Genius in Disguise: Harold Ross of the New Yorker

oleh Thomas Kunkel (1996) 512 halaman

Carroll & Graf;

About Town : The New Yorker and the World It Made

oleh Ben Yagoda (Februari 2000)

Here But Not Here: A Love Story

oleh Lillian Ross – 240 halaman (Mei 1998) Random House

Gone : The Last Days of the New Yorker

oleh Renata Adler. Hardcover (Januari 2000)

Here at the New Yorker

428 halaman (October 1997)

Da Capo Pr

oleh Brendan Gill (Oktober 1997)

WAKTU itu Salatiga hangat dengan macam-macam diskusi politik dan distribusi novel terlarang Pramoedya Ananta Toer. Mahasiswa mengagumi Arief Budiman, seorang pembangkang-cum-dosen Universitas Kristen Satya Wacana, yang banyak melancarkan kritik terhadap kapitalisme, liberalisme, seraya mempromosikan sosialisme. Orang suka bicara politik walau berbisik.

Suatu sore yang tenang, di sebuah pondokan di Jalan Cemara II, seorang mahasiswa menyodorkan fotokopi majalah berbahasa Inggris berisi laporan tentang Soeharto, bisnis anak-anaknya, perseteruan Jendral Benny Moerdani dan Wakil Presiden Sudharmono, Islam, Timor Timur dan sebagainya.

Saya kurang perhatikan judulnya. Tapi ada kalimat "A Reporter at Large" mencolok. Disain majalahnya agak tak lazim, model majalah kuno pada 1960-an.

"Berapa ongkos fotokopi ini?" tanya saya.

"Gampang," ujarnya singkat.

Malam itu saya baca laporan yang ditulis oleh Raymond Bonner itu. Laporan dibuka dengan isi dokumen rahasia Rand Corporation -lembaga think tank berpengaruh di Washington DC- beberapa saat setelah Shah Reza Pahlevi dari Iran tersingkir oleh gerakan revolusi Islam. Menurut laporan itu, ada tiga negara lain yang bisa meniru Iran: Korea Selatan, Filipina dan Indonesia.

Ketiganya dipimpin oleh penguasa otoriter, Chun Doo-Hwan, Ferdinand Marcos serta Soeharto, yang tak segan memanipulasi pemilihan umum, melakukan pembunuhan politik, melakukan korupsi dan dekat dengan dunia barat. Pada lapisan menengah dan bawah ada ketakpuasan yang akut terhadap Chun, Marcos dan Soeharto. Konon saking rahasianya, laporan Rand Corporation hanya dicetak 20 eksemplar dan dibagikan ke kalangan terbatas. Presiden Ronald Reagan termasuk satu di antaranya.

Perlahan laporan itu menarik saya masuk ke detail demi detail politik Indonesia. Bonner mengutip profesor-profesor Yogyakarta, mahasiwa Bandung, cendekiawan Padang, wartawan Jakarta, seorang rektor Makassar dan, bagai film kolosal, Bonner menghanyutkan pembaca, pelan-pelan memahami rumitnya sebuah negara yang bernama Indonesia.

Bonner tinggal selama dua bulan di Indonesia. Ia buat janji wawancara di Jakarta, Padang, Makassar, Yogyakarta, Bandung bahkan Darwin di Australia, ketika ia tak mendapat ijin pergi ke Timor Timur.

Bonner bicara dengan orang-orang asing yang kenal Indonesia, misalnya, Ed Masters dan Marshall Green, mantan dutabesar Amerika di Jakarta. Frederick Bunnel, profesor ilmu politik dari Amerika. Jack Whittleton dutabesar Kanada di Jakarta. Bonner juga bicara dengan Jose Costa Alves yang menjadi konsul jendral Portugis di Darwin atau gubernur Timor Timur Mario Viegas Carrascalao, pengusaha "Hotel Turismo" Dili Sebastian Calado.

Buat mahasiswa yang suka diskusi, laporan itu menyenangkan karena informasi yang jarang dimuat media massa Indonesia, tercetak lengkap dari fakta, gosip hingga rasa kecewa, marah dan kecut. Ibaratnya, saya mengerti politik Jakarta, dengan memandang cermin yang diletakkan oleh Bonner. Saya agak lupa berapa lama saya baca laporan Bonner. Semuanya 40 halaman tanpa foto. Tapi seingat saya, semalam suntuk saya pakai buat membacanya. Esok hari saya terlambat bangun.

Dalam kantuk, saya perhatikan apa nama majalah yang memberi tempat buat artikel sedahsyat ini.

Namanya … The New Yorker.

BEBERAPA saat setelah Perang Dunia I usai. Ekonomi Amerika bergerak lagi, terutama di New York, kota pelabuhan dan perdagangan terpenting di negara itu yang mengundang banyak pendatang. Salah satunya adalah wartawan bernama Harold W. Ross.

Ross kelahiran 1892 di Alpen, Colorado. Sekolahnya agak berantakan. Pada usia belasan tahun, Ross memutuskan jadi wartawan. Kerjanya pindah dari kota ke kota: Sacramento, Panama, New Orleans, Atlanda sebelum jadi sukarelawan tentara Amerika Serikat dalam Perang Dunia I.

Ia dikirim ke Paris pada 1917. Tapi tak lama, Ross melakukan desersi, dasar anak badung, bukan dihukum, malah dipercaya jadi editor Stars and Stripes, mingguan tentara Amerika. Misi mingguan ini menyediakan hiburan untuk menjaga moral tentara Amerika.

Ross cukup berhasil. Ia menyajikan humor, dan kartun, bahkan menerbitkan buku tentang humor prajurit. Selera humor Ross tinggi sekali. Ia juga menikmati seni, makan enak, jalan-jalan, namun di atas segalanya, Ross muda sangat tertarik pada kata-kata. Ia mencintai sastra dan gemar melatih kepekaan kritik sastra.

Di Paris pula, teman dekat dan rekan kerja Ross, Alexander Wolcott, memperkenalkan Ross dengan Jane Grant, wartawati The New York Times. Mereka jatuh cinta, pacaran dengan hangat, hingga satu saat bicara tentang rencana mereka menikah. Grant mengajak Ross tinggal di New York. Ross menolak. New York menurut Ross adalah "kota yang menakutkan."

Grant membujuknya, dan Ross hatinya leleh, mereka menikah. Bersama dua orang teman, pasangan muda ini menyewa rumah di Manhattan, daerah paling sibuk di New York, dan menjadikannya sebuah komunitas. Di sana wartawan, seniman, pengacara, suka berkumpul dan berdiskusi seni, dan sastra.

Ross bekerja sebagai editor di sebuah majalah. Tapi lama-lama, ia berpikir untuk menerbitkan koran sendiri. Ia punya beberapa ide: sebuah harian khusus isu perkapalan, penerbitan buku, dan sebuah "majalah ringan."

Grant memperkenalkan suaminya dengan Raoul H. Fleischmann, seorang Yahudi kaya dari keluarga besar pemilik perusahaan roti. Fleischmann sebenarnya tak suka pada bisnis keluarganya. Ia menjalankan bisnis roti karena rasa pertanggungjawaban semata pada ibu dan saudara perempuannya. Ketika bisnis itu mapan, Fleischmann ingin terjun ke bisnis yang tak sekedar berdagang komoditi.

Fleischmann tertarik dengan proposal Ross. Apalagi ekonomi Amerika sedang tumbuh, tarif pengiriman pos menggiurkan, dunia periklanan butuh media nasional, teknologi cetak foto meningkat serta teknik penjilidan menjadi lebih cepat. Fleischmann bersedia jadi penerbit majalah ini, dan Ross menjadi editornya.

Ross ingin majalah ini menjadi suratkabar yang sophisticated. Artinya ia diciptakan untuk konsumsi orang-orang sekolahan, mengerti seni dan sastra, tapi butuh informasi dan analisis mendalam. Majalah ini bukan majalah berita. Ross bahkan tak suka dengan tenggat berita. Ross menekankan unsur humor dalam majalahnya. Ini tak mudah karena menulis artikel yang bisa membuat orang tersenyum, merasa lucu, lebih sulit daripada membuat laporan biasa, berisi informasi.

Ia mengajak teman-teman diskusinya untuk mengisi majalah itu. Ada yang penuh waktu, ada yang paruh waktu. Pada 21 Februari 1925 mingguan The New Yorker meluncur ke pasar. Mulanya dicetak 30 ribu eksemplar tapi ditambah menjadi 40 ribu karena permintaan pasar. Dalam setahun, format dan disain The New Yorker menemukan bentuknya.

Thomas Kunkel dalam buku "Genius in Disguise" menganggap The New Yorker sebuah ironi. Bagaimana sebuah majalah yang dianggap paling sophisticated di Amerika, ternyata lahir dari tangan seorang wartawan kota kecil, yang sekolahnya tak beres, apalagi menyandang gelar dari kampus-kampus besar macam Harvard, Yale atau Stanford.

Ini sebuah bukti lagi bahwa orang bukan sekolahan bukan tak mungkin menghasilkan karya yang bagus. Kunkel menekankan bahwa hal ini mungkin terjadi karena Ross adalah pribadi yang bisa belajar sendiri.

Kunkel membeberkan prestasi Ross secara jelas. Ross memoles orang-orang berbakat menjadi penulis hebat. Seusai membaca laporan kontributornya, Ross suka membuat satu daftar pertanyaan buat mereka. Para kontributor The New Yorker dipaksa berpikir lebih keras, menerangkan setiap ide, logika, tata bahasa, setelah membaca daftar pertanyaan Ross.

Sirkulasi The New Yorker naik, dari rata-rata 14.064 per minggu pada 1925 menjadi 46.446 pada 1926. Sepuluh tahun sirkulasinya naik jadi 128.210 dan pada 1941 jadi 171.665. Kenaikan terjadi tanpa biaya promosi besar. Antara 1927 dan 1940, The New Yorker menjadi satu dari tiga majalah top di Amerika dari segi penghasilan.

Dari sisi segmentasi pembaca, The New Yorker lebih menarik dari dua saingannya, Reader’s Digest dan Time, karena separuh pembacanya tinggal di New York, kota terbesar, dan terkaya di Amerika. Antara 1925 dan 1927, Fleischmann merugi tapi dari 1928, ia beruntung. Pada tahun keempat majalah ini mendapat laba bersih (sesudah pajak) US$287,000, lalu US$486,100 pada 1929 dan meningkat US$619,400 pada 1934.

Buat Ross, menjadi seorang editor berarti menjadi anonim, memainkan peran Pygmalion, yang tersembunyi, tak terdengar dan tak kelihatan. Ross memainkan peran itu dengan sempurna, ia mempekerjakan penulis-penulis legendaris macam E.B. White, John Hersey, Wolcott Gibbs, John O’Hara, John Updike, Rebecca West dan seterusnya. Di antara para kartunis besar terdapat juga Charles Addams, Helen Hokinson, James Thurber, Roz Chast, Peter Arno dan Rea Irvin.

Menurut Brendan Gill dalam "Here at the New Yorker," selama puluhan tahun Ross menjalankan peran ayah-paman-kakak-pengasuh-pastor buat para kontributor The New Yorker. Ross meminjami duit. Ross mengirim kontributor yang sakit ke ruang operasi. Ross mengurus perselingkuhan. Ross mengurus orang mati. Ia juga menerima protes. John O’Hara, misalnya, seorang pengarang cerita pendek, selalu merengek minta honornya dinaikkan. Ia suatu saat mengirim memo, "Ross, saya butuh uang, saya butuh uang, saya butuh uang, …."

Dari urusan serius hingga paling lucu, mau tak mau, diurusi Ross. Gill tak melihat kejengkelan Ross ketika Gill bekerja di sana. Gill merasa ia kurang diperhatikan. Ini kebiasaan semua kontributor, dari penulis hingga artis. Gill justru merasakan peran Ross setelah ia keluar dari The New Yorker.

Dengan berjarak Gill merasa bahwa Ross ternyata mengambil peran macam-macam buat orang-orang kreatif yang bekerja di The New Yorker. Dengan gaya bicaranya yang berapi-api, terkadang memaki, tapi selalu lembut pada perempuan. Ross memimpin majalah ini dengan penuh kesabaran. Terkadang gayanya meledak-ledak. Ross suka mengumpat, tentu dengan humor, di depan orang banyak. Satu saat Ross mengumpat, "Kantor ini, sebenarnya mirip sarang semut. Tak ada satu orang pun yang tak bermasalah di sini. Lihat (nama orang) yang mengaku buah pelirnya bengkak, atau (nama lain) yang mengira lubang duburnya buntu. Masya Allah, apa tak cukup masalah di dunia ini dari sekedar mengurus sampah beginian?"

Dalam "Genius in Disguise," Kunkel tak mampu menyembunyikan kekaguman pada Ross. Tapi Kunkel menjaga jarak agar bisa melihat kelemahan-kelemahan Ross. Kunkel menggambarkan Ross orang ceroboh. Ross senantiasa kekurangan uang walau penghasilannya besar. Ia acapkali ditipu orang dekatnya. Seorang sekretaris pernah meniru tandatangan Ross selama beberapa tahun hingga Ross menderita kerugian US$75 ribu tanpa sadar.

Ross menikah tiga kali, dan tiga kali gagal dengan perkawinannya. Ross pisah dari Grant pada 1927 dan cerai dua tahun sesudahnya. Mungkin Ross terlalu sibuk dengan The New Yorker sehingga tak punya waktu banyak buat keluarganya. Ross menikah dengan istri keduanya yang memberinya seorang putri.

Walau sudah cerai dengan Grant, Ross terikat kontrak memberi bantuan keuangan pada Grant. Ross juga rutin bertemu dengan mantan istri pertamanya karena Grant ikut mendirikan, dan memegang saham The New Yorker. Grant juga dibutuhkan karena ia bisa menjembatani perseteruan Ross dan Fleischmann.

PERANG Dunia II mengubah penampilan The New Yorker. Jane Grant mengusulkan The New Yorker dicetak khusus untuk edisi perang. Rapat pemilik saham setuju dan majalah ini menciptakan edisi mini, tanpa iklan dan ukurannya lebih kecil, khusus dibagikan buat tentara Amerika di medan perang.

Sambutan prajurit Amerika ternyata besar sekali sehingga pihak militer Amerika bersedia membayar subsidi kertas dan biaya lain sedemikian rupa sehingga edisi mini ini sampai dicetak 150 ribu pada akhir 1944. Bersamaan dengan terbitnya edisi mini, para kontributor The New Yorker lebih banyak meliput perang besar itu.

Koresponden The New Yorker A.J. Liebling pada Maret 1943 menerbitkan laporan, "The Foamy Fields," tentang sebuah kamp angkatan udara Amerika, dengan pilot, mekanik dan perwira intelijen di selatan Tunisia di Afrika utara.

Liebling datang suatu malam, tidur di sebuah tenda berlubang, bersama dua mekanik. Suasana gelap sekali, karena dilarang menyalakan lampu, yang memudahkan musuh menyerang. Liebling bahkan tak mengenal wajah teman setendanya walau mereka berkenalan dan bercakap-cakap dalam gelap. Mereka datang ketika gelap dan sebelum terang sudah keluar dari tenda.

Laporan Liebling berbeda dengan kebanyakan laporan perang lain karena ia justru tak tertarik pada masalah makro. Dia bercerita bagaimana ia berkenalan dengan pilot muda. Sambil menunggu jam patroli, para pilot itu bermain dengan anak-anak anjing, lalu membuka kiriman surat. Ada yang dapat kue kering, permen, majalah, mereka juga main kartu. Semua senang, tertawa, dan tengah hari, mereka santai menuju hanggar buat patroli rutin. "Sebentar saja," ujar seorang dari delapan pilot itu pada Liebling.

Dua jam, patroli itu kembali, Liebling kaget ketika melihat pesawat pertama mendarat dengan roda tak mau keluar dari sangkarnya. Cairan oli menetes keluar. Pendaratan yang berbahaya tapi selamat. Pilotnya penuh luka. Lalu pesawat dua, tiga, empat, lima, juga datang, tubuh pesawat penuh tembakan, kaca pecah. Tapi pesawat keenam, ketujuh dan kedelapan tak kembali.

Patroli rutin itu berubah jadi tragedi. Mereka disergap pesawat Jerman. Dan pilot yang bilang "sebentar" termasuk yang tertembak pesawat Jerman.

Liebling memakai kata "saya" untuk bercerita apa yang dilihatnya. Liebling sebenarnya bercerita tentang kegetiran perang, tentang dilema kekerasan untuk menyelesaikan pertikaian. Liebling menjadikan perang sebagai sesuatu yang dekat, yang kejam, dilihat dari jarak dekat. Banyak yang meniru gaya Liebling.

Ada kontributor yang menyaksikan langsung bagaimana bom dijatuhkan di daerah Jerman. Ia masuk ke perut pesawat bomber, mencatat anak muda yang ragu menjatuhkan bom, atau pilot yang kuatir terkena tembakan meriam anti-pesawat. Ada kontributor yang menyaksikan pertempuran di Iwo Jiwa. Ada juga yang meliput Teluk Persia. Samudera Pasifik. Okinawa.

Janet Flanner, koresponden The New Yorker di Paris, membuat cerita yang menarik tentang seorang nyonya Amerika yang melarikan diri dari Paris, lewat pemeriksaan demi pemeriksaan, hingga kembali di Amerika.

Namun, namanya juga perang, The New Yorker terpaksa memberikan toleransi terhadap laporan yang berlepotan, kiriman via kawat kadang tidak sambung, terpaksa diulang, tambah bobrok -sehingga pekerjaan editor jadi banyak melakukan penulisan ulang. Editor macam Ross memperlihatkan kekuatannya justru ketika harus mengubah laporan yang berlepotan, minta kiriman ulang, mengecek ulang fakta demi fakta, menimbang logika, dan mengubah laporan medan perang itu jadi artikel yang enak dibaca.

Saking dahsyatnya liputan kontributor macam Liebling dan Flanner, dua tahun setelah perang usai, pada 1947, majalah ini menerbitkan buku "The New Yorker Book of War Pieces." Isinya melulu liputan Perang Dunia II. Buku ini dianggap karya klasik sehingga terus-menerus dicetak ulang hingga kini.

Namun dari sekian naskah perang, tampaknya tak ada yang mengalahkan laporan John Hersey berjudul "Hiroshima" yang terbit 31 Agustus 1946. Laporan ini sering disebut sebagai karya jurnalisme terpenting di Amerika abad XX.

Hersey mulanya bekerja buat majalah Life. Alumnus Universitas Yale dan tinggal di Cambridge, kota kecil di pinggiran Boston. Wartawan muda ini suatu sore pada 1942 pergi dengan istrinya, Frances Ann Cannon, menonton sebuah pertunjukan seni.

Menurut Ben Yagoda -memanfaatkan arsip-arsip internal The New Yorker buat bahan "About Town"- Cannon memperkenalkan suaminya dengan bekas pacarnya, seorang letnan angkatan laut Amerika bernama John F. Kennedy. Kedua lelaki ini tampaknya cocok apalagi setelah Kennedy bercerita bagaimana kapalnya tenggelam di sebuah pulau di selatan Pasifik.

Selama berhari-hari, Kennedy berenang, dari satu pulau ke pulau lain, membawa anak buahnya yang luka, untuk mencari bantuan. Ia harus berhati-hati karena patroli Jepang acap muncul di perairan itu. Hersey tertarik pada heroisme Kennedy dan memutuskan untuk mewawacarai Kennedy lebih dalam beserta beberapa anak buahnya.

Hersey menawarkan laporan itu kepada Life tapi ditolak sehingga dialihkannya ke The New Yorker dengan judul "Survival." Kelak "Survival" dicetak ratusan ribu oleh keluarga Kennedy, untuk membantu kampanye John F. Kennedy menjadi senator dan, pada gilirannya, Presiden Amerika Serikat.

"Survival" juga membuat Hersey dekat dengan The New Yorker. Ketika pada akhir 1945 ia hendak pergi ke Cina dan Jepang, untuk melihat situasi pasca Perang Dunia II, ia mendatangi dulu kantor The New Yorker.

Hersey bertemu dengan William Shawn, redaktur pelaksana The New Yorker, dengan siapa ia berdiskusi sekitar 10 buah ide laporan. Satu di antaranya membuat laporan pemboman lewat kacamata penduduk kota yang dijadikan sasaran bom.

Ide ini mulanya hendak dikerjakan oleh kontributor lain terhadap kota Cologne, Jerman, yang dihujani bom sekutu. Tapi pemboman Hiroshima membuat Cologne terlihat kecil. Shawn menawarkan ide tersebut pada Hersey untuk diterapkan di Hiroshima.

Dalam perjalanan kapal laut dari Cina ke Jepang, iseng-iseng Hersey membaca novel "The Bridge of San Luis Rey" karangan Thornton Wilder yang bercerita tentang bencana alam di Peru pada abad 18. Hersey menganggap ide Wilder yang menceritakan bencana itu dari pandangan beberapa korban bisa dipakainya di Jepang.

Setibanya di Hiroshima, Hersey mewawancarai sekitar 40-an akademisi dan ahli. Tapi ia juga bicara dengan para korban, lima di antaranya orang Jepang dan satu orang pastor Jerman. Keenam orang itulah yang dijadikan Hersey sebagai karakter utama dalam laporannya.

Hersey menceritakan dahsyatnya bom itu. Ada kulit terkelupas, ada desas-desus soal bom rahasia, ada kematian yang menyeramkan, ada dendam, ada perasaan rendah diri. Semua campur aduk ketika Hersey merekamnya dan menjadikannya salah satu artikel termahsyur dalam sejarah jurnalisme Amerika. Ia menceritakannya lewat pengalaman enam orang itu.

Ketika kembali ke Amerika, Hersey butuh waktu enam minggu untuk menulis. Mula-mula Hersey membuatnya jadi empat bagian, dengan harapan, The New Yorker memuatnya dalam empat nomor bersambung. Shawn mengedit keempatnya hingga selesai. Shawn merasa laporan Hersey bagus sekali sehingga ia datang ke Ross dan berkata, "Ini tidak bisa dibuat bersambung. Ini harus terbit sekali jadi." Ross agak bingung karena laporan Hersey sepanjang 30 ribu kata bakal menghabiskan seluruh halaman majalah itu.

Selama 10 hari, dari pukul 10 pagi hingga pukul 2 dini hari, Shawn dan Ross mengurung diri di kamar kerja Ross, melakukan editing laporan tersebut. Gaya Ross dalam menyunting adalah melayangkan pertanyaan tertulis. Untuk bagian pertama saja, Ross menghasilkan 47 pertanyaan buat Hersey. Ketika sudah direvisi, Hersey masih mendapat enam pertanyaan lagi. Ross bertanya hal-hal kecil, misalnya, kejelasan, konsistensi, diksi, tata bahasa atau logika. Ross memutuskan laporan Hersey bisa terbit dalam satu nomor.

Sehari sebelum diterbitkan, The New Yorker mengirim nomor awal edisi itu ke koran lain. Surat pengantarnya menjelaskan bagaimana bom itu membunuh 100 ribu dan melukai 100 ribu penduduk Hiroshima yang jumlahnya 245 ribu.

Ketika muncul di pasar, The New Yorker habis diserbu pembaca. Minggu itu tak ada media Amerika yang tak memberitakan laporan Hersey. New York Times memuatnya. New York Herald Tribune membuat ringkasannya. America Broadcasting Company membacakan laporan itu buat pendengarnya empat hari, masing-masing setengah jam, berturut-turut tanpa interupsi siaran iklan. Di seberang Samudera Atlantik, radio British Broadcasting Corporation juga membacakan naskah Hersey.

Seorang pembaca The New Yorker menulis tak seorang pun tak membicarakan laporan Hersey selama dua hari berturut-turut di seluruh New York, di restoran, di kereta api, dan di rumah. Koran-koran memberitakannya dan New York meledak gara-gara laporan Hersey.

Laporan Hersey memicu sebuah gerakan anti bom nuklir, yang gemanya terasa hingga beberapa dekade, terutama dalam suasana Perang Dingin. Laporan Hersey juga menggugah kesadaran manusia bahwa bom nuklir tak layak dipakai dalam perang, ia secara pukul rata membunuh semua orang, sipil atau militer, wanita dan anak-anak.

Laporan Hersey juga mengukuhkan The New Yorker sebagai majalah serius. Ia bukan lagi majalah ringan. Kehadirannya diperhitungkan. Konon fisikawan nuklir Albert Einstein, tak mendapatkan edisi 31 Agustus 1946 tersebut. Einstein ingin membeli 1.000 buah lagi buat diberikan ke teman-temannya. Majalah itu laku habis. Einstein tak kebagian.

PADA 5 Desember 1951, maut menjemput Ross karena kanker saluran pernafasan. Ia meninggalkan seorang putri, yang masih kecil, serta istri ketiga yang dalam proses perceraian. Shawn, redaktur pelaksana The New Yorker, resmi menggantikan Ross pada 21 Januari 1952.

Berbeda dengan Ross yang ramai, dan suka bergurau, Shawn orang sopan, pendiam, pemalu, walau terkadang dianggap eksentrik dan misterius. Kalau Ross senang mengirim surat dan memo, Shawn hemat tulisan, Shawn lebih suka bicara via telpon, tatap muka, atau mengirim telegram pendek. Ketika mulai bekerja, Shawn, tak menunjukkan kemampuan menulis yang luar biasa. Tapi ia teliti dalam reportase.

Tapi kesamaan Ross dan Shawn adalah kecintaan mereka pada jurnalisme. Mereka juga tak suka publikasi, dan tak mau namanya muncul dalam The New Yorker. Suksesi ini mulus karena Shawn termasuk editor senior, dan tak ada seorang pun berharap Shawn menciptakan perubahan pada The New Yorker.

Ben Yagoda menggambarkan sepuluh tahun pertama kepemimpinan Shawn sebagai biasa-biasa saja. Shawn menjaga mutu The New Yorker, tapi perlahan-lahan ia merekrut orang muda berbakat, menggantikan orang lama. Ia tak segan menelpon pers mahasiswa, mengajak wartawan muda, bergabung ke The New Yorker.

Seorang wartawan Harvard Crimson, koran mahasiswa Universitas Harvard, satu hari menerima telpon, suara sopan di ujung telpon memperkenalkan diri, "Saya William Shawn dari The New Yorker." Mahasiswa itu mengira ada teman mengerjainya. Telpon dibanting. Beberapa tahun kemudian dia sadar bahwa Shawn memang menelponnya hari itu.

Shawn, dengan gaya kepemimpinan yang sopan, perlahan-lahan mencapai lagi era gemilang The New Yorker ala Ross. Satu demi satu, artikel hebat bermunculan, mulai dari Truman Capote yang menulis pembunuhan berdarah dingin sebuah keluarga petani, hingga laporan pengadilan satu tukang jagal Nazi Jerman, yang ditangkap di Argentina dan diadili di Israel. Orang mulai berdecak kagum pada Shawn.

Pada Juni 1962 Shawn menerbitkan laporan ahli biologi Rachel Carson berjudul "Silent Spring." Laporan ini bercerita dampak pemakaian pestisida terhadap ekosistem. Pestisida mematikan serangga tapi meracuni tanaman pangan, membuat polusi lingkungan hidup, membunuh binatang lain bahkan membahayakan manusia.

Carson butuh tiga tahun untuk riset, meliput pengadilan perusahaan produsen pestisida, dan wawancara buat "Silent Spring." Karyanya dianggap monumental, karena pertama kali, dalam sejarah biologi, hubungan manusia dan alam, dijelaskan secara populer dan detail. Ketakpedulian manusia akan lingkungan hidupnya, berarti malapetaka.

Laporan Carson membuat penjualan The New Yorker meloncat tinggi. Ia setidaknya mencapai tingkat sensasi hampir sama dengan "Hiroshima" karya John Hersey. Ketika diterbitkan sebagai buku, harian New York Times mencatat "Silent Spring" sebagai buku paling laku selama 32 minggu. "Silent Spring" bahkan selama beberapa dasawarsa menjadi inspirasi gerakan lingkungan hidup modern.

Shawn juga menerbitkan esei James Baldwin, judulnya "Down at the Cross" yang risetnya mulai 1959 ketika Baldwin mengajukan proposal bepergian ke Afrika. Baldwin ingin menulis benua hitam ini, dari mana budak-budak perkebunan Amerika didatangkan. Tapi Baldwin kurang mujur. Reportasenya tak selesai.

Sebagai ganti, ia membuat sebuah esei, tentang hubungan orang kulit hitam dan kulit putih di Amerika. Baldwin mengira eseinya bakal ditolak. The New Yorker tak pernah memuat esei. Ternyata Shawn menerima. Ini salah satu perubahan radikal yang dibuat Shawn. Ia merasa ketakmauan Ross memuat esei sudah saatnya ditinggalkan. The New Yorker perlu memuat ide-ide baru, agar pembaca bisa mengikuti pemikiran-pemikiran mutakhir.

Di Amerika, isu rasial adalah isu peka. Baldwin menyerang orang kulit putih liberal yang menganggap "pernyelesaian masalah Negro tergantung pada kecepatan orang-orang Negro untuk menerima dan berasimilasi dengan standar hidup orang kulit putih." Baldwin berargumentasi orang kulit hitam, sebagaimana layaknya kaum minoritas di mana pun, berhak punya kebudayaan dan standar hidup sendiri. Mereka tak harus mengikuti kehendak mayoritas!

Baldwin ikut mengompori gerakan anti-diskriminasi rasial di Amerika. Secara internal The New Yorker konsisten dengan mempekerjakan wartawan kulit hitam. Jaman Harold Ross, semua wartawan The New Yorker orang kulit putih. Tapi Shawn mengubahnya.

PADA 1965 ketika The New Yorker merayakan ulang tahun ke-40, media lain berlomba-lomba menurunkan laporan sukses majalah ini. Tapi seorang kontributor harian New York Herald Tribune, Tom Wolfe, ingin tampil beda. Ia minta waktu wawancara dengan Shawn, sebagaimana biasa, Shawn menolak, menolak menjawab pertanyaan tertulis, menolak melakukan verifikasi naskah Wolfe.

Wolfe jalan terus dan menerbitkan sebuah parodi dengan judul "Tiny Mummies" di mana Wolfe mengolok-olok para redaktur The New Yorker sebagai orang yang kerjanya mengawetkan … mumi peninggalan Harold Ross. Majalah The New Yorker seakan-akan disebutnya sudah mati, tinggal mayat, yang diawetkan Shawn, yang dioloknya sebagai orang bertubuh kecil, pendiam, kalau bicara berbisik, kalau bergerak lamban.

Menurut Yagoda, dalam buku "About Town," kritik ini tak benar karena The New Yorker di bawah Shawn sudah berubah dari majalah peninggalan Ross. Dalam periode Shawn, muncul beberapa laporan hebat karya Rachel Carson, Truman Capote, James Baldwin dan sebagainya. Shawn juga memberi banyak perhatian pada Perang Vietnam, mengambil sikap yang kritis terhadap perang itu, dengan mengijinkan cendekiawan Amerika yang anti-Perang Vietnam untuk mengisi halaman The New Yorker. Shawn juga menurunkan banyak laporan soal bencana dan lingkungan hidup.

Ada dua Ross yang berpengaruh dalam hidup Shawn. Ross yang kedua, seorang wanita, bernama Lilian Ross. "Tiny Mummies" mengungkap hubungan "intim" antara Shawn dengan Ross kedua, salah seorang redaktur senior The New Yorker. Menurut Wolfe, Lillian dalam sehari bisa beberapa kali berada di ruangan Shawn. Mereka sering makan bersama, nonton teater, menikmati konser, jalan bersama dan sebagainya. Wolfe mengungkapkan masa kecil Shawn yang tak bahagia. Ia bersaudara 12 orang. Seorang teman Shawn diculik di depan mata Shawn dan ditemukan mati terbunuh.

Dibongkarnya rahasia-rahasia pribadi ini menyakitkan Shawn. Wolfe menuai 16 surat protes gara-gara laporannya. Seseorang menyebut laporan itu bukan saja "brutal" tapi memanfaatkan kelemahan Shawn, kekurangan fisik dan psikologisnya, untuk dilukai. Orang lemah, seharusnya diberi simpati, bukan diolok-olok. Laporan Wolfe, setelah dicek, juga mengandung lebih dari selusin kesalahan fakta.

Menariknya, 33 tahun setelah parodi Wolfe, Lillian Ross menerbitkan buku "Here But Not Here: A Love Story" di mana ia menceritakan romannya selama 40 tahun dengan Shawn. Lillian menceritakan bagaimana ia mulai bercinta dengan Shawn. Lillian memakai apartemen seorang bintang film, sekitar 10 blok dari apartemen Shawn, untuk menjalin hubungan asmara. Lillian merayakan setiap libur Natal bersama Shawn tapi membiarkan Shawn merayakan liburan Thanksgiving bersama istri dan anak-anaknya.

"Bill mengatakan bahwa Cecille menerima pengaturan ini. Saya pikir, ‘Mungkin Cecille sangat mencintai Shawn sehingga ia membiarkan Shawn melakukan apa saja asal Shawn tetap hidup,’" kata Lillian Ross.

Renata Adler dalam buku "Gone: The Last Days of The New Yorker" mengatakan bahwa Lillian memang orang yang paling dekat dengan Shawn. Adler menyebut Lillian -yang sebagai wartawan sangat terkenal karena liputannya tentang sastrawan Ernest Hemingway dan sutradara John Houston- sebagai "istri kantor" Shawn. Jadi Shawn punya dua istri: Cecille Shawn, istri resminya di rumah dan Lillian Ross, istri kantor.

Adler menganggap terbitnya buku "Here But Not Here," bukan saja penghinaan buat Cecille dan kedua anak lelaki Shawn, tapi juga pada Shawn sendiri. Sejauh ini keluarga Shawn tak pernah mengeluarkan reaksi apa pun terhadap Lillian Ross. Shawn memang misterius. Selama 38 tahun memimpin The New Yorker, ia jarang memberikan wawancara. Shawn pendiam, pemalu, pekerja keras, dan bahkan menghancurkan banyak dokumennya sendiri, termasuk korespondensi, sehingga sejauh mana kebenaran buku Lillian Ross, juga masih misteri.

SEJAK awal 1970-an kalangan dalam The New Yorker mulai bicara soal siapa yang bakal menggantikan Shawn. Shawn sadar bahwa usianya sudah menginjak kepala tujuh. Pada 1978 Shawn mengirim surat pengunduran diri pada direksi The New Yorker.

Tapi dua bulan berikutnya, Shawn membatalkan niat mundur tersebut, dengan alasan banyak orang tua, antara lain, maestro seni lukis Picasso, berprestasi ketika mereka berumur 70 tahun ke atas. Editor veteran ini tampaknya kurang sreg dengan seorang wakilnya yang bakal menggantikannya. Shawn menjagokan editor yang lebih muda. Tapi orang muda ini kurang disukai oleh anggota redaksi The New Yorker. Ia dianggap kurang berpengalaman dan terlalu meniru Shawn.

Lama-lama, Shawn dianggap rewel soal penggantinya. Ia tak percaya pada orang lain. Ia juga gagal mendelegasikan wewenang. Dalam periode magang, orang-orang yang diharapkan jadi pengganti Shawn, sering tak berdaya karena Shawn membiarkan para wartawan mengabaikan mereka. Ada calon ketiga yang memilih keluar dari The New Yorker untuk jadi editor majalah lain.

Pada 1984 kinerja majalah ini mulai menurun dihantam persaingan dengan televisi maupun majalah sejenis. Perang Vietnam mempengaruhi sirkulasi The New Yorker karena sikap editorialnya yang agak melenceng dari arus besar. The New Yorker bagaimana pun banyak dibaca oleh orang mapan yang ingin liputan Perang Vietnam dibuat dengan berimbang. Ada juga isu gaji wartawan yang kurang memadai. Usul perubahan manajemen sering berbenturan dengan Shawn, sedemikian rupa, sehingga pemilik saham The New Yorker, merasa frustasi, dan akhirnya menerima tawaran pembelian saham mereka oleh Samuel I. Newhouse Jr.

Newhouse adalah pemilik konglomerat media bernama Conde Nast, salah satu kelompok bisnis media terbesar di Amerika, dengan pendapatan tahunan rata-rata US$4 milyar pada 1980-an. Walau besar, citra Conde Nast kurang baik karena produknya, macam majalah Vanity Fair, Vogue, Glamour, Mademoiselle, GQ, dianggap pasaran.

Newhouse berambisi bukan saja jadi orang nomor satu kerajaan media yang kaya, tapi juga media paling bergengsi di Amerika. Newhouse membujuk keluarga Fleischmann, untuk menjual saham mereka, sehingga Newhouse jadi pemilik saham mayoritas The New Yorker. Harga yang dibayarnya 40 persen lebih mahal dari harga pasar. Newhouse membayar total US$168 juta buat membeli The New Yorker.

Newhouse janji tak campur tangan urusan redaksi, minta Shawn mencari pengganti dari dalam The New Yorker. Tapi tiga tahun berselang, proses itu tetap tak jelas, dan ketika sudah jelas, Newhouse tak suka dengan calon pilihan Shawn. Dalam keadaan berlarut-larut, Newhouse memecat William Shawn, dan menggantinya dengan Robert Gottlieb, editor penerbit buku Alfred A. Knopf, salah satu anak perusahaan Newhouse.

Para wartawan The New Yorker protes. Tapi kedatangan Gottlieb ternyata tak jelek. Gottlieb mampu mendinginkan protes tersebut walau beberapa wartawan, termasuk Lillian Ross dan Renata Adler, memutuskan mundur dari The New Yorker.

Gottlieb mempertahankan standar mutu The New Yorker. Dalam satu dua hal, Gottlieb yang suka seni dan teater itu, dan membaca The New Yorker sejak masa kanak-kanaknya, justru memperbaiki liputan The New Yorker. Gottlieb merekrut banyak koresponden luar negeri bernama harum, antara lain Raymond Bonner dan David Remnick, masing-masing spesialis Amerika Latin dan Rusia, untuk menjaga mutu liputan luar negeri The New Yorker. Pada 1988 Gottlieb mengirim Bonner ke Indonesia dan menulis laporan panjang tentang keluarga Presiden Soeharto dan bisnis-bisnisnya.

Tapi usaha Gottlieb kurang berhasil mencegah kerugian The New Yorker. Sirkulasi praktis tak berubah, pendapatan iklan kurang memadai, pada 1993 The New Yorker rugi US$30 juta, sehingga Newhouse memecat Gottlieb, menggantinya dengan Tina Brown, seorang wartawati kelahiran Inggris, yang dianggap berhasil memajukan majalah Vanity Fair, majalah kebanggaan Conde Nast.

Pergantian ini menimbulkan reaksi keras. Orang sangsi apakah Brown mengerti makna The New Yorker buat Amerika? Apalagi Brown mendisain ulang The New Yorker. Brown menambah halaman para kontributor, lengkap dengan foto mereka, ia juga menambahkan foto ke dalam halaman-halaman dalam The New Yorker, berwarna dan hitam-putih, ia juga menciptakan halaman surat pembaca, membuat kalimat eye catching di bawah judul serta memindahkan byline di awal karangan.

Ross, Shawn maupun Gottlieb selalu meletakkan nama pengarang di akhir karangan, dengan alasan, mereka tak mau menjual nama penulis. Biarlah pembaca menikmati suatu karangan, tanpa diiming-imingi siapa penulisnya. Mereka menganggap foto, bila ada untuk melengkapi suatu cerita, cenderung hanya menjadi kelengkapan saja. Mereka suka bila laporan mereka, kuat hanya pada narasinya, tanpa perlu dibantu foto. The New Yorker melengkapi majalah mereka hanya dengan ilustrasi dan kartun.

Perbedaan lain, Brown tak segan-segan memunculkan hal-hal yang provokatif. Ia menerbitkan sebuah artikel tentang dildo -penis buatan dari plastik, alat bantu masturbasi perempuan. Satu saat Brown juga menampilkan maskot The New Yorker sebagai pemuda punk dengan kulit yang pucat. Brown juga cinta publisitas. Ia suka popularitas, menyukai wawancara dan membiarkan dirinya diiklankan bersama The New Yorker.

Bila Shawn menyukai "timelessness" -di mana The New Yorker terbit tanpa memperhatikan unsur waktu-Brown justru menyukai "timeliness" di mana kalau perlu dalam satu minggu, disain majalah diganti dua atau tiga kali untuk mengejar berita yang sedang hangat. Shawn menyukai kedalaman, Brown menyukai kecepatan.

Renata Adler dalam buku "Gone: The Last Days of The New Yorker" berpendapat majalah di mana Adler membangun karirnya itu, riwayatnya tamat bersama pengalihan kepemilikan The New Yorker dari keluarga Fleischmann ke keluarga Newhouse.

"Orang Conde Nast mengira mereka tahu bisnis dan tahu seni," kata Adler. Penerbitan Conde Nast, macam majalah Vanity Fair, memang sukses, tebal, mengkilap, penuh iklan, foto perempuan setengah telanjang, gosip selebritas, mode pakaian, gaya hidup dan sejenisnya, tapi Vanity Fair bukan tandingan The New Yorker.

Vanity Fair memang memuat laporan panjang, tapi Vanity Fair tak pernah melewati kemampuan The New Yorker dalam memuat laporan yang bukan saja panjang, tapi cerdas, dan mengejutkan macam "Hiroshima" atau "Silent Spring."

Ketika Newhouse membeli The New Yorker, ia memperkenalkan teknik penjualan dan promosi yang agresif. Orang Conde Nast giat mempromosikan The New Yorker, mereka menawarkan rabat langganan, mereka menaikkan sirkulasi, memasang iklan horizontal, memuat advertorial dan sebagainya. Brown dianggap sebagai editor yang justru "lebih dekat" dengan orang pemasaran daripada dengan wartawan-wartawannya.

Padahal The New Yorker adalah majalah dengan tradisi menjaga pagar api antara editorial dan iklan. Iklan tak salah. Tapi iklan harus dibedakan dengan berita. Ibarat pemisahan negara dan agama. Bila campur aduk, komersialisme bisa merusak jurnalisme. Bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Dampak ambrolnya pagar api, pembaca kurang percaya dengan berita yang dibacanya. Kekaburan ini terlihat jelas dari apa yang disebut sebagai "advertorial" -singkatan dari "advertisement" (iklan) dan "editorial."

Bagi Adler, advertorial bukan kompromi kecil. Advertorial sengaja dibuat untuk mengundang mata pembaca untuk membacanya, yang dibuat dengan disain dan jenis huruf, sedemikian rupa, sehingga pembaca mengira artikel itu bagian dari berita. Padahal advertorial adalah iklan.

Kekuatan The New Yorker, di bawah kepemimpinan Harold Ross dan William Shawn, adalah kemampuannya untuk hanya diatur, ditentukan oleh rasa ingin tahu dan semangat dari para redaktur, penulis dan artis The New Yorker, tanpa kuatir dengan apa yang disukai pembaca, apalagi biro iklan dan pemasang iklan.

Tina Brown tak setia pada prinsip pagar api. Ben Yagoda dalam "About Town" menyebut Brown mencampur aduk konsep The New Yorker dengan hal lain yang tak jelas. Ironisnya, dengan segala pergantian itu, Brown juga tak berhasil menaikkan sirkulasi The New Yorker secara mendasar. Pendapatan datar-datar saja. Newhouse rugi terus karena The New Yorker.

Antara 1985 dan 1997, Conde Nast menanggung kerugian US$150 juta buat The New Yorker. Angka yang relatif kecil buat Conde Nast dengan rata-rata keuntungan US$4 milyar setiap tahun. Yagoda belum bisa menyimpulkan mengapa The New Yorker senantiasa rugi. Mungkinkah karena pasar yang berubah? Orang makin tak butuh bacaan panjang? Mungkinkah karena persaingan dengan majalah lain? Atau televisi yang menggaet prosentase iklan terbesar di antara semua media?

Pada 1998 secara mengejutkan Tina Brown mengundurkan diri. Alasan resminya, ia hendak mendirikan majalah lain. Tapi alasan itu sulit dimengerti. Mungkinkah Brown capek dikritik kiri-kanan? Mungkinkah ia lelah dengan kesendiriannya? Mungkin ia merasa tak dimengerti? Penggantinya adalah David Remnick, koresponden The New Yorker di Rusia, yang dulu direkrut Gottlieb.

Proses pergantian berjalan mulus, mungkin karena Remnick termasuk orang dalam, pernah memenangkan hadiah Pulitzer. Pekerjaan utama Remnick adalah memoles ulang pekerjaan Brown, termasuk menghapus foto seronok, foto kontributor, dan merapikan majalah itu lagi. Perwajahan The New Yorker jadi lebih dingin ketika Remnick mengambil alih kemudi The New Yorker. Walau Remnick merekrut beberapa wartawan papan atas, termasuk Seymour Hersh, mantan wartawan New York Times, yang spesialis investigasi, mungkin terlalu awal buat Yagoda dan pengamat lain, untuk menilai prestasi Remnick. Hersh adalah wartawan Amerika yang membongkar pembunuhan penduduk dusun My Lai diVietnam oleh prajurit Amerika pada 1968.

Jelas, Newhouse ingin The New Yorker, tetap jadi salah satu majalah terkemuka Amerika. Newhouse ingin majalah itu jadi kebanggaan Conde Nast. Persoalannya, sampai kapan Newhouse bisa bertahan? Seberapa cepat Remnick mampu menaikkan mutu The New Yorker di tengah persaingan yang makin ketat ini?

DUABELAS tahun setelah membaca The New Yorker secara sembunyi-sembunyi di Salatiga, pada satu hari yang dingin, ketika salju mulai mencair, di sebuah ruang diskusi Kennedy School of Government, Universitas Harvard, Cambridge, saya hadir dalam diskusi soal suka-duka investigasi dalam jurnalisme.

Pembicaranya Raymond Bonner, wartawan The New Yorker yang bikin laporan Indonesia, pada 1988.

Ada sekitar 30 orang dalam ruangan itu. Ada beberapa wajah Asia. Kebanyakan orang kulit putih. Hanya beberapa menit, Bonner masuk dan mengambil duduk.

"Lho, orangnya kok kecil?" pikir saya.

Dalam sampul buku karangan Bonner "Waltzing with a Dictator," foto Bonner menggambarkan wajah laki-laki berwajah keras, rambutnya agak panjang, belah pinggir, agak berantakan, rahang kuat, segi empat dan bibir berkerut. Saya bayangkan orangnya pasti tinggi besar.

Bonner di ruang seminar itu ternyata kecil, untuk ukuran Amerika, mungkin hanya 170 cm, bicaranya cepat, ramah, suka tertawa, menggerak-gerakkan tangan, kelihatan selalu berusaha meyakinkan orang -mengingatkan saya pada makelar emas partikelir yang bekerja sepanjang jalan dekat toko ayah saya di Jember.

Saat itu musim semi 2000. Seusai diskusi, saya memperkenalkan diri. Bonner kelihatan senang mengetahui di sudut Amerika ini ada wartawan dari Indonesia, duduk dan mendengarkan paparannya.

Saya ingat, ia bertanya, "Apa pendapat Anda tentang Gus Dur? Dia orang baik bukan?"

Pada liputannya 1988, Bonner mewawancarai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang diperkenalkannya sebagai satu dari dua cendekiawan paling terkemuka di Indonesia. Satunya lagi Nurcholish Madjid.

Bonner kelihatan tertarik bicara soal ulama yang sempat diwawancarainya, yang kemudian menjadi presiden Indonesia keempat. Mungkin Bonner tak membayangkan Gus Dur bisa jadi presiden.

"Saya punya beberapa kenalan di Indonesia. Satu di antaranya adalah wartawan. Aduh siapa namanya ya?" ujar Bonner.

"Mungkin …" jawab saya.

"Jangan, jangan, dijawab, saya ingat, saya ingat, saya juga ketemu istrinya yang juga editor. Ini wartawan terkenal … namanya, namanya, … Mohamad," kata Bonner tersenyum puas.

"Goenawan Mohamad," kata saya.

Sehari kemudian, kami ikut jamuan makan malam yang diadakan oleh Nieman Foundation di Faculty Club milik Universitas Harvard. Istri Bonner, Jane Perlez, koresponden New York Times, memberikan keynote speech tentang suka-duka liputan luar negeri.

Ketika ada kesempatan berdua, saya ceritakan pada Bonner bagaimana artikel "New Order" dari The New Yorker itu saya dapatkan di Salatiga. Artikel itu dibendel rapi, tersebar merata di kelompok-kelompok diskusi mahasiswa, yang lagi menjamur, di Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Jakarta dan mungkin kota-kota lain.

"Artikel itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia," kata saya seraya menambahkan laporannya ikut mengompori gerakan mahasiswa di Indonesia.

Bonner sedikit kaget dengan adanya terjemahan itu. Dia bilang dia senang dan tertarik untuk mendapatkan satu fotokopi. Saya kira, banyak mahasiswa lebih mengerti politik Jakarta, dengan memandang cermin yang dibuat dari New York itu.

Malam itu, ketika berjalan kaki pulang, saya berpikir "New Order" mungkin tak mengubah dunia sebanyak "Hiroshima" karya John Hersey atau "Silent Spring" karya Rachel Carson. Bonner tak menulis soal bom nuklir atau bahaya pestisida. Bonner menulis soal seorang kepala negara, nun jauh di seberang lautan, yang sedang ada di puncak kejayaannya, ketika anak-anak kepala negara itu mulai merambah dunia bisnis, merampok negaranya sendiri, ketika masalah Timor Timur kelihatannya mulai sukses di tangan Indonesia.

Sejarah ternyata terbalik. Tiga tahun sesudah laporan itu ditulis, tentara-tentara Indonesia yang tak berdisiplin, membantai orang-orang Timor Timur di kota Dili. Ada wartawan asing merekamnya dalam video. Kebengisan dan kekejaman itu menyebar ke seluruh dunia. Menteri Luar Negeri Ali Alatas menganggap peristiwa Dili pada November 1991 itu sebagai titik balik diplomasi internasional Indonesia.

Tapi sang raja tetap percaya diri. Sidang MPR tetap dibuatnya sebagai stempel saja. Sepuluh tahun setelah laporan itu, Presiden Soeharto kembali merekayasa sidang MPR agar dipilih lagi. Padahal badai krisis ekonomi menerjang deras. Ekonomi Indonesia gemetar. Rupiah ketakutan. Kali ini tak ada Sudharmono, tidak ada Benny Moerdani. Wakil presiden yang ditunjuknya B.J. Habibie, seorang insinyur cerdas yang lucu, yang belasan tahun membantunya.

Soeharto hanya bertahan dua bulan. Pada Mei 1998 ia turun tahta dengan kesedihan dan malu. The New Yorker, sedikit banyak, ikut merintis tumbangnya diktator ini.*

by:Andreas Harsono