari

Produksi: Indosiar, 1997

Stasiun Penayang: Indosiar (sejak 19 Agustus 2000).

Janjiku

Sutradara: Sharad Sharan & Anto Erlangga

Cerita dan Skenario: Zara Zettira

Pemain: Paramitha Rusady, Raynold Surbakti

Produksi: PT Tripar Multivision Plus, 1996

Stasiun Penayang: RCTI (17 Februari 1997 – 30 Juni 1997; diulang pada 1998).

Kehormatan

Sutradara: Sridhar Jetty & Delvi Romawi

Skenario: Yanti Puspitasari

Pemain: Primus Yustisio, Nafa Urbach, Tia Ivanka, Febby Fabiola

Produksi: PT Multivision Plus, 2000/2001

Stasiun Penayang: Indosiar (29 Agustus 2000 sampai sekarang).

URUSAN pilihan nama, bolehlah perempuan itu bernama Indah. Namun untuk urusan nasib, Indah tak pernah berpikir untuk memilihnya. Perjalanan hidupnya begitu kental musibah. Awalnya, setelah hamil di luar nikah, pacarnya meninggalkannya ke pelukan perempuan lain. Ketika bayi yang dikandungnya lahir, diberi nama Dandy, ayah pacarnya tak rela jika Dandy diasuh Indah. Maka Dandy pun diperebutkan antara Indah dan pihak keluarga pacarnya.

Tiada cara lain yang dipilih Indah untuk mempertahankan bayinya selain membawa si bayi pergi entah ke mana. Dalam pengembaraan dan pelariannya, dia ditampung keluarga Jimmy, seorang duda yang mempunyai gadis kecil – juga bernama Indah. Dalam perjalanan waktu, Indah kecil ini bukan hanya dekat dengan Dandy, melainkan juga lengket dengan Indah besar – dan dia bayangkan bahwa ayahnya bakal menjalin ikatan keluarga dengan Indah besar, sehingga Indah besar tak sebatas sebagai tante, melainkan sebagai ibunya.

Bahagia bagi Indah – yang kecil maupun yang besar – ternyata ancaman bagi Anita, saudara tiri mendiang istri Jimmy. Anita berniat memikat hati Jimmy. Karenanya, bencana dalam diri Anita pun hendak dia sebratkan dan dia pindahkan sebagai bencana Indah besar. Agar Indah tak betah tinggal di rumah keluarga Jimmy, pelbagai perlakuan buruk pun ditimpakan padanya.

Di lain soal, ketika ada sebuah keluarga kaya raya menawarkan diri pada Indah untuk mengadopsi Dandy – dan Indah tetap bisa berkumpul dengan buah hatinya, namun dalam posisi sebagai baby sitter – penerimaan sikap Indah ternyata masih berbuntut musibah demi musibah. Orangtua keluarga kaya raya itu, seorang ibu, justru tak menyetujui kehadiran Indah dan anaknya.

Perlakuan buruk akhirnya tak hanya diterima Indah dari ibu keluarga itu, tapi dia juga diburu tantenya untuk dijodohkan dengan seorang dua tua. Niat si tante itu menjodohkan keponakannya bukanlah untuk kebahagiaan Indah, melainkan incaran terhadap harta duda itulah yang menjadi alasan tante menjalin kekerabatan dengan si duda tua. Jadinya, derita demi derita senantiasa mendera Indah.

Benar, Indah cumalah tokoh rekaan yang menjadi sosok utama sinema elektronika (sinetron) atawa sinema televisi bertajuk Tersanjung yang disiarkan Indosiar. Sebagai sebuah sinetron serial yang senantiasa bersambungan tiap episodenya, Tersanjung terhitung paling panjang. Sejak ditayangkan 10 April 1998, sampai hari ini belum jelas hingga kapan sinetron ini bakal menamatkan kisah. Bahkan jalan cerita atau plotnya pun belum terancang secara resmi, mengingat seraya episode demi episode disiarkan, episode lanjutannya masih dalam proses penggarapan rekaman atau syuting.

Berdasar hitungan AC Nielsen Indonesia, Tersanjung senantiasa menempati peringkat atas, bahkan teratas, sepanjang dia ditayangkan. Maknanya – kalau hitungan peringkat atau television rating versi AC Nielsen Indonesia tak dipertanyakan – serial yang tokoh Indah diperankan dua bintang (Lulu Tobing untuk episode-episode awal, serta Jihan Fahira untuk episode yang kemudian; hingga sekarang) ini sangat diminati penonton televisi.

Musabab apakah yang menjadikan serial ini begitu digandrungi pemirsa? Dibutuhkan riset tersendiri untuk menemukan jawaban pastinya. Yang sudah pasti, sebagai sosok perempuan yang senantiasa didera derita, Indah tak sendirian. Gambaran perempuan sebagai pelaku petaka nyaris gampang didapatkan dalam setiap sinetron Indonesia. Karakter model Indah juga terjadi pada Tiara (sinetron Kehormatan; Indosiar), Annisa (Doaku Harapanku; RCTI), Rini (Hari Berganti Hari; RCTI), Laras (Janjiku; SCTV), dan berderet lainnya; termasuk Menul dalam serial Bukan Perempuan Biasa (RCTI).

Nyaris sama dengan awal nasib buruk Indah, Annisa ditinggal suaminya keluar kota yang kemudian mengalami kecelakaan lalulintas. Dikabarkan, suami Annisa tewas dalam kecelakaan yang membuat mobil dan isi kendaraan itu terbakar habis. Annisa yang merasa bahwa suaminya masih hidup, oleh ibu (tiri) mertuanya malah dianggap gila; karena itu Annisa perlu dimasukkan ke rumah sakit jiwa.

Ketika beberapa tahun kemudian suaminya sembuh dari amnesia dan kembali ke keluarganya, Annisa difitnah mertuanya bahwa dia berselingkuh dengan lelaki lain. Celakanya, si suami mempercayai fitnah itu. Akibatnya, Annisa terusir dari rumah, dan dia terus terlunta-lunta digampar nasib buruk. Suaminya bahkan kemudian bercintaan dengan lain perempuan.

KISAH buruk juga menimpa Rini dalam Hari Berganti Hari. Maksud Rini menjadi dokter, apa daya orangtuanya tak mempunyai biaya kuliah. Sebagai jalan keluar, Rini melakukan pendekatan personal pada pemilik kursus menjelang ujian masuk perguruan tinggi dengan harapan dia tak perlu membayar biaya kursus. Justru karena itulah kemudian ada yang menuding Rini melakukan pendekatan seksual terhadap pemilik kursus. Sebagaimana suami Annisa yang mudah percaya pada fitnah, ayah Rini juga terlahap simpang siur berita itu. Si ayah murka.

Ketika ujian masuk perguruan tinggi tiba, adik Rini yang mempunyai penyakit kelainan otak membutuhkan biaya untuk operasi di rumah sakit. Akibatnya, uang Rini untuk mendaftar ke perguruan tinggi dimanfaatkan terlebih dulu untuk biaya pengobatan adiknya. Jadinya, kalau kemudian Rini bisa melanjutkan kuliah, itu dikarenakan pihak keluarga tunangannyalah yang membiayai.

Lagi-lagi Rini dirundung duka derita. Motif ceriteranya pun senada dan seirama dengan kisah Annisa: tunangan Rini tewas dalam kecelakaan lalulintas. Calon mertuanya menuding Rini sebagai biang sial yang membuat calon suaminya meninggal.

Cap sebagai perempuan pembawa sial sengaja disebarkan ke banyak kalangan, sehingga banyak lelaki yang was-was untuk menyuntingnya; takut kalau-kalau mereka akan mendapatkan musibah yang sama dengan tunangan Rini. Akibatnya, tiada seorang lelaki pun yang mau mendekatinya; bahkan sampai kemudian ayahnya meninggal.

Belum habis musibah dialami Rini, saat dia diterima bekerja, ternyata itu bukan disebabkan oleh kemampuannya dalam bekerja, melainkan karena atasannya lebih mengincar kemolekan tubuhnya. Atasan itulah yang kelak malah berbalik menuduh Rini menggelapkan uang perusahaan, padahal dia tak melakukan tindak korupsi itu. Tuduhan itu dilontarkan atasannya hanya karena si atasan hendak menghapus jejak. Tunangannya mengendus perundungan seksual (sexual harrashment) yang dilakukannya terhadap Rini.

Sekeluar dari perusahaan, Rini menerima lamaran seorang duda yang berniat mempersuntingnya sebagai istri. Itu sama artinya bahwa Rini menerima kelanjutan perlakuan buruk atas nasibnya: si suami mencurigai kehamilan Rini akibat ulah anak angkat suaminya. Itu sebabnya Rini diusir dari rumah dan tidak sedikit pun tunjangan diberikan suaminya yang mengaku mandul. Kematian anak angkat yang dituding sebagai lelaki lain yang berselingkuh dengan Rini – karena (lagi-lagi) kecelakaan lalulintas – dianggap banyak orang sebagai langkah untuk membersihkan diri dari aib yang benar-benar dia lakukan bersama Rini.

Derita panjang dan sosok pecundang juga dialami Laras, seorang gadis jujur yang bekerja sebagai guru seni suara di sebuah sekolah dalam Janjiku (RCTI). Karena menemukan sebuah dompet dan mengembalikannya pada yang berhak, oleh pemilik dompet Laras dijadikan menantunya sekaligus dimaksudkan agar Jimmy, yang kemudian menjadi suami Laras, tak lagi jadi berandalan.

Lewat perkawinan itu Laras menjalani nasib nan penuh duka lara. Suaminya menjadikan perkawinan itu sebagai sarana untuk melampiaskan dendamnya pada Laras yang dulu pernah menampar Jimmy gara-gara Jimmy mengganggu murid Laras.

Dalam pertengkaran antara Laras dan Rita (adik Jimmy) serta Bu Hadi (ibu Jimmy), Hadi, pemilik dompet itu, yang berniat melerai pertengkaran, malah mendadak meninggal akibat serangan jantung. Kematian Hadi menjadi titik pijak untuk menyalahkan Laras.

Tak cukup sampai di sini, serial yang berulang kali disiarkan RCTI ini masih menderetkan derita demi derita Laras. Pihak keluarga suaminya tidak saja menyalahkannya, melainkan juga menghina dan mencercanya saat Laras melahirkan seorang putri yang ternyata buta. Setelah itu, Laras pun diusir. Kisah berikutnya adalah duka lara dunia Laras dalam membesarkan putrinya yang buta itu.

Bagaimana dengan deretan derita Tiara dan Kinanti (Kehormatan)? Tiara menderita karena kekasihnya harus menikah dengan perempuan lain, Cindy; sementara Kinanti – adik Krisna, kekasih Tiara – dianiya perasaan dan fisiknya oleh Kelvin. Kelvin adalah kakak Cindy. Kelvin sangat memanjakan Cindy, sehingga ketika Cindy berharap jadi kekasih Krisna, Kelvin-lah yang mengatur siasat agar Krisna pisah dari Tiara. Salah satu caranya: dia hamili Kinanti, dan ketika Krisna meminta Kelvin untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, Kelvin menyanggupinya – dengan syarat: Krisna harus kawin dengan Cindy. Maka pontang pantinglah nasib Tiara. Sama lintang pukangnya nasib Kinanti yang menaruh cinta sejatinya pada Kelvin malah dijadikan barang mainan Kelvin.

Sama dan sebangun dengan rata-rata perempuan yang tak berdaya menghadapi pelbagai terpaan persoalan, nasib Menul dalam Bukan Perempuan Biasa juga sama. Padahal, dalam serial 10 episode itu, judul sinetron ini memberikan karakterisasi pada Menul sebagai perempuan luar biasa. Seperti apakah ujud keluarbiasaan Menul? Berdasar kisah yang tiga episode terakhirnya ditulis novelis Arswendo Atmowiloto – tetap berdasar cerita yang pokok-pokoknya ditulis almarhum sutradara Arifin C. Noer – kebukanbiasaan Menul adalah: dia tidak menggugat, tidak mendendam, dan tak menaruh kesumat pada para lelaki yang pernah memperkosanya ketika dia masih remaja. Kesumat itu dia endapkan bukan untuk diwariskan pada Sri, putri kandung hasil perkosaan massal itu.

Rata-rata sosok perempuan yang selalu didera derita itu senantiasa melarikan kemungkinan konflik itu ke dalam batin masing-masing. Mereka nyaris tak pernah menghadapi dan menghadang persoalan itu, dan tetap saja mereka tak pernah bisa lepas dan keluar dari duka derita.

PEREMPUAN sebagai pelaku petaka dan musibah hanyalah salah satu tipologi karakter dalam sejumlah sinetron Indonesia. Tipologi lain yang sama menonjolnya adalah gambaran bahwa yang menjadi sumber musibah bagi para perempuan itu adalah juga kaum perempuan. Duka derita Annisa (Doaku Harapanku), misalnya, yang menjadi penyebabnya adalah Lela, mertua Annisa, atau ibu tiri suami Annisa. Lela pula yang menganggap menantunya sakit jiwa sehingga perlu dikarantina – agar di rumah itu Lela lebih leluasa menjadi penguasa, termasuk kemungkinan menguasai harta peninggalan Andhika, suami Annisa, jika benar Andhika tewas terbakar dalam insiden lalu lintas.

Demikian halnya dengan petaka Rini (Hari Berganti Hari), selain ibu kandungnya yang konservatif, yang jadi sumber musibah Rini adalah ibu (calon) mertuanya, Rosa, yang mendakwa Rini sebagai perempuan pembawa naas, dan karena itulah kemudian banyak lelaki atau keluarga menjauh dan mengurungkan niatnya untuk menyuntingnya sebagai istri atau menantu.

Derita Laras (Janjiku), sekalipun awalnya itu dimusababkan kelakuan suaminya yang berangasan, toh pangkal soal keberangasan dan keberingasan suami itu lebih dikarenakan oleh sosok ibunya yang terlampau memanjakannya. Bukti bahwa peran pemanjaan ibu itu jadi penyebab, antara lain diperkuat oleh perangai kakak perempuan Jimmy, ipar Laras, yang sama-sama dimanjakan. Karena pemanjaan terhadap kakak perempuan Jimmy, suami kakak perempuan itu kerap mendapatkan kesulitan dalam kehidupan rumah tangganya. Sinetron ini mempertegas bahwa ibu Jimmy dan kakak perempuannya teramat mementingkan materi.

Sejajar dengan Laras adalah derita Tiara (Kehormatan). Awal-awalnya juga dikarenakan sosok perempuan Cindy yang begitu menggebu berharap mendapatkan Krisna, kekasih Tiara. Akibat keinginan Cindy itu, yang menerima derita bahkan dua orang; tak semata Tiara, melainkan juga Kinanti. Tiara ditinggal pergi kekasihnya, Kinanti direnggut virginitasnya dan diperlakukan sekehendak suaminya, Kelvin, kakak Cindy.

Sosok perempuan sebagai musabab musibah banyak tertebar dalam hampir semua sinetron Indonesia. Dalam sinetron Keringat (TVRI), seorang ibu mertua bahkan menganjurkan menantu perempuannya menjadi penjual jasa seksual. Begitu pula dengan Tersanjung, yang mengusir tokoh Indah dari rumah penampungan adalah juga seorang perempuan, Anita. Lantas, yang memaksa Indah menerima lamaran seorang duda adalah juga seoreng perempuan: tantenya.

Doa Membawa Berkah (Indosiar) yang ditayangkan sepanjang November-Desember 2000 – bersamaan dengan Ramadhan 1421 Hijriah – juga menampilkan bukan saja judesnya seorang menantu, melainkan betapa kejam dan kejinya gambaran sosok bernama Dewi, menantu itu, yang mengumpat dan mencerca ibu mertuanya bahkan langsung di hadapannya.

Sejumlah sinetron yang ditayangkan TVRI dalam “Sepekan Sinetron Akhir Tahun 1991” juga mempertegas peran perempuan sebagai sumber petaka, selain sebagai pelaku petaka.

Kenapakah perempuan senantiasa berada dalam gambaran buruk: jika bukan pelaku musibah yang tiada pernah punya daya, juga sekaligus sebagai pencipta petaka? Cukup lama dialog batin ini mengendap dan lindap dalam benak saya. Saya pernah berkesimpulan: bisa jadi itu disebabkan oleh rata-rata pekerja kreatif sinetron – dari penulis cerita, penulis skenario, produser, juga sutradaranya – adalah lelaki yang secara built in, secara tak mereka sadari, secara bawah sadar, membawa “ideologi” diri mereka sendiri.

Kesimpulan yang terlampau sederhana alias simplistis itu ada yang membantahnya. Setidaknya dalam sebuah seminar dengan topik media dan jender di Yogya, Agustus 2000 – sebagai salah satu pembicara – saya mendengar bantahan keras itu. “Tak ada urusannya jenis kelamin perempuan akan membawa suara perempuan,” kata penyanggah yang tampaknya aktivis feminis atau penggerak kesetaraan jender.

Diam-diam saya tidak membantah bantahan itu. Tapi, diam-diam pula, saya tak merombak kesimpulan yang awalnya tampak simplistis itu. Setidaknya, saya menemukan beberapa bukti bahwa jenis kelamin – terutama perempuan – para pekerja kreatif itu mempunyai pengaruh atas produk kreatif mereka.

SINETRON Matinya Seorang Penari Telanjang adalah salah satu bukti yang mendukung kesimpulan sementara itu. Awalnya, sinetron satu episode ini berasal dari cerita pendek yang ditulis sastrawan Seno Gumira Ajidarma. Ketika cerita pendek itu hendak disinetronkan, Ajidarma pula yang menulis skenarionya. Dalam proses kreatif sutradara Nan Triveni Achnas, skenario itu dia anggap terlampau menonjolkan sudut pandang lelaki – baik cerita pendeknya maupun skenario sinetronnya.

“Aku terpaksa merevisi skenario itu,” ungkap Nan sebagaimana dikisahkan dalam pengantar buku kumpulan cerita pendek Matinya Seorang Penari Telanjang. Dalam buku kumpulan ini, selain dimuat proses kreatif Nan saat menghadapi skenario sinetron – yang oleh Lembaga Sensor Film diloloskan dengan satu kata belaka untuk judulnya, yakni Penari – juga dimuat cerita pendek serta prosaisasi skenario yang sudah direvisi itu.

Memang, membandingkan kisah versi awal dengan versi prosaisasi revisi skenario serta menyaksikan tayangan sinetronnya, banyak terdapat perbedaan. Salah satu perbedaan yang menonjol adalah perihal kemungkinan motivasi untuk melenyapkan nyawa Sila, tokoh utama yang menjadi penari telanjang di sebuah klub malam. Sila adalah juga perempuan simpanan Ubed. Dalam perjalanan pulang seusai menari striptease, dua orang centeng membuntuti Sila dengan niat menghabisi nyawanya. Hingga akhir kisah memang tidak pernah jelas apa motivasi niatan untuk membunuh Sila. Yang ada adalah berbagai kemungkinan motivasi: kecemburuan penari lain atas “prestasi” Sila, atau istri resmi Ubed yang cemburu pada simpanan suaminya, atau perempuan simpanan lainnya yang ingin memonopoli peran sebagai simpanan Ubed. Berbagai motivasi ini diimbangi oleh kemungkinan motivasi lain: Ubed murka pada Sila yang senantiasa menolak dinikahinya, dan Ubed terus diburu cemburu mengingat adanya kemungkinan lain lelaki yang juga dekat dengan Sila.

Berbagai motivasi yang bermuara dari dalam diri Ubed hanya ada dalam tayangan sinetron, sementara dalam skenario awal yang berdasar cerita pendek cenderung mengumbar berbagai kemungkinan motivasi yang berasal dari para perempuan: penari lain, istri resmi, dan perempuan simpanan lain. Maknanya, ada perubahan cara pandang yang dilakukan sutradaranya: Nan Triveni Achnas (perempuan!).

Contoh lain yang menggambarkan betapa pekerja kreatif perempuan menentukan cara pandang terhadap sosok-sosok perempuan dalam sinetron juga saya temukan dalam sejumlah karya Tatiek Maliyati W. Sihombing. Sinetron Losmen, Sartika, Warisan Bu Broto, Gendis, dan Kehangatan terhitung sebagai karya-karya monumental dosen teater di Institut Kesenian Jakarta ini.

Seri Losmen (TVRI), misalnya, menempatkan tiga sosok perempuan – masing-masing: Bu Broto, Mbak Pur, dan Jeng Sri – sebagai perempuan yang tak mudah menyerah pada kemungkinan petaka yang menimpa mereka. Bu Broto, ibu Jeng Sri dan Mbak Pur, bahkan tampil sebagai penyelamat keluarga ketika suaminya memasuki masa pensiun dan digerogoti post-power syndrome. Istrinya inilah yang kemudian mengembangkan losmen milik keluarga. Sementara Mbak Pur digambarkan sebagai perawan tua yang senantiasa dibohongi para lelaki yang selalu meninggalkannya, tidak jadi menyuntingnya sebagai istri; toh Mbak Pur tak pernah meratapi kejadian yang menimpa dirinya. Bahkan terkesan ingin ditandaskan bahwa menjadi perawan tua bukanlah sebuah nista.

Sama dengan Jeng Sri yang punya seorang suami gombal, lontang-lantung sebagaimana pengangguran tak berpenghasilan, banyak omong besar, dan cenderung menelantarkan keluarga. Toh, Jeng Sri juga tak meratapi nasibnya, sehingga derita demi derita tidak menjadi petaka baginya. Dia bahkan bangkit menjadi penyanyi yang kemudian sukses rekaman di Jakarta.

Warisan Bu Broto memang merupakan sekuel dari Losmen. Warisan Bu Broto menampilkan the next generation of Losmen, yakni para perempuan cucu-cucu Bu Broto. Para cucu perempuan ini melanjutkan pengelolaan losmen neneknya dengan manajemen yang lebih modern, sekalipun tetap mempertahankan tradisi subkultur Jawa, terutama Yogyakarta, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari mata acara losmen yang mereka kelola.

Sartika juga sama, yakni menggambarkan perjuangan seorang dokter perempuan yang ditugaskan ke pelosok daerah. Sebetapa pun susahnya medan yang harus dia tempuh untuk menemui pasiennya – yang relatif masih lebih percaya pada dukun – Sartika meminimalisasi keluhan.

Kehangatan, juga Gendis, mempertegas cara pandang Maliyati sebagai penulis skenario atas cerita bikinannya sendiri: perempuan mampu menjadi inspirasi bagi kesadaran bahwa mereka tak hanya menjadi sumber petaka dan pelaku petaka yang senantiasa tanpa daya.

Memang, sosok Tatiek Maliyati dan Nan Triveni tak banyak jumlahnya dalam khasanah dunia sinema televisi Indonesia. Jajang C. Noer, sutradara Bukan Perempuan Biasa, adalah juga seorang perempuan, yang ternyata tak hendak mengubah cara pandang dua lelaki penulis skenarionya: Arifin C. Noer dan Arswendo Atmowiloto.

JAJANG C. Noer jelas tidak sendirian sebagai sosok perempuan yang dalam kerja kreatifnya ternyata tidak — atau belum – menunjukkan sudut pandang keperempuanan mereka, yang saya asumsikan bakal “membela” kaum mereka, atau setidaknya tak “menghina” kaum mereka sendiri. Pekerja kreatif perempuan lainnya yang juga menempatkan sosok-sosok perempuan sebagai pembawa petaka dan pelaku petaka antara lain adalah Yanti Puspitasari dan Zara Zettira. Puspitasari menulis cerita dan skenario Doaku Harapanku, Doa Membawa Berkah, Hanya Kamu, dan Kehormatan; sementara Zettira menulis Hati yang Terpilih dan Janjiku.

Sesungguhnya menempatkan para perempuan penulis ini dengan sinetron yang memberikan stereotipe buruk perempuan itu bersejajar dengan menyebutkan nama-nama pekerja kreatif lelaki yang ternyata karya garapannya menunjukkan “kepedulian” mereka pada dunia perempuan. Para pekerja kreatif lelaki itu antara lain adalah Bambang BS (sutradara Sartika), Jonggi Sihombing (sutradara Warisan Bu Broto), Matnoor Tindaon (sutradara Gendis), Ronggur Sihombing (sutradara Lilin-Lilin Kecil), dan Wahyu Sihombing (sutradara Losmen dan Sartika).

Lalu, apakah gerangan yang membuat para kreator itu tidak memberi penyosokan atau profiling yang serba stereotipe buruk terhadap para perempuan? Saya senantiasa melakukan dialoque interiur atau bercakap dengan diri sendiri, atau dalam bahasa Jawa: ngudarasa. Menguarai dan melepaskan roso!

“Yang terpenting, adakah di antara mereka itu kesadaran atau perspektif jender,” aktivis lain dalam seminar di Yogya itu kembali mengiangkan pendapatnya – dan itu saya benarkan. Sepanjang tiada kesadaran kesetaraan jender itu, pada ujung-ujungnya, mereka akan terjebak dalam jagad lelaki, dan itu bersinggungan dengan berbagai stigma untuk memperteguh kapitalisasi, sehingga posisi perempuan tertempatkan semata sebagai sekadar semacam vote getter, atau penarik minat, atau sekadar eksibhisi.

“Membuat sinetron itu menciptakan hiburan, dan menciptakan hiburan itu dibutuhkan para perempuan cantik,” kata Raam Punjabi, petinggi PT Multivision Plus, sebagaimana dia kilahkan di majalah Tempo. Pernyataan Punjabi merupakan jawaban bagi pertanyaan sinis terhadap sinetron produksinya yang dianggap kurang membumi.

Dalam sebuah diskusi terbatas di kantor Tempo, 24 November 2000 – sebagai persiapan majalah ini untuk salah satu laporan khusus – lontaran kritik saya terhadap sinetron yang menggambarkan penyosokan perempuan yang stereotipe itu dijawab oleh dua wakil dari RCTI dan SCTV. “Kami menayangkan hiburan, bukan karya seni,” kilah Harsiwi Achmad, planning & development manager SCTV.

Pernyataan senada dan seirama dilontarkan Deddy Armand, penulis skenario Tersanjung. “Skenario sinetron itu untuk hiburan, bukan sebuah karya sastra,” katanya sebagaimana dimuat dalam situs http://members.nbci.com/imaji/pustaka/skrip2.htm.

Dengan kalimat yang berbeda, irama yang diungkapkan Lies Yanti SA, local acquisitions executive RCTI, sesungguhnya juga seirama. “Untuk sementara, pemirsa membutuhkan yang model-model stereotipe itu. Pelahan-lahanlah kita akan membawa pemirsa ke tayangan yang lebih cerdas,” katanya.

Saya tak hendak membandingkan sinetron Indonesia dengan sinema Hollywood yang jauh lebih menghibur – barangkali lebih “tidak sastra” dan “tidak seni” – toh begitu banyak yang menggambarkan betapa para perempuan tidak dihinakan ke dalam stereotipe macam yang terjadi dalam sinema Indonesia: jika tidak didera derita tanpa daya, pastilah menjadi sumber duka derita lain wanita. Yang ada dalam benak saya adalah: semua hiburan diniatkan untuk menangguk pemasukan iklan. Untuk dagang. Dan yang pantas didagangkan, setidaknya ini berdasar logika mereka, adalah yang memperhina perempuan. Memperhina karena menganggap perempuan tak pernah punya daya, kalau pun ada daya itu kistru untuk menimbulkan bencana sesama wanita.

Atau dengan bahasa klise mereka: “selera pasar” yang menghendaki penghinaan terhadap perempuan. Hasil wawancara saya dengan Yanti Puspitasari, salah seroang penulis skenario yang kini dikontrak PT Multivision Plus, menunjukkan betapa cara pandang perempuan, jika ada, bakal terbentur oleh hegemoni kultur lelaki; setidaknya kultur yang diyakini Punjabi.

“Ketika saya gambarkan ada seorang suami yang menyeleweng dalam Kehormatan, Pak Raam Punjabi memprotesnya,” kisah Puspitasari.

“Yanti, kau harus lihat kenapa suami menyeleweng. Kau tak bisa menyalahkannya begitu saja kelakuan suami itu. Dia menyeleweng pasti ada sebabnya,” papar Puspitarasi merekonstruksi omongan Punjabi.

“Artinya, suami menyeleweng tidak selalu salah,” simpul Puspitasari.

Kalau perempuan menyeleweng, pasti langsung salah?

“Hehehe, jangan-jangan begitu,” timpal Puspitasari. “Setidaknya, dunia perempuan memang lebih banyak persoalan dibandingkan lelaki,” sambungnya.

“Lebih banyak yang tertarik menyaksikan persoalan perempuan dibandingkan persoalan laki-laki,” masih sambung Puspitasari.

Saya tak hendak membantahnya dengan menyodorkan logika balik: apakah ketertarikan pada persoalan perempuan itu sebatas menempatkan perempuan sebagai sumber bencana dan pelaku utama bencana demi bencana. Kalimat terakhir Puspitasari-lah yang malah mengingatkan saya pada argumentasi para redaktur media hiburan dalam menjawab pertanyaan: kenapa sampul depan media hiburan senantiasa memajang sosok perempuan – lengkap dengan “eksplorasi” (bisa diartikan: eksploatasi) yang bersifat fisikal.

Jawabnya: lelaki suka melihat perempuan, perempuan juga suka melihat perempuan, perempuan mungkin suka melihat lelaki, tapi lelaki tak suka melihat kaumnya sendiri.

Sebetapapun stigma terakhir – senada dengan pernyataan Pupsitasari – masih perlu diuji berulang kali, toh muara stigma itu begitu jelas, yakni kemenarikan itu lebih didasarkan atas alasan bisnis. Karena pemegang perniagaan sinetron itu para lelaki – rata-rata pemilik modal yang memiliki perusahaan atau sanggar produksi (production house) adalah para lelaki – maka jagad merekalah yang dijadikan patokan, atau patron. Karenanya, penulis perempuan boleh mempunyai kreasi, sutradara perempuan boleh mempunyai persepsi, penulis cerita boleh memiliki visi, toh ujung-ujungnya semuanya harus tergantung dan bergantung pada produser lelaki. Bahkan para penentu kebijakan mata tayangan di televisi yang berjenis kelamin perempuan pun – Lies Uanti dan Harsiwi Achmad adalah juga para perempuan; dalam posisi penentu bahkan – tetap saja bakal tunduk pada hukum bisnis para lelaki itu.

Posisi tinggi para perempuan di stasiun televisi memang bisa dianggap sebagai semacam langkah emansipasi, namun itu sebatas emansipasi sosial, yakni menaikkan derajat sosial mereka dibandingkan umumnya perempuan, tapi itu belum atau bukan emansipasi seksual atau jender yang memang senantiasa ternomorduakan dibandingkan jenis seksualitas lelaki.

Karena itulah dalam berbagai sinetron Indonesia, jika ada kisah tentang perempuan yang memasuki wilayah di luar domestik, yang menjadi perempuan karir atau menjadi pekerja kantoran atau yang menghasilkan uang, para perempuan itu senantiasa digambarkan bermasalah.

Aida (TPI) menggambarkan seorang anak yang terlantar karena ditinggal ibunya yang sibuk bekerja, Karina atawa Bayang-Bayang Baur (TVRI) mempertegas bahwa perempuan yang aktif dalam organisasi di luar rumah malah terlibat dalam perselingkuhan, Senandung juga menggambarkan kesuksesan seorang istri (dimainkan peragawati Okky Asokawaty) sebagai pengusaha, bahkan berhasil mengeksppor kerajinan rotan ke Eropa, malah membuat suaminya (dimainkan aktor El Manik) bukan saja minder, melainkan tidak mendapatkan perhatian istrinya, sehingga dia mencari perempuan yang pernah dekat dengannya pada masa lampau (diperankan Devy Permatasari).*

by:Veven Sp Wardhana