DI KAWASAN Palmerah Selatan, Jakarta, ada sebuah gedung megah, terletak dekat pasar dan sebuah apartemen. Halaman parkirnya luas. Di seberang gedung itu dibangun sebuah rumah tradisional Kudus ukuran besar, berupa ukiran kayu yang indah. Inilah markas Kelompok Kompas-Gramedia, tempat harian Kompas, suratkabar paling berpengaruh di Indonesia, diterbitkan.

Di salah satu ruangan dalam gedung tersebut, ada ruang rapat, cukup untuk 20 orang, dengan pengatur suhu yang canggih sehingga dinginnya melebihi suhu Jakarta bila diguyur hujan deras sekali pun. Di ruang itulah, Suryopratomo biasa menemui tamu atau mengadakan rapat. Pembawaannya yang ramah membuat setiap pembicaraan ibarat pertemuan kawan lama. Lelaki yang murah senyum, berperawakan sedang, dan berambut pendek itu, adalah pemimpin redaksi Kompas. Harian terbesar dan terkuat di Indonesia.

Suryopratomo atau Tommy adalah bintang baru jagad industri pers di Indonesia. Ia dilahirkan di Bandung, pada 12 Mei 1961, anak kedua dari lima bersaudara dan anak lelaki tertua. Ayahnya, mendiang Soeharno Tjokroprawiro, bekas mahasiswa Institut Teknologi Bandung, awalnya seorang guru sekolah menengah di Bandung yang kemudian alih profesi menjadi seorang kontraktor. Ibunya, Siti Sofiah, seorang ibu rumah tangga.

Tjokroprawiro adalah figur ayah yang dikagumi isteri dan anak-anaknya. Ia juga sangat mempengaruhi sikap dan pilihan hidup Tommy. Tjokroprawiro menekankan pentingnya prinsip kejujuran, konservatisme, sikap rendah hati, dan tidak mengejar materi. Satu saat Tjokroprawiro mengelola perkebunan karet di Pelabuhan Ratu. Tanah perkebunan itu dibeli melalui proses lelang resmi. Tapi, tanah itu ternyata bermasalah, sehingga suatu hari pemilik tanah protes.

Oleh Tjokroprawiro, tanah tersebut diserahkan kepada pemilik semula dengan ganti rugi yang harus dilunasi dalam jangka waktu tertentu. Ini kejadian pada 1980-an. Namun, sampai batas waktu yang disepakati, ganti rugi tidak bisa dilunasi dan sesuai dengan akta perjanjian, mestinya tanah itu segera menjadi milik Tjokroprawiro. Sepuluh tahun berlalu, pemilik tanah tadi datang lagi, minta Tjokroprawiro membayar tanah tersebut dengan harga terakhir.

“Oleh ayah, permintaan itu dipenuhi. Ayah mengatakan kalau hak kamu, di mana pun akan kembali, kalau bukan hakmu ya sudah biarin, kamu kan hanya numpang hidup,” ujar Tommy mengenang. Prinsip itu dipegangnya hingga saat ini.

Risiko dari ayah yang bekerja sebagai kontraktor, menyebabkan keluarga ini sering berpindah-pindah tempat. Mereka pernah tinggal di Surabaya, Bandung, Jember, Sukabumi, dan terakhir, di Bogor. Namun keuangan keluarga juga baik sehingga mereka terkadang berlibur ke luar negeri. Tommy pernah diajak ke Singapura dan Jepang. Selama masa itu, Sofiah tekun menjaga keutuhan keluarganya.

Sofiah di mata anak-anaknya adalah ibu yang tegar dan mandiri. Sofiah mengagumi suaminya. Sofiah juga dianggap kawan semua orang dalam rumah tangga. Sifatnya lembut, yang mungkin muncul karena Sofiah dibesarkan dalam tradisi Sunda, atau mungkin karena Sofiah harus mengimbangi Tjokroprawiro yang keras. Pendidikan anak-anak adalah tanggungjawab Sofiah karena Tjokroprawiro sering kerja luar.

Suryopratomo kecil merenda hari-harinya layaknya anak-anak lain. Ia suka bola dan bercita-cita jadi pemain sepakbola. Harsi Muharram, anak tertua dan kakak perempuan Tommy, ingat kegilaan adiknya terhadap bola, “Kalau disuruh ngaji, dia bilang, ‘Kamu aja yang duluan, nanti saya nyusul,’ sebab dia mau bermain bola.”

Usai pendidikan menengah, Tommy diterima kuliah di Institut Pertanian Bogor. Di kampus inilah Tommy satu saat diajak mengelola majalah mahasiswa. Tapi ia agak ogah-ogahan, walau lama-lama ia jatuh cinta pada jurnalisme.

Pada 1986 Tommy menyelesaikan studi pasca sarjananya di IPB. Ia punya dua pilihan: menjadi dosen dan kelak melanjutkan studi atau bekerja. Tommy memilih bekerja –sebuah keputusan yang ditentang Tjokroprawiro. Sang ayah menghendaki Tommy melanjutkan studinya hingga S-3 karena IPB menawarinya beasiswa dan kemudian jadi dosen di sana.

Keputusannya untuk bekerja didorong perasaan tertentu, “Saya punya feeling sesuatu akan terjadi pada ayah dan saya harus mempersiapkan segala sesuatunya. Saya harus melakukan sesuatu karena saat itu adik-adik masih kecil.” Tak lama kemudian Tjokroprawiro kena stroke. Kesehatannya merosot dan setelah 2,5 tahun menderita, Tjokroprawiro berpulang pada 1989 .

Tommy melamar pekerjaaan di empat perusahaan. Semula ia tergiur menjadi bankir. Kebetulan saat itu sedang terjadi boom industri perbankan. Namun, hanya sebuah bank yang ia kirimi surat lamaran, tiga lainnya industri media: harian Kompas dan Suara Pembaruan serta mingguan Tempo. Hanya Kompas yang memanggilnya. Februari 1987 ia mulai bekerja di harian Kompas tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan lagi. “Saya belajar dari ayah saya, kalau sudah menentukan pilihan, ya sudah. Jangan serakah,” tutur Tommy.

Tahun itu pula, saat usianya 26 tahun, Tommy memutuskan menikah dengan Nuri Widowati, teman kuliahnya. Di mata Tommy, Nuri adalah istri yang nrimo, yang mau mengerti pekerjaan suaminya: wartawan yang tak kenal waktu. Pernikahan mereka dikaruniai dua putri, Retno Anindita dan Asri Dwi Hapsari, yang kini mulai beranjak remaja. Pengertian mendalam dari Nuri membuat Tommy makin yakin dengan pilihannya sebagai wartawan.

BUDIARTO Danudjaya, salah seorang redaktur Kompas, dan satu dari sekian wartawan yang dianggap dekat dengan Jakob Oetama, pendiri dan chief executive officer Kelompok Kompas Gramedia, mengingat Tommy sebagai “anak baik” ketika Tommy mulai bergabung di Kompas.

Sebagai reporter baru, Tommy dipindah-pindah, dari desk satu ke desk lain. Istilah wartawan adalah rolling atau diputar-putar. Budiarto ikut menentukan perputaran itu. Pada September 1991 Tommy mulai diberi tanggungjawab struktural sebagai wakil kepala desk olah raga.

Pilihan ini tak lepas dari kegemarannya main bola. Ini juga katakanlah semacam obat mengobati rasa kecewa karena gagal sebagai pemain bola. Tommy bangga jadi wartawan olah raga. Pekerjaan itu ditekuninya sepenuh hati, tanpa mengenal lelah. Satu saat ia harus berpacu antara berita yang harus dikirimnya ke Jakarta dengan gemuruh puluhan ribu penonton yang memadati stadion Olimpiade Roma, saat pemain bola legendaris Diego Armando Maradona dari Argentina mendemonstrasikan keperkasaannya di tengah lapangan. Desk olah raga mengantarnya bukan saja bersua dengan Maradona tapi juga bintang bola Belanda Marco Van Basten dan Ruud Gullit.

Kecintaan pada pekerjaan dan bola pula yang membuat pengagum berat Franz Beckenbauer, bintang sepakbola Jerman, ini “menipu” petugas stadion ketika berlangsung Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Tanpa ID Card, ia menonton secara langsung dan gratis 13 pertandingan. “Teman-teman saya dari Bangkok, sampai geleng-geleng kepala,” katanya.

Di tanah air, dunia sepak bola juga tak kalah menarik. Tommy satu saat dicaci-maki Acub Zainal, ketua Liga Sepakbola Utama, karena mengungkap kasus pelecehan pemain Eli Idris terhadap mantan pelatih nasional Bertje Matulapelwa. Ini terjadi saat berlangsung pertandingan antara klub Pelita Jaya melawan Petro Kimia, di mana Eli Idris bermain untuk Pelita Jaya dan Bertje melatih Petro Kimia. Setelah mencetak gol, Eli Idris berlari kegirangan, menyusuri lapangan dan tepat di depan Matulapelwa melorotkan celana dalamnya. Tujuannya menghina Bertje. Menyaksikan peristiwa itu, Tommy tidak tinggal diam. Kasus pelecehan itu ditulisnya.

“Saya mengkritik keras ulah Eli Idris. Perilaku seperti itu mencoreng dunia sepakbola,” tuturnya penuh semangat.

Tommy tak peduli bahwa saat itu kesebelasan Pelita Jaya dipimpin Nirwan Bakrie, seorang pengusaha ternama dari kelompok Bakrie yang suka bola. Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia tak bersedia menghukum Eli Idris karena kuatir membuat Nirwan Bakrie tak senang. Kelompok Bakrie salah satu donatur terbesar organisaisi sepakbola nasional itu.

Tapi Tommy tak menyerah, ia terus menulis agar Eli Idris dihukum dan karena pemberitaan yang gencar Acub Zainal marah. ”Kamu pikir Eli Idris benar-benar melorotkan celana dalamnya, hah? Apa kamu bisa melihat barangnya Eli?” ujar Tommy meniru Zainal.

Eli Idris akhirnya dihukum PSSI. Tidak jera dengan kasus itu, Tommy pernah mendesak ketua PSSI Kardono agar mundur karena tak becus.

Pada 16 Agustus 1992, Tommy dipindahkan ke desk ekonomi sebagai wakil kepala desk. Jabatan ini digenggamnya tiga tahun, sebelum ia dipromosikan kembali ke desk olah raga sebagai kepala desk. Menurut Tommy, sebenarnya ia dipromosikan menangani rubrik nasional pada 1997, tapi entah kenapa batal, yang rupanya mengandung hikmah tersendiri baginya.

Pada 3 Agustus 1998, Tommy dipromosikan sebagai wakil redaktur pelaksana. Tak sampai setahun, atau dua minggu menjelang jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya, Tommy dipromosikan sebagai redaktur pelaksana. Nasib baik terus mendampinginya, tepat sembilan bulan sesudahnya, 1 Februari 2000, Tommy ditunjuk oleh Oetama menggantikan jabatan Oetama sebagai pemimpin redaksi harian dengan tiras sekitar 500,000 itu.

Ini pertama kalinya terjadi suksesi kepemimpinan redaksi Kompas sejak suratkabar itu berdiri pada 1965. Oetama menyerahkan urusan redaksi Kompas pada Tommy walau Oetama tetap menjaga sebagai pemimpin umum Kompas yang membawahi baik urusan redaksi maupun bisnis harian itu. Oetama juga tetap jadi chief executive officer Kelompok Kompas Gramedia yang memiliki puluhan perusahaan, baik di bidang media, maupun perhotelan, toko buku dan sebagainya.

Pergantian ini terjadi ketika suasana politik Indonesia berubah secara besar-besarnya. Mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998, setelah berkuasa sejak 1965 sebagai orang nomor satu Indonesia, membuat perubahan besar-besaran di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, militer dan juga media. Cara pandang media dan pekerjaan mereka kelihatannya harus berubah. Kelompok media besar, satu demi satu mulai melakukan regenerasi. Goenawan Mohamad menyerahkan kepemimpinan redaksi Tempo kepada Bambang Harymurti. Perubahan juga terjadi di jajaran redaksi Jawa Pos, RCTI, SCTV dan lainnya ketika media baru juga bermunculan di mana-mana.

Maria Hartiningsih, salah satu wartawan Kompas, berpendapat bagaimana pun juga Kompas perlu segera berbenah diri. Menurutnya perubahan dalam tubuh redaksi Kompas, termasuk pergantian Oetama dan pengangkatan Tommy, tak bisa dilepaskan dari perubahan yang terjadi di Indonesia secara keseluruhan.

Jakob Oetama dan kawan-kawannya pada manajemen Kompas, memutuskan generasi yang lebih muda perlu mulai memimpin Kompas. Pergantian Tommy, yang sekaligus membawa perubahan redaktur-redaktur lain dalam struktur organisasi Kompas, termasuk pemilihan Bambang Sukartiono sebagai wakil pemimpin redaksi, adalah bagian dari proses regenerasi itu. Menurut August Parengkuan, salah satu letnan Oetama, yang juga pernah dibicarakan sebagai calon pengganti Oetama pada awal 1990-an, regenerasi inilah yang mendasari mengapa Tommy dipilih. “Pak Jakob ketika pertama kali memimpin Kompas, usianya baru 35 tahun,” tutur Parengkuan.

Perjalanan karier Tommy ibarat anak panah. Tommy mengaku ia tak punya ambisi menjadi editor harian terbesar di Indonesia ini. Ia juga tak merancang strategi khusus untuk jadi orang nomor satu Kompas. Tapi hanya dalam 13 tahun ia mencapai posisi itu, menyisihkan banyak orang hebat lainnya di Kompas. Lalu, dalam dua tahun terakhir ia naik tiga pangkat dari wakil redaktur pelaksana, redaktur pelaksana, dan akhirnya, pemimpin redaksi.

Budiarto Danudjaya, mantan redaktur pelaksana Kompas yang kini bekerja buat Lippostar.com, berpendapat bahwa Kompas ibarat “Indonesia mini” di mana ada orang macam Letnan Jenderal Prabowo Subianto atau Abdurrahman Wahid, yang masing-masing punya loncatan karier yang mengejutkan. Prabowo butuh waktu dua tahun dari kolonel ke letnan jenderal. Wahid menjadi presiden Indonesia setelah memenangkan pergulatan di parlemen di mana partainya hanya memenangkan sedikit kursi.

Tapi Budiarto cepat menambahkan bahwa ungkapan itu tak berarti Tommy juga bakal punya nasib macam Prabowo yang dipecat dari ketentaraan karena melakukan penculikan terhadap aktivis hak asasi manusia.

Cita-cita Tommy ketika melamar kerja Kompas, semata-mata karena ingin jadi penulis, tidak lebih. Karena itu, ketika majalah Tempo menulis Tommy sejak awal mengincar jabatan bergengsi itu, Tommy sewot. Sebagai wartawan Kompas, ia merasa jam terbangnya masih rendah untuk menduduki posisi bergengsi itu. Dibandingkan redaktur-redaktur Kompas senior, misalnya Parengkuan, St. Sularto atau Ninok Leksono, pengalaman kerja dan kapasitas intelektualnya tak istimewa. Dari segi usia ia terbilang muda, 39 tahun, sehingga jika harus berlomba ia tak sanggup.

Tommy memandang pekerjaan barunya sebagai penugasan. Kalau penugasan, Tommy sudah banyak makan asam garam. Baginya, penugasan hal yang biasa dan setiap wartawan Kompas harus siaga 24 jam. Penugasan sebagai pemimpin redaksi, di matanya, sama dengan penugasan sebagai wartawan olah raga. Menurut Parengkuan, untuk hal ini kinerja Tommy tidak perlu diragukan. Parengkuan bangga dengan hasil kerja Tommy selama ini, “Kalau saya dan Pak Jakob pensiun atau apa pun yang terjadi, kami sudah plong.”

PENGANGKATAN Tommy tak bisa menampik kesan bahwa kemunculannya agak mengagetkan. Mengapa bukan Parengkuan, Leksono, Sularto, atau Ace Suhaedy Madsupi, yang dipilih Jakob Oetama sebagai ahli warisnya? Apa sebenarnya yang sedang terjadi di Kompas sehingga Tommy yang relatif muda yang dipilih?

Pertanyaan lumrah. Sebagai figur tidak banyak yang mengenal Tommy, kecuali kalangan wartawan dan handai taulannya. Ia bukan public figure yang laris manis diundang sebagai pembicara dalam berbagai forum. Ia juga bukan orator seperti Oetama, yang memukau audiens. Seperti wartawan Kompas umumnya, Tommy adalah wartawan profesional, yang berusaha keras menyajikan berita seakurat mungkin untuk memenuhi kebutuhan pembaca akan informasi yang benar.

"Dalam hal kerja,” kata Tommy, “nomor satu saya senang dengan pekerjaan itu, yang kedua saya kerja untuk keluarga saya, baru untuk hasilnya mudah-mudahan bermanfaat buat perusahaan saya.”

Tommy adalah prototype profesional yang andal, yang bekerja berdasarkan prestasi dan memimpikan kesuksesan karya. Juga tak mengherankan bahwa wartawan yang dikaguminya adalah Jakob Oetama dan Goenawan Mohamad, penyair-cum-editor pendiri majalah Tempo. Tak ada yang istimewa. Tak istimewa pula jika Tommy yakin kebersihan dan ketenangan batin adalah modal utama untuk menghasilkan karya gemilang. Ia menolak tegas jika kesuksesan seseorang ditentukan jumlah kekayaan yang dimiliki.

Tapi apa karya Tommy yang memungkinkannya layak menjadi pemimpin redaksi? Kecuali sebagai wartawan olah raga yang memukau, dan diam-diam dikagumi pembacanya, tak banyak yang bisa dijadikan referensi. Kasak-kusuk berkembang di kalangan media. Yang paling santer, Tommy dipilih untuk menghindari pertarungan faksional yang semakin menajam di dalam tubuh Kompas.

Majalah Tempo, 13 Februari 2000, melaporkan bahwa menjelang Oetama menyerahkan kedudukan pemimpin redaksi, para awak Kompas terbagi dalam tiga kubu: kubu August Parengkuan, kubu Ninok Leksono, dan kubu St. Sularto. Masing-masing lengkap dengan pendukung setianya yang jika dibiarkan terus pasti akan menghancurkan kinerja Kompas. Jadi, Oetama memilih Tommy demi keutuhan Kompas.

Namun, kasak-kusuk ini agak sulit dibuktikan. Hampir seluruh wartawan dan bekas wartawan Kompas meragukan ada kubu-kubu. “Memang di Tempo, saya baca di Kompas seolah-olah ada klik, kadang-kadang kita ketawa juga, klik di mana itu?” tutur Tommy.

Begitu pula kata Leksono, "Di Kompas tidak ada faksi-faksian. Semuanya berjalan secara egaliter." Menurut Leksono, diangkatnya Tommy bukan pilihan main-main, karena masa depan Kompas adalah sesuatu yang terlalu berharga untuk dijadikan taruhan.

“Kalau benar bahwa di Kompas ada faksi-faksian,” demikian Edy Lahengko, mantan wartawan olah raga Suara Pembaruan, seorang teman akrab Tommy, “ia sama sekali netral. Ia tidak berkelompok dan saya kira itu yang menjadi pertimbangan utama mengapa ia dipilih sebagai pemimpin redaksi.”

Sang maestro, Jakob Oetama kepada majalah Swa mengatakan, “Memang sebelumnya ada dua calon, Suryopratomo dan Bambang Sukartiono. Tapi, Sukartiono menolak dengan alasan agak pemalu dan lebih suka di bagian lain.” Sukartiono akhirnya diberi jabatan wakil pemimpin redaksi.

Mungkin benar bahwa tidak terjadi perkubuan, terlebih dengan adanya Oetama yang sangat dominan. Lebih tepat, jika dalam proses pemilihan pemimpin redaksi itu muncul suara-suara sumbang dan kritis. Sebab, seperti dituturkan Bambang Wisudo, seorang wartawan Kompas, yang aktif dalam masalah perburuhan bersama Aliansi Jurnalis Independen, penunjukan Tommy adalah “hak prerogatif” Oetama. Hal sama dikatakan rekan Wisudo, Salomo Simanungkalit bahwa sesungguhnya tidak ada proses demokratis untuk menjadikan Tommy sebagai pemimpin redaksi.

Tidak ada pemilihan yang terbuka sampai diketahui seluruh anggota redaksi. “Saya tidak tahu apakah ada proses pemilihan di tingkat pimpinan. Saya juga tidak tahu apakah Jakob ketika memilih Tommy berkonsultasi dulu dengan para pemilik saham,” ujar Simanungkalit. Ketika saya tanyakan, mengapa bukan Ninok Leksono, August Parengkuan atau Ace Madsupi yang dipilih, Simanungkalit malah bertanya, “Apakah mereka lebih pantas daripada Tommy?”

Suryopratomo sendiri tak ingat pasti mengapa ia dipilih. Yang ia tahu, awal tahun 2000, Oetama memangggilnya ke ruang rapat yang dingin milik Kompas di kawasan Palmerah Selatan. Di ruang itu, ada Parengkuan dan Sukartiono. Oetama minta Tommy jadi pemimpin redaksi. Spontan ia menolak permintaan Oetama, dengan alasan jam terbangnya masih minim.

Lagipula, ia masih ingin jadi reporter lapangan. Tommy menyodorkan nama Parengkuan dan Sukartiono. Tapi, Parengkuan dan Sukartiono, yang duduk bersama Oetma, menolak mengambil jabatan itu, sehingga Tommy merasa tak punya pilihan lain selain menganggapnya sebagai penugasan.

Tetapi, menurut Parengkuan, Tommy dipilih karena ia merupakan yang terbaik di antara yang baik. Kata Parengkuan, proses penentuan Tommy cukup demokratis dan lama. “Dalam rapat-rapat redaksi nama Tommy sudah mulai disebut-sebut, dan kami kemudian memberitahu seluruh wartawan tentang siapa yang menjadi kandidat pemimpin redaksi. Memang ada yang kritis, tapi kemudian akhirnya setuju. Apakah itu tidak demokratis?” kata Parengkuan.

Maria Hartiningsih, wartawan Kompas mendukung pendapat Parengkuan. Menurut Hartiningsih, suatu ketika ia ditanya Parengkuan mengenai siapa yang lebih layak menjadi pemimpin redaksi: Suryopratomo atau Sukartiono. Hartiningsih memilih Suryopratomo.

Parengkuan menuturkan riwayat pemilihan Tommy. Sejak 1990, Oetama meminta Parengkuan memimpin Kompas. Tapi, Parengkuan menolak tawaran itu. “Saya nggak bisa membayangkan kalau Pak Jakob tidak lagi menjadi pemimpin redaksi,” katanya. Ia juga merasa tak disukai Harmoko yang saat itu menjabat menteri penerangan, sebuah jabatan yang sangat menentukan naik-turunnya media dalam pemerintahan rezim Soeharto. Dalam perjalanan waktu ketika usia terus bertambah, Parengkuan merasa peluangnya menjadi pemimpin redaksi semakin tipis. “Tongkat estafet kepemimpinan harus segera dialihkan kepada generasi yang lebih muda,” katanya, bersemangat.

Bagi Parengkuan dan Oetama, situasi politik Indonesia yang berubah cepat dan munculnya peristiwa-peristiwa penting, menuntut kemampuan ekstra, baik dari segi mobilitas kerja maupun profesionalisme. Kemampuan itu tak lagi mereka miliki. Keduanya merasa lelah untuk terus berpacu.

Faktor kemudaan Tommy dan rombongannya hanya merupakan salah satu variabel saja. Profesionalisme, idealisme, dan leadership merupakan variabel yang tidak bisa diabaikan. Untungnya, sistem kerja, corporate culture dan mekanisme Kompas, sudah relatif mapan. Siapa saja yang memimpin Kompas tak menjadi masalah, apalagi banyak wartawan senior bersedia membantu pemimpin yang baru. Ini artinya, kriteria yang diajukan Parengkuan bukan hal yang tipikal melekat pada diri Tommy. Banyak wartawan Kompas memenuhi persyaratan itu. Tetapi, mengapa Tommy yang dipilih?

SEKARANG industri media tak hanya berhubungan dengan soal produksi informasi. Media juga bukan berkutat di antara wartawan dan teknologi percetakan. Media sarat muatan politik dan ekonomi. Melalui media, kesadaran manusia direkayasa dan persepsi manusia mengenai realitas dibentuk dan diarahkan. Terlebih dalam suasana demokratis, peran dan fungsi media sangat vital. Credo yang laris diucapkan adalah, “Siapa yang menguasai media, dialah yang paling hegemonik.”

Rasanya, pernyataan Parengkuan terlalu simplistis jika meletakkan kriteria profesional, leadership, dan kemampuan intelektual sebagai basis utama penunjukan Tommy. Subyektivitas memang penting, tapi tidak mesti relevan. Kepentingan subyektivitas menjadi relevan ketika sanggup dikompromikan dengan kepentingan pemilik modal dan penguasa politik. Oleh karena itu, kriteria utama seorang pemimpin redaksi dari sebuah media besar semacam Kompas, adalah bagaimana menjaga agar Kompas tetap mapan.

Untuk mencari jawaban itu saya mewawancarai Satrio Arismunandar, mantan wartawan Kompas, yang diminta mundur dari Kompas (dengan golden shake hand) setelah ia pada 1994 ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Indepeden, yang tak disukai pemerintahan Soeharto dan Menteri Penerangan Harmoko. “Untuk menjadi pemimpin Kompas, harus figur yang non ideologis. Kalau ideologis pasti tersingkir,” kata Arismunandar, sekarang bekerja di bagian penelitian dan pengembangan harian Media Indonesia.

Menurut Arismunandar, Tommy memang jauh dari hiruk-pikuk pergulatan politik yang jatuh bangun, apalagi terlibat dalam perkubuan dan konspirasi politik tingkat tinggi, baik di dalam maupun di luar Kompas. Tommy, misalnya, tak tertarik masuk Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia, seperti yang dilakukan sejumlah seniornya ketika organisasi pimpinan Menteri Ilmu Pengetahuan dan Teknologi BJ Habibie itu memiliki dominasi politik Indonesia pada 1990-an. Tommy juga tak dekat dengan para jenderal, seperti kedekatan beberapa rekannya dengan Jenderal Benny Moerdani saat Moerdani menjadi orang kuat militer pada 1980-an.

Dunia Tommy adalah tulis-menulis dan ia sangat menikmatinya. Olah raga membuatnya relatif tak tersentuh dengan kepentingan politik Indonesia yang centang perentang. Ia cinta bola, ia menulis bola, ia terkadang juga masih masih bola. “Tak ada yang lebih bahagia selain dari membaca tulisan sendiri,” kata Tommy. Bagi Tommy, profesionalisme dalam kerja jurnalistik adalah harga mati, dan ia percaya koran yang baik adalah koran yang non partisan. “Yang benar adalah fakta, bukan opini,” ujarnya. Jalan lurus yang ditapaki Tommy itulah, menurut pengakuan Parengkuan, yang menyebabkan dirinya dan Jakob Oetama menjatuhkan kepercayaan padanya.

Sekarang apa yang bakal dilakukan pemimpin redaksi Kompas Suryopratomo?

Diam-diam, dalam pembicaraan dengan berbagai wartawan Kompas, saya menangkap kesan mereka menunggu apakah Tommy bisa melepaskan diri dari bayang-bayang sang magister Jakob Oetama?

Tommy sendiri tak antusias mengejar popularitas dan kewibawaan Oetama. Ia tak ingin menjadi Jakob Oetama, walau mengakui bahwa Oetama adalah guru dan idolanya. “Untuk menjadi seorang Jakob Oetama tidak mudah,” ujar Tommy.

Untuk keluar dari bayang-bayang Oetama, terlebih jika hendak membuat perubahan drastis, jelas membutuhkan waktu yang panjang. “Setahu saya,” demikian penuturan Arismunandar, “Kompas adalah koran yang paling konservatif. Untuk sebuah perubahan kecil saja, membutuhkan waktu yang lama.”

Tapi harapan perubahan pada Tommy ditangkis Hartiningsih. “Tidak fair menilai kinerja Tommy hanya dalam sepuluh bulan ia menahkodai Kompas. Tidak benar Tommy hanya juru bicara Pak Jakob,” kata Hartiningsih.

Karena itu, yang lebih bernilai adalah bagaimana melihat reaksi Tommy berhadapan dengan perubahan situasi ekonomi politik global dan nasional. Tommy bagaimanapun, tak mengabaikan sisi negatif dari menjamurnya industri media di Indonesia. Dengan iklim persaingan ketat, tak jarang banyak media kurang mengindahkan kaidah-kaidah jurnalisme yang benar. Semua berlomba menjadi yang terdepan dengan kualitas seadanya. Kekuatiran Tommy bukan pada pertumbuhan jumlah media yang pesat, dan persaingannya yang ketat, tapi pada mutu sumber daya manusianya. Ia mencontohkan, di Indonesia laporan investigasi belum dilakukan, atau kalau sudah dilakukan tidak berkualitas.

“Saya khawatir industri pers akan sama nasibnya dengan nasib industri perbankan. Ketika Paket Oktober 1988 (kebijakan pelonggaran syarat pendirian bank) diluncurkan, dalam waktu singkat terjadi boom sektor perbankan, di mana-mana bermunculan bank-bank baru. Tetapi, karena sumberdaya manusianya tidak dipersiapkan yang ada sebenarnya hanyalah bank-bank yang sebetulnya tidak kredibel, keropos, dan akhirnya tumbang. Kini, hampir seluruh bank-bank tersebut dilikuidasi atau di-take over pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional,” katanya. Ledakan itu pula yang secara tak langsung mendorong terjadinya krisis ekonomi Indonesia pada 1997-1998 di mana nilai rupiah jatuh hingga 70 persen terhadap dollar Amerika.

Tommy berpendapat, dalam iklim persaingan bebas ada dua hal yang menentukan independen tidaknya pers: fakta dan keserasian antara bisnis dan idealisme. Ia berpegang pada dua pedoman itu. Contoh. Satu ketika Kompas menurunkan feature yang berisi kritik arsitektur bangunan di kawasan Puncak, Bogor. Di terbitan yang sama, Kompas memuat iklan produk real estate pengembang dari bangunan yang arsitekturnya dikritik itu. Akibatnya, pengembang tadi berang dan memutuskan kontrak iklan senilai Rp 800 juta. Tommy tak gusar, fakta adalah fakta dan tidak boleh dikalahkan uang berapa pun besarnya.

Kiat Tommy mempertahankan keserasian antara bisnis dan idealisme adalah memisahkan secara tegas pekerjaan keredaksian dengan pekerjaan bisnis. Pemisahan antara redaksi dan bisnis adalah gagasan yang ditanamkan oleh pendiri Kompas PK Ojong. Dengan memisahkan redaksi dari bisnis, maka pembaca bakal tahu bahwa informasi yang dibacanya bisa dipercaya karena tak dinodari kepentingan bisnis suratkabar bersangkutan.

Kenyataan itu mendorong Tommy untuk bersikukuh bahwa ia tidak mau turut campur soal bisnis, bahkan ia tak bersedia mengikuti rapat umum pemegang saham. Ia ingin independen. “Bisnis saya larang keras mengintervensi redaksi. Jumlah iklan tidak boleh lebih dari lima puluh persen. Lebih dari itu saya gunting,” ujarnya.

Bagaimana dengan advertorial yang semakin banyak menyita ruang Kompas? Kata Tommy, advertorial tidak dikerjakan redaksi, namun oleh bagian iklan yang belajar cara dari redaksi.

Tommy hanya mengikuti rapat besar antara redaksi dan usaha untuk menentukan anggaran redaksi Kompas. Bisnis Kompas dan anak perusahaan yang tergabung dalam Kelompok Kompas Gramedia ditangani sepenuhnya oleh Jakob Oetama.

TOMMY punya keinginan mulia. Ia ingin jabatan pemimpin redaksi tak jadi monopoli satu orang selama bertahun-tahun. “Cukup Pak Jakob yang menjadi pemimpin redaksi selama 35 tahun. Saya sendiri hanya ingin menjabat selama lima tahun dan boleh dipilih kembali selama satu periode. Setelah itu, saya ingin kembali ke lapangan, meliput dan menulis berita, seperti wartawan-wartawan asing yang sudah tua-tua itu,” katanya.

Sebagai wartawan olah raga, ia menimba pelajaran berharga dari dunia itu. Tommy mengibaratkan pergantian pemimpin redaksi dengan perlombaan balap sepeda. Dalam lomba sepuluh putaran, setiap pembalap bergantian menjadi pemimpin, sehingga passing-nya bisa tinggi karena selalu ada tenaga baru. “Jika narik sepuluh putaran jelas tidak mungkin, karena itu setiap satu putaran, yang berada di belakang ganti memimpin, putaran berikutnya juga demikian. Sehingga makin lama makin cepat, karena tenaga yang di belakang lebih cepat daripada yang di depan, mengikuti aerodinamisnya.”

Gagasan pergantian editor yang cepat itu juga terinspirasi model kepemimpinan di perguruan tinggi. Di perguruan tinggi, setiap orang yang memenuhi kualifikasi bisa menjadi rektor, tetapi ketika masa jabatannya berakhir, tidak otomatis kehilangan jabatan. Dia bisa menjadi guru besar dan harganya sebagai seorang guru besar dan sebagai seorang rektor sama, bahkan kadang-kadang harga seorang guru besar bisa lebih tinggi. “Saya ingin Kompas menggunakan pola seperti itu, sehingga jabatan pemimpin redaksi tidak dilihat sebagai jabatan paling bergengsi,” tutur Tommy dengan mimik muka serius.

Terkadang Tommy merasa jabatan pemimpin redaksi sebuah musibah. Ayah dua anak ini sekarang lebih banyak berurusan dengan pekerjaan yang sifatnya seremonial. Tugasnya beragam, dari membangun relasi Kompas, memimpin rapat redaksi hingga menghadapi protes dari pembaca.

“Hingga saat ini, saya sudah tiga kali diprotes,” katanya. “Dan yang paling lucu, ketika Kompas diprotes karena memuat iklan nikah tamasya,” katanya pada saya.

“Ceritanya begini,” demikian Tommy berkisah. “Ada sepasang suami istri yang menikah tamasya, kemudian pasang iklan di Kompas. Ternyata sang suami masih memiliki hubungan dengan istri tuanya. Membaca iklan tersebut, istri tua menuntut Kompas sebagai tergugat dua, karena memuat iklan itu. Saya terkejut. Saya katakan, kami memuat iklan karena dia punya surat menikah tamasya, bukan karena bersekongkol dengannya. Gila apa?”

Protes banyak datang ke mejanya. Ini bikin pusing kepala. “Pokoknya saya hanya satu periode, hanya satu termin saja,” katanya jengkel.

Tommy juga kehilangan waktu menyaksikan siaran langsung sepakbola yang biasa disiarkan televisi pukul dua pagi dari daratan Eropa. Pada jam selarut itu, Tommy harus tidur kalau ingin tak terlambat masuk kantor esok harinya. Sebagai pemimpin redaksi, ia harus tiba di kantor pukul delapan pagi, memimpin rapat perencanaan.

Tetapi, apapun lakon yang dipentaskannya saat ini, ia merasa sangat bersyukur. “Saya mengerjakan semuanya dengan senang hati,” katanya. Kini, hari-harinya diisi dengan rutinitas. “Saya ke kantor pukul delapan pagi dan baru pulang larut malam. Dalam sehari saya dua kali rapat, pukul sembilan pagi rapat perencanaan dan pukul enam sore rapat budgeting berita.”

Apa yang hendak dikerjakannya saat ini, hanyalah membawa Kompas keluar dari mitos, bahwa ketika sebuah perusahaan keluarga dipimpin oleh generasi ketiga, pasti ambruk. Tommy ingin Kompas seperti The New York Times atau The Washington Post, dua koran kenamaan dari Amerika, yang bisa bertahan hingga satu abad, dan itu tanggung jawabnya kini.

Suryopratomo bertekad menjadikan Kompas media yang mampu memberikan perspektif kepada pembacanya. Ia juga berharap Indonesia masa depan yang demokratis dan menghargai pluralitas. Baginya, itu tugas dan tanggung jawabnya sebagai wartawan yang kebetulan menjadi pemimpin redaksi dari harian terbesar dan terkuat di Indonesia. Kompas. *

by:Coen Husain Pontoh