Breaking News

Wahyuana

Mon, 2 April 2001

SAAT Jakarta dilanda kerusuhan Mei 1998, siaran berita radio Sonora 109 MHz FM lekat di telinga sebagian besar warga Jakarta.

SAAT Jakarta dilanda kerusuhan Mei 1998, siaran berita radio Sonora 109 MHz FM lekat di telinga sebagian besar warga Jakarta. Sonora menyiarkan langsung laju gelombang kerusuhan dan pembakaran di Bekasi, Tangerang, dan seantero Jakarta.

Televisi swasta juga melakukan siaran langsung, tapi radio Sonora tampak lebih populer. Selain praktis ditenteng, radio juga lebih cepat pemberitaannya.

Sekarang, dengan makin ramainya media, termasuk pemain baru televisi dan internet, breaking news seperti Sonora, jadi komoditi untuk meraup iklan.

Di Metro TV, televisi berita pertama di Indonesia, menurut penuturan pemimpin redaksinya Andy F. Noya, sudah mulai banyak pengiklan yang menginginkan produknya diiklankan pada waktu siaran breaking news.

“Mereka mau memasang spot iklan di tengah tayangan yang mempunyai banyak pemirsa. Di teve berita, spot breaking news yang paling banyak menyedot pemirsa,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta Maret lalu.

Nilai komersial itu, kemudian banyak disalahartikan, baik di media televisi, internet maupun radio. Ini bisa dilihat dari banyaknya siaran langsung atau liputan on the spot yang dengan enteng diberi label breaking news. Pendek kata terlalu banyak berita bukan breaking news diklaim breaking news.

“Sebenarnya breaking news tidak bisa diprogramkan,” ujar Noya, sambil buka kartu selama hampir lima bulan Metro TV mengudara, baru ada beberapa berita yang bisa masuk dalam kategori breaking news: ledakan bom malam Natal di Jakarta dan kerusuhan antar etnik di Sampit.

Budiono Darsono dari detikcom juga hadir dalam diskusi itu. Menurutnya, breaking news lebih merupakan laporan perkembangan peristiwa yang selama beberapa jam tak pernah berhenti. “Kalau antara peristiwa dan beritanya baru keluar 12 jam kemudian, atau lebih dari satu hari, bukan breaking news,” ujar Budiono. Lantas dia memberi contoh kerusuhan narapidana penjara Cipinang pertengahan Maret lalu. Berita itu masuk kategori breaking news detikcom.

“Pagi kita meliput kejadiannya, satu jam kemudian kita dapat mewawancarai orang-orang yang terlibat, juga mewawancarai para petugas keamanan. Lantas wawancara dengan Anton Medan yang datang ke Cipinang, kemudian menuduh orangnya Bob Hasan dan Ricardo Galael yang memprovokasi narapidana. Satu jam kemudian kami dapat wawancara dengan pengacaranya Ricardo Galael, yang membantah tuduhan Anton. Semua itu kita laporkan dalam waktu yang cepat. Perkembangan peristiwa dalam tiap jam kita buat laporannya,” ujarnya.

Anton Medan adalah mantan narapidana Cipinang. Ricardo Gelael dan Bob Hasan adalah koruptor kelas berat yang kini mendekam di penjara Cipinang.

“Memang tidak tiap berita bisa dapat dijadikan breaking news. Detikcom pernah dapat fax dari seseorang di sekretariat negara tentang laporan penggelembungan biaya perjalanan presiden. Berita seperti ini tentu tidak bisa langsung dimuat seperti dalam berita breaking news, tapi perlu di cross check dulu kebenarannya,” tambahnya.

Budiono, dalam diskusi itu, membahas seringnya salah pemberitaan atau salah kutip, dalam breaking news. “Biasanya kita langsung melakukan ralat dalam pemberitaan selanjutnya,” ujar Budiono. “Tapi kami punya prinsip lebih baik kami terlambat satu menit atau dua menit, tapi kami sudah cross check kebenarannya, sehingga berita kami akurat,” tambah Budiono.

Anggapan breaking news cenderung tak seimbang digarisbawahi oleh Izzhary Agusjaya dari Trijaya 104,75 MHz FM, ”Misalnya kita melaporkan tentang peristiwa pengrusakan kantor Muhammadiyah, setelah melaporkan kronologi peristiwa, kita perlu wawancara dari pihak orang Muhammadiyah. Kebetulan yang mau diwawancarai orang Muhammadiyah yang juga politisi anti Gus Dur.”

“Di dalam wawancara itu dia tidak mengemukakan fakta-fakta tapi lantas berprasangka bahwa orang-orang pendukung Gus Dur yang telah melakukan pengrusakan. Nah, ketika wawancara itu on air, orang beranggapan kami tidak melakukan pemberitaan yang seimbang,” ujarnya.

Menurut Agusjaya, biasanya radio Trijaya melakukan wawancara dengan orang Nahdlatul Ulama, setelah liputan pertama tadi. Yang jadi soal, ternyata pendengar hanya mendengar liputan yang pertama, terus radio dimatikan, “Ini yang sering meninggalkan salah persepsi. Padahal kami sudah menerapkan prinsip-prinsip liputan yang seimbang.”

Mungkin mekanisme penyeimbang dilakukan melalui wawancara segera setelah siaran pertama. Makin seringnya breaking news muncul di Indonesia, baik yang benar maupun imitasi, ada baiknya juga. Ia melatih publik semakin dewasa dalam memperoleh informasi. Bukankah berpuluh tahun, siaran langsung hanya boleh untuk meliput pejabat?*

kembali keatas

by:Wahyuana